Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Tampilkan postingan dengan label doa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label doa. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 04 Februari 2023

Cinta Seorang Anak Gembala

Pada zaman dahulu, hidup seorang gembala yang bersemangat bebas. la tidak punya uang dan tidak punya keinginan untuk memilikinya. Yang ia miliki hanyalah hati yang lembut dan penuh keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan.

Sepanjang hari, ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, "Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, supaya aku dapat persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan bernapas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu."

Suatu hari, Nabi Musa melewati padang gembalaan tersebut. la memperhatikan sang Gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit. Sang gembala menyapa Tuhan, "Ah, di manakah Engkau, supaya aku dapat menjahit baju-Mu, memperbaiki kasur-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat mengilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?"

Musa mendekati gembala itu dan bertanya, "Dengan siapa kamu berbicara?"

Gembala menjawab, "Dengan Dia yang telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan malam, Bumi dan langit."

Nabi Musa murka mendengar jawaban gembala itu, "Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu! Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumbat mulutmu dengan kapas supaya kamu dapat mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat dosa-dosamu!"

Sang Gembala segera bangkit setelah mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara adalah seorang nabi. Ia bergetar ketakutan.

Dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya, ia mendengarkan Nabi Musa yang terus berkata, "Apakah Tuhan adalah seorang manusia biasa sehingga Ia harus memakai sepatu dan alas kaki? Apakah Tuhan seorang anak kecil yang memerlukan susu supaya Ia tumbuh besar? Tentu saja tidak. Tuhan Maha sempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak memerlukan siapa pun. Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tetapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau masih memiliki otak yang sehat!"

Gembala yang sederhana itu tidak mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada Tuhan adalah kata-kata yang kasar. Dia juga takmengerti mengapa nabi yang mulia telah memanggilnya sebagai seorang musuh, tetapi ia tahu betul bahwa seorang nabi pastilah lebih mengetahui daripada siapa pun. Ia hampir tak dapat menahan tangisannya.

Ia berkata kepada Musa, "Kau telah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak ini, aku berjanji akan menutup mulutku untuk selamanya." Dengan keluhan yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.

Dengan perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Musa melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba, Allah Yang Mahakuasa menegurnya, "Mengapa engkau berdiri di antara Kami dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintai-nya? Kami telah mengutus engkau supaya engkau dapat menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan di antaranya."

Musa mendengarkan kata-kata langit itu dengan penuh kerendahan dan rasa takut.

Tuhan berfirman, "Kami tidak menciptakan dunia supaya Kami memperoleh keuntungan darinya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak memerlukan pujian atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah, bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna."

Suara dari langit selanjutnya berkata, "Mereka yang ter-ikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang terikat dengan cinta dan umatyang beragama bukanlah umatyang mengikuti cinta karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri." Tuhan kemudian mengajarinya rahasia cinta.

Setelah memperoleh pelajaran itu, Nabi Musa mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun merasa menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf. Berhari-hari, ia berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan orang-orang apakah mereka mengetahui pengggembala yang dicarinya.

Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah yang berbeda. Hampir, ia kehilangan harapan, tetapi akhirnya Allah Swt. mempertemukannya dengan gembala itu. Ia tengah duduk di dekat mata air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah tafakur yang dalam sehingga ia tidak memperhatikan Musa yang telah menunggunya cukup lama.

Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan melihat Nabi Musa.

Musa berkata, "Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku bahwa tidak diperlukan kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu bebas berbicara kepada-Nya dengan cara apa pun yang kamu sukai, dengan kata-kata apa pun yang kamu pilih. Apa yang aku duga sebagai kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia."

Sang Gembala hanya menjawab sederhana, "Aku sudah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan kehadiran-Nya. Aku takdapat menjelaskan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak dapat melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku." Kemudian, ia bangkit dan meninggalkan Nabi Musa.

Utusan Allah ini menatap sang Gembala sampai ia tak terlihat lagi. Setelah itu, ia kembali berjalan ke kota terdekat, merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.

Doa sejati yang paling tinggi adalah perenungan Tuhan dengan kalbu yang murni, yang terlepas dari semua hasrat keduniawian, tidak terpaku pada sikap-sikap jasmaniah, tetapi dengan gerak-gerik jiwa. (Ibnu Sina)

Jumat, 13 Januari 2023

Merindukan Mati Syahid II Khalifah Umar bin Al Khathab


Menjelang shubuh, Khalifah Umar bin Al Khathab berkeliling kota membangunkan kaum muslimin untuk shalat shubuh. Ketika waktu shalat tiba, beliau sendiri yang mengatur saf (barisan) dan mengimami para jamaah.

Pada shubuh itu, tragedi besar dalam sejarah terjadi. Saat Khalifah mengucapkan takbiratul ihram, tiba-tiba seorang lelaki bernama Abu Lu'luah menikamkan sebilah pisau ke bahu, pinggang, dan ke bawah pusar beliau. Darah pun menyembur.

Namun, Khalifah yang berjuluk "Singa Padang Pasir" ini bergeming dari kekhusyukannya memimpin shalat. Padahal, waktu shalat masih bisa ditangguhkan beberapa saat sebelum terbitnya matahari. Sekuat apa pun Umar, akhirnya ambruk juga. Walau demikian, beliau masih sempat memerintahkan Abdurrahman bin 'Auf untuk menggantikan posisinya sebagai imam.

Beberapa saat setelah ditikam, kesadaran dan ketidaksadaran silih berganti mendatangi Khalifah Umar. Para sahabat yang mengelilinginya demikian cemas akan keselamatan Khalifah.

Salah seorang di antara mereka berkata, "Kalau beliau masih hidup, tidak ada yang bisa menyadarkannya selain kata-kata shalat!"

Lalu, yang hadir serentak berkata, "Shalat, wahai Amirul Mukminin. Shalat telah hampir dilaksanakan."

Beliau langsung tersadar, "Shalat? Kalau demikian di sanalah Allah. Tiada keberuntungan dalam Islam bagi yang meninggalkan shalat." Lalu, beliau melaksanakan shalat dengan darah bercucuran. Taklama kemudian, sahabat terbaik Rasulullah saw. ini pun wafat.

Sebenarnya, apa yang terjadi pada Umar Al Faruq ini adalah buah dari doa yang beliau panjatkan kepada Allah Swt. Alkisah, suatu ketika, saat sedang wukuf di Arafah, beliau membaca doa, "Ya Allah, aku mohon mati syahid di jalan-Mu dan wafat di negeri Rasul-Mu (Madinah)." (HR Malik)

Sepulangnya dari menunaikan ibadah haji, Umar pun menceritakan soal doanya itu kepada salah seorang sahabatnya di Madinah. Sahabat itu pun berkomentar, "Wahai Khalifah, jika engkau berharap mati syahid, tidak mungkin di sini. Pergilah keluar untuk berjihad, niscaya engkau bakal menemuinya."

Dengan ringan, Umar menjawab, "Aku telah mengajukannya kepada Allah. Terserah Allah."

Keesokan harinya, saat Umar mengimami shalat shubuh di masjid, seorang pengkhianat Majusi bernama Abu Lu'luah itu menghunuskan pisaunya ke tubuh Umar yang menyebabkan beliau mendapat tiga tusukan dalam dan tubuhnya pun roboh di samping mihrab.

Seperti itulah, Allah telah mengabulkan doa Umar bin Al Khathab untuk bisa syahid di Madinah dan dimakamkan berdampingan dengan Rasulullah saw. dan Abu Bakar Ash Shiddiq.

Rabu, 27 Juli 2011

Mendoakan Orang Lain

Seperti biasa, pada sepertiga malam terakhir, Sayyidah Fathimah — putri kesayangan Rasulullah saw senantiasa melaksanakan shalat tahajud di rumahnya. Terkadang, ia menghabiskan malam-malamnya dengan qiamu lail dan doa. Hasan bin Ali, putranya, sering mendengar munajat sang bunda.

Suatu pagi, ketika Sayyidah Fathimah selesai berdoa, Hasan kecil bertanya, "Ya Ummi, dari tadi, aku mendengarkan doamu, tetapi tak satu pun doa yang kau panjatkan untuk dirimu sendiri?"

Fathimah menjawab dengan lembut, "Nak, doakan dulu tetanggamu karena ketika para malaikat mendengarkanmu mendoakan tetanggamu, niscaya mereka akan mendoakanmu. Adakah yang lebih baik daripada doa para malaikat yang dekat dengan Allah, Tuhan kita?"

Apabila salah seorang mendoakan saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui oleh yang didoakan, para malaikat berkata, "Amin, semoga engkau memperoleh pula sebagaimana yang engkau doakan itu." (HR Muslim dan Abu Dawud)

Minggu, 17 Juli 2011

Jamu Prabayar

Suatu malam, seorang penjual jamu yang telah lima tahun menjanda karena ditinggal mati suaminya didatangi oleh anak perempuannya yang sulung. Anak ini menyampaikan bahwa besok adalah hari terakhir pembayaran uang bangunan dan SPP.

Jika sampai besok tunggakan uang bangunan dan uang sekolah tidak dilunasi, dia akan dikeluarkan dari sekolah. Ibu penjual jamu ini terkejut mendengarnya. Sesaat, seolah dunia menjadi gelap. Dia kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa. Ketika keterkejutan mulai mereda, dia diempaskan lagi oleh gelombang kekagetan berikutnya ketika si anak menyebutkan sejumlah angka sebagai total tunggakannya.

Napas sang Ibu segera saja menderu, keringat dingin mulai meleleh di keningnya, tangannya gemetar, dan suaranya menjadi lirih terputus-putus. Yang dapat dia ucapkan hanya mengulang nilai uang yang sudah disebutkan anaknya.

Tanpa bisa memberikan janji muluk-muluk kepada anak-nya, wanita penjual jamu itu beranjak ke tempat tidur untuk beristirahat sejenak. Akan tetapi, alih-alih dapat tidur dengan nyenyak, semakin dia mencoba memejamkan mata, semakin gelisah pula dia dibuatnya.

Ketika matanya rapat menutup, silih berganti bayangan yang menakutkan dan lintasan kejadian pada masa depan yang suram tergambar di benaknya bak sebuah film horor yang terus-menerus menghantui.

Dia pun berusaha menenangkan diri dengan membetulkan posisi tubuhnya dan berkali-kali dia menarik napas dalam dan mengembuskannya panjang-panjang. Sedikit demi sedikit otak-nya mulai dapat diajak berpikir.

Malangnya, setiap kali otaknya mengalkulasi, setiap kali itu pula dia merasa kepalanya dibenturkan ke sebuah dinding baja. Dengan segala macam tunggakan, utang di warung sebelah, bahan baku jamu yang belum terbayar semuanya, ketercukupan kebutuhan pangan hanya untuk sehari saja, dan beban harus membayar uang sekolah anaknya seolah melengkapi seluruh penderitaannya.

Hampir semalaman, dia takdapat memicingkan matanya, kasur yang tipis terasa semakin tipis. Kamar yang pengap kini terasa semakin membekap. Memang, dunia tak pernah memberikan ampun kepada mereka-mereka yang kalah.

Sepertiga malam yang penghujung pun terlalui. Rasa letih pun pada akhirnya mengalahkan semuanya. Setelah gelombang kekalutannya beranjak surut, akhirnya dia sampai pada sebuah kesadaran bahwa kepasrahan adalah satu-satunya jalan untuk meringankan beban perasaan.

Apa sih, yang bisa dilakukan seorang wanita lemah semacam dirinya. Dia tidak punya apa-apa selain keinginan untuk keluar dari permasalahan tersebut. Dia pun sadar, hanya Allahlah satu-satunya yang dapat menolong. Ketika jajan sudah buntu, ke kiri jurang ke kanan jurang, tidak ada lagi yang bisa dimintai pertolongan selain Zat yang mengatur segalanya.

Pada saat tetesan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya, dia bergumam lirih, "Duh Gusti, hamba minta tolong dari segala kesulitan ini. Tidak ada yang bisa menjadi tempat bergantung selain pada-Mu."

Dibelainya kepala sang Anak yang tertidur di sampingnya perlahan. Damai terasa menyergap bersama dinginnya malam yang gelap. Dalam lelah, si Ibu tertidur setengah bertelekan di tepian ranjang kayu. Tidur yang teramat singkat, tiga puluh menit saja mungkin lamanya.

Ketika azan shubuh dari mushala sebelah berkumandang, sang Ibu merasa lebih segar. Pukul enam pagi, dia sudah berkemas dan siap untuk memulai berjualan dengan berjalan kaki. Telombong segera dipondong, botol-botol yang semula kosong kini telah kembali tampil kinclong.

Dia telah membulatkan tekad untuk menawarkan sebuah opsi kepada seorang pelanggan setianya. Dia akan mengajukan sebuah proposal, suplai jamu terusan dengan setengah pembayaran di muka, tentu saja untuk membayar uang sekolah anaknya.

Singkat kata, dengan tutur kata yang halus, disampaikanlah maksudnya. Sayang, rencana manusia terkadang berjalan takseirama dengan orkestrasi semula. Maksudnya itu dipahami, tetapi sang pelanggan tidak dapat membantunya. Lunglailah badan si Ibu penjual jamu itu.

Tak bersemangat lagi dia untuk menghadapi hari itu yang baginya terasa semakin mirip dengan neraka dunia. Rasa putus asa itu memang menghancurkan. Dia mengubah warna dari semula yang bak bianglala menjadi hegemoni tunggal hitam belaka.

Namun, dengan sisa tenaga yang ada, dia terus mencoba, dan akhirnya pada rumah kelima, proposalnya diterima. Tepat pukul dua, dia sudah duduk di depan meja petugas tata usaha sekolah anaknya. Enam lembar uang lima puluh ribuan pun berpindah tangan dan segera bertukar dengan selembar kertas kuitansi. Selembar kertas kumal yang baginya tampak seindah Pulau Bali.

Barang siapa hatinya dihadirkan oleh Allah kala berdoa, niscaya doa itu tidak akan ditolak. (Yahya bin Mu'adz Ar Razi)

Sabtu, 16 Juli 2011

Doa Seorang Pemburu

Suatu pagi, seorang laki-laki pergi hendak berburu mencari rezeki yang halal. Namun, sampai hampir malam, ia belum mendapatkan satu pun binatang buruan. la lalu berdoa sepenuh hati, "Ya Allah, anak-anakku menunggu kelaparan di rumah, berilah aku seekor binatang buruan."

Tidak lama setelah doanya selesai ia panjatkan, Allah memberikannya rezeki: jala yang dibawa pemburu itu mengenai seekor ikan yang sangat besar. la pun bersyukur kepada Allah dan pulang ke rumah dengan penuh bahagia.

Di tengah perjalanan pulang, ia bertemu dengan kelompok raja yang hendak berburu juga. Raja heran dan takjub luar biasa begitu melihat ikan sebegitu besar yang dibawa pemburu itu. Lalu, ia menyuruh pengawal untuk mengambil ikan itu secara paksa dari tangan sang Pemburu.

Dibawanya ikan itu pulang dengan bahagia. Ketika sampai di istana, ia keluarkan ikan itu dan bolak-balik sambil tertawa ria, tiba-tiba, ikan itu mengigit jarinya dan mengakibatkan badannya jadi panas dingin sehingga malam itu Raja tidak dapat tidur.

Dihadirkanlah seluruh dokter untuk mengobati sakitnya. Semua dokter menyarankan agar jarinya itu dipotong untuk rnenghindari tersebarnya racun ke anggota badan lainnya. Raja pun menyetujui nasihat mereka. Namun, setelah jarinya dipotong, ia tetap tidak dapat istirahat karena ternyata racun itu telah menyebar ke bagian tubuh lainnya.

Para dokter pun menyarankan agar pergelangan tangan raja dipotong dan Raja pun menyetujuinya. Namun, setelah pergelangan tangannya dipotong, tetap saja Raja tidak dapat memejamkan matanya, bahkan rasa sakitnya makin bertambah. la berteriak dan meringis dengan keras karena racun itu telah merasuk dan menyebar ke anggota tubuh lainnya.

Seluruh dokter akhirnya menyarankan agar tangan Raja sampai siku dipotong, Raja pun menyetujuinya. Setelah lengannya dipotong, sakit jasmaninya kini telah hilang, tetapi diri dan jiwanya tetap belum tenang. Semua dokter akhirnya menyarankan, agar Raja dibawa ke seorang dokter jiwa (ahli hikmah).

Dibawalah sang Raja menemui seorang dokter jiwa dan diceritakan seluruh kejadian seputar ikan yang ia rebut dari pemburu itu.

Mendengar itu, ahli hikmah berkata, "Jiwa Tuan tetap tidak akan tenang selamanya sampai pemburu itu memaafkan dosa dan kesalahan yang telah Tuan perbuat."
Dicarinya pemburu itu dan setelah didapatkan, Raja menceritakan kejadian yang dialaminya dan ia memohon agar si Pemburu itu memaafkan semua kesalahannya. Si Pemburu pun memaafkannya dan keduanya saling berjabat tangan.

Sang Raja penasaran ingin mengetahui apa yang dikatakan si Pemburu ketika Raja mengambil paksa ikannya. la bertanya, "Wahai pemburu, apa yang kaukatakan ketika prajuritku merampas ikanmu itu?"

Pemburu itu menjawab, "Tidak ada kecuali aku hanya mengatakan, 'Ya Allah, sesungguhnya dia telah menampakkan kekuatannya kepadaku, perlihatkanlah kekuatan-Mu kepadanya!"'

Sungguh, doa orang teraniaya sangat mustajab maka berhati-hatilah dalam bertindak.

Jika ada yang mengancammu dengan kebinasaan, jawablah ancamannya dengan nasihat dan doa. (Ja'far Ash Shadiq)

Pelajaran dari Ibrahim

Nabi Ibrahim Khalilullah pernah memanjatkan doa di tempat penggembalaan ternaknya di sebuah bukit di Baitul Maqdis. Lalu, dia bertemu dengan seorang laki-laki ahli ibadah. Kemudian, terjadilah dialog di antara keduanya.

Ibrahim bertanya, "Hari apakah yang paling mulia?"

Ahli ibadah itu menjawab, "Hari pembalasan, ketika manusia dibalas, antara yang satu dan sebagian yang lain."

"Apakah engkau bisa mengangkat tanganmu untuk berdoa, sedangkan aku sendiri juga mengangkat tangan mengaminkan doamu agar kita dihindarkan dari kesengsaraan hari itu?" ungkap Ibrahim.

"Janganlah engkau mengharapkan doaku. Demi Allah, aku pernah berdoa sejak tiga puluh tahun silam, tetapi sampai sekarang doaku belum dikabulkan," jawabnya.

"Apakah engkau mau kuberitahu tentang sesuatu yang mengekang doamu?"

"Ahli ibadah itu menjawab, "Ya."

"Sesungguhnya jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya Dia akan menahan doanya agar dia selalu bermunajat, mengiba, dan memohon kepada-Nya. Sementara, jika Dia marah kepada seorang hamba, niscaya Dia akan cepat mengabulkan doanya atau menghunjamkan keputusasaan di dalam hatinya."

Jika doa seorang hamba selalu dikabulkan setiap kali dia meminta, ketahuilah dia bukanlah hamba lagi. Dia diperintahkan berdoa karena dia seorang hamba dan Allah melakukan apa saja yang Dia kehendaki. (Al Syaikh Al Baha'i)

Tempe Setengah Jadi

Abah dan Emak tinggal di sebuah desa yang cukup terpencil. Setiap hari, mereka bekerja membuat tempe untuk kemudian Abah menjualnya ke pasar. Jualan tempe merupakan satu-satunya sumber pendapatan mereka untuk bertahan hidup.

Pada satu pagi, Abah jatuh sakit, Emak pun mengambil alih tugas menjual tempe. Saat tengah bersiap-siap untuk pergi ke pasar menjual tempenya, tiba-tiba Emak sadar bahwa tempe buatannya hari itu masih belum matang, masih separah jadi.

Emak merasa sangat sedih karena tempe yang masih muda dan belum matang pastinya tidak akan laku. Itu artinya, untuk hari itu, mereka tidak akan mendapatkan pemasukan. Ketika Emak dalam kesedihan, tiba-tiba Abah mengingatkan Emak bahwa Allah Swt mampu melakukan perkara-perkara ajaib karena tiada yang mustahil bagi-Nya.

Emak pun mengangkat kedua tangannya sambil berdoa, "Ya Allah, aku mohon kepada-Mu agar kacang kedelai ini menjadi tempe, amin." Begitulah doa ringkas yang dipanjatkan dengan sepenuh hatinya. Emak sangat yakin Allah pasti mengabulkan doanya.

Dengan tenang, Emak pun menekan-nekan bungkusan bakal tempe dengan ujung jarinya. Emak pun membuka sedikit bungkusan itu untuk menyaksikan keajaiban kacang kedelai itu menjadi tempe. Emak termenung seketika sebab kacang itu masih tetap kacang kedelai yang belum matang benar.

Namun, Emak tidak putus asa. Dia berpikir mungkin doanya kurang jelas didengar oleh Allah. Emak pun mengangkat kedua tangannya kembali dan berdoa lagi, "Ya Allah, aku tahu bahwa tiada yang mustahil bagi-Mu. Bantulah aku supaya hari ini aku dapat menjual tempe karena inilah mata pencarian kami. Aku mohon, jadikanlah kacang kedelaiku ini menjadi tempe, amin."

Dengan penuh harapan, Emak pun sekali lagi membuka sedikit bungkusan itu. Apakah yang terjadi? Emak menjadi heran sebab kacang-kacang kedelai itu ... masih tetap seperti semula!

Hari pun semakin siang. Artinya, pasar pun sudah ramai didatangi pembeli. Emak tetap tidak kecewa atas doanya yang belum terkabul. Berbekal keyakinan yang sangat tinggi, Emak memaksakan diri untuk tetap pergi ke pasar membawa barang jualannya itu. Emak berpikir, mungkin keajaiban Allah akan terjadi dalam perjalanannya ke pasar.

Dia pun berangkat ke pasar. Semua perlengkapan untuk menjual tempe, seperti biasa, dibawa bersama. Sebelum keluar dari rumah, Emak sempat mengangkat kedua tangannya untuk berdoa, "Ya Allah, aku percaya, Engkau akan mengabulkan doaku. Sementara, aku berjalan menuju ke pasar, karuniakanlah keajaiban ini buatku, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe, amin." Dengan penuh keyakinan, wanita tua ini pun berangkat. Di sepanjang perjalanan, dia tetap tidak lupa membaca doa di dalam hatinya.

Sesampai di pasar, cepat-cepat, Emak meletakkan barang-barangnya. Emak betul-betul yakin kalau tempenya sekarang sudah benar-benar matang dan siap untuk dijual. Dengan hati yang berdebar-debar, Emak pun membuka bakulnya dan menekan-nekan dengan jarinya setiap bungkusan yang ada. Perlahan-lahan, Emak membuka sedikit daun pembungkusnya dan melihat isinya. Apa yang terjadi? Tempenya benar-benar tidak berubah, masih seperti semula!

Emak menarik napas dalam-dalam. Harapan dikabulkan-nya doa perlahan menipis. Emak merasa Allah tidak adil. Allah tidak kasihan kepadanya. Inilah satu-satunya sumber penghasilannya: berjualan tempe.

Dia pun hanya duduk saja tanpa membuka barang dagangannya itu sebab dia yakin bahwa tiada orang yang akan membeli tempe yang baru setengah jadi. Hari pun beranjak petang dan pasar sudah mulai sepi, para pembeli sudah mulai berkurang.

Emak melihat para penjual tempe lainnya, jualan mereka sudah hampir habis. Emak tertunduk lesu seperti tidak sanggup menghadapi kenyataan bahwa dia pulang tanpa membawa hasil jualannya hari itu.

Namun, jauh di sudut hatinya, Emak masih menaruh harapan terakhir kepada Allah, pasti Allah akan menolongnya. Walau tahu bahwa hari itu dia tidak akan mendapatkan pendapatan langsung, tetapi Emak berdoa untuk terakhir kali "Ya Allah, berikanlah penyelesaian terbaik terhadap tempeku yang belum jadi ini."

Tiba-tiba, Emak dikejutkan oleh teguran seorang wanita. "Bu ...! Maaf ya, saya ingin bertanya, apakah Ibu menjual tempe yang belum jadi? Dari tadi, saya sudah pusing berkeliling pasar ini untuk mencarinya, tapi tidak ketemu juga."

Emak langsung termenung, seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya. Betapa tidak terkejut, sejak sepuluh tahun dia menjual tempe, tidak pernah ada seorang pun pelanggan yang mencari tempe belum jadi.

Sebelum Emak menjawab sapaan wanita di depannya itu, cepat-cepat Emak berdoa di dalam hatinya "Ya Allah, saat ini aku tidak mau tempe ini menjadi matang. Biarlah kacang kedelai ini tetap seperti semula, amin."

Sebelum menjawab wanita itu, Emak pun membuka sedikit daun penutupnya. Alangkah senangnya hati Emak, ternyata memang benar, tempenya masih seperti semula! Hati Emak pun bersorak gembira. "Alhamdulillah," ucapnya.

Wanita itu pun memborong semua tempenya yang belum jadi itu. Sebelum wanita itu pergi, Emak sempat bertanya mengapa dia membeli tempe yang belum jadi. Wanita itu menerangkan bahwa anaknya yang tengah sekolah di Inggris ingin makan tempe dari desa.

Karena tempe itu akan dikirimkan ke tempat anaknya itu, si Ibu pun membeli tempe yang belum jadi. Harapannya, apabila sampai di Eropa nanti, akan menjadi tempe yang sempurna. Kalau dikirimkan tempe yang sudah jadi, sesampainya di sana, tempe itu sudah tidak enak lagi dimakan.

Demi Allah, tiada seorang pun yang berbaik sangka kepada Allah, melainkan pasti akan memberikan kepadanya apa yang dia sangkakan. Sebab, semua kebaikan itu ada dalam genggaman Allah.

Maka apabila Allah sudah memberi husnuzan-Nya, berarti Allah akan memberi apa yang disangkakannya itu. (Abdullah bin Mas'ud)