Di zaman itu, kaum Nabi Daud a.s. sering menghadapi peperangan. Mereka menggunakan baju besi yang berat sehingga tidak mampu bergerak dengan leluasa.Kemudian turunlah perintah Allah SWT agar Daud a.s. membuat baju perang dari besi sebagaimana firman-Nya:
"... dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Saba' [34]: 10-11)
Banyak yang berpendapat mengenai penafsiran ayat "dan kami tetah melunakkan besi untuknya" tersebut. Pendapat yang paling banyak diterima adalah Daud a.s. telah menemukan cara untuk melunakkan besi dengan cara meleburnya dengan api sehingga besi yang keras dapat dibentuk sesuai dengan keinginannya.
Kecerdasan Daud a.s. pun terbukti dari baju perang besi hasil buatannya yang terdiri atas bulatan-bulatan besi sehingga pemakainya dapat bergerak bebas sekaligus terlindungi dari pedang, kapak, dan belati musuh.
Baju besinya adalah karya terbaik dari baju besi yang ada saat itu. Sedangkan, baju perang musuh, selain berat, tidak bisa bergerak bebas, juga masih bisa ditembus oleh pedang musuh.
Semenjak para prajurit Daud a.s menggunakan baju besi buatan Daud a.s, mereka selalu memenangkan peperangan, tentunya atas pertolongan Allah SWT juga.
Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi
Tampilkan postingan dengan label Kecerdasan para nabiyullah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kecerdasan para nabiyullah. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 27 Februari 2010
Nabi Daud a.s Meredakan Amarah Raja
Kemenangan demi kemenangan yang diraih Daud a.s. membuatnya menjadi terkenal di mata masyarakat saat itu. Ditambah sifatnya yang lembut dan pengasih kepada setiap orang, membuat seluruh penghuni bumi mencintainya.
Hal ini membuat raja cemburu kepadanya. Kecemburuannya sudah melampaui batas sehingga ia menyiapkan pasukan untuk memerangi Daud a.s. Sudah bisa dipastikan akan terjadi banyak korban untuk melampiaskan amarah raja kepadanya.
Mengetahui hal itu, Daud a.s. tidak ingin konflik antara dirinya dan raja makin memanas, apalagi harus mengerahkan pasukan untuk membunuhnya. Kemudian ia mendatangi raja yang sedang terlelap.
Dengan mudahnya ia mengambil pedang raja dan menyobek pakaian raja dengan pedang tersebut. Kemudian ia membangunkan raja. Alangkah terkejutnya sang raja ketika mendapati Daud a.s. telah berdiri di depannya dengan pedang terhunus.
Tubuhnya gemetar seketika membayangkan nyawanya akan melayang ditebas oleh pedangnya sendiri. Daud a.s. pun menenangkannya seraya berkata, "Paduka Raja, Tuan berencana untuk membunuhku. Meskipun demikian, aku tidak membenci Tuan, apalagi hendak membunuh Tuan. Kalau aku mau, aku sudah membunuh Tuan saat tidur tadi. Inilah potongan baju Tuan yang aku sobek dengan pedang Tuan," kata Daud sambil menunjukkan potongan baju raja.
Raja terperangah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia dalam keadaan tak berdaya. Daud a.s. pun melanjutkan, "Sebenarnya aku pun bisa memotong leher Tuan dengan mudah. Namun, aku tidak melakukan hal itu. Aku sama sekali tidak ingin menyakiti orang lain. Ajaran yang kubawa adalah ajaran cinta dan kasih sayang, bukan ajaran kebencian."
Rasa haru raja membuncah ketika mengetahui tidak ada dendam secuil pun dari Daud a.s. Padahal, raja sedang merencanakan pembunuhan terhadap dirinya. Raja segera meminta maaf atas kekhilafannya. Dengan rendah hati, Daud a.s. memaafkannya, lalu melenggang keluar meninggalkan sang raja dengan penuh ketenangan.
Hal ini membuat raja cemburu kepadanya. Kecemburuannya sudah melampaui batas sehingga ia menyiapkan pasukan untuk memerangi Daud a.s. Sudah bisa dipastikan akan terjadi banyak korban untuk melampiaskan amarah raja kepadanya.
Mengetahui hal itu, Daud a.s. tidak ingin konflik antara dirinya dan raja makin memanas, apalagi harus mengerahkan pasukan untuk membunuhnya. Kemudian ia mendatangi raja yang sedang terlelap.
Dengan mudahnya ia mengambil pedang raja dan menyobek pakaian raja dengan pedang tersebut. Kemudian ia membangunkan raja. Alangkah terkejutnya sang raja ketika mendapati Daud a.s. telah berdiri di depannya dengan pedang terhunus.
Tubuhnya gemetar seketika membayangkan nyawanya akan melayang ditebas oleh pedangnya sendiri. Daud a.s. pun menenangkannya seraya berkata, "Paduka Raja, Tuan berencana untuk membunuhku. Meskipun demikian, aku tidak membenci Tuan, apalagi hendak membunuh Tuan. Kalau aku mau, aku sudah membunuh Tuan saat tidur tadi. Inilah potongan baju Tuan yang aku sobek dengan pedang Tuan," kata Daud sambil menunjukkan potongan baju raja.
Raja terperangah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia dalam keadaan tak berdaya. Daud a.s. pun melanjutkan, "Sebenarnya aku pun bisa memotong leher Tuan dengan mudah. Namun, aku tidak melakukan hal itu. Aku sama sekali tidak ingin menyakiti orang lain. Ajaran yang kubawa adalah ajaran cinta dan kasih sayang, bukan ajaran kebencian."
Rasa haru raja membuncah ketika mengetahui tidak ada dendam secuil pun dari Daud a.s. Padahal, raja sedang merencanakan pembunuhan terhadap dirinya. Raja segera meminta maaf atas kekhilafannya. Dengan rendah hati, Daud a.s. memaafkannya, lalu melenggang keluar meninggalkan sang raja dengan penuh ketenangan.
Kebijaksanaan Daud a.s dan Putranya
Daud a.s. dikaruniai kerajaan yang besar dan disegani oleh musuh-musuhnya. Tidak ada yang berani melawan kerajaannya sehingga peperangan pun hampir tidak pernah terjadi. Kerajaan Daud a.s. menjadi kerajaan adidaya saat itu.
la pun dikaruniai seorang anak yang kelak akan menjadi nabi pula, yaitu Sulaiman. Putra Daud a.s tersebut tumbuh menjadi anak yang cerdas dan pandai. Pada usianya yang kesebelas, ia telah membantu ayahnya untuk memutuskan perkara rakyatnya, sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur'an.
"Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan keputusan mengenai ladang karena (ladang itu) dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oieh mereka itu. Dan Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu, dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya." (QS Al-Anbiya' [21]: 78-79)
Ibnu Abbas r.a mengisahkan bahwa suatu ketika Nabi Daud a.s didatangi oleh seorang lelaki pemilik kebun bersama seorang lelaki lain untuk mengadu.
la bercerita, "Tuanku, kambing lelaki ini telah merusak kebun hamba di malam hari dan memakan semua buah anggur yang ada di dalamnya. Hamba datang kepada Tuanku untuk meminta ganti rugi kepada orang ini."
Daud a.s bertanya kepada pemilik kambing, "Apakah benar kambing-kambingmu telah memakan tanaman yang ada di kebun orang itu?"
"Benar, Tuanku," jawabnya.
Mengetahui perkaranya, Daud a.s. kemudian memutuskan agar si pemilik kambing menyerahkan seluruh kambingnya kepada pemilik kebun sebagai ganti rugi atas tanaman yang telah dimakan ternak-ternaknya.
Sulaiman yang saat itu sedang bersama ayahnya ikut memberi pendapat, "Saya memiliki pendapat lain, Ayah."
"Silakan," ujar ayahnya.
"Aku berpendapat bagaimana jika pemilik kambing ini mengurus kebun orang ini untuk memperbaiki dan menanaminya kembali dengan pepohonan anggur sampai tumbuh seperti sediakala. Sementara itu, pemilik kebun ini dapat memanfaatkan kambing-kambing orang ini dengan mengambil bulunya dan memerah susunya. Kelak jika kebun orang ini telah pulih seperti sebelumnya, si pemilik kambing boleh mengambil kembali kambing-kambingnya dari pemilik kebun sekaligus pemilik kebun tersebut dapat memperoleh kebunnya kembali seperti sediakala."
Daud a.s mengangguk tanda setuju seraya berkata, "Ini adalah keputusan yang sangat bijak, Sulaiman. Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kebijaksanaan ini kepadamu. Engkau benar-benar Sulaiman yang bijaksana."
la pun dikaruniai seorang anak yang kelak akan menjadi nabi pula, yaitu Sulaiman. Putra Daud a.s tersebut tumbuh menjadi anak yang cerdas dan pandai. Pada usianya yang kesebelas, ia telah membantu ayahnya untuk memutuskan perkara rakyatnya, sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur'an.
"Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan keputusan mengenai ladang karena (ladang itu) dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oieh mereka itu. Dan Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu, dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya." (QS Al-Anbiya' [21]: 78-79)
Ibnu Abbas r.a mengisahkan bahwa suatu ketika Nabi Daud a.s didatangi oleh seorang lelaki pemilik kebun bersama seorang lelaki lain untuk mengadu.
la bercerita, "Tuanku, kambing lelaki ini telah merusak kebun hamba di malam hari dan memakan semua buah anggur yang ada di dalamnya. Hamba datang kepada Tuanku untuk meminta ganti rugi kepada orang ini."
Daud a.s bertanya kepada pemilik kambing, "Apakah benar kambing-kambingmu telah memakan tanaman yang ada di kebun orang itu?"
"Benar, Tuanku," jawabnya.
Mengetahui perkaranya, Daud a.s. kemudian memutuskan agar si pemilik kambing menyerahkan seluruh kambingnya kepada pemilik kebun sebagai ganti rugi atas tanaman yang telah dimakan ternak-ternaknya.
Sulaiman yang saat itu sedang bersama ayahnya ikut memberi pendapat, "Saya memiliki pendapat lain, Ayah."
"Silakan," ujar ayahnya.
"Aku berpendapat bagaimana jika pemilik kambing ini mengurus kebun orang ini untuk memperbaiki dan menanaminya kembali dengan pepohonan anggur sampai tumbuh seperti sediakala. Sementara itu, pemilik kebun ini dapat memanfaatkan kambing-kambing orang ini dengan mengambil bulunya dan memerah susunya. Kelak jika kebun orang ini telah pulih seperti sebelumnya, si pemilik kambing boleh mengambil kembali kambing-kambingnya dari pemilik kebun sekaligus pemilik kebun tersebut dapat memperoleh kebunnya kembali seperti sediakala."
Daud a.s mengangguk tanda setuju seraya berkata, "Ini adalah keputusan yang sangat bijak, Sulaiman. Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kebijaksanaan ini kepadamu. Engkau benar-benar Sulaiman yang bijaksana."
Kisah Wanita yang Dizalimi
Ibnu Katsir r.a dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Hafidz Ibnu Asakir menceritakan kisah Sulaiman bin Daud a.s. dari Ibnu Abbas r.a. sebagai berikut.
Ada seorang wanita cantik pada masa Bani Israel. Dia dirayu oleh empat orang pemuka di kalangan mereka untuk berbuat hal yang dilaknat Allah, tetapi wanita itu menolak mereka semua. Karena kesal, mereka sepakat untuk membuat kesaksian palsu atas wanita tersebut agar ia dihukum.
Selanjutnya, mereka bersaksi di hadapan Daud a.s. bahwa wanita itu telah berbuat hal yang tidak terpuji dengan anjingnya. Daud a.s pun memerintahkan agar wanita itu dirajam.
Sore hari itu, Sulaiman a.s memikirkan perkara kasus tersebut. la duduk dikelilingi para pembantunya. Kemudian dia menyuruh empat orang pembantunya berakting seperti empat orang lelaki pelapor dan seorang lagi berperan sebagai wanita yang tertuduh.
Sedangkan, Sulaiman a.s duduk sebagai hakim. Para pembantunya pun mendramatisasi empat orang yang bersaksi atas wanita bahwa dia telah berbuat mesum dengan anjingnya.
Sulaiman a.s memutar otaknya untuk mencari jalan penyelesaian perkara itu. Akhirnya, terbesitlah ide cemerlang dan menyuruh pembantunya yang berperan sebagai empat orang saksi untuk menghadapnya satu per satu tanpa diketahui tiga orang lainnya.
Sulaiman a.s bertanya kepada yang pertama, "Apa warna anjing itu?"
Dia menjawab, "Hitam."
Maka dia dipinggirkan. Sulaiman a.s. memanggil orang kedua dan menanyakan kepadanya warna anjing itu dan ia menjawab, "Merah."
Yang ketiga mengatakan, "Kelabu."
Dan yang keempat mengatakan, "Putih."
Akhirnya, Sulaiman a.s. menemukan cara untuk membuktikan kesaksian palsu keempat orang pelapor tersebut. Saat itu ia memutuskan hukuman yang pantas bagi mereka adalah hukuman mati.
Hal ini diceritakan Sulaiman a.s kepada ayahnya, Daud a.s Kemudian dipanggillah empat orang yang bersaksi atas wanita tersebut. Daud a.s. bertanya kepada mereka secara terpisah tentang warna anjing itu. Seperti yang diduga sebelumnya, mereka memberi keterangan yang berbeda-beda tentang anjing yang mereka maksud.
Sudah dipastikan mereka hanya mengarang dan memberi kesaksian palsu. Akhirnya, Daud a.s. memutuskan bahwa empat lelaki itulah yang bersalah dan memerintahkan agar mereka dihukum mati.
Ada seorang wanita cantik pada masa Bani Israel. Dia dirayu oleh empat orang pemuka di kalangan mereka untuk berbuat hal yang dilaknat Allah, tetapi wanita itu menolak mereka semua. Karena kesal, mereka sepakat untuk membuat kesaksian palsu atas wanita tersebut agar ia dihukum.
Selanjutnya, mereka bersaksi di hadapan Daud a.s. bahwa wanita itu telah berbuat hal yang tidak terpuji dengan anjingnya. Daud a.s pun memerintahkan agar wanita itu dirajam.
Sore hari itu, Sulaiman a.s memikirkan perkara kasus tersebut. la duduk dikelilingi para pembantunya. Kemudian dia menyuruh empat orang pembantunya berakting seperti empat orang lelaki pelapor dan seorang lagi berperan sebagai wanita yang tertuduh.
Sedangkan, Sulaiman a.s duduk sebagai hakim. Para pembantunya pun mendramatisasi empat orang yang bersaksi atas wanita bahwa dia telah berbuat mesum dengan anjingnya.
Sulaiman a.s memutar otaknya untuk mencari jalan penyelesaian perkara itu. Akhirnya, terbesitlah ide cemerlang dan menyuruh pembantunya yang berperan sebagai empat orang saksi untuk menghadapnya satu per satu tanpa diketahui tiga orang lainnya.
Sulaiman a.s bertanya kepada yang pertama, "Apa warna anjing itu?"
Dia menjawab, "Hitam."
Maka dia dipinggirkan. Sulaiman a.s. memanggil orang kedua dan menanyakan kepadanya warna anjing itu dan ia menjawab, "Merah."
Yang ketiga mengatakan, "Kelabu."
Dan yang keempat mengatakan, "Putih."
Akhirnya, Sulaiman a.s. menemukan cara untuk membuktikan kesaksian palsu keempat orang pelapor tersebut. Saat itu ia memutuskan hukuman yang pantas bagi mereka adalah hukuman mati.
Hal ini diceritakan Sulaiman a.s kepada ayahnya, Daud a.s Kemudian dipanggillah empat orang yang bersaksi atas wanita tersebut. Daud a.s. bertanya kepada mereka secara terpisah tentang warna anjing itu. Seperti yang diduga sebelumnya, mereka memberi keterangan yang berbeda-beda tentang anjing yang mereka maksud.
Sudah dipastikan mereka hanya mengarang dan memberi kesaksian palsu. Akhirnya, Daud a.s. memutuskan bahwa empat lelaki itulah yang bersalah dan memerintahkan agar mereka dihukum mati.
Ibu Kandung Sebenarnya
Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw mengisahkan sebagai berikut:
Alkisah, dua orang wanita pergi bersama-sama dengan membawa bayi mereka. Di tengah perjalanan, seekor serigala menerkam salah satu dari kedua bayi tersebut. Lalu, keduanya berseteru memperebutkan bayi yang selamat dan sama-sama mengaku sebagai ibunya yang asli.
Karena tidak ada yang mau mengalah, keduanya pun pergi menemui Nabi' Daud a.s. untuk menengahi perselisihan mereka. Akhirnya, Daud a.s memutuskan dengan alasan-alasan yang diperolehnya bahwa ibu yang asli dari si bayi tersebut adalah yang paling tua dari kedua wanita tersebut.
Dalam perjalanan pulang, kedua ibu tersebut bertemu dengan Nabi Sulaiman a.s. Wanita yang lebih muda tadi tidak terima dengan keputusan Nabi Daud a.s., ia pun mengadu kepada Nabi Sulaiman a.s.
Setelah mendengar cerita mereka berdua, Sulaiman a.s. menemukan cara untuk mengetahui siapa ibu kandung yang asli di antara mereka. la pun berpura-pura meminta sebilah pisau seraya berkata, "Berikan kepadaku sebilah pisau untuk memotong tubuh bayi itu menjadi dua bagian, masing-masing dari kalian akan mendapat separuh badan bayi ini," tegas Sulaiman a.s. kepada kedua ibu tersebut.
Wanita yang lebih tua segera mendukungnya, "Ya, belahlah dia!"
Sedangkan, wanita yang lebih muda lantas bersujud memohon, "Jangan! Jangan kau lakukan itu! Semoga Allah merahmatimu. Lebih baik serahkan saja bayi itu kepadanya!"
Melihat reaksi kedua wanita itu, Nabi Sulaiman a.s. sudah bisa memastikan bahwa wanita yang lebih muda adalah ibu kandung bayi tersebut. Alasannya jelas, seorang ibu tidak akan tega melihat anaknya sendiri terluka apalagi jika dibelah.
Ia pasti akan memilih anaknya dibiarkan tetap hidup meskipun menjadi milik orang lain. Demikianlah taktik yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman a.s. sehingga terbukti benar bahwa wanita muda itulah ibu kandung dari bayi mungil tersebut.
Alkisah, dua orang wanita pergi bersama-sama dengan membawa bayi mereka. Di tengah perjalanan, seekor serigala menerkam salah satu dari kedua bayi tersebut. Lalu, keduanya berseteru memperebutkan bayi yang selamat dan sama-sama mengaku sebagai ibunya yang asli.
Karena tidak ada yang mau mengalah, keduanya pun pergi menemui Nabi' Daud a.s. untuk menengahi perselisihan mereka. Akhirnya, Daud a.s memutuskan dengan alasan-alasan yang diperolehnya bahwa ibu yang asli dari si bayi tersebut adalah yang paling tua dari kedua wanita tersebut.
Dalam perjalanan pulang, kedua ibu tersebut bertemu dengan Nabi Sulaiman a.s. Wanita yang lebih muda tadi tidak terima dengan keputusan Nabi Daud a.s., ia pun mengadu kepada Nabi Sulaiman a.s.
Setelah mendengar cerita mereka berdua, Sulaiman a.s. menemukan cara untuk mengetahui siapa ibu kandung yang asli di antara mereka. la pun berpura-pura meminta sebilah pisau seraya berkata, "Berikan kepadaku sebilah pisau untuk memotong tubuh bayi itu menjadi dua bagian, masing-masing dari kalian akan mendapat separuh badan bayi ini," tegas Sulaiman a.s. kepada kedua ibu tersebut.
Wanita yang lebih tua segera mendukungnya, "Ya, belahlah dia!"
Sedangkan, wanita yang lebih muda lantas bersujud memohon, "Jangan! Jangan kau lakukan itu! Semoga Allah merahmatimu. Lebih baik serahkan saja bayi itu kepadanya!"
Melihat reaksi kedua wanita itu, Nabi Sulaiman a.s. sudah bisa memastikan bahwa wanita yang lebih muda adalah ibu kandung bayi tersebut. Alasannya jelas, seorang ibu tidak akan tega melihat anaknya sendiri terluka apalagi jika dibelah.
Ia pasti akan memilih anaknya dibiarkan tetap hidup meskipun menjadi milik orang lain. Demikianlah taktik yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman a.s. sehingga terbukti benar bahwa wanita muda itulah ibu kandung dari bayi mungil tersebut.
Pencuri Angsa
Muhammad bin Ka'ab Al-Qiradhy menceritakan sebuah kisah berikut ini:
Seorang lelaki mengadu kepada Nabi Sulaiman a.s., "Ya, Nabi Allah, seorang tetanggaku telah mencuri angsaku!"
Lalu, Nabi Sulaiman a.s. pun menyeru kepada orang-orang di sana, "Wahai orang-orang sekalian, marilah kita shalat berjemaah!"
Seusai shalat, Nabi Sulaiman a.s. menyampaikah khotbah kepada jemaah.
Di tengah-tengah khotbahnya ia berkata, "Salah seorang di antara kalian telah mencuri angsa tetangganya dan kemudian masuk ke masjid dengan bulu angsa masih menempel di kepalanya!"
Tiba-tiba seorang lelaki mengusap kepalanya untuk menepis bulu angsa yang menempel di kepalanya. Padahal, tidak ada sehelai bulu pun melekat di kepalanya. Melihat gelagat orang tersebut, Nabi Sulaiman a.s. berseru, "Tangkap dia! Dialah pencuri itu!"
Jelaslah bahwa taktik Sulaiman a.s. hanyalah untuk membuktikan siapa pencuri angsa itu sebenarnya. Bagi yang merasa telah mencuri tentu akan terkecoh dengan per-kataan Sulaiman a.s. Otomatis ia akan mengusap kepalanya karena merasa barang buktinya melekat di kepalanya.
Seorang lelaki mengadu kepada Nabi Sulaiman a.s., "Ya, Nabi Allah, seorang tetanggaku telah mencuri angsaku!"
Lalu, Nabi Sulaiman a.s. pun menyeru kepada orang-orang di sana, "Wahai orang-orang sekalian, marilah kita shalat berjemaah!"
Seusai shalat, Nabi Sulaiman a.s. menyampaikah khotbah kepada jemaah.
Di tengah-tengah khotbahnya ia berkata, "Salah seorang di antara kalian telah mencuri angsa tetangganya dan kemudian masuk ke masjid dengan bulu angsa masih menempel di kepalanya!"
Tiba-tiba seorang lelaki mengusap kepalanya untuk menepis bulu angsa yang menempel di kepalanya. Padahal, tidak ada sehelai bulu pun melekat di kepalanya. Melihat gelagat orang tersebut, Nabi Sulaiman a.s. berseru, "Tangkap dia! Dialah pencuri itu!"
Jelaslah bahwa taktik Sulaiman a.s. hanyalah untuk membuktikan siapa pencuri angsa itu sebenarnya. Bagi yang merasa telah mencuri tentu akan terkecoh dengan per-kataan Sulaiman a.s. Otomatis ia akan mengusap kepalanya karena merasa barang buktinya melekat di kepalanya.
Gantilah Pintumu!
Ibnu Abbas r.a. mengisahkan sebuah riwayat sebagai berikut:
Suatu hari Nabi Ibrahim a.s. berkunjung ke rumah putranya, Ismail a.s., yang saat itu telah beranjak dewasa dan telah memiliki seorang istri keturunan suku Jurhum.
Kedatangannya diterima oleh menantunya yang menyatakan bahwa suaminya tidak berada di rumah. Akan tetapi, istri Ismail a.s. belum mengenal Ibrahim a.s. sebagai mertuanya. Ketika ditanya ke mana Ismail a.s. pergi, istrinya menjawab, "Dia pergi mencari nafkah untuk kami."
Kemudian Ibrahim a.s. bertanya kepadanya tentang kehidupan sehari-hari mereka. Wanita itu menjawab, "Kami ini termasuk manusia kurang beruntung." Kemudian menambahkan, "kami selalu berada dalam kesusahan dan kesulitan," adu istrinya kepada Ibrahim a.s.
Setelah mendengar keluh kesah istri putranya, Ibrahim a.s. berpesan, "Jika suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya dan katakan bahwa aku memintanya untuk mengganti pintu rumahnya."
Sekembalinya Ismail a.s. ke rumah, istrinya langsung menceritakan perihal kedatangan tamu tak dikenal tadi. la juga menyampaikan pesan yang dititipkan kepadanya. Lalu, Ismail a.s. berkata, "Lelaki tadi adalah ayahku. Adapun maksud dari pesannya adalah agar aku menceraikanmu. Karena itu kembalilah kamu kepada keluargamu."
Waktu berlalu, Ibrahim a.s. kembali mengunjungi putranya. Sama seperti sebelumnya, Ismail a.s. tidak ada di rumah. la disambut baik oleh menantunya yang baru, wanita Jurhum, putri Mudzadz bin 'Amr yang dinikahi Ismail a.s.
Kemudian Ibrahim a.s. menanyakan tentang kehidupan mereka. Istri Ismail tersebut menceritakan tentang kebaikan suami dan rumah tangganya. Ibrahim a.s. merasa lega karena putranya telah memilih pasangan hidup yang salehah.
Kemudian sebelum pulang ia berpesan kepada menantunya yang salehah, "Sampaikanlah kepada suamimu, sekarang ambang pintu rumahmu telah kuat. Jagalah ia baik-baik." Ibrahim a.s. pun beranjak pergi dari kediaman putranya.
Ketika Ismail a.s. pulang ke rumah, ia disambut oleh sang istri dengan baik, kemudian bercerita tentang kedatangan lelaki tua tidak dikenal dan menyampaikan pesan darinya. la pun menanyakan maksud dari pesan tersebut.
Ismail a.s. pun menjelaskan, "Beliau adalah ayahku. Adapun yang beliau maksud sebagai ambang pintu rumah yang sudah kuat adalah dirimu. Aku telah benar memilih istri yang salehah dan aku disuruh untuk menjagamu."
Suatu hari Nabi Ibrahim a.s. berkunjung ke rumah putranya, Ismail a.s., yang saat itu telah beranjak dewasa dan telah memiliki seorang istri keturunan suku Jurhum.
Kedatangannya diterima oleh menantunya yang menyatakan bahwa suaminya tidak berada di rumah. Akan tetapi, istri Ismail a.s. belum mengenal Ibrahim a.s. sebagai mertuanya. Ketika ditanya ke mana Ismail a.s. pergi, istrinya menjawab, "Dia pergi mencari nafkah untuk kami."
Kemudian Ibrahim a.s. bertanya kepadanya tentang kehidupan sehari-hari mereka. Wanita itu menjawab, "Kami ini termasuk manusia kurang beruntung." Kemudian menambahkan, "kami selalu berada dalam kesusahan dan kesulitan," adu istrinya kepada Ibrahim a.s.
Setelah mendengar keluh kesah istri putranya, Ibrahim a.s. berpesan, "Jika suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya dan katakan bahwa aku memintanya untuk mengganti pintu rumahnya."
Sekembalinya Ismail a.s. ke rumah, istrinya langsung menceritakan perihal kedatangan tamu tak dikenal tadi. la juga menyampaikan pesan yang dititipkan kepadanya. Lalu, Ismail a.s. berkata, "Lelaki tadi adalah ayahku. Adapun maksud dari pesannya adalah agar aku menceraikanmu. Karena itu kembalilah kamu kepada keluargamu."
Waktu berlalu, Ibrahim a.s. kembali mengunjungi putranya. Sama seperti sebelumnya, Ismail a.s. tidak ada di rumah. la disambut baik oleh menantunya yang baru, wanita Jurhum, putri Mudzadz bin 'Amr yang dinikahi Ismail a.s.
Kemudian Ibrahim a.s. menanyakan tentang kehidupan mereka. Istri Ismail tersebut menceritakan tentang kebaikan suami dan rumah tangganya. Ibrahim a.s. merasa lega karena putranya telah memilih pasangan hidup yang salehah.
Kemudian sebelum pulang ia berpesan kepada menantunya yang salehah, "Sampaikanlah kepada suamimu, sekarang ambang pintu rumahmu telah kuat. Jagalah ia baik-baik." Ibrahim a.s. pun beranjak pergi dari kediaman putranya.
Ketika Ismail a.s. pulang ke rumah, ia disambut oleh sang istri dengan baik, kemudian bercerita tentang kedatangan lelaki tua tidak dikenal dan menyampaikan pesan darinya. la pun menanyakan maksud dari pesan tersebut.
Ismail a.s. pun menjelaskan, "Beliau adalah ayahku. Adapun yang beliau maksud sebagai ambang pintu rumah yang sudah kuat adalah dirimu. Aku telah benar memilih istri yang salehah dan aku disuruh untuk menjagamu."
Kecerdasan Nabi Ibrahim a.s
Ibrahim a.s. adalah anak yang sangat cerdas. Kecerdasannya ini telah tampak ketika usianya masih kanak-kanak. Allah SWT menganugerahkan akal yang senantiasa berpikir dan kebijaksanaan dalam kalbunya.
Ayahnya yang bernama Azar adalah seorang pembuat patung untuk dijadikan sesembahan. Ada pula yang mengatakan bahwa Azar adalah pamannya yang telah dianggap sebagai ayahnya sendiri.
Konon, Azar adalah nama berhala yang paling terkenal di antara berhala-berhala lain buatannya. Profesi ayahnya sebagai pemahat patung sesembahan mengangkat keluarganya menjadi keluarga terpandang dan terhormat di mata masyarakat saat itu. Dari iklim kesyirikan inilah Ibrahim mungil dilahirkan.
Meskipun demikian, Allah SWT tetap melindungi fitrah dan kesucian akal serta kalbu Ibrahim kecil. Hingga suatu hari, Ibrahim kecil bermain dengan patung-patung buatan ayahnya dengan menaikinya seperti sedang bermain kuda-kudaan.
Alangkah terkejut ayahnya ketika memergoki putranya bermain dengan "tuhan-tuhan" yang diagungkan oleh kaumnya. la pun marah besar dan melarang Ibrahim kecil memainkan patung-patungnya. Dengan penuh kepolosan, Ibrahim kecil bertanya, "Patung apa ini, Ayah? Kedua telinganya sangat besar, lebih besar daripada telinga kita."
Ayahnya menjawab, "la adalah pemimpin dari beberapa tuhan yang ada, Nak. Dua telinga yang besar ini sebagai simbol atas pengetahuannya yang sangat dalam."
Namun, di balik kepolosannya, ia telah menyadari bahwa penjelasan ayahnya adalah kekonyolan belaka. la pun bersusah payah menahan tawa, padahal saat itu ia baru berumur tujuh tahun.
Dikisahkan dalam kitab Injil Barnabas, bagaimana Ibrahim kecil mematahkan argumentasi ayahnya tentang ketuhanan berhala. la bertanya kepada ayahnya, "Siapakah yang menciptakan manusia, Ayah?"
Ayahnya menjawab, "Yang menciptakan manusia adalah manusia. Aku telah menciptakanmu. Dan ayahku telah menciptakanku."
Ibrahim kecil membantah, "Bukan begitu, Yah. Aku pernah mendengar ada orang tua yang ingin memiliki seorang anak. la berkata, Tuhanku, mengapa engkau tidak memberiku anak?"
"Benar, Nak. Allah membantu manusia untuk membuat manusia, tetapi Allah tidak langsung membuat manusia," tandas pemahat patung tersebut.
Ibrahim kecil bertanya kembali, "Ayah, berapa jumlah tuhan di sana?"
"Tidak terhitung, Anakku," jawabnya.
Pertanyaan cerdas yang menggelitik logika kembali meluncur dari mulut Ibrahim, "Apa yang harus kulakukan jika aku ingin mengabdi kepada salah satu tuhan, kemudian tuhan yang lain berbuat jahat kepadaku karena aku tidak mengabdi kepadanya? Apa yang terjadi jika timbul permusuhan di antara tuhan-tuhan itu? Apa yang terjadi jika tuhan membunuh tuhan lain yang berbuat jahat kepadaku? Apa yang harus kulakukan, Ayah? Kelihatannya tuhan yang itu juga akan membunuhku."
"Nak, jangan takut. Tuhan-tuhan itu tidak akan saling bermusuhan. Di tempat peribadatan ada berjuta-juta tuhan dan di sampingnya ada tuhan yang sangat besar. Dia adalah dewa tuhan. Sampai sekarang dia telah berumur tujuh puluh tahun. Meskipun demikian, Ayah belum pernah melihat tuhan-tuhan saling berkelahi," jelas ayahnya yang mungkin merasa penjelasan itu masuk akal untuk menuntaskan rasa penasaran putranya.
"Jadi, di antara mereka sudah ada kesepakatan?" Ibrahim meminta penegasan.
"Benar, di sana ada kesepakatan," timpal ayahnya kembali.
Azar memberi penjelasan tentang keadaan patung-patungnya yang tidak pernah berkelahi. Tentu saja mereka demikian, toh, mereka hanyalah benda mati saja.
Kemudian di antara mereka telah ada kesepakatan seolah-olah mereka mengadakan forum diskusi dan musyawarah untuk hal itu. Inilah yang dijadikan pertanyaan selanjutnya oleh Ibrahim untuk meluruskan pemikiran ayahnya, "Dari bahan apa tuhan-tuhan itu dibuat?"
Dengan bangga ayahnya menjelaskan, "Tuhan ini dari kayu kurma, itu dari kayu zaitun, dan tuhan yang kecil itu dari gading gajah. Lihatlah, Nak, betapa indahnya tuhan itu. Tidak ada yang kurang darinya kecuali bernapas."
Tepat sekali! Kata-kata itu meluncur sendiri dari bibir ayah Ibrahim yang dengannya ia telah menyadari bahwa tuhan buatannya ternyata memiliki kekurangan.
Ibrahim lantas memanfaatkan perkataan ayahnya, "Jika tidak ada tuhan yang bernapas, bagaimana mereka memberikan napas? Jika tidak ada tuhan yang hidup, bagaimana mereka memberikan kehidupan? Seharusnya mereka bukan tuhan, Ayah!"
Pukulan telak buat ayah Ibrahim. Menurut logika saja kebiasaan menyembah berhala tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang yang berakal membuat patung dengan tangannya sendiri, kemudian dijadikan tuhan untuk disembahnya.
Ibrahim melanjutkan, "Jika tuhan membantu membuat manusia, bagaimana mungkin manusia dapat membuat tuhan? Jika tuhan terbuat dari kayu maka membakar kayu adalah sebuah kesalahan besar. Katakanlah kepadaku, mengapa Ayah membantu tuhan membuat tuhan? Mengapa Ayah membuat beberapa tuhan yang besar? Mengapa tuhan tidak membantu Ayah untuk membuat anak yang banyak sehingga Ayah menjadi orang yang paling kuat di negeri ini?"
Kemurkaan ayahnya mengakhiri dialog antara dia dan putranya tersebut. Betapa mata hati telah dibutakan oleh prasangka dan nafsu semata sehingga kebenaran yang tampak malah dianggap sebagai kesesatan.
Tahun demi tahun berlalu. Kini Ibrahim telah tumbuh menjadi sosok remaja. la masih membenci kebiasaan kaumnya menyembah berhala.
Awalnya, perilaku mereka seperti sebuah lelucon bagi Ibrahim. Namun, kini kebenciannya terhadap berhala makin memuncak sehingga menjadi amarah dalam jiwanya.
Bagaimana tidak, seluruh kaumnya tertipu oleh benda mati yang tidak bisa bicara, makan, atau minum. Ditambah lagi, ayahnya makin gencar mengajak Ibrahim untuk menjadi pendeta di antara mereka dengan memuliakan patung-patung dalam kuil. Tentu saja hal ini membuat Ibrahim makin gencar membantah dan menghinakan mereka.
Pernah suatu saat, ketika Ibrahim diajak oleh ayahnya ke pesta perayaan dewa-dewa di sebuah kuil, ia melihat seorang pendeta merengek-rengek di depan patung terbesar di sana.
Pendeta itu memohon agar patung besar itu memberinya rezeki dan kasih sayang kepada kaumnya. Ibrahim langsung menegurnya, "Sesungguhnya ia tidak mendengarmu, Pendeta. Apakah Anda tidak sadar bahwa ia tidak bisa mendengar?"
Kekhidmatan pesta langsung buyar mendengar seruan Ibrahim tersebut. Wajah pendeta itu menjadi gusar karena marah. Azar segera meminta maaf atas kelakuan putranya dengan mengatakan bahwa anaknya sedang sakit dan tidak memahami apa yang diucapkannya. Kemudian mereka berdua begegas pergi meninggalkan kuil peribadatan.
Kegigihan Ibrahim a.s. untuk menyadarkan umatnya tidak hanya sampai di situ. Dalam perenungan yang mendalam, ia memandangi langit yang dipenuhi bintang-bintang. Kaumnya tidak hanya penyembah berhala. Mereka juga dibebaskan untuk menyembah bintang-bintang atau menyembah sang raja.
Akhirnya, Ibrahim menempuh jalan halus dan penuh kasih sayang kepada umatnya dengan menunjukkan sebuah fakta bahwa benda-benda langit itu adalah milik-Nya dan beredar sesuai dengan kehendak-Nya.
Allah SWT menceritakan kisah Ibrahim a.s. di dalam Al-Qur'an sebagai berikut: "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, "Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu seba%ai tuhan? Sesungguhnya aku meiihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata." Dan demikianlah Kami mem-perlihatkan kepado Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit don di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika maiam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (ialu) dia berkata, "Inilah Tuhanku." Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, "Aku tidak suka kepada yang terbenam." (QS Al-An'am [6]: 74-76)
Ahmad Bahjat menuturkan dalam bukunya bahwa Ibrahim a.s. mengumumkan tentang penuhanan ke-pada bintang-bintang ini di hadapan kaumnya. Tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an bagaimana reaksi kaumnya terhadap pernyataan Ibrahim a.s. tersebut.
Namun, sepertinya mereka adalah kaum yang dungu dan tidak mengerti makna di balik pengumuman Ibrahim a.s. bahwa bintang-bintang yang mereka sembah ternyata tenggelam juga. Bagaimana mungkin tuhan bisa terbit dan tenggelam?
Pada malam kedua, Ibrahim a.s. kembali mengumumkan kepada kaumnya bahwa rembulan adalah tuhannya, sebagaimana firman Allah SWT, "Lain ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, "Inilah Tuhanku." Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, "Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat." (QS Al-An'am [6]: 77)
Ibrahim a.s. kembali menggugah kesadaran mereka perihal bulan yang juga terbit dan tenggelam. Pantaskah tuhan yang seperti itu disembah?
Melalui pertanyaan itu, Ibrahim a.s. menunjukkan bahwa ia memiliki Tuhan di luar tuhan-tuhan yang mereka sembah. la telah mengikrarkan penolakan terhadap ketuhanan bulan untuk menghancurkan akidah kaumnya yang sesat dengan cara halus. Namun, semua itu tidak dipahami pula oleh kaumnya yang menyembah matahari, bulan, dan bintang.
Kemudian ia mengajukan argumentasinya yang terakhir, "Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, "Inilah Tuhanku, ini lebih besar." Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, "Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan." Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik." (QS Al-An'am [6]: 78-79)
Penyangkalan Ibrahim a.s. atas akidah ketuhanan matahari adalah akhir dari perjalanan rohaninya dalam menunjukkan keberadaan Sang Pencipta langit dan bumi. Mereka yang menyembah matahari tidak merasa bahwa yang mereka sembah hanyalah makhluk ciptaan Allah SWT.
Matahari memang sangat besar, tetapi Sang Penciptalah Yang Maha besar. Hati mereka tetap tidak tersentuh, bahkan mereka menunjukkan perlawanan atas kebenaran yang ditunjukkan Ibrahim a.s
"Dan kaumnya membantahnya. Dia (Ibrahim) berkata, "Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada (malapetaka dari) apa yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran? Bagaimana aku takut kepada apa yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut dengan apa yang Atlah sendiri tidak menurunkon keterangan kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Manakah dari kedua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka) jika kamu mengetahui?" (QS. Al-An'am [6]: 80-81)
Al-Qur'an tidak menjelaskan bagaimana bentuk perlawanan mereka terhadap Ibrahim a.s. Namun, Al-Qur'an lebih memaparkan pada jawaban Ibrahim a.s terhadap bantahan mereka, yaitu ia tidak takut kepada mereka sedikit pun dan menjelaskan golongan mana yang lebih berhak mendapatkan keamanan dari bencana, "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk." (QS. Al-An'am [6]: 82)
Demikianlah Ibrahim a.s. menghadapi kaum penyembah matahari, bintang, dan bulan. Melalui bukti-bukti kekuasaan Allah SWT, ia mengajak kaumnya berpikir dengan jernih bahwa hanya AUah SWT yang berhak disembah. Melalui akal yang berpikirlah kebenaran akan terlihat jelas.
Setelah berlepas diri dari kaum yang menyembah benda-benda langit tersebut, kini ia harus berhadapan dengan ayahnya sendiri bersama kaumnya sesama penyembah berhala. Usaha untuk membuka cakrawala berpikir kaumnya selalu mengalami jalan buntu karena akidah mereka telah menjadi tradisi yang melekat dalam jiwa mereka turun-temurun.
Namun akhirnya, Ibrahim a.s. menemukan ide cerdas. la tahu bahwa akan diadakan upacara pesta besar-besaran di tepi sungai dan semua orang di kota akan berangkat ke sana. Pada situasi yang sepi inilah Ibrahim a.s. memiliki kesempatan untuk menjalankan rencana jitunya hingga sebelum para penduduk kota kembali.
Dengan sebilah kapak di tangannya, Ibrahim a.s. menyusuri jalan-jalan kota yang sepi menuju kuil peribadatan. Setibanya di sana, dipandanginya berhala-berhala yang terbuat dari kayu dan batu.
Lalu, pandangannya beralih pada makanan-makanan yang ditaruh di bawah para berhala sebagai nazar atau hadiah. la mendekati salah satu berhala yang paling besar seraya bertanya, "Makanan yang ada di hadapanmu telah dingin, mengapa engkau tidak memakannya?"
Berhala itu diam tak bergera. Tentu saja! Kemudian Ibrahim a.s. bertanya kepada berhala-berhala yang ada di sekitarnya, "Apakah kamu tidak makan?"
la hendak mengejek mereka karena ia tahu bahwa berhala-berhala itu tidak mungkin menjawab per-tanyaannya. "Kenapa kamu tidak menjawab?" lanjutnya.
Dengan tangan kanannya yang kuat, ia mengayunkan kapaknya kepada berhala-berhala yang ada di dalam kuil. Seluruh berhala hancur lebur oleh kapak Ibrahim a.s. kecuali satu, yaitu berhala yang paling besar ukurannya. Kemudian ia mengalungkan kapaknya di leher berhala besar tersebut sambil menanti reaksi kaumnya yang sesat.
Benarlah, ketika upacara pesta dewa-dewa selesai dan mereka kembali ke kota, seseorang di dalam kuil menjerit melihat tuhan-tuhannya telah hancur berantakan. Orang-orang pun berdatangan ke arah sumber jeritan dan terkejut menyaksikan peristiwa yang sangat memilukan bagi mereka.
Pelakunya sangat mudah ditebak. Mereka berkata, "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim."
Salah seorang dari mereka berseru, "Seret dia kemari agar semua orang menyaksikannya!"
Ketika Ibrahim a.s. berada di tengah-tengah mereka, ia pun ditanya, "Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?"
Dengan santai Ibrahim a.s. menjawab, "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, tanyakanlah kepada berhala itu jika ia dapat berbicara," ujar Ibrahim a.s seraya menunjuk patung yang dimaksud.
Mereka pun menyaksikan bahwa pada berhala terbesar mereka telah dikalungkan kapak yang digunakan untuk menghancurkan berhala-berhala mereka. Mereka bingung dibuatnya. Satu sisi mereka tidak ingin kebodohan mereka terbuka, tetapi di sisi lain mereka menghadapi kenyataan bahwa berhala mereka tidak mungkin melakukan hal yang dituduhkan Ibrahim a.s.
"Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya diri sendiri, tambah Ibrahim a.s. yang tersenyum penuh kemenangan. la tahu kaumnya tidak akan bisa mengelak bahwa tuhannya hanyalah benda mati yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Dengan kepala tertunduk mereka berkata, "Sesungguhnya kamu, hai Ibrahim, telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara."
Ibrahim berkata, "Lalu mengapa kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak pula memberi mudharat kepada kamu? Ah, celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Apakah kamu tidak memahami?"
Akan tetapi, bukan tobat yang mereka lakukan, mereka malah merasa terhina akibat ulah Ibrahim a.s tersebut. Mereka pun menghasut teman-temannya sesama penyembah berhala, "Lemparkan saja Ibrahim ke dalam api yang menyala jika kalian hendak membantu tuhan-tuhan kalian!"
Mereka pun segera mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya. Ibrahim a.s. diseret ke tengah-tengah tumpukan kayu, kemudian mereka menyulut kayu tersebut dengan api. Dengan serta-merta api pun berkobar dahsyat melalap tubuh Ibrahim a.s.
Namun, Allah SWT berkehendak lain. Dengan seizin-Nya api tersebut menjadi dingin dan sama sekali tidak menyentuh pakaian apalagi kulit mulia Ibrahim a.s.
Sementara itu, para pendeta, tokoh-tokoh penting, dan para penduduk mengelilingi api besar yang menjilat-jilat itu. Terkadang percikan api mengenai pakaian mereka dan menghanguskan beberapa bagiannya. Wajah mereka pun menghitam akibat terkena kepulan asap yang mengepul tebal. Mereka merasa puas karena disangkanya Ibrahim a.s. telah hangus terpanggang api yang berkobar-kobar.
Ketika seluruh kayu terbakar, api pun meredup. Sungguh mukjizat telah terjadi di depan mata mereka. Ibrahim a.s. turun dari sisa-sisa arang kayu dalam keadaaan bersih, sehat, tanpa luka sedikit pun.
Orang-orang dengan wajah hitam gosong terperangah dan terpana. Mereka menyaksikan bahwa Allah SWT, Tuhan yang seharusnya mereka sembah telah menolong utusannya jika Dia memang menghendakinya.
Akhirnya, peringatan Ibrahim a.s kepada kaumnya berujung pada kemarahan mereka, padahal mereka sendiri menyadari bahwa penyembahan pada berhala adalah pembodohan belaka. Benarlah jika seseorang tidak menggunakan akal pikirannya dengan jernih, akan berujungpadakesesatan.
Kisah Ibrahim a.s. ini diabadikan dalam Al-Qur'an, antara lain Surat Al-Anbiya' [21]: 60-69 dan Surat Ash-Shaffat[37]:91-98.
Ayahnya yang bernama Azar adalah seorang pembuat patung untuk dijadikan sesembahan. Ada pula yang mengatakan bahwa Azar adalah pamannya yang telah dianggap sebagai ayahnya sendiri.
Konon, Azar adalah nama berhala yang paling terkenal di antara berhala-berhala lain buatannya. Profesi ayahnya sebagai pemahat patung sesembahan mengangkat keluarganya menjadi keluarga terpandang dan terhormat di mata masyarakat saat itu. Dari iklim kesyirikan inilah Ibrahim mungil dilahirkan.
Meskipun demikian, Allah SWT tetap melindungi fitrah dan kesucian akal serta kalbu Ibrahim kecil. Hingga suatu hari, Ibrahim kecil bermain dengan patung-patung buatan ayahnya dengan menaikinya seperti sedang bermain kuda-kudaan.
Alangkah terkejut ayahnya ketika memergoki putranya bermain dengan "tuhan-tuhan" yang diagungkan oleh kaumnya. la pun marah besar dan melarang Ibrahim kecil memainkan patung-patungnya. Dengan penuh kepolosan, Ibrahim kecil bertanya, "Patung apa ini, Ayah? Kedua telinganya sangat besar, lebih besar daripada telinga kita."
Ayahnya menjawab, "la adalah pemimpin dari beberapa tuhan yang ada, Nak. Dua telinga yang besar ini sebagai simbol atas pengetahuannya yang sangat dalam."
Namun, di balik kepolosannya, ia telah menyadari bahwa penjelasan ayahnya adalah kekonyolan belaka. la pun bersusah payah menahan tawa, padahal saat itu ia baru berumur tujuh tahun.
Dikisahkan dalam kitab Injil Barnabas, bagaimana Ibrahim kecil mematahkan argumentasi ayahnya tentang ketuhanan berhala. la bertanya kepada ayahnya, "Siapakah yang menciptakan manusia, Ayah?"
Ayahnya menjawab, "Yang menciptakan manusia adalah manusia. Aku telah menciptakanmu. Dan ayahku telah menciptakanku."
Ibrahim kecil membantah, "Bukan begitu, Yah. Aku pernah mendengar ada orang tua yang ingin memiliki seorang anak. la berkata, Tuhanku, mengapa engkau tidak memberiku anak?"
"Benar, Nak. Allah membantu manusia untuk membuat manusia, tetapi Allah tidak langsung membuat manusia," tandas pemahat patung tersebut.
Ibrahim kecil bertanya kembali, "Ayah, berapa jumlah tuhan di sana?"
"Tidak terhitung, Anakku," jawabnya.
Pertanyaan cerdas yang menggelitik logika kembali meluncur dari mulut Ibrahim, "Apa yang harus kulakukan jika aku ingin mengabdi kepada salah satu tuhan, kemudian tuhan yang lain berbuat jahat kepadaku karena aku tidak mengabdi kepadanya? Apa yang terjadi jika timbul permusuhan di antara tuhan-tuhan itu? Apa yang terjadi jika tuhan membunuh tuhan lain yang berbuat jahat kepadaku? Apa yang harus kulakukan, Ayah? Kelihatannya tuhan yang itu juga akan membunuhku."
"Nak, jangan takut. Tuhan-tuhan itu tidak akan saling bermusuhan. Di tempat peribadatan ada berjuta-juta tuhan dan di sampingnya ada tuhan yang sangat besar. Dia adalah dewa tuhan. Sampai sekarang dia telah berumur tujuh puluh tahun. Meskipun demikian, Ayah belum pernah melihat tuhan-tuhan saling berkelahi," jelas ayahnya yang mungkin merasa penjelasan itu masuk akal untuk menuntaskan rasa penasaran putranya.
"Jadi, di antara mereka sudah ada kesepakatan?" Ibrahim meminta penegasan.
"Benar, di sana ada kesepakatan," timpal ayahnya kembali.
Azar memberi penjelasan tentang keadaan patung-patungnya yang tidak pernah berkelahi. Tentu saja mereka demikian, toh, mereka hanyalah benda mati saja.
Kemudian di antara mereka telah ada kesepakatan seolah-olah mereka mengadakan forum diskusi dan musyawarah untuk hal itu. Inilah yang dijadikan pertanyaan selanjutnya oleh Ibrahim untuk meluruskan pemikiran ayahnya, "Dari bahan apa tuhan-tuhan itu dibuat?"
Dengan bangga ayahnya menjelaskan, "Tuhan ini dari kayu kurma, itu dari kayu zaitun, dan tuhan yang kecil itu dari gading gajah. Lihatlah, Nak, betapa indahnya tuhan itu. Tidak ada yang kurang darinya kecuali bernapas."
Tepat sekali! Kata-kata itu meluncur sendiri dari bibir ayah Ibrahim yang dengannya ia telah menyadari bahwa tuhan buatannya ternyata memiliki kekurangan.
Ibrahim lantas memanfaatkan perkataan ayahnya, "Jika tidak ada tuhan yang bernapas, bagaimana mereka memberikan napas? Jika tidak ada tuhan yang hidup, bagaimana mereka memberikan kehidupan? Seharusnya mereka bukan tuhan, Ayah!"
Pukulan telak buat ayah Ibrahim. Menurut logika saja kebiasaan menyembah berhala tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang yang berakal membuat patung dengan tangannya sendiri, kemudian dijadikan tuhan untuk disembahnya.
Ibrahim melanjutkan, "Jika tuhan membantu membuat manusia, bagaimana mungkin manusia dapat membuat tuhan? Jika tuhan terbuat dari kayu maka membakar kayu adalah sebuah kesalahan besar. Katakanlah kepadaku, mengapa Ayah membantu tuhan membuat tuhan? Mengapa Ayah membuat beberapa tuhan yang besar? Mengapa tuhan tidak membantu Ayah untuk membuat anak yang banyak sehingga Ayah menjadi orang yang paling kuat di negeri ini?"
Kemurkaan ayahnya mengakhiri dialog antara dia dan putranya tersebut. Betapa mata hati telah dibutakan oleh prasangka dan nafsu semata sehingga kebenaran yang tampak malah dianggap sebagai kesesatan.
Tahun demi tahun berlalu. Kini Ibrahim telah tumbuh menjadi sosok remaja. la masih membenci kebiasaan kaumnya menyembah berhala.
Awalnya, perilaku mereka seperti sebuah lelucon bagi Ibrahim. Namun, kini kebenciannya terhadap berhala makin memuncak sehingga menjadi amarah dalam jiwanya.
Bagaimana tidak, seluruh kaumnya tertipu oleh benda mati yang tidak bisa bicara, makan, atau minum. Ditambah lagi, ayahnya makin gencar mengajak Ibrahim untuk menjadi pendeta di antara mereka dengan memuliakan patung-patung dalam kuil. Tentu saja hal ini membuat Ibrahim makin gencar membantah dan menghinakan mereka.
Pernah suatu saat, ketika Ibrahim diajak oleh ayahnya ke pesta perayaan dewa-dewa di sebuah kuil, ia melihat seorang pendeta merengek-rengek di depan patung terbesar di sana.
Pendeta itu memohon agar patung besar itu memberinya rezeki dan kasih sayang kepada kaumnya. Ibrahim langsung menegurnya, "Sesungguhnya ia tidak mendengarmu, Pendeta. Apakah Anda tidak sadar bahwa ia tidak bisa mendengar?"
Kekhidmatan pesta langsung buyar mendengar seruan Ibrahim tersebut. Wajah pendeta itu menjadi gusar karena marah. Azar segera meminta maaf atas kelakuan putranya dengan mengatakan bahwa anaknya sedang sakit dan tidak memahami apa yang diucapkannya. Kemudian mereka berdua begegas pergi meninggalkan kuil peribadatan.
Kegigihan Ibrahim a.s. untuk menyadarkan umatnya tidak hanya sampai di situ. Dalam perenungan yang mendalam, ia memandangi langit yang dipenuhi bintang-bintang. Kaumnya tidak hanya penyembah berhala. Mereka juga dibebaskan untuk menyembah bintang-bintang atau menyembah sang raja.
Akhirnya, Ibrahim menempuh jalan halus dan penuh kasih sayang kepada umatnya dengan menunjukkan sebuah fakta bahwa benda-benda langit itu adalah milik-Nya dan beredar sesuai dengan kehendak-Nya.
Allah SWT menceritakan kisah Ibrahim a.s. di dalam Al-Qur'an sebagai berikut: "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, "Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu seba%ai tuhan? Sesungguhnya aku meiihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata." Dan demikianlah Kami mem-perlihatkan kepado Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit don di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika maiam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (ialu) dia berkata, "Inilah Tuhanku." Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, "Aku tidak suka kepada yang terbenam." (QS Al-An'am [6]: 74-76)
Ahmad Bahjat menuturkan dalam bukunya bahwa Ibrahim a.s. mengumumkan tentang penuhanan ke-pada bintang-bintang ini di hadapan kaumnya. Tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an bagaimana reaksi kaumnya terhadap pernyataan Ibrahim a.s. tersebut.
Namun, sepertinya mereka adalah kaum yang dungu dan tidak mengerti makna di balik pengumuman Ibrahim a.s. bahwa bintang-bintang yang mereka sembah ternyata tenggelam juga. Bagaimana mungkin tuhan bisa terbit dan tenggelam?
Pada malam kedua, Ibrahim a.s. kembali mengumumkan kepada kaumnya bahwa rembulan adalah tuhannya, sebagaimana firman Allah SWT, "Lain ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, "Inilah Tuhanku." Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, "Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat." (QS Al-An'am [6]: 77)
Ibrahim a.s. kembali menggugah kesadaran mereka perihal bulan yang juga terbit dan tenggelam. Pantaskah tuhan yang seperti itu disembah?
Melalui pertanyaan itu, Ibrahim a.s. menunjukkan bahwa ia memiliki Tuhan di luar tuhan-tuhan yang mereka sembah. la telah mengikrarkan penolakan terhadap ketuhanan bulan untuk menghancurkan akidah kaumnya yang sesat dengan cara halus. Namun, semua itu tidak dipahami pula oleh kaumnya yang menyembah matahari, bulan, dan bintang.
Kemudian ia mengajukan argumentasinya yang terakhir, "Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, "Inilah Tuhanku, ini lebih besar." Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, "Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan." Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik." (QS Al-An'am [6]: 78-79)
Penyangkalan Ibrahim a.s. atas akidah ketuhanan matahari adalah akhir dari perjalanan rohaninya dalam menunjukkan keberadaan Sang Pencipta langit dan bumi. Mereka yang menyembah matahari tidak merasa bahwa yang mereka sembah hanyalah makhluk ciptaan Allah SWT.
Matahari memang sangat besar, tetapi Sang Penciptalah Yang Maha besar. Hati mereka tetap tidak tersentuh, bahkan mereka menunjukkan perlawanan atas kebenaran yang ditunjukkan Ibrahim a.s
"Dan kaumnya membantahnya. Dia (Ibrahim) berkata, "Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada (malapetaka dari) apa yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran? Bagaimana aku takut kepada apa yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut dengan apa yang Atlah sendiri tidak menurunkon keterangan kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Manakah dari kedua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka) jika kamu mengetahui?" (QS. Al-An'am [6]: 80-81)
Al-Qur'an tidak menjelaskan bagaimana bentuk perlawanan mereka terhadap Ibrahim a.s. Namun, Al-Qur'an lebih memaparkan pada jawaban Ibrahim a.s terhadap bantahan mereka, yaitu ia tidak takut kepada mereka sedikit pun dan menjelaskan golongan mana yang lebih berhak mendapatkan keamanan dari bencana, "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk." (QS. Al-An'am [6]: 82)
Demikianlah Ibrahim a.s. menghadapi kaum penyembah matahari, bintang, dan bulan. Melalui bukti-bukti kekuasaan Allah SWT, ia mengajak kaumnya berpikir dengan jernih bahwa hanya AUah SWT yang berhak disembah. Melalui akal yang berpikirlah kebenaran akan terlihat jelas.
Setelah berlepas diri dari kaum yang menyembah benda-benda langit tersebut, kini ia harus berhadapan dengan ayahnya sendiri bersama kaumnya sesama penyembah berhala. Usaha untuk membuka cakrawala berpikir kaumnya selalu mengalami jalan buntu karena akidah mereka telah menjadi tradisi yang melekat dalam jiwa mereka turun-temurun.
Namun akhirnya, Ibrahim a.s. menemukan ide cerdas. la tahu bahwa akan diadakan upacara pesta besar-besaran di tepi sungai dan semua orang di kota akan berangkat ke sana. Pada situasi yang sepi inilah Ibrahim a.s. memiliki kesempatan untuk menjalankan rencana jitunya hingga sebelum para penduduk kota kembali.
Dengan sebilah kapak di tangannya, Ibrahim a.s. menyusuri jalan-jalan kota yang sepi menuju kuil peribadatan. Setibanya di sana, dipandanginya berhala-berhala yang terbuat dari kayu dan batu.
Lalu, pandangannya beralih pada makanan-makanan yang ditaruh di bawah para berhala sebagai nazar atau hadiah. la mendekati salah satu berhala yang paling besar seraya bertanya, "Makanan yang ada di hadapanmu telah dingin, mengapa engkau tidak memakannya?"
Berhala itu diam tak bergera. Tentu saja! Kemudian Ibrahim a.s. bertanya kepada berhala-berhala yang ada di sekitarnya, "Apakah kamu tidak makan?"
la hendak mengejek mereka karena ia tahu bahwa berhala-berhala itu tidak mungkin menjawab per-tanyaannya. "Kenapa kamu tidak menjawab?" lanjutnya.
Dengan tangan kanannya yang kuat, ia mengayunkan kapaknya kepada berhala-berhala yang ada di dalam kuil. Seluruh berhala hancur lebur oleh kapak Ibrahim a.s. kecuali satu, yaitu berhala yang paling besar ukurannya. Kemudian ia mengalungkan kapaknya di leher berhala besar tersebut sambil menanti reaksi kaumnya yang sesat.
Benarlah, ketika upacara pesta dewa-dewa selesai dan mereka kembali ke kota, seseorang di dalam kuil menjerit melihat tuhan-tuhannya telah hancur berantakan. Orang-orang pun berdatangan ke arah sumber jeritan dan terkejut menyaksikan peristiwa yang sangat memilukan bagi mereka.
Pelakunya sangat mudah ditebak. Mereka berkata, "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim."
Salah seorang dari mereka berseru, "Seret dia kemari agar semua orang menyaksikannya!"
Ketika Ibrahim a.s. berada di tengah-tengah mereka, ia pun ditanya, "Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?"
Dengan santai Ibrahim a.s. menjawab, "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, tanyakanlah kepada berhala itu jika ia dapat berbicara," ujar Ibrahim a.s seraya menunjuk patung yang dimaksud.
Mereka pun menyaksikan bahwa pada berhala terbesar mereka telah dikalungkan kapak yang digunakan untuk menghancurkan berhala-berhala mereka. Mereka bingung dibuatnya. Satu sisi mereka tidak ingin kebodohan mereka terbuka, tetapi di sisi lain mereka menghadapi kenyataan bahwa berhala mereka tidak mungkin melakukan hal yang dituduhkan Ibrahim a.s.
"Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya diri sendiri, tambah Ibrahim a.s. yang tersenyum penuh kemenangan. la tahu kaumnya tidak akan bisa mengelak bahwa tuhannya hanyalah benda mati yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Dengan kepala tertunduk mereka berkata, "Sesungguhnya kamu, hai Ibrahim, telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara."
Ibrahim berkata, "Lalu mengapa kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak pula memberi mudharat kepada kamu? Ah, celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Apakah kamu tidak memahami?"
Akan tetapi, bukan tobat yang mereka lakukan, mereka malah merasa terhina akibat ulah Ibrahim a.s tersebut. Mereka pun menghasut teman-temannya sesama penyembah berhala, "Lemparkan saja Ibrahim ke dalam api yang menyala jika kalian hendak membantu tuhan-tuhan kalian!"
Mereka pun segera mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya. Ibrahim a.s. diseret ke tengah-tengah tumpukan kayu, kemudian mereka menyulut kayu tersebut dengan api. Dengan serta-merta api pun berkobar dahsyat melalap tubuh Ibrahim a.s.
Namun, Allah SWT berkehendak lain. Dengan seizin-Nya api tersebut menjadi dingin dan sama sekali tidak menyentuh pakaian apalagi kulit mulia Ibrahim a.s.
Sementara itu, para pendeta, tokoh-tokoh penting, dan para penduduk mengelilingi api besar yang menjilat-jilat itu. Terkadang percikan api mengenai pakaian mereka dan menghanguskan beberapa bagiannya. Wajah mereka pun menghitam akibat terkena kepulan asap yang mengepul tebal. Mereka merasa puas karena disangkanya Ibrahim a.s. telah hangus terpanggang api yang berkobar-kobar.
Ketika seluruh kayu terbakar, api pun meredup. Sungguh mukjizat telah terjadi di depan mata mereka. Ibrahim a.s. turun dari sisa-sisa arang kayu dalam keadaaan bersih, sehat, tanpa luka sedikit pun.
Orang-orang dengan wajah hitam gosong terperangah dan terpana. Mereka menyaksikan bahwa Allah SWT, Tuhan yang seharusnya mereka sembah telah menolong utusannya jika Dia memang menghendakinya.
Akhirnya, peringatan Ibrahim a.s kepada kaumnya berujung pada kemarahan mereka, padahal mereka sendiri menyadari bahwa penyembahan pada berhala adalah pembodohan belaka. Benarlah jika seseorang tidak menggunakan akal pikirannya dengan jernih, akan berujungpadakesesatan.
Kisah Ibrahim a.s. ini diabadikan dalam Al-Qur'an, antara lain Surat Al-Anbiya' [21]: 60-69 dan Surat Ash-Shaffat[37]:91-98.
Nabi Musa a.s Berguru kepada Nabi Khidr a.s
Pada suatu hari Musa a.s menyampaikan khotbah kepada Bani Israel, menyeru mereka ke jalan Allah dan menjelaskan tentang kebenaran kepada mereka. Setelah ia selesai, seorang pendengar dari Bani Israel bertanya kepadanya, "Adakah orang yang lebih pintar darimu di dunia ini, Nabi Allah?"
"Tidak ada," jawab Musa a.s.
Mengetahui hal itu, Allah hendak menegurnya melalui Malaikat Jibril yang datang kepada Musa a.s untuk bertanya, "Wahai Musa, tahukah engkau di mana Allah meletakkan ilmunya?"
Jibril melanjutkan, "sesungguhnya Allah memiliki seorang hamba yang ada di tempat bertemunya dua lautan, yang lebih pintar dari dirimu."
Musa a.s. segera tersadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan dengan mengaku paling pintar dan luas ilmunya. Padahal, ilmu Allah itu Maha luas dan Dia berkehendak untuk memberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
la pun tertarik untuk menemui hamba Allah tersebut untuk belajar darinya. Satu-satunya petunjuk tentang keberadaan hamba Allah tersebut adalah di pertemuan dua buah lautan tempat ikan yang ia bawa akan hidup kembali dan melompat di daerah itu.
Musa pun bersama seorang muridnya mempersiapkan perbekalan untuk perjalanan dan tidak lupa membawa seekor ikan sebagai penunjuk jalannya nanti. Musa a.s. berkata kepada muridnya, "Tugasmu hanya memberi tahu aku jika ikan itu telah meloncat dari keranjang yang kaubawa." Sang murid pun langsung menyanggupi tugas itu.
Di tengah perjalanan, kantuk menyerang Musa a.s., tetapi muridnya tetap dalam keadaan terjaga. Tiba-tiba ombak menyapu ikan yang dibawa mereka sehingga ikan tersebut hidup kembali dan melompat ke laut.
Sang murid takjub menyaksikan ikan yang telah mati bisa hidup kembali dan dia melihat ikan itu membelah air laut serta meninggalkan bekas. Itu adalah pertanda bahwa di sanalah tempat Nabi Khidr a.s - hamba Allah yang Musa a.s cari berada.
Akan tetapi, sang murid lupa untuk menyampaikan hal tersebut kepada gurunya yang telah terbangun dari lelapnya. Mereka pun melanjutkan perjalanan seharian penuh tanpa ikan yang menjadi penunjuk jalannya.
Dikarenakan merasa lelah, Musa a.s. pun mengajak muridnya untuk beristirahat seraya berkata, "Bawalah kemari makanan kita, kita telah merasa letih karena perjalanan ini."
Barulah saat itu sang murid teringat bahwa ikan yang dibawanya telah melompat ke lautan. Dia pun segera meminta maaf kepada Musa a.s. dan menceritakan peristiwa yang menurutnya aneh tersebut. Dengan gembira dan menggebu-gebu, Musa a.s. berkata, "Itulah tempat yang kita cari!"
Mereka pun bertolak kembali melalui perjalanan yang telah ditempuhnya. Hingga tiba di suatu tempat ketika ikan yang mereka bawa lompat dari keranjang ke lautan. Mereka melihat seorang lelaki yang sedang berada di atas sajadah bewarna hijau, berada di tengah laut dan pakaiannya berkibar-kibar.
Dialah Nabi Khidr a.s. yang dicarinya. Musa a.s. menyapanya sambil mengucapkan salam. Khidr a.s. menjawab, "Apakah di daerahmu ada kedamaian? Siapakah engkau?"
"Aku adalah Musa," jawab Musa a.s.
Khidr a.s. menimpali, "Musa anak keturunan Israel. Semoga keselamatan senantiasa menyertaimu, Nabi Bani Israel."
Musa bertanya, "Siapa yang menceritakan tentang diriku kepadamu?"
Khidra.s. menjawab, "Dzat yang telah menceritakan diriku kepadamu dan menunjukkan engkau untuk menemuiku. Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku, Musa?"
Dengan nada lembut dan penuh hormat, Musa a.s. menjawab, "Bolehkah aku mengikutimu supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
Khidr a.s. menjawab, "Apakah Taurat yang ada di tanganmu belum cukup bagimu? Apakah wahyu yang diturunkan kepadamu belum cukup bagimu? Wahai Musa, sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku!"
Musa a.s. tidak menghiraukan jawaban Khidr a.s. yang sepertinya sedang meremehkan kesabarannya. la kembali meminta agar diperkenankan menyertai Khidr a.s. dan belajar darinya. "Insya Allah, kamu akan mendapatkanku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun," janji Musa a.s.
Khidr a.s. pun memberikan syarat, "Jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu."
Kemudian Musa dan Khidr a.s. berjalan menyusuri pantai. Ketika ada perahu lewat, keduanya meminta agar pemilik perahu sudi mengangkut mereka. Pemilik perahu itu ternyata mengenali Khidr a.s. sehingga ia memberikan tumpangan kepada mereka secara gratis.
Ketika perahu berlabuh serta seluruh awak dan para penumpang telah turun semua, Khidr a.s. tidak ikut turun. Begitu pula Musa a.s. yang menyertainya. Setelah pemilik perahu pergi jauh dari situ, Khidr a.s. segera melubangi perahunya.
Perilaku gurunya ini membuat Musa a.s. terkejut bukan main. Bagaimana bisa, seorang yang dimuliakan Allah ternyata tega melubangi perahu milik seseorang yang baik hati dan menghormati mereka.
Musa bergumam dalam hati, "Apa sebenarnya yang aku lakukan di sini sehingga harus menghabiskan waktuku bersama orang aneh ini? Mengapa aku tidak tetap bersama Bani Israel untuk membacakan Taurat sehingga mereka menaatiku? Pemilik perahu ini telah memberi tumpangan gratis karena memuliakan kami. Namun, orang aneh ini malah melubangi dan merusak perahunya."
Bagi Musa a.s. tingkah laku gurunya sangatlah tercela. Sebagai pembawa kebenaran, ia merasa harus meluruskan hal ini. Kemudian ia menegur gurunya tanpa ingat dengan persyaratan untuk tidak bertanya selama perjalanan, "Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah melakukan kesalahan yang besar!"
Khidr a.s. menghela nafas dan menjawab, "Sudah aku katakan, kau tidak akan bisa sabar bersamaku!"
Musa a.s. terkesiap. la sudah berjanji untuk bersabar dan tidak bertanya selama perjalanan. la pun segera meminta maaf dan berharap sang guru tidak menghiraukan perkataannya.
Keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Mereka melewati sebuah taman tempat bermain anak-anak. Setelah anak-anak itu letih karena bermain, mereka merebahkan diri dan tertidur. Khidr a.s. mendekati mereka dan membunuh salah satu anak di antara mereka.
Musa a.s. kaget bukan main. Tega-teganya sang guru membunuh seorang bocah yang masih fitrah tanpa dosa! Ini benar-benar di luar batas kemanusiaan! Rasa ingin tahunya mengalahkan janjinya untuk tidak bertanya, "Mengapa kaubunuh jiwa yang bersih? Bukankah dia tidak membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar!"
Khidr a.s. yang mengenal tabiat muridnya mengingatkan kembali, "Sudah aku katakan kau tidak akan sabar bersamaku. Kau telah melanggar kesepakatan kita. Lebih baik kaucari guru lain yang lebih baik untuk mengajarimu!"
Musa a.s. segera meminta maaf. Meskipun tingkah laku gurunya sangat membingungkan, dialah yang ditunjuk Allah SWT sebagai orang yang lebih tinggi ilmunya.
"Aku dapat memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang aku lakukan sehingga membuat ketidaksabaranmu itu. Adapun bahtera itu kepunyaan orang miskin yang bekerja di laut. Aku merusak bahtera itu karena di hadapannya ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Apabila perahu itu dilubangi, ia tidak akan berlayar sehingga akan terhindar dari kezaliman raja yang akan merampas bahteranya. Dan ia dapat memperbaiki lubang di perahunya sehingga dapat kembali digunakan untuk mencari nafkah"
"Dan adapun anak itu," lanjut Khidr a.s., "kedua orang tuanya adalah orang-orang beriman dan kami khawatir anak itu akan mendorong orang tuanya pada kesesatan dan kekafiran. Jika Allah SWT menghendaki, akan lahir seorang anak sebagai penggantinya yang lebih baik kesuciannya dan lebih dalam kasih sayangnya kepada orang tua."
Kejadian ketiga, Khidr a.s. menjelaskan, "Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh. Allah SWT menghendaki ketika anak-anaknya dewasa, mereka akan mendapatkan simpanan di bawah dinding tersebut sebagai rahmat dari Allah SWT."
Sekali lagi, Nabi Khidr a.s. menegaskan, "Aku melakukannya bukan atas kemauanku sendiri. Dan saya harap kamu memahami tujuan dari setiap kejadian yang kau pertanyakan itu."
Dalam satu waktu, Khidr a.s. memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi Musa a.s. bahwa segala sesuatunya tidak bisa dinilai secara kasat mata.
Bisa jadi segala musibah yang Allah SWT tetapkan sebenarnya mengandung hikmah yang besar untuk keselamatan atau kebahagiaan umat-Nya. Musa a.s. juga menyadari bahwa keluasan ilmu yang dimilikinya belum dapat menjangkau dan menilai semua peristiwa yang terjadi di bumi Allah.
Setidaknya ia memperoleh bekal berharga sebagai penguat dakwahnya kepada Bani Israel, kaumnya. Kisah Musa a.s. ini diabadikan dalam Al-Qur'an Surat Al-Kahfi [18]: 60-82.
"Tidak ada," jawab Musa a.s.
Mengetahui hal itu, Allah hendak menegurnya melalui Malaikat Jibril yang datang kepada Musa a.s untuk bertanya, "Wahai Musa, tahukah engkau di mana Allah meletakkan ilmunya?"
Jibril melanjutkan, "sesungguhnya Allah memiliki seorang hamba yang ada di tempat bertemunya dua lautan, yang lebih pintar dari dirimu."
Musa a.s. segera tersadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan dengan mengaku paling pintar dan luas ilmunya. Padahal, ilmu Allah itu Maha luas dan Dia berkehendak untuk memberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
la pun tertarik untuk menemui hamba Allah tersebut untuk belajar darinya. Satu-satunya petunjuk tentang keberadaan hamba Allah tersebut adalah di pertemuan dua buah lautan tempat ikan yang ia bawa akan hidup kembali dan melompat di daerah itu.
Musa pun bersama seorang muridnya mempersiapkan perbekalan untuk perjalanan dan tidak lupa membawa seekor ikan sebagai penunjuk jalannya nanti. Musa a.s. berkata kepada muridnya, "Tugasmu hanya memberi tahu aku jika ikan itu telah meloncat dari keranjang yang kaubawa." Sang murid pun langsung menyanggupi tugas itu.
Di tengah perjalanan, kantuk menyerang Musa a.s., tetapi muridnya tetap dalam keadaan terjaga. Tiba-tiba ombak menyapu ikan yang dibawa mereka sehingga ikan tersebut hidup kembali dan melompat ke laut.
Sang murid takjub menyaksikan ikan yang telah mati bisa hidup kembali dan dia melihat ikan itu membelah air laut serta meninggalkan bekas. Itu adalah pertanda bahwa di sanalah tempat Nabi Khidr a.s - hamba Allah yang Musa a.s cari berada.
Akan tetapi, sang murid lupa untuk menyampaikan hal tersebut kepada gurunya yang telah terbangun dari lelapnya. Mereka pun melanjutkan perjalanan seharian penuh tanpa ikan yang menjadi penunjuk jalannya.
Dikarenakan merasa lelah, Musa a.s. pun mengajak muridnya untuk beristirahat seraya berkata, "Bawalah kemari makanan kita, kita telah merasa letih karena perjalanan ini."
Barulah saat itu sang murid teringat bahwa ikan yang dibawanya telah melompat ke lautan. Dia pun segera meminta maaf kepada Musa a.s. dan menceritakan peristiwa yang menurutnya aneh tersebut. Dengan gembira dan menggebu-gebu, Musa a.s. berkata, "Itulah tempat yang kita cari!"
Mereka pun bertolak kembali melalui perjalanan yang telah ditempuhnya. Hingga tiba di suatu tempat ketika ikan yang mereka bawa lompat dari keranjang ke lautan. Mereka melihat seorang lelaki yang sedang berada di atas sajadah bewarna hijau, berada di tengah laut dan pakaiannya berkibar-kibar.
Dialah Nabi Khidr a.s. yang dicarinya. Musa a.s. menyapanya sambil mengucapkan salam. Khidr a.s. menjawab, "Apakah di daerahmu ada kedamaian? Siapakah engkau?"
"Aku adalah Musa," jawab Musa a.s.
Khidr a.s. menimpali, "Musa anak keturunan Israel. Semoga keselamatan senantiasa menyertaimu, Nabi Bani Israel."
Musa bertanya, "Siapa yang menceritakan tentang diriku kepadamu?"
Khidra.s. menjawab, "Dzat yang telah menceritakan diriku kepadamu dan menunjukkan engkau untuk menemuiku. Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku, Musa?"
Dengan nada lembut dan penuh hormat, Musa a.s. menjawab, "Bolehkah aku mengikutimu supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
Khidr a.s. menjawab, "Apakah Taurat yang ada di tanganmu belum cukup bagimu? Apakah wahyu yang diturunkan kepadamu belum cukup bagimu? Wahai Musa, sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku!"
Musa a.s. tidak menghiraukan jawaban Khidr a.s. yang sepertinya sedang meremehkan kesabarannya. la kembali meminta agar diperkenankan menyertai Khidr a.s. dan belajar darinya. "Insya Allah, kamu akan mendapatkanku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun," janji Musa a.s.
Khidr a.s. pun memberikan syarat, "Jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu."
Kemudian Musa dan Khidr a.s. berjalan menyusuri pantai. Ketika ada perahu lewat, keduanya meminta agar pemilik perahu sudi mengangkut mereka. Pemilik perahu itu ternyata mengenali Khidr a.s. sehingga ia memberikan tumpangan kepada mereka secara gratis.
Ketika perahu berlabuh serta seluruh awak dan para penumpang telah turun semua, Khidr a.s. tidak ikut turun. Begitu pula Musa a.s. yang menyertainya. Setelah pemilik perahu pergi jauh dari situ, Khidr a.s. segera melubangi perahunya.
Perilaku gurunya ini membuat Musa a.s. terkejut bukan main. Bagaimana bisa, seorang yang dimuliakan Allah ternyata tega melubangi perahu milik seseorang yang baik hati dan menghormati mereka.
Musa bergumam dalam hati, "Apa sebenarnya yang aku lakukan di sini sehingga harus menghabiskan waktuku bersama orang aneh ini? Mengapa aku tidak tetap bersama Bani Israel untuk membacakan Taurat sehingga mereka menaatiku? Pemilik perahu ini telah memberi tumpangan gratis karena memuliakan kami. Namun, orang aneh ini malah melubangi dan merusak perahunya."
Bagi Musa a.s. tingkah laku gurunya sangatlah tercela. Sebagai pembawa kebenaran, ia merasa harus meluruskan hal ini. Kemudian ia menegur gurunya tanpa ingat dengan persyaratan untuk tidak bertanya selama perjalanan, "Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah melakukan kesalahan yang besar!"
Khidr a.s. menghela nafas dan menjawab, "Sudah aku katakan, kau tidak akan bisa sabar bersamaku!"
Musa a.s. terkesiap. la sudah berjanji untuk bersabar dan tidak bertanya selama perjalanan. la pun segera meminta maaf dan berharap sang guru tidak menghiraukan perkataannya.
Keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Mereka melewati sebuah taman tempat bermain anak-anak. Setelah anak-anak itu letih karena bermain, mereka merebahkan diri dan tertidur. Khidr a.s. mendekati mereka dan membunuh salah satu anak di antara mereka.
Musa a.s. kaget bukan main. Tega-teganya sang guru membunuh seorang bocah yang masih fitrah tanpa dosa! Ini benar-benar di luar batas kemanusiaan! Rasa ingin tahunya mengalahkan janjinya untuk tidak bertanya, "Mengapa kaubunuh jiwa yang bersih? Bukankah dia tidak membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar!"
Khidr a.s. yang mengenal tabiat muridnya mengingatkan kembali, "Sudah aku katakan kau tidak akan sabar bersamaku. Kau telah melanggar kesepakatan kita. Lebih baik kaucari guru lain yang lebih baik untuk mengajarimu!"
Musa a.s. segera meminta maaf. Meskipun tingkah laku gurunya sangat membingungkan, dialah yang ditunjuk Allah SWT sebagai orang yang lebih tinggi ilmunya.
"Aku dapat memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang aku lakukan sehingga membuat ketidaksabaranmu itu. Adapun bahtera itu kepunyaan orang miskin yang bekerja di laut. Aku merusak bahtera itu karena di hadapannya ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Apabila perahu itu dilubangi, ia tidak akan berlayar sehingga akan terhindar dari kezaliman raja yang akan merampas bahteranya. Dan ia dapat memperbaiki lubang di perahunya sehingga dapat kembali digunakan untuk mencari nafkah"
"Dan adapun anak itu," lanjut Khidr a.s., "kedua orang tuanya adalah orang-orang beriman dan kami khawatir anak itu akan mendorong orang tuanya pada kesesatan dan kekafiran. Jika Allah SWT menghendaki, akan lahir seorang anak sebagai penggantinya yang lebih baik kesuciannya dan lebih dalam kasih sayangnya kepada orang tua."
Kejadian ketiga, Khidr a.s. menjelaskan, "Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh. Allah SWT menghendaki ketika anak-anaknya dewasa, mereka akan mendapatkan simpanan di bawah dinding tersebut sebagai rahmat dari Allah SWT."
Sekali lagi, Nabi Khidr a.s. menegaskan, "Aku melakukannya bukan atas kemauanku sendiri. Dan saya harap kamu memahami tujuan dari setiap kejadian yang kau pertanyakan itu."
Dalam satu waktu, Khidr a.s. memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi Musa a.s. bahwa segala sesuatunya tidak bisa dinilai secara kasat mata.
Bisa jadi segala musibah yang Allah SWT tetapkan sebenarnya mengandung hikmah yang besar untuk keselamatan atau kebahagiaan umat-Nya. Musa a.s. juga menyadari bahwa keluasan ilmu yang dimilikinya belum dapat menjangkau dan menilai semua peristiwa yang terjadi di bumi Allah.
Setidaknya ia memperoleh bekal berharga sebagai penguat dakwahnya kepada Bani Israel, kaumnya. Kisah Musa a.s. ini diabadikan dalam Al-Qur'an Surat Al-Kahfi [18]: 60-82.
Hasutan Iblis
Suatu hari Iblis datang menemui Nabi Isa a.s. dan bertanya, "Bukankah kamu meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi pada dirimu telah ditetapkan Allah?"
"Benar," jawab Isa a.s.
Lantas Iblis berkata,"Kalau begitu, jatuhkanlah dirimu dari atas gunung ini. Sebab jika Allah menakdirkanmu selamat, pastilah engkau selamat!"
Isa a.s. pun menjawab, "Wahai makhluk terlaknat! Sesungguhnya hanya Allah SWT yang berhak menguji hamba-hamba-Nya. Sementara itu, hamba-hamba-Nya tidak berhak sama sekali untuk menguji Tuhannya!"
"Benar," jawab Isa a.s.
Lantas Iblis berkata,"Kalau begitu, jatuhkanlah dirimu dari atas gunung ini. Sebab jika Allah menakdirkanmu selamat, pastilah engkau selamat!"
Isa a.s. pun menjawab, "Wahai makhluk terlaknat! Sesungguhnya hanya Allah SWT yang berhak menguji hamba-hamba-Nya. Sementara itu, hamba-hamba-Nya tidak berhak sama sekali untuk menguji Tuhannya!"
Jalan Keluar Pertikaian Hajar Aswad
Penduduk Mekah merencanakan pemugaran Kakbah yang melibatkan empat kabilah terpandang dari bangsa Quraisy yang turut serta dalam proses pembangunan kembali Kakbah tersebut.
Begitu pula, Muhammad bersama yang lainnya mengangkut bebatuan granit biru guna menyusun bangunan Kakbah. Permasalahan muncul ketika pembangunan Kakbah selesai dan para kabilah saling berebut untuk mengembalikan Hajar Aswad, batu yang disucikan, ke tempat semula.
Setiap kabilah merasa berhak memperoleh kehormatan untuk meletakkan batu hitam tersebut. Perselisihan makin memanas hari demi hari hingga akhirnya tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan permasalahan mereka, kecuali melalui peperangan.
Melihat situasi yang makin runyam, Abu Umayya bin Al-Mughirah dari Bani Makhzum segera melerai perselisihan yang makin menghebat tersebut. la adalah orang tertua di antara mereka yang dihormati dan disegani. la berkata, "Serahkanlah putusan kalian ini kepada orang yang pertama kali memasuki Masjidil Haram melalui pintu Bani Syaibah ini!"
Mereka menyetujui cara itu. Dengan harap-harap cemas, mereka menunggu seseorang yang akan masuk Masjidil Haram. Tidak lama kemudian, mereka melihat Muhammad memasuki pintu tersebut. Kontan mereka berseru, "Ia Al-Amin! Inilah Muhammad! Kami rela perkara ini diputuskan olehnya!"
Mereka mengadukan permasalahannya kepada Muhammad. Melihat api permusuhan yang begitu membara di antara mereka, Muhammad segera memberikan jalan keluar terhadap perselisihan ini atas petunjuk Allah SWT. Beliau hamparkan selendangnya di atas tanah dan meletakkan Hajar Aswad di atasnya. Lalu berkata, "Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini."
Setiap ketua dari keempat kabilah tersebut mengikuti usulan Muhammad. Masing-masing dari mereka memegang tiap sudut kain dan membawanya bersama-sama ke tempat seharusnya batu itu diletakkan.
Kemudian Muhammad memindahkan Hajar Aswad dengan kedua tangannya sendiri dari kain yang masih dipegang para ketua kabilah ke lubang dinding yang telah disiapkan. Mereka semua puas dengan keputusan Muhammad dan pertumpahan darah pun dapat terhindarkan.
Begitu pula, Muhammad bersama yang lainnya mengangkut bebatuan granit biru guna menyusun bangunan Kakbah. Permasalahan muncul ketika pembangunan Kakbah selesai dan para kabilah saling berebut untuk mengembalikan Hajar Aswad, batu yang disucikan, ke tempat semula.
Setiap kabilah merasa berhak memperoleh kehormatan untuk meletakkan batu hitam tersebut. Perselisihan makin memanas hari demi hari hingga akhirnya tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan permasalahan mereka, kecuali melalui peperangan.
Melihat situasi yang makin runyam, Abu Umayya bin Al-Mughirah dari Bani Makhzum segera melerai perselisihan yang makin menghebat tersebut. la adalah orang tertua di antara mereka yang dihormati dan disegani. la berkata, "Serahkanlah putusan kalian ini kepada orang yang pertama kali memasuki Masjidil Haram melalui pintu Bani Syaibah ini!"
Mereka menyetujui cara itu. Dengan harap-harap cemas, mereka menunggu seseorang yang akan masuk Masjidil Haram. Tidak lama kemudian, mereka melihat Muhammad memasuki pintu tersebut. Kontan mereka berseru, "Ia Al-Amin! Inilah Muhammad! Kami rela perkara ini diputuskan olehnya!"
Mereka mengadukan permasalahannya kepada Muhammad. Melihat api permusuhan yang begitu membara di antara mereka, Muhammad segera memberikan jalan keluar terhadap perselisihan ini atas petunjuk Allah SWT. Beliau hamparkan selendangnya di atas tanah dan meletakkan Hajar Aswad di atasnya. Lalu berkata, "Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini."
Setiap ketua dari keempat kabilah tersebut mengikuti usulan Muhammad. Masing-masing dari mereka memegang tiap sudut kain dan membawanya bersama-sama ke tempat seharusnya batu itu diletakkan.
Kemudian Muhammad memindahkan Hajar Aswad dengan kedua tangannya sendiri dari kain yang masih dipegang para ketua kabilah ke lubang dinding yang telah disiapkan. Mereka semua puas dengan keputusan Muhammad dan pertumpahan darah pun dapat terhindarkan.
Kecerdasan Rasulullah saw sebagai Panglima Perang
Ketika pasukan Islam dan pasukan Quraisy sedang mempersiapkan diri untuk pertempuran di Badar, Rasulullah saw. mencari informasi dari dua orang pemuda penyedia air minum pasukan Quraisy tentang kondisi pasukan mereka.
Rasulullah saw. bertanya tentang lokasi perkemahan tentara Ouraisy. Mereka menjawab, "Mereka berada di balik bukit pasir ini, di bibir lembah yang paling ujung."
Kemudian Rasulullah saw. menanyakan tentang jumlah pasukan Quraisy. Kedua pemuda itu tampak kebingungan. Para sahabat dibuat tidak sabar oleh sikap kedua orang tersebut yang tidak segera menjawab pertanyaan Rasulullah.
Meskipun didesak sedemikian rupa, tetap saja mereka tidak bisa menjawabnya kecuali dengan kalimat, "Kami tidak tahu, sungguh!"
Akhirnya, Rasulullah saw. mengganti pertanyaannya seraya berkata kepada kedua pemuda itu, "Berapakah jumlah unta dan kambing yang mereka sembelih setiap harinya?"
Mereka hanya menjawab bahwa setiap harinya pasukan Quraisy menyembelih unta dan kambing sekitar 9-10 ekor. Mengetahui hal itu, Rasulullah saw. memprediksikan jumlah pasukan musuh sekitar sembilan ratus hingga seribu orang. Beliau pun tahu kekuatan musuh sebenarnya.
Rasulullah saw. bertanya tentang lokasi perkemahan tentara Ouraisy. Mereka menjawab, "Mereka berada di balik bukit pasir ini, di bibir lembah yang paling ujung."
Kemudian Rasulullah saw. menanyakan tentang jumlah pasukan Quraisy. Kedua pemuda itu tampak kebingungan. Para sahabat dibuat tidak sabar oleh sikap kedua orang tersebut yang tidak segera menjawab pertanyaan Rasulullah.
Meskipun didesak sedemikian rupa, tetap saja mereka tidak bisa menjawabnya kecuali dengan kalimat, "Kami tidak tahu, sungguh!"
Akhirnya, Rasulullah saw. mengganti pertanyaannya seraya berkata kepada kedua pemuda itu, "Berapakah jumlah unta dan kambing yang mereka sembelih setiap harinya?"
Mereka hanya menjawab bahwa setiap harinya pasukan Quraisy menyembelih unta dan kambing sekitar 9-10 ekor. Mengetahui hal itu, Rasulullah saw. memprediksikan jumlah pasukan musuh sekitar sembilan ratus hingga seribu orang. Beliau pun tahu kekuatan musuh sebenarnya.
Kecemerlangan Rasulullah saw dalam Perjanjian Hudaibiyah
Rasulullah saw. dan kaum muslimin di Medinah rindu untuk berhaji ke tanah Mekah sekaligus menapaki kampung halaman tercinta yang lama telah mereka tinggalkan. Namun, kaum musyrikin Quraisy tidak serta-merta mengizinkan kaum muslimin untuk masuk ke tanah mereka.
Bagaimanapun itu akan merendahkan harga diri kaum Quraisy yang dianggap telah tunduk kepada kaum muslimin jika membiarkan mereka masuk ke kota Mekah.
Untuk menghindari bentrokan antara kedua belah pihak-sebenarnya mereka juga sudah bosan dengan peperangan yang terjadi serta menelan banyak korban harta dan jiwa-akhirnya disepakati sebuah perjanjian gencatan senjata yang dinamakan Perjanjian Hudaibiyah.
Dalam perjanjian itu ada pasal yang meresahkan kaum muslimin, yaitu barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Muhammad tanpa seizin walinya, harus dikembalikan kepada mereka dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy, tidak akan dikembalikan.
Kaum muslimin yang tersiksa dengan perjanjian tersebut, antara lain Abu Jandal r.a. dan Abu Bashir r.a. Mereka dan kaum muslimin yang masih berada di Mekah harus kembali mengalami siksaan dari para penduduk musyrikin Quraisy yang zalim.
Akan tetapi, di bawah pimpinan Abu Bashir r.a., kaum muslimin lelaki yang berjumlah kira-kira 70 orang melarikan diri ke Lembah Ish karena tidak diperkenankan masuk ke Medinah. Di lembah itulah mereka memboikot jalur dagang penduduk Quraisy ke Syam sehingga mengacaukan perekonomian penduduk Mekah.
Masa gencatan senjata ini juga dimanfaatkan oleh Rasulullah saw. untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh pelosok jazirah Arab dengan mengirim para sahabat kepada raja-raja penguasa tanah wilayah tersebut.
Belum lagi jika ada orang muslim dari Medinah datang ke Mekah - menurut perjanjian - mereka tidak diperkenankan kembali ke Medinah. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan waktu selama di Mekah untuk menyebarluaskan islam kepada penduduk Mekah. Jumlah pemeluk islam pun bertambah berkali lipat jumlahnya.
Perjanjian tersebut ternyata menguntungkan syiar islam karena memiliki waktu untuk menyusun kekuatan serta melemahkan kekuatan musyrikin Quraisy karena perekonomiannya telah lumpuh akibat ulah kawanan Abu Bashir r.a.
Sebelum masa perjanjian berakhir, pihak kaum Quraisy ternyata melanggar perjanjian itu. Namun, apa boleh buat ternyata kekuatan islam makin besar. Pengikutnya makin bertambah banyak, begitu pula sekutunya.
Akhirnya, terjadilah peristiwa Fathu Mekah di mana seluruh kaum muslimin kembali menduduki Mekah tanpa perlawanan berarti dari kaum musyrikin Quraisy, musuh yang dulunya paling gencar memerangi islam. Orang-orang nonmuslim pun berbondong-bondong bersyahadat menyatakan keislaman mereka.
Bagaimanapun itu akan merendahkan harga diri kaum Quraisy yang dianggap telah tunduk kepada kaum muslimin jika membiarkan mereka masuk ke kota Mekah.
Untuk menghindari bentrokan antara kedua belah pihak-sebenarnya mereka juga sudah bosan dengan peperangan yang terjadi serta menelan banyak korban harta dan jiwa-akhirnya disepakati sebuah perjanjian gencatan senjata yang dinamakan Perjanjian Hudaibiyah.
Dalam perjanjian itu ada pasal yang meresahkan kaum muslimin, yaitu barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Muhammad tanpa seizin walinya, harus dikembalikan kepada mereka dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy, tidak akan dikembalikan.
Kaum muslimin yang tersiksa dengan perjanjian tersebut, antara lain Abu Jandal r.a. dan Abu Bashir r.a. Mereka dan kaum muslimin yang masih berada di Mekah harus kembali mengalami siksaan dari para penduduk musyrikin Quraisy yang zalim.
Akan tetapi, di bawah pimpinan Abu Bashir r.a., kaum muslimin lelaki yang berjumlah kira-kira 70 orang melarikan diri ke Lembah Ish karena tidak diperkenankan masuk ke Medinah. Di lembah itulah mereka memboikot jalur dagang penduduk Quraisy ke Syam sehingga mengacaukan perekonomian penduduk Mekah.
Masa gencatan senjata ini juga dimanfaatkan oleh Rasulullah saw. untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh pelosok jazirah Arab dengan mengirim para sahabat kepada raja-raja penguasa tanah wilayah tersebut.
Belum lagi jika ada orang muslim dari Medinah datang ke Mekah - menurut perjanjian - mereka tidak diperkenankan kembali ke Medinah. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan waktu selama di Mekah untuk menyebarluaskan islam kepada penduduk Mekah. Jumlah pemeluk islam pun bertambah berkali lipat jumlahnya.
Perjanjian tersebut ternyata menguntungkan syiar islam karena memiliki waktu untuk menyusun kekuatan serta melemahkan kekuatan musyrikin Quraisy karena perekonomiannya telah lumpuh akibat ulah kawanan Abu Bashir r.a.
Sebelum masa perjanjian berakhir, pihak kaum Quraisy ternyata melanggar perjanjian itu. Namun, apa boleh buat ternyata kekuatan islam makin besar. Pengikutnya makin bertambah banyak, begitu pula sekutunya.
Akhirnya, terjadilah peristiwa Fathu Mekah di mana seluruh kaum muslimin kembali menduduki Mekah tanpa perlawanan berarti dari kaum musyrikin Quraisy, musuh yang dulunya paling gencar memerangi islam. Orang-orang nonmuslim pun berbondong-bondong bersyahadat menyatakan keislaman mereka.
Langganan:
Postingan (Atom)