Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Jumat, 19 Maret 2010

Majikan Zubair r.a.

Ketika Zubair r.a hendak bergabung dalam suatu peperangan, ia memanggil anaknya yang bernama Abdullah r.a. Ia berwasiat kepada putranya bahwa jika terjadi sesuatu padanya, hendaknya semua utangnya dilunasi oleh putranya itu.

Zubair r.a. berkata kepada Abdullah, putranya, "Wahai Anakku. Jika aku tidak kembali dari peperangan ini, selesaikanlah utang-utangku. Jika kau menemui kesulitan dalam melunasinya, mohonlah kepada majikanku agar melepasmu dari kesukaran."

"Siapakah majikan yang kaumaksud, Ayah?" tanya Abdullah r.a.

"Allah SWT," jawab sang ayah.

Sepeninggal ayahnya yang telah menjadi syuhada, Abdullah bin Zubair r.a. memeriksa buku keuangan ayahnya. Di dalamnya terdapat utang sebanyak dua juta dirham yang harus dilunasi. Hari demi hari berlalu, akhirnya semua utang ayahnya lunas sudah.

Abdullah r.a selalu mengingat pesan ayahandanya, yaitu ketika ia menemukan kesukaran, ia akan mengadu kepada Sang Majikan - Allah SWT - untuk memohon pertolongan. Dengan demikian, semua kesukaran yang menghadang akan lenyap.

Suatu ketika Abdullah bin Zubair r.a sedang berdagang bersama saudaranya, Ibnu Ja'far r.a Ia berkata kepada saudaranya tersebut, "Aku mendapatkan dalam catatan ayahku bahwa kau berutang kepada ayahku satu juta dirham."

Ibnu Ja'far r.a mengiyakan utang tersebut, seraya berkata, "Baiklah, engkau dapat mengambil uang tersebut kapan pun kausuka."

Namun, ketika Abdullah r.a memeriksa kembali catatan ayahnya, ternyata ayahnyalah yang berutang kepada Ibnu Ja'far r.a. Kemudian ia pun segera menemui Ibnu Ja'far r.a untuk meralat tagihannya. Abdullah r.a meluruskan kesalahannya, "Wahai saudaraku, maafkan aku karena sesungguhnya aku telah melakukan kekeliruan kepadamu. Ternyata ayahku yang memiliki utang kepadamu."

Tidak ada kemarahan atau cemoohan dari Ibnu Ja'far r.a, bahkan ia merelakan utang ayah saudaranya tersebut, "Jika memang demikian, aku telah menghalalkan utang ayahmu kepadaku," ujarnya.

Tawaran tersebut ditolak dengan halus oleh Abdullah r.a seraya berkata, "Tidak, wahai saudaraku. Aku akan membayarnya."

Ibnu Ja'far r.a kembali menawarkan keringanan dalam membayar utang saudaranya, "Baiklah, kau boleh membayar semampumu."

Tawaran itu disambut baik oleh Abdullah r.a, "Sebagai ganti utang ayahku, maukah kauterima sebidang tanah yang kecil?" tawarnya.

"Ya, jika engkau tidak keberatan," ujar Ibnu Ja'far r.a.

Ketika dilihatnya tanah untuk membayar utang tersebut tandus dan kering, Ibnu Ja'far r.a menggelar sajadah dan mendirikan shalat dua rakaat di atas tanah tandus tersebut.

Setelah cukup lama bersujud, ia menunjuk ke suatu tempat yang masih berada di wilayah tanah itu dan menyuruh seorang hamba sahaya untuk menggalinya. Dari tempat penggalian tersebut, ternyata memancar sebuah mata air. Keadaan seperti itu bukanlah kejadian luar biasa. Para sahabat sering mengalami keajaiban-keajaiban seperti itu.

Catatan:
Nama asli Ibnu Ja'far r.a adalah Abdullah bin Ja'far r.a. Penulis menggunakan nama Ibnu Ja'far agar tidak tertukar dengan Abdullah bin Zubair r.a sehingga memudahkan pembaca untuk memahami cerita. Ibnu Ja'far r.a mewarisi sifat ayahnya, Ja'far Ath-Thayar yang dijuluki Abu Al-Masakin atau bapaknya orang miskin. Ibnu Ja'far r.a pun memperoleh gelar dari penduduk setempat, yaitu Qutbus Sakha yang artinya kepala para dermawan.

Mendahulukan Allah SWT

Ibnu Abbas r.a menceritakan keadaan para sahabat yang disibukkan dengan pekerjaan dan perdagangannya. Tatkala azan berkumandang, mereka langsung meninggalkan pekerjaan dan perdagangannya, kemudian berduyun-duyun menuju masjid untuk shalat berjamaah.

Begitu pula yang disaksikan oleh Abdullah bin Umar r.a ketika datang ke sebuah pasar. Ketika tiba waktu shalat berjemaah, para pedagang serentak menutup toko-toko mereka dan bersama-sama berjalan menuju masjid.

Abdullah bin Umar r.a berkata, "Mereka inilah yang diberitakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya, 'Orang yang tidak dilalaikan oteh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat).' " (QS. An-Nur [24]: 37)

Rasulullah saw memberitakan mereka dalam sabdanya, yang dikutip dari kitab Durul Mantsur karangan Allamah Jalaluddin Suyuti dari Fadhail 'Amal, Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandhalawi r.a, "Pada hari kiamat ketika Allah SWT mengumpulkan manusia pada suatu tempat, Aliah SWT akan mensajukan tiga pertanyaan. Pertanyaan pertama, "Siapakah yang memuji Allah pada waktu senang dan susah?" Maka sekumpulan manusia akan bangun, lalu masuk ke dalam surga tanpa hisab. Pertanyaan kedua, "Siapakah yang meninggalkan tempat tidurnya dan menghabiskan malamnya untuk mengingat Altah SWT dengan perasaan takut dan penuh harap?" Lalu, sekumpulan manusia akan berdiri dan masuk ke dalam surga tanpa hisab. Pertanyaan ketiga, "Siapakah yang perdagangannya tidak menghalanginya dari mengingat Allah?" Kemudian sekumpulan manusia pun akan bangun, lalu masuk surga tanpa hisab. Setelah ketiga kumpulan manusia itu masuk surga, barulah dimulai penghisaban atas manusia yang lainnya."

Menjaga Kepercayaan Orang Lain

Sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah saw masih berjaga di masjid. la dikunjungi oleh salah seorang istrinya yang bernama Shafiyyah. Ketika Rasulullah saw mengantarkan istrinya pulang ke rumah, mereka bertemu dengan dua orang sahabat di tengah perjalanan.

Rasulullah saw segera menghentikan langkah mereka dan berkata, "Ini istriku, Shafiyah," sambil membuka cadar (penutup wajah) istrinya. Beliau melakukan hal itu karena khawatir akan timbul prasangka bahwa beliau berjalan dengan wanita nonmahram sepulangnya dari masjid. Oleh karena itu, beliau menunjukkan jati diri wanita yang 'sedang berjalan bersamanya, yang pada saat itu adalah istrinya.

Kedua sahabat berkata, "Allah melarang kami berburuk sangka tentang engkau, wahai Rasulullah."

Rasulullah membenarkan perkataan sahabatnya dan menambahkan, "Berburuk sangka tentang diriku akan menyebabkan hilangnya iman dan masuk ke dalam neraka. Setan akan terus-menerus berputar dalam aliran darah seseorang."

Setan selalu mencari celah untuk menaburkan prasangka dan membesar-besarkannya hingga berakibat hilangnya kepercayaan seseorang terhadap yang lainnya. Oleh karena itu, Rasulullah saw mencegah terjadinya hal itu dengan mengungkap hal sebenarnya untuk menghentikan langkah setan menghancurkan hubungan sesama muslim.

Allah SWT sebagai Saksi

Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bercerita tentang dua orang Bani Israel yang meminjamkan uang sebesar 1.000 dinar kepada temannya. Uang sebesar itu bukanlah jumlah yang sedikit. Kemudian si pemberi utang meminta temannya yang akan ia pinjami uang untuk mendatangkan seorang saksi.

Ia berkata, "Datangkanlah beberapa saksi agar mereka menyaksikan utang piutang ini."

Temannya menjawab, "Cukuplah Allah sebagai saksi bagiku!"

Kemudian si pemberi utang meminta lagi, "Datangkanlah seseorang yang bisa menjamin utangmu!"

Temannya kembali menjawab, "Cukuplah Allah yang menjaminku!"

Pemberi utang pun berkata, "Engkau benar!"

Setelah itu, ia memberikan 1.000 dinar kepada temannya dan menetapkan waktu pengembaliannya. Semua didasarkan atas saling percaya karena mereka menjadikan Allah SWT sebagai saksi dan penjamin.

Kemudian teman yang berutang itu pun pergi berlayar untuk suatu keperluan. Waktu berlalu dan tibalah waktu pembayaran utang yang telah mereka sepakati. Teman yang berutang mencari kapal agar ia dapat kembali ke daerahnya untuk melunasi utangnya.

Namun, kapal yang menuju daerahnya tidak kunjung tiba. Ia pun berusaha mencari kapal yang dapat membawanya kembali, tetapi hasilnya nihil. Kemudian ia pun mengambil sebatang kayu dan melubanginya, lalu memasukkan uang 1.000 dinar ke dalamnya dan sebuah surat kepada temannya.

Setelah menutup rapat kayu tersebut, ia menuju laut seraya berkata, "Ya Allah, sungguh Engkau telah mengetahui bahwa aku meminjam uang kepada teman saya sebanyak 1.000 dinar. Ia memintaku seorang penjamin dan kukatakan bahwa cukup Engkau sebagai penjamin dan ia rela dengannya. Aku pun telah berusaha keras untuk mendapatkan kapal agar dapat mengembalikan uang yang telah aku pinjam darinya, tetapi aku tidak mendapatkan kapal itu. Karena itu, aku titipkan ia kepada-Mu."

Lalu, ia melemparkan kayu berisi uang yang jumlahnya besar tersebut ke laut sehingga terapung-apung, lalu ia pulang.

Sementara itu, temannya yang memberi utang menyusuri tepian laut menanti kedatangan temannya yang akan melunasi utang. Namun, ia tidak melihat satu kapal pun bertepi di lautnya. Tiba-tiba ia melihat potongan kayu terdampar di hadapannya. Terbesit dalam pikirannya untuk menggunakan kayu tersebut sebagai kayu bakar. Kemudian dibawalah kayu itu pulang ke rumah.

Setibanya di rumah, ia membelah kayu tersebut bersama istrinya. Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat di dalamnya terdapat uang 1.000 dinar. Tidak kurang dan tidak lebih.

Mereka membaca surat yang diselipkan di dalam kayu tersebut. Akhirnya, mereka tahu bahwa kayu itu adalah kiriman temannya yang berutang untuk melunasi utangnya. Mereka pun memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah mengantarkan kayu tersebut hingga sampai kepada yang berhak.

Beberapa hari kemudian, teman yang dulu berutang datang ke rumah temannya yang meminjami utang. Ia belum tahu kalau kayu itu telah sampai dengan selamat ke tujuannya.

Kemudian ia membawa uang 1.000 dinar untuk dibayarkan seraya berkata, "Demi Allah, aku terus berusaha untuk mendapatkan kapal agar bisa sampai kepadamu dengan uangmu, tetapi aku sama sekali tidak mendapatkan kapal. Baru sekarang aku bisa memperoleh kapal yang mengantarku kemari."

Teman yang memberi pinjaman berkata, "Bukankah engkau telah melunasi utangmu?"

Temannya menjawab, "Bukankah aku telah beritahukan kepadamu bahwa aku tidak mendapatkan kapal sebelum ini dan baru sekarang aku tiba di sini?"

"Sesungguhnya Allah telah menunaikan apa yang telah engkau kirimkan kepadaku melalui kayu. Oleh karena itu, bawalah uang 1.000 dinarmu kembali. Semoga keberkahan senantiasa menyertaimu!"

Akhirnya, mereka berdua benar-benar menyaksikan bahwa utang piutang antara mereka melibatkan pertolongan Allah SWT yang nyata sebagai saksi dan penjamin.

Kisah ini merupakan penjelasan ayat Al-Qur'an Surat Ali Imran [3]: 75-76, "Dan di antaraAhli Kitab ada yang jika engkau percayakan kepadanya harta yang banyak, niscaya dia mengembalikannya kepadamu. Tetapi ada (pula) di antara mereka yang jika engkau percayakan kepadanya satu dinar, dia tidak mengembalikannya kepadamu, kecuali jika engkau selalu menagihnya. Vam» demikian itu disebabkan mereka berkata, "Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang buta huruf." Mereka mengatakan hai yang dusta terhadap Allah, padahal mereko mengetahui. Sebenarnya barangsiapa menepati janji dan bertakwa maka sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertakwa." (QS Ali Imran [3]: 75-76)

Ketampanan Seorang Pemuda

Ahnaf bin Qais r.a didatangi oleh seorang pemuda dari Suku Thai. Pemuda itu memancarkan aura cahaya yang menyenangkan hati. Ketampanannya sangat beda dengan ketampanan para pemuda tampan pada umumnya. Semua orang yang melihatnya akan terkagum-kagum dengan pesonanya, termasuk Ahnaf r.a.

Saat itu Ahnaf r.a menduga ketampanan pemuda itu karena ia rajin berolahraga dan selalu menjaga kesehatan kulitnya dengan biaya dan perawatan mahal. Namun, ia tidak begitu yakin sebelum bertanya langsung kepada orang tersebut. Kemudian Ahnaf r.a mendekati pemuda itu seraya bertanya, "Hai anak muda. Apa rahasiamu sehingga memiliki wajah yang tampan ini?"

"Resepnya ada empat," jawab pemuda itu cepat.

"Apakah itu?" tanya Ahnaf r.a. kembali.

"Pertama, apabila orang berbicara kepadaku, aku mendengarkannya dengan baik. Kedua, apabila berjanji, pasti kutepati. Ketiga, apabila diriku diperhitungkan orang maka aku relakan. Keempat, apabila aku dipercaya, aku tidak mau mengkhianatinya," jelas pemuda itu.

Sambil memikirkan jawaban pemuda tersebut, Ahnaf bin Qais r.a. bergumam, "Inilah pemuda yang tampan luar dalam."