Wafatnya Rasululullah saw meninggalkan duka yang sangat dalam di hati para sahabat. Meskipun demikian, bukan berarti perjuangan berhenti begitu saja. Tampuk kepemimpinan harus terus bergulir untuk menjaga dan mengurus umat, terutama dalam menyiarkan syariat Islam yang telah sempurna.
Masyarakat pun sepakat bahwa tampuk pimpinan diberikan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Namun, baginya, jabatan sebagai khalifah bukanlah pekerjaan yang didamba-dambakan. Terdapat tanggung jawab yang besar kepada Allah SWT dan rakyatnya. Dirinya merasa belum layak menjadi pemimpin. Hal ini tergambar dalam pidatonya ketika menerima jabatan sebagai khalifah pertama.
"Hadirin sekalian, sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pemimpin atas kalian, bukan berarti aku yang terbaik di antara kalian. Oleh karena itu, jika aku berbuat kebaikan, bantulah aku. Dan, jika aku bertindak keliru, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhianatan.
Orang yang lemah di antara kalian sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya, insya Allah. Sebaliknya, siapa yang kuat di antara kalian, dialah yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya.
Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, kecuali Allah akan timpakan kepada mereka suatu kehinaan. Dan, tidaklah suatu kekejian terbesar di tengah suatu kaum, kecuali azab Allah akan ditimpakan kepada seluruh kaum tersebut.
Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika aku tidak mematuhi keduanya, tiada kewajiban atas kalian taat terhadapku. Sekarang berdirilah kalian untuk melaksanakan shalat! Semoga Allah merahmati kalian!"
Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi
Tampilkan postingan dengan label Amanah dalam kepemimpinan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Amanah dalam kepemimpinan. Tampilkan semua postingan
Kamis, 11 Maret 2010
Rabu, 10 Maret 2010
Khalifah yang Tetap Merakyat
Setelah pembaiatannya menjadi khalifah, Abu Bakar r.a. mendengar seorang wanita berkata, "Sekarang ia (Abu Bakar r.a) tidak akan memerahkan susu kambing kami lagi!"
Sebuah prasangka yang wajar jika wanita itu mengira bahwa Abu Bakar r.a yang kini menduduki jabatan tertinggi di negaranya akan lupa kepadanya, apalagi melakukan pekerjaan rakyat kecil.
Perkataan wanita itu benar-benar mengusik hati sang Khalifah. Abu Bakar r.a sangat mengenali suara itu, suara wanita tua pemilik kambing yang sering ia bantu untuk memerah susu kambingnya. Ia pun mendatangi kediaman wanita tua tersebut.
Sebuah kunjungan yang tak terduga bagi wanita tua tersebut ketika seorang khalifah agung berdiri di depan rumahnya. Dengan bahagia, wanita tua itu berkata, "Aku pikir engkau akan melupakan kami."
Senyum khalifah yang begitu damai seolah menepis pendapat tersebut.
"Tidak demikian, demi Allah. Sesungguhnya aku berharap apa yang aku terima ini tidak mengubah akhlakku yang dulu," jawab Abu Bakar r.a. santun.
Tanpa sungkan, Abu Bakar r.a lantas memerah susu kambing untuk keluarga wanita tua tersebut.
Sebuah prasangka yang wajar jika wanita itu mengira bahwa Abu Bakar r.a yang kini menduduki jabatan tertinggi di negaranya akan lupa kepadanya, apalagi melakukan pekerjaan rakyat kecil.
Perkataan wanita itu benar-benar mengusik hati sang Khalifah. Abu Bakar r.a sangat mengenali suara itu, suara wanita tua pemilik kambing yang sering ia bantu untuk memerah susu kambingnya. Ia pun mendatangi kediaman wanita tua tersebut.
Sebuah kunjungan yang tak terduga bagi wanita tua tersebut ketika seorang khalifah agung berdiri di depan rumahnya. Dengan bahagia, wanita tua itu berkata, "Aku pikir engkau akan melupakan kami."
Senyum khalifah yang begitu damai seolah menepis pendapat tersebut.
"Tidak demikian, demi Allah. Sesungguhnya aku berharap apa yang aku terima ini tidak mengubah akhlakku yang dulu," jawab Abu Bakar r.a. santun.
Tanpa sungkan, Abu Bakar r.a lantas memerah susu kambing untuk keluarga wanita tua tersebut.
Kehati-hatian Menggunakan Uang Gaji
Aisyah r.a bercerita ketika ayahnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, diangkat menjadi khalifah, ia berkata, "Rakyatku telah mengetahui bahwa uangku dan perdaganganku telah mencukupi keluargaku, tetapi sekarang aku telah disibukkan dengan urusan kekhalifahan dan menyelesaikan urusan kaum muslimin sehingga tidak ada waktu bagiku untuk berdagang. Oleh karena itu, nafkahku ditetapkan oleh Baitul Mal." (HR Bukhari)
Abu Bakar r.a sudah ditunjuk menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad saw yang telah meninggal dunia, tetapi ia tetap berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sejak pagi dini hari, Abu Bakar r.a. telah membawa beberapa kain untuk dijual di pasar. Di tengah perjalanan ia berpapasan dengan Umar bin Khaththab r.a. Mereka pun saling berucap salam. "Hendak ke mana engkau, wahai Abu Bakar?" tanya Umar r.a.
"Ke pasar!" jawabAbu Bakar r.a sambil menunjukkan barang dagangannya.
Mendengar itu, Umar r.a. mengingatkan tugas Abu Bakar r.a sebagai khalifah negara dengan bertanya, "Jika kamu disibukkan dengan perdaganganmu, kapan kau akan mengurus umat?"
"Inilah yang biasa aku lakukan untuk menafkahi keluargaku. Jika aku tidak berdagang, siapa yang akan memenuhi kebutuhan hidup keluargaku?" timpal Abu Bakar r.a.
Kemudian Umar r.a mengajak sahabatnya untuk meminta pendapat Abu Ubaidah yang diberi gelar Ummul ummah oleh Rasulullah saw yang artinya kepercayaan umat.
Abu Ubaidah menetapkan gaji untuk Abu Bakar r.a yang diambil dari harta Baitul Mal sebesar 4.000 dirham per tahun. Dengan demikian, Abu Bakar r.a dapat memusatkan perhatiannya untuk mengurus umat tanpa terbebani permasalahan keluarga.
Suatu hari, istri Abu Bakar r.a. menginginkan manisan. la membutuhkan bahan-bahan manisan untuk membuatnya. Kemudian ia meminta suaminya untuk membelikan apa yang ia butuhkan. "Aku tidak punya uang untuk membelinya," jawab Abu Bakar r.a atas permintaan sang istri.
"Jika kau setuju, aku akan menyisihkan uang belanja kita sedikit demi sedikit hingga terkumpul untuk membeli bahan-bahan manisan," usul istrinya. Abu Bakar r.a pun menyetujuinya.
Dalam beberapa hari uang tersebut telah terkumpul. Sang istri kembali meminta bantuan Abu Bakar r.a agar membelikannya bahan-bahan manisan dengan uang tersebut. Rupanya sang istri tidak sabar ingin segera menikmati manisan yang ia gemari. Akan tetapi, apa yang dikatakan sang suami?
Sambil menerima uang yang diserahkan oleh istrinya, Abu Bakar r.a berkata, "Kini aku tahu bahwa kita menerima gaji dari Baitul Mal lebih dari yang kita butuhkan. Aku akan mengembalikan uang ini ke Baitul Mal." Sejak saat itu, Abu Bakar r.a mengurangi gajinya sebanyak uang yang dapat disisihkan istrinya pada waktu lalu tersebut.
Tindakan Abu Bakar ini berlanjut dan memerintahkan anaknya, Aisyah, untuk mengembalikan seluruh barang yang telah diambil dari Baitul Mal, termasuk mengembalikan gajinya selama ia memerintah 2 tahun lamanya sebesar 8.000 dirham ke Baitul Mal.
Bahkan, peninggalan Abu Bakar r.a hanya seekor unta betina, sebuah mangkuk, dan seorang hamba sahaya. Itu pun ia berikan kepada khalifah selanjutnya, yaitu Umar bin Khaththab r.a.
Ketika Umar bin Khaththab r.a menerima peninggalan sahabatnya dari Aisyah r.a, ia berkata, "Semoga Allah SWT merahmati Abu Bakar. la telah menunjukkan jalan yang sulit untuk ditempuh para penggantinya."
Maksud Umar r.a atas perkataannya adalah Abu Bakar r.a. telah memberikan suri teladan yang sangat berat untuk dilaksanakan oleh para penerusnya.
Abu Bakar r.a sudah ditunjuk menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad saw yang telah meninggal dunia, tetapi ia tetap berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sejak pagi dini hari, Abu Bakar r.a. telah membawa beberapa kain untuk dijual di pasar. Di tengah perjalanan ia berpapasan dengan Umar bin Khaththab r.a. Mereka pun saling berucap salam. "Hendak ke mana engkau, wahai Abu Bakar?" tanya Umar r.a.
"Ke pasar!" jawabAbu Bakar r.a sambil menunjukkan barang dagangannya.
Mendengar itu, Umar r.a. mengingatkan tugas Abu Bakar r.a sebagai khalifah negara dengan bertanya, "Jika kamu disibukkan dengan perdaganganmu, kapan kau akan mengurus umat?"
"Inilah yang biasa aku lakukan untuk menafkahi keluargaku. Jika aku tidak berdagang, siapa yang akan memenuhi kebutuhan hidup keluargaku?" timpal Abu Bakar r.a.
Kemudian Umar r.a mengajak sahabatnya untuk meminta pendapat Abu Ubaidah yang diberi gelar Ummul ummah oleh Rasulullah saw yang artinya kepercayaan umat.
Abu Ubaidah menetapkan gaji untuk Abu Bakar r.a yang diambil dari harta Baitul Mal sebesar 4.000 dirham per tahun. Dengan demikian, Abu Bakar r.a dapat memusatkan perhatiannya untuk mengurus umat tanpa terbebani permasalahan keluarga.
Suatu hari, istri Abu Bakar r.a. menginginkan manisan. la membutuhkan bahan-bahan manisan untuk membuatnya. Kemudian ia meminta suaminya untuk membelikan apa yang ia butuhkan. "Aku tidak punya uang untuk membelinya," jawab Abu Bakar r.a atas permintaan sang istri.
"Jika kau setuju, aku akan menyisihkan uang belanja kita sedikit demi sedikit hingga terkumpul untuk membeli bahan-bahan manisan," usul istrinya. Abu Bakar r.a pun menyetujuinya.
Dalam beberapa hari uang tersebut telah terkumpul. Sang istri kembali meminta bantuan Abu Bakar r.a agar membelikannya bahan-bahan manisan dengan uang tersebut. Rupanya sang istri tidak sabar ingin segera menikmati manisan yang ia gemari. Akan tetapi, apa yang dikatakan sang suami?
Sambil menerima uang yang diserahkan oleh istrinya, Abu Bakar r.a berkata, "Kini aku tahu bahwa kita menerima gaji dari Baitul Mal lebih dari yang kita butuhkan. Aku akan mengembalikan uang ini ke Baitul Mal." Sejak saat itu, Abu Bakar r.a mengurangi gajinya sebanyak uang yang dapat disisihkan istrinya pada waktu lalu tersebut.
Tindakan Abu Bakar ini berlanjut dan memerintahkan anaknya, Aisyah, untuk mengembalikan seluruh barang yang telah diambil dari Baitul Mal, termasuk mengembalikan gajinya selama ia memerintah 2 tahun lamanya sebesar 8.000 dirham ke Baitul Mal.
Bahkan, peninggalan Abu Bakar r.a hanya seekor unta betina, sebuah mangkuk, dan seorang hamba sahaya. Itu pun ia berikan kepada khalifah selanjutnya, yaitu Umar bin Khaththab r.a.
Ketika Umar bin Khaththab r.a menerima peninggalan sahabatnya dari Aisyah r.a, ia berkata, "Semoga Allah SWT merahmati Abu Bakar. la telah menunjukkan jalan yang sulit untuk ditempuh para penggantinya."
Maksud Umar r.a atas perkataannya adalah Abu Bakar r.a. telah memberikan suri teladan yang sangat berat untuk dilaksanakan oleh para penerusnya.
Uang Tunjangan Umar bin Khaththab r.a
Sebelum diangkat menjadi khalifah, Umar bin Khaththab r.a menafkahi keluarganya dari usaha berdagangnya. Namun, setelah diangkat menjadi khalifah, tidak ada waktu baginya untuk mengurus perdagangannya. Artinya, ia tidak memiliki penghasilan yang dapat digunakan untuk menghidupi keluarganya sehari-hari.
Para sahabat berkumpul untuk menentukan besarnya tunjangan yang akan diberikan kepada Umar r.a. Mereka pun memberi usulan berbeda-beda. Namun, tidak ada pendapat yang cocok di hati Umar r.a. Kemudian Umar r.a melihat Ali bin Abi Thalib r.a hanya diam saja. la pun menanyakan pendapat Ali r.a. tentang besaran tunjangan yang layak baginya, "Bagaimana menurutmu, Ali?"
Ali r.a menjawab, "Ambillah uangyang bisa mencukupi keperluan keluargamu." Pendapat itu sangat menyenangkan hati Umar r.a. Akhirnya, mereka menetapkan uang tunjangan sebesar permintaan Umar r.a sendiri.
Dengan kebebasan Umar r.a. menentukan uang gajinya, apakah ia memanfaatkan peluang itu untuk mengambil harta sebanyak-banyaknya dari Baitul Mal? Ternyata tidak sama sekali. Para sahabat melihatnya, ternyata ia hanya mengambil gaji ala kadarnya hingga kehidupan keluarganya menjadi susah.
Setidaknya itulah pandangan orang lain yang melihat kehidupan keluarga Umar r.a. Namun, Umar r.a. memiliki pendapat lain. la merasa bahagia dengan keadaannya tersebut. Ia tidak kemaruk sehingga memanfaatkan jabatannya untuk mendapat fasilitas kemewahan dari negara, tidak sama sekali.
Melihat kondisi perekonomian khalifah seperti itu, akhirnya para sahabat berkumpul untuk membicarakan tambahan tunjangan bagi Amirul Mukminin yang zuhud tersebut. Mereka merasa tunjangan yang diminta Umar r.a terlalu kecil.
Akan tetapi, bagi mereka yang mengenal karakter Umar r.a sudah bisa memastikan bahwa sang khalifah tidak akan setuju dengan rencana penambahan uang tunjangannya. Kemudian mereka meminta Hafsah r.a., putri kesayangan Umar r.a sekaligus Ummahatul Mukminin (ibu orang mukmin atau para istri Nabi saw.) untuk menyampaikan hal tersebut kepada ayahnya dan melihat reaksinya.
Hafsah r.a pun menyampaikan amanat para sahabat kepada ayahnya. Setelah mendengar usulan itu, bukan main geramnya Umar r.a. Wajahnya memerah mengesankan amarah dan kecewa. Ia bertanya kepada putrinya dengan garang, "Siapa yang berani mengajukan usul seperti itu? Akan saya pukul wajah mereka!"
Dengan rasa ciut, Hafsah r.a mencoba menenangkan, "Tenanglah, Ayahku. Mereka hanya ingin membantumu!"
Umar r.a kembali bertanya, "Hafsah! Selama kau bersama Rasulullah saw., ceritakanlah pakaian terbaik beliau yang ada di rumahmu!"
"Pakaian terbaiknya hanyalah pakaian yang berwarna merah, yang dipakai pada hari Jum'at dan ketika menerima tamu", jawab Hafsah r.a mengingat kehidupan suaminya dulu.
"Lalu, makanan apa yang paling lezat yang pernah dimakan oleh Rasulullah saw di rumahmu?" tanya ayahnya kembali.
Hafsah r.a pun menjawab, "Roti yang dibuat dari tepung kasar yang dicelupkan ke dalam minyak. Pernah aku memberinya roti beroleskan mentega dari dalam kaleng yang hampir kosong. Beliau memakannya dengan nikmat dan membagi-bagikannya kepada orang lain."
"Apa alas tidur yang paling baik yang pernah digunakan Rasulullah saw. di rumahmu?"
"Sehelai kain tebal, yang pada musim panas kain itu dilipat empat sebagai alas tidurnya. Sedangkan, pada musim dingin dilipat dua, separuh sebagai alas, separuh lainnya beliau jadikan selimut," jawab Hafsah r.a kembali.
Merasa puas telah mengingatkan putrinya tentang kehidupan Rasulullah saw, suaminya, Umar r.a berkata, "Sekarang pergilah kepada mereka! Katakan bahwa Rasulullah telah mencontohkan suatu pola hidup dan merasa cukup dengan apa yang ada demi mendapatkan akhirat. Abu Bakar telah melakukan hal yang sama. Diriku dan mereka berdua bagaikan musafir yang menempuh jalan yang sama. Musafir pertama telah sampai ke tempat tujuannya dengan membawa perbekalannya. Begitu pula musafir kedua yang telah mengikuti jejak perjalanan musafir pertama juga telah sampai ke tujuannya. Musafir ketiga kini baru memulai perjalanannya. Jika mengikuti perjalanan musafir sebelumnya, tentu akan bertemu mereka di penghujung jalan. Namun, jika tidak mengikutinya, sudah tentu tidak akan pernah sampai ke tempat mereka."
Para sahabat berkumpul untuk menentukan besarnya tunjangan yang akan diberikan kepada Umar r.a. Mereka pun memberi usulan berbeda-beda. Namun, tidak ada pendapat yang cocok di hati Umar r.a. Kemudian Umar r.a melihat Ali bin Abi Thalib r.a hanya diam saja. la pun menanyakan pendapat Ali r.a. tentang besaran tunjangan yang layak baginya, "Bagaimana menurutmu, Ali?"
Ali r.a menjawab, "Ambillah uangyang bisa mencukupi keperluan keluargamu." Pendapat itu sangat menyenangkan hati Umar r.a. Akhirnya, mereka menetapkan uang tunjangan sebesar permintaan Umar r.a sendiri.
Dengan kebebasan Umar r.a. menentukan uang gajinya, apakah ia memanfaatkan peluang itu untuk mengambil harta sebanyak-banyaknya dari Baitul Mal? Ternyata tidak sama sekali. Para sahabat melihatnya, ternyata ia hanya mengambil gaji ala kadarnya hingga kehidupan keluarganya menjadi susah.
Setidaknya itulah pandangan orang lain yang melihat kehidupan keluarga Umar r.a. Namun, Umar r.a. memiliki pendapat lain. la merasa bahagia dengan keadaannya tersebut. Ia tidak kemaruk sehingga memanfaatkan jabatannya untuk mendapat fasilitas kemewahan dari negara, tidak sama sekali.
Melihat kondisi perekonomian khalifah seperti itu, akhirnya para sahabat berkumpul untuk membicarakan tambahan tunjangan bagi Amirul Mukminin yang zuhud tersebut. Mereka merasa tunjangan yang diminta Umar r.a terlalu kecil.
Akan tetapi, bagi mereka yang mengenal karakter Umar r.a sudah bisa memastikan bahwa sang khalifah tidak akan setuju dengan rencana penambahan uang tunjangannya. Kemudian mereka meminta Hafsah r.a., putri kesayangan Umar r.a sekaligus Ummahatul Mukminin (ibu orang mukmin atau para istri Nabi saw.) untuk menyampaikan hal tersebut kepada ayahnya dan melihat reaksinya.
Hafsah r.a pun menyampaikan amanat para sahabat kepada ayahnya. Setelah mendengar usulan itu, bukan main geramnya Umar r.a. Wajahnya memerah mengesankan amarah dan kecewa. Ia bertanya kepada putrinya dengan garang, "Siapa yang berani mengajukan usul seperti itu? Akan saya pukul wajah mereka!"
Dengan rasa ciut, Hafsah r.a mencoba menenangkan, "Tenanglah, Ayahku. Mereka hanya ingin membantumu!"
Umar r.a kembali bertanya, "Hafsah! Selama kau bersama Rasulullah saw., ceritakanlah pakaian terbaik beliau yang ada di rumahmu!"
"Pakaian terbaiknya hanyalah pakaian yang berwarna merah, yang dipakai pada hari Jum'at dan ketika menerima tamu", jawab Hafsah r.a mengingat kehidupan suaminya dulu.
"Lalu, makanan apa yang paling lezat yang pernah dimakan oleh Rasulullah saw di rumahmu?" tanya ayahnya kembali.
Hafsah r.a pun menjawab, "Roti yang dibuat dari tepung kasar yang dicelupkan ke dalam minyak. Pernah aku memberinya roti beroleskan mentega dari dalam kaleng yang hampir kosong. Beliau memakannya dengan nikmat dan membagi-bagikannya kepada orang lain."
"Apa alas tidur yang paling baik yang pernah digunakan Rasulullah saw. di rumahmu?"
"Sehelai kain tebal, yang pada musim panas kain itu dilipat empat sebagai alas tidurnya. Sedangkan, pada musim dingin dilipat dua, separuh sebagai alas, separuh lainnya beliau jadikan selimut," jawab Hafsah r.a kembali.
Merasa puas telah mengingatkan putrinya tentang kehidupan Rasulullah saw, suaminya, Umar r.a berkata, "Sekarang pergilah kepada mereka! Katakan bahwa Rasulullah telah mencontohkan suatu pola hidup dan merasa cukup dengan apa yang ada demi mendapatkan akhirat. Abu Bakar telah melakukan hal yang sama. Diriku dan mereka berdua bagaikan musafir yang menempuh jalan yang sama. Musafir pertama telah sampai ke tempat tujuannya dengan membawa perbekalannya. Begitu pula musafir kedua yang telah mengikuti jejak perjalanan musafir pertama juga telah sampai ke tujuannya. Musafir ketiga kini baru memulai perjalanannya. Jika mengikuti perjalanan musafir sebelumnya, tentu akan bertemu mereka di penghujung jalan. Namun, jika tidak mengikutinya, sudah tentu tidak akan pernah sampai ke tempat mereka."
Jangan Kamu yang Menimbang
Suatu hari Umar bin Khaththab r.a menerima kesturi dari Bahrain. Kemudian ia bertanya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, "Adakah di antara kalian yang bersedia untuk menimbangnya dan membagikan kepada orang Islam?"
Istrinya yang bernama Atikah r.a berkata, "Saya bersedia menimbangnya!"
Mendengar keinginan sang istri, Umar r.a terlihat berpikir sejenak. Kemudian ia kembali bertanya kepada orang-orang, "Adakah yang bersedia menimbang kesturi ini dan membagikannya kepada orang Islam?"
Atikah r.a kembali menawarkan diri untuk kedua kalinya. Namun, Umar r.a tetap tidak menanggapi sehingga ia pun bertanya untuk ketiga kalinya dengan pernyataan kesediannya.
Umar r.a berkata kepada istrinya, "Aku tidak suka kamu meletakkan kesturi itu dengan tanganmu ketika menimbang, kemudian kamu mengusap-usap tanganmu yang berbau kesturi itu ke badanmu. Sungguh jika demikian berarti aku akan mendapat lebih dari hakku yang halal!"
Semua orang akan senang menimbang kesturi karena keharumannya. Bahkan, dipastikan ketika seseorang menimbang kesturi, ia pasti akan terkena keharumannya. Umar r.a membolehkan hal itu terjadi pada diri orang lain, tetapi bukan kepada istrinya. Ia khawatir terdapat hak rakyatnya yang ikut ternikmati oleh istrinya.
Sikap kehati-hatiannya atas kepemilikan yang bukan haknya juga dimiliki oleh Umar bin Abdul Aziz yang mendapat julukan Umar kedua. Pada masa pemerintahannya, ia pernah melewati seseorang yang tengah menimbang kesturi. la lalu menutup hidungnya seraya berkata, "Manfaat kesturi ini terletak pada keharumannya. Saya tidak mau menciumnya karena ia bukan milik saya."
Istrinya yang bernama Atikah r.a berkata, "Saya bersedia menimbangnya!"
Mendengar keinginan sang istri, Umar r.a terlihat berpikir sejenak. Kemudian ia kembali bertanya kepada orang-orang, "Adakah yang bersedia menimbang kesturi ini dan membagikannya kepada orang Islam?"
Atikah r.a kembali menawarkan diri untuk kedua kalinya. Namun, Umar r.a tetap tidak menanggapi sehingga ia pun bertanya untuk ketiga kalinya dengan pernyataan kesediannya.
Umar r.a berkata kepada istrinya, "Aku tidak suka kamu meletakkan kesturi itu dengan tanganmu ketika menimbang, kemudian kamu mengusap-usap tanganmu yang berbau kesturi itu ke badanmu. Sungguh jika demikian berarti aku akan mendapat lebih dari hakku yang halal!"
Semua orang akan senang menimbang kesturi karena keharumannya. Bahkan, dipastikan ketika seseorang menimbang kesturi, ia pasti akan terkena keharumannya. Umar r.a membolehkan hal itu terjadi pada diri orang lain, tetapi bukan kepada istrinya. Ia khawatir terdapat hak rakyatnya yang ikut ternikmati oleh istrinya.
Sikap kehati-hatiannya atas kepemilikan yang bukan haknya juga dimiliki oleh Umar bin Abdul Aziz yang mendapat julukan Umar kedua. Pada masa pemerintahannya, ia pernah melewati seseorang yang tengah menimbang kesturi. la lalu menutup hidungnya seraya berkata, "Manfaat kesturi ini terletak pada keharumannya. Saya tidak mau menciumnya karena ia bukan milik saya."
Khalifah Membantu Proses Persalinan
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab r.a mempunyai kebiasaan berkeliling di malam hari untuk melihat kondisi rakyatnya dengan cara menyusuri tiap rumah rakyatnya. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada kemah tua yang berdiri di tengah tanah lapang. Padahal, sebelumnya belum ada kemah tersebut, lalu sang Khalifah pun mendekatinya.
Sayup-sayup terdengar rintihan wanita yang menangis karena menahan sakit. Suara itu makin jelas ketika Umar r.a makin dekat menuju kemah tua itu. Di depan kemah, seorang lelaki duduk dengan gelisah dan tampak jelas kegalauan di raut wajahnya.
Amirul Mukminin menyapa dan menanyakan keadaannya. Lelaki itu menjawab, "Saya adalah orang asing yang datang dari sebuah hutan. Di dalam tenda istri saya sedang menahan sakit karena akan melahirkan anak kami. Saya berharap belas kasihan dari Amirul Mukminin. Akan tetapi, saya ragu dia akan membantu kami!"
"Izinkanlah aku membantumu!" Umar r.a menawarkan bantuan kepadanya.
Orang tersebut tidak mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan Amirul Mukminin. la pun menolak mentah-mentah tawaran tersebut, "Apa yang dapat kau lakukan untuk kami? Sudahlah, uruslah urusanmu sendiri."
Sang khalifah pun bergegas meninggalkan tempat tersebut. Bukan kesal karena penolakan tersebut. Namun, ia menuju rumah menemui istrinya, Ummu Kultsum r.a, untuk meminta bantuannya. Ia berkata kepada istrinya, "Istriku. Sesungguhnya Allah SWT telah membuka jalan bagimu, yaitu jalan mulia di sisi Allah SWT agar kamu mendapat peluang untuk mendapat pahala malam ini."
"Apa maksudmu, wahai Amirul Mukminin?" tanya Ummu Kultsum r.a. penasaran.
Umar r.a menjelaskan tentang apa yang ditemuinya tadi, "Istriku, di ujung sebelah sana terdapat sebuah kemah tua yang penghuninya datang dari hutan. Di dalam kemah tersebut terdapat wanita yang menahan sakit karena hendak melahirkan. Tidak ada seorang pun yang merawatnya di sana."
Menanggapi cerita sang suami, Ummu Kultsum r.a. menangkap permintaan suaminya, "Suamiku, aku bersedia merawatnya karena kewajibanku adalah menyempurnakan hasrat dan kesucian hati suamiku."
Ummu Kultsum r.a segera mempersiapkan alat-alat yang diperlukan termasuk air hangat. Mereka berdua bergegas menuju kemah tua tersebut. Sementara itu, Ummu Kultsum r.a membantu persalinan sang ibu di dalam kemah, Umar r.a memasakkan makanan di luar kemah untuk kedua musafir tersebut.
Suara tangisan bayi yang syahdu terdengar lembut di telinga membuncahkan kebahagiaan bagi mereka yang ada di situ. Ummu Kultsum r.a keluar dari kemah sambil menggendong si jabang bayi dan memanggil suaminya, "Wahai Amirul Mukminin, ucapkanlah tahniah (doa keselamatan) tanda kesyukuranmu untuk saudaramu ini karena telah melahirkan anak lelaki!"
Sungguh terkejut orang tersebut ketika orang yang sedang memasak di hadapannya dipanggil Amirul Mukminin. Benar-benar ia tidak menyangka bahwa seorang Amirul Mukminin hidup dalam kebersahajaan, tidak tampak tanda-tanda kemewahan dalam penampilannya, kecuali kekayaan hatinya yang terpancar dari sikapnya sehingga bersedia dengan susah payah menolong orang miskin seperti dirinya.
Lelaki tersebut segera meminta maaf sambil berterima kasih. Umar r.a menjawab, "Tidak usah sungkan, janganlah kedudukanku ini membebani perasaanmu."
Umar r.a menyodorkan makanan yang baru dimasaknya kepada lelaki tersebut dan kepada Ummu r.a untuk dibawa ke dalam kemah dan disuguhkan kepada istri lelaki itu.
Setelah semua tertangani, Umar r.a beserta istri berpamitan seraya berkata, "Datanglah menemuiku besok, insya Allah, aku akan menolongmu."
Sayup-sayup terdengar rintihan wanita yang menangis karena menahan sakit. Suara itu makin jelas ketika Umar r.a makin dekat menuju kemah tua itu. Di depan kemah, seorang lelaki duduk dengan gelisah dan tampak jelas kegalauan di raut wajahnya.
Amirul Mukminin menyapa dan menanyakan keadaannya. Lelaki itu menjawab, "Saya adalah orang asing yang datang dari sebuah hutan. Di dalam tenda istri saya sedang menahan sakit karena akan melahirkan anak kami. Saya berharap belas kasihan dari Amirul Mukminin. Akan tetapi, saya ragu dia akan membantu kami!"
"Izinkanlah aku membantumu!" Umar r.a menawarkan bantuan kepadanya.
Orang tersebut tidak mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan Amirul Mukminin. la pun menolak mentah-mentah tawaran tersebut, "Apa yang dapat kau lakukan untuk kami? Sudahlah, uruslah urusanmu sendiri."
Sang khalifah pun bergegas meninggalkan tempat tersebut. Bukan kesal karena penolakan tersebut. Namun, ia menuju rumah menemui istrinya, Ummu Kultsum r.a, untuk meminta bantuannya. Ia berkata kepada istrinya, "Istriku. Sesungguhnya Allah SWT telah membuka jalan bagimu, yaitu jalan mulia di sisi Allah SWT agar kamu mendapat peluang untuk mendapat pahala malam ini."
"Apa maksudmu, wahai Amirul Mukminin?" tanya Ummu Kultsum r.a. penasaran.
Umar r.a menjelaskan tentang apa yang ditemuinya tadi, "Istriku, di ujung sebelah sana terdapat sebuah kemah tua yang penghuninya datang dari hutan. Di dalam kemah tersebut terdapat wanita yang menahan sakit karena hendak melahirkan. Tidak ada seorang pun yang merawatnya di sana."
Menanggapi cerita sang suami, Ummu Kultsum r.a. menangkap permintaan suaminya, "Suamiku, aku bersedia merawatnya karena kewajibanku adalah menyempurnakan hasrat dan kesucian hati suamiku."
Ummu Kultsum r.a segera mempersiapkan alat-alat yang diperlukan termasuk air hangat. Mereka berdua bergegas menuju kemah tua tersebut. Sementara itu, Ummu Kultsum r.a membantu persalinan sang ibu di dalam kemah, Umar r.a memasakkan makanan di luar kemah untuk kedua musafir tersebut.
Suara tangisan bayi yang syahdu terdengar lembut di telinga membuncahkan kebahagiaan bagi mereka yang ada di situ. Ummu Kultsum r.a keluar dari kemah sambil menggendong si jabang bayi dan memanggil suaminya, "Wahai Amirul Mukminin, ucapkanlah tahniah (doa keselamatan) tanda kesyukuranmu untuk saudaramu ini karena telah melahirkan anak lelaki!"
Sungguh terkejut orang tersebut ketika orang yang sedang memasak di hadapannya dipanggil Amirul Mukminin. Benar-benar ia tidak menyangka bahwa seorang Amirul Mukminin hidup dalam kebersahajaan, tidak tampak tanda-tanda kemewahan dalam penampilannya, kecuali kekayaan hatinya yang terpancar dari sikapnya sehingga bersedia dengan susah payah menolong orang miskin seperti dirinya.
Lelaki tersebut segera meminta maaf sambil berterima kasih. Umar r.a menjawab, "Tidak usah sungkan, janganlah kedudukanku ini membebani perasaanmu."
Umar r.a menyodorkan makanan yang baru dimasaknya kepada lelaki tersebut dan kepada Ummu r.a untuk dibawa ke dalam kemah dan disuguhkan kepada istri lelaki itu.
Setelah semua tertangani, Umar r.a beserta istri berpamitan seraya berkata, "Datanglah menemuiku besok, insya Allah, aku akan menolongmu."
Aku adalah Pelayanmu
Siang hari yang terik menggersangkan padang pasir di seluruh penjuru kota. Tidak seorang pun yang kuat menahan panasnya. Unta-unta pun berteduh di bawah bayangan masjid.
Lewatlah sesosok lelaki yang berjalan terburu-buru sambil menutup mukanya menembus panas terik dan angin berdebu. Mungkinkah ia lelaki asing yang sedang mencari tempat berlindung?
Tidak lama kemudian lelaki itu kembali lagi menantang terik matahari yang menyengat. Namun, kali ini ia menyeret seekor sapi yang enggan melakukan perjalanan sulit tersebut. Utsman bin Affan r.a yang mengamati keseluruhan peristiwa sejak awal dari jendela rumahnya tergerak untuk menolong orang tersebut.
Sungguh tak habis pikir, di saat orang lain beristirahat di dalam rumah yang teduh dan hewan-hewan piaraan memilih untuk bermalas-malasan, tetapi orang ini rela berpanas-panasan. Ada apa gerangan? Siapakah orang itu? Semua pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Utsman r.a.
Ketika Utsman r.a. menyapa orang tersebut, betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa lelaki yang sedang kesusahan di hadapannya adalah Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab r.a. Utsman r.a pun segera menyambutnya dan bertanya, "Apa yang kau lakukan, wahai Amirul Mukminin?"
"Tidakkah kaulihat aku sedang menyeret sapi?" jawab Umar r.a.
Sebenarnya bukan jawaban itu yang diharapkan Utsman r.a. Sudah tentu ia mengetahui sahabatnya sedang menyeret sapi, tetapi mengapa ia melakukannya di siang terik? Bukanlah karakter sahabatnya jika mengkhawatirkan harta bendanya hingga seperti ini. Utsman r.a kembali bertanya, "Mengapa kau menggiring sapi itu di siang terik seperti ini? Begitu mendesakkah keadaanmu?"
Umar r.a kembali menjelaskan, "Ini adalah salah satu sapi sedekah kepunyaan anak-anak yatim yang tiba-tiba terlepas dari kandangnya dan lari ke jalanan. Aku langsung mengejarnya dan alhamdulillah dapat kutangkap!"
Utsman r.a tersentak mendengar jawaban sang Amirul Mukminin, "Tidakkah ada orang lain yang dapat melakukan pekerjaan itu? Bukankah kau seorang khalifah? Kau bisa menyuruh orang lain untuk melakukannya?" tanya Utsman r.a.
Umar r.a menggeleng dan berkata tegas, "Apakah orang itu bersedia menanggung dosaku di hari perhitungan kelak? Maukah ia memikul tanggung jawabku di hadapan Allah? Kekuasaan itu adalah amanah bukan kehormatan."
"Berisitirahatlah dulu di tempatku hingga panas meredup, lalu kau bisa melanjutkan perjalananmu," tawar Utsman r.a dengan hati bergetar setelah mendengar penjelasan sang Khalifah.
"Kembalilah ke tempatmu bernaung, sahabatku. Biarkan aku menyelesaikan kewajibanku." Umar r.a kembali menyeret sapinya sambil terseok-seok menempuh perjalanan di bawah terik matahari.
Utsman r.a. hanya bisa memandangi sahabatnya berlalu dari hadapannya dengan rasa haru mendalam. "Engkau adalah cerminan seorang pemimpin negara. Dan kau memberi contoh yang sulit diikuti oleh penerusmu," gumamnya.
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Ali bin Abi Thalib r.a mendapati Amirul Mukminin Umar bin Khaththab r.a berjalan terburu-buru di Medinah. Ia bertanya kepada Umar r.a, "Hendak ke mana, wahai Amirul Mukminin?"
Sambil terus berjalan, Umar r.a menjawab singkat, "Seekor unta sedekah kabur!"
"Tidak adakah orang lain yang bisa mencarinya selain dirimu?" tanya Ali r.a.
Kemudian Umar r.a menjawab, "Demi Allah yang mengutus Muhammad dengan kebenaran. Seandainya ada seekor kambing kabur ke sungai Efrat, Umar-lah yang akan dimintai pertanggungjawaban atasnya di akhirat kelak!"
Ali r.a. berkata, "Kau telah memberikan teladan yang melelahkan bagi penerusmu."
Pada riwayat yang lain dikisahkan pula bahwa di musim panas yang terik membakar tanah padang pasir dan mengembuskan angin kering, utusan dari Irak yang dipimpin oleh Ahnaf bin Qais r.a mendatangi Umar bin Khaththab r.a.
Mereka mendapati Amirul Mukminin tengah melepas sorban dan berbalut selendang untuk mengurus unta sedekah. Salah seorang dari utusan tersebut berkata, "Tidakkah sebaiknya engkau memerintahkan seorang hamba sahaya untuk mengurus unta sedekah sehingga engkau tidak perlu melakukan hal ini?"
Umar r.a menjawab dengan rendah hati, "Hamba mana yang lebih menghamba daripadaku? Barangsiapa yang memegang wewenang atas urusan kaum muslimin, ia bertanggung jawab atas mereka. la memiliki kewajiban atas mereka sebagaimana kewajiban seorang hamba kepada tuannya, yaitu memberi nasihat dan menyampaikan amanat!"
Lewatlah sesosok lelaki yang berjalan terburu-buru sambil menutup mukanya menembus panas terik dan angin berdebu. Mungkinkah ia lelaki asing yang sedang mencari tempat berlindung?
Tidak lama kemudian lelaki itu kembali lagi menantang terik matahari yang menyengat. Namun, kali ini ia menyeret seekor sapi yang enggan melakukan perjalanan sulit tersebut. Utsman bin Affan r.a yang mengamati keseluruhan peristiwa sejak awal dari jendela rumahnya tergerak untuk menolong orang tersebut.
Sungguh tak habis pikir, di saat orang lain beristirahat di dalam rumah yang teduh dan hewan-hewan piaraan memilih untuk bermalas-malasan, tetapi orang ini rela berpanas-panasan. Ada apa gerangan? Siapakah orang itu? Semua pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Utsman r.a.
Ketika Utsman r.a. menyapa orang tersebut, betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa lelaki yang sedang kesusahan di hadapannya adalah Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab r.a. Utsman r.a pun segera menyambutnya dan bertanya, "Apa yang kau lakukan, wahai Amirul Mukminin?"
"Tidakkah kaulihat aku sedang menyeret sapi?" jawab Umar r.a.
Sebenarnya bukan jawaban itu yang diharapkan Utsman r.a. Sudah tentu ia mengetahui sahabatnya sedang menyeret sapi, tetapi mengapa ia melakukannya di siang terik? Bukanlah karakter sahabatnya jika mengkhawatirkan harta bendanya hingga seperti ini. Utsman r.a kembali bertanya, "Mengapa kau menggiring sapi itu di siang terik seperti ini? Begitu mendesakkah keadaanmu?"
Umar r.a kembali menjelaskan, "Ini adalah salah satu sapi sedekah kepunyaan anak-anak yatim yang tiba-tiba terlepas dari kandangnya dan lari ke jalanan. Aku langsung mengejarnya dan alhamdulillah dapat kutangkap!"
Utsman r.a tersentak mendengar jawaban sang Amirul Mukminin, "Tidakkah ada orang lain yang dapat melakukan pekerjaan itu? Bukankah kau seorang khalifah? Kau bisa menyuruh orang lain untuk melakukannya?" tanya Utsman r.a.
Umar r.a menggeleng dan berkata tegas, "Apakah orang itu bersedia menanggung dosaku di hari perhitungan kelak? Maukah ia memikul tanggung jawabku di hadapan Allah? Kekuasaan itu adalah amanah bukan kehormatan."
"Berisitirahatlah dulu di tempatku hingga panas meredup, lalu kau bisa melanjutkan perjalananmu," tawar Utsman r.a dengan hati bergetar setelah mendengar penjelasan sang Khalifah.
"Kembalilah ke tempatmu bernaung, sahabatku. Biarkan aku menyelesaikan kewajibanku." Umar r.a kembali menyeret sapinya sambil terseok-seok menempuh perjalanan di bawah terik matahari.
Utsman r.a. hanya bisa memandangi sahabatnya berlalu dari hadapannya dengan rasa haru mendalam. "Engkau adalah cerminan seorang pemimpin negara. Dan kau memberi contoh yang sulit diikuti oleh penerusmu," gumamnya.
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Ali bin Abi Thalib r.a mendapati Amirul Mukminin Umar bin Khaththab r.a berjalan terburu-buru di Medinah. Ia bertanya kepada Umar r.a, "Hendak ke mana, wahai Amirul Mukminin?"
Sambil terus berjalan, Umar r.a menjawab singkat, "Seekor unta sedekah kabur!"
"Tidak adakah orang lain yang bisa mencarinya selain dirimu?" tanya Ali r.a.
Kemudian Umar r.a menjawab, "Demi Allah yang mengutus Muhammad dengan kebenaran. Seandainya ada seekor kambing kabur ke sungai Efrat, Umar-lah yang akan dimintai pertanggungjawaban atasnya di akhirat kelak!"
Ali r.a. berkata, "Kau telah memberikan teladan yang melelahkan bagi penerusmu."
Pada riwayat yang lain dikisahkan pula bahwa di musim panas yang terik membakar tanah padang pasir dan mengembuskan angin kering, utusan dari Irak yang dipimpin oleh Ahnaf bin Qais r.a mendatangi Umar bin Khaththab r.a.
Mereka mendapati Amirul Mukminin tengah melepas sorban dan berbalut selendang untuk mengurus unta sedekah. Salah seorang dari utusan tersebut berkata, "Tidakkah sebaiknya engkau memerintahkan seorang hamba sahaya untuk mengurus unta sedekah sehingga engkau tidak perlu melakukan hal ini?"
Umar r.a menjawab dengan rendah hati, "Hamba mana yang lebih menghamba daripadaku? Barangsiapa yang memegang wewenang atas urusan kaum muslimin, ia bertanggung jawab atas mereka. la memiliki kewajiban atas mereka sebagaimana kewajiban seorang hamba kepada tuannya, yaitu memberi nasihat dan menyampaikan amanat!"
Milikku, Urusanku
Suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab r.a. hendak menengok sahabatnya yang sedang sakit. la pun menyewa kendaraan untuk pergi ke tempat sahabatnya itu.
Di tengah perjalanan, sorban Umar r.a tersangkut di sebuah ranting pohon, tetapi ia tidak menyadarinya. Setelah berjalan agak jauh, seseorang memberitahunya, "Wahai Amirul Mukminin! Sorbanmu tersangkut di pohon itu!" sambil menunjuk ke arah pohon yang dimaksud.
Umar r.a. langsung menghentikan kendaraannya dan turun untuk mengambil sorbannya dengan berjalan kaki.
Sekembalinya dari mengambil sorban, pelayan yang membawa kendaraannya bertanya kepada Umar r.a, "Mengapa Tuan tidak menyuruh saya untuk membelokkan kendaraan ini agar Tuan tidak usah berjalan kaki?"
"Kau dan kendaraan yang aku sewa ini hanya untuk perjalanan dari rumahku menuju rumah sahabatku. Tidak ada perjanjian sebelumnya untuk berputar mengambil sorbanku yang tersangkut ranting pohon," jawab Umar r.a santai.
"Tetapi kau adalah khalifah, Tuan berhak menyuruhku untuk mengambil sorban itu," ujar pelayan membantah pernyataan khalifahnya.
"Sorban yang tersangkut adalah milikku dan bukan kepunyaanmu. Mengapa aku harus menyuruhmu? Apakah kaupikir seorang khalifah memiliki wewenang untuk menyuruh orang melakukan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan tugasku?"
Pelayan itu terdiam seribu bahasa mendengar penjelasan khalifah yang begitu rendah hati.
Di tengah perjalanan, sorban Umar r.a tersangkut di sebuah ranting pohon, tetapi ia tidak menyadarinya. Setelah berjalan agak jauh, seseorang memberitahunya, "Wahai Amirul Mukminin! Sorbanmu tersangkut di pohon itu!" sambil menunjuk ke arah pohon yang dimaksud.
Umar r.a. langsung menghentikan kendaraannya dan turun untuk mengambil sorbannya dengan berjalan kaki.
Sekembalinya dari mengambil sorban, pelayan yang membawa kendaraannya bertanya kepada Umar r.a, "Mengapa Tuan tidak menyuruh saya untuk membelokkan kendaraan ini agar Tuan tidak usah berjalan kaki?"
"Kau dan kendaraan yang aku sewa ini hanya untuk perjalanan dari rumahku menuju rumah sahabatku. Tidak ada perjanjian sebelumnya untuk berputar mengambil sorbanku yang tersangkut ranting pohon," jawab Umar r.a santai.
"Tetapi kau adalah khalifah, Tuan berhak menyuruhku untuk mengambil sorban itu," ujar pelayan membantah pernyataan khalifahnya.
"Sorban yang tersangkut adalah milikku dan bukan kepunyaanmu. Mengapa aku harus menyuruhmu? Apakah kaupikir seorang khalifah memiliki wewenang untuk menyuruh orang melakukan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan tugasku?"
Pelayan itu terdiam seribu bahasa mendengar penjelasan khalifah yang begitu rendah hati.
Lebih Baik Meminjam Darimu
Suatu hari Khalifah Umar bin Khaththab r.a mendatangi Abdurrahman bin Auf r.a untuk meminjam uang sebesar 400 dirham. Tentu saja hal ini membuat Abdurrahman r.a heran karena sahabatnya adalah Amirul Mukminin yang memegang kunci Baitul Mal dan tidak sulit untuk meminjam harta dari sana, lalu mengembalikannya.
Ia pun meminta penjelasan Umar r.a dengan bertanya, "Mengapa kau bersusah payah mendatangiku untuk meminjam uang? Bukankah kau memegang kunci Baitul Mal sehingga kau bisa meminjam dari sana dan mengembalikannya nanti?"
Umar r.a menjawab, "Aku tidak mau meminjam dari Baitul Mal karena aku tidak tahu kapan maut menjemputku. Jika aku mati dalam keadaan berutang pada Baitul Mal, kau dan seluruh kaum muslimin akan menuntutku sehingga kebaikanku akan dikurangi di hari kiamat. Sedangkan, jika aku meminjam darimu dan sesuatu menimpaku, kau dapat menagih utangmu pada ahli warisku."
Ia pun meminta penjelasan Umar r.a dengan bertanya, "Mengapa kau bersusah payah mendatangiku untuk meminjam uang? Bukankah kau memegang kunci Baitul Mal sehingga kau bisa meminjam dari sana dan mengembalikannya nanti?"
Umar r.a menjawab, "Aku tidak mau meminjam dari Baitul Mal karena aku tidak tahu kapan maut menjemputku. Jika aku mati dalam keadaan berutang pada Baitul Mal, kau dan seluruh kaum muslimin akan menuntutku sehingga kebaikanku akan dikurangi di hari kiamat. Sedangkan, jika aku meminjam darimu dan sesuatu menimpaku, kau dapat menagih utangmu pada ahli warisku."
Teladan Pemimpin
Perluasan wilayah Islam dilakukan dengan penaklukan raja-raja nonmuslim yang menentang dengan peperangan. Banyak raja nonmuslim yang takluk atas keberanian dan ketangguhan pasukan muslim. Salah satu raja yang takluk pada pasukan muslim adalah Raja Kisra.
Setelah mengetahui bahwa pasukan muslim berhasil mengalahkan pasukannya yang tangguh, Raja Kisra panik dan meninggalkan istananya. Sa'ad bin Abi Waqqash r.a beserta pasukan masuk ke dalam istana tanpa alas kaki.
Begitu mewah dan indah situasi di dalam istana. Lantainya beralaskan permadani yang menghanyutkan kaki penginjaknya hingga sirna seluruh letih dan penat di tubuh. Dinding dan perabotan indah mencerminkan keanggunan, kemewahan, dan kemegahan istana. Pasukan muslimin dibuat terpesona olehnya, termasuk Sa'ad r.a. Kini semua kemewahan itu ditinggalkan oleh pemiliknya dan menjadi hak kaum muslimin.
Sa'ad r.a membacakan firman Allah SWT, "Betapa banyak taman-taman dan mata air-mata air yang mereka tinggalkan, juga kebun-kebun serta tempat-tempat kediaman yang indah, dan kesenangan-kesenangan yang dopat mereka nikmati di sana, demikianlah, dan Kami wariskan (semua) itu kepada kaum yang iain. Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi penangguhan waktu." (QS. Ad-Dukhan [44]: 25-29)
Ketika waktu shalat tiba dan azan dikumandangkan untuk yang pertama kalinya di Istana Kerajaan Kisra, sirnalah segala bentuk kemusyrikan. Termasuk api di aula utama istana yang dijadikan sesembahan masyarakat Kerajaan Kisra yang beragama Majusi telah dipadamkan untuk selama-lamanya.
Usai melaksanakan shalat jamaah, Sa'ad r.a membagi-bagikan harta rampasan perang kepada pasukannya dan sebagian lagi dikirimkan kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab r.a, untuk disimpan di Baitul Mal.
Menerima harta rampasan yang berlimpah itu, Umar r.a. berkata kepada Ali bin Abi Thalib r.a. yang saat itu sedang bersamanya, "Orang yang mau mengirimkan ini kepada kami sudah tentu orang-orang yang tinggi amanahnya."
Ali r.a. menanggapi pernyataan Amirul Mukminin, "Ya, karena engkau telah bersikap amanah terhadap rakyat sehingga rakyat pun meneladani sikapmu. Sekiranya engkau berkhianat, tentu mereka pun akan berbuat yang serupa."
Tak lama setelah penaklukan itu, seluruh warga Irak dan Iran (penduduk negeri Persia) masuk agama Islam dan menjadi kaum muslim yang baik dengan izin Allah Ta'ala.
Setelah mengetahui bahwa pasukan muslim berhasil mengalahkan pasukannya yang tangguh, Raja Kisra panik dan meninggalkan istananya. Sa'ad bin Abi Waqqash r.a beserta pasukan masuk ke dalam istana tanpa alas kaki.
Begitu mewah dan indah situasi di dalam istana. Lantainya beralaskan permadani yang menghanyutkan kaki penginjaknya hingga sirna seluruh letih dan penat di tubuh. Dinding dan perabotan indah mencerminkan keanggunan, kemewahan, dan kemegahan istana. Pasukan muslimin dibuat terpesona olehnya, termasuk Sa'ad r.a. Kini semua kemewahan itu ditinggalkan oleh pemiliknya dan menjadi hak kaum muslimin.
Sa'ad r.a membacakan firman Allah SWT, "Betapa banyak taman-taman dan mata air-mata air yang mereka tinggalkan, juga kebun-kebun serta tempat-tempat kediaman yang indah, dan kesenangan-kesenangan yang dopat mereka nikmati di sana, demikianlah, dan Kami wariskan (semua) itu kepada kaum yang iain. Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi penangguhan waktu." (QS. Ad-Dukhan [44]: 25-29)
Ketika waktu shalat tiba dan azan dikumandangkan untuk yang pertama kalinya di Istana Kerajaan Kisra, sirnalah segala bentuk kemusyrikan. Termasuk api di aula utama istana yang dijadikan sesembahan masyarakat Kerajaan Kisra yang beragama Majusi telah dipadamkan untuk selama-lamanya.
Usai melaksanakan shalat jamaah, Sa'ad r.a membagi-bagikan harta rampasan perang kepada pasukannya dan sebagian lagi dikirimkan kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab r.a, untuk disimpan di Baitul Mal.
Menerima harta rampasan yang berlimpah itu, Umar r.a. berkata kepada Ali bin Abi Thalib r.a. yang saat itu sedang bersamanya, "Orang yang mau mengirimkan ini kepada kami sudah tentu orang-orang yang tinggi amanahnya."
Ali r.a. menanggapi pernyataan Amirul Mukminin, "Ya, karena engkau telah bersikap amanah terhadap rakyat sehingga rakyat pun meneladani sikapmu. Sekiranya engkau berkhianat, tentu mereka pun akan berbuat yang serupa."
Tak lama setelah penaklukan itu, seluruh warga Irak dan Iran (penduduk negeri Persia) masuk agama Islam dan menjadi kaum muslim yang baik dengan izin Allah Ta'ala.
Mengambil Uang Baitul Mal Secara Paksa adalah Perampokan
Aqil bin Abi Thalib r.a mendatangi kakaknya, Ali bin Abi Thallib r.a, yang telah menjabat sebagai khalifah. Dengan mengiba, Aqil r.a meminta bantuan kepada kakaknya, "Wahai Ali, kau adalah saudaraku. Saat ini kau memiliki posisi tertinggi sebagai kepala negara. Aku membutuhkan uang dan aku harap kau bisa memberiku pinjaman demi hubungan baik kita sebagai saudara kandung."
Dengan berat hati Ali r.a menjawab, "Maaf, kali ini aku benar-benar tidak mempunyai uang. Memang aku yang memegang kunci Baitul Mal, perbendaharaan negara, tetapi uang itu milik rakyat, bukan milikku pribadi."
"Aku akan segera mengembalikan pinjaman tersebut. Ayolah!" desak Aqil r.a.
Lantaran Ali r.a. terus-menerus ditodong adiknya, akhirnya ia memanggil salah satu pegawainya sambil menitahkan, "Bawalah saudaraku ini ke pasar. Suruh ia mendobrak pintu semua kedai yang terdapat di sana. Biarkanlah ia mengambil harta sesukanya!"
Aqil r.a. terkejut mendengarnya. Mengambil harta sesukanya bukankah berarti merampok? Dengan wajah merah padam, ia berseru kepada Amirul Mukminin, Ali r.a, "Maksudmu kau menyuruh aku jadi perampok?"
Dengan tenang Ali r.a menjawab, "Ya, bukankah kau tadi memaksa aku untuk merampok uang Baitul Mal yang bukan hakmu?"
Dengan berat hati Ali r.a menjawab, "Maaf, kali ini aku benar-benar tidak mempunyai uang. Memang aku yang memegang kunci Baitul Mal, perbendaharaan negara, tetapi uang itu milik rakyat, bukan milikku pribadi."
"Aku akan segera mengembalikan pinjaman tersebut. Ayolah!" desak Aqil r.a.
Lantaran Ali r.a. terus-menerus ditodong adiknya, akhirnya ia memanggil salah satu pegawainya sambil menitahkan, "Bawalah saudaraku ini ke pasar. Suruh ia mendobrak pintu semua kedai yang terdapat di sana. Biarkanlah ia mengambil harta sesukanya!"
Aqil r.a. terkejut mendengarnya. Mengambil harta sesukanya bukankah berarti merampok? Dengan wajah merah padam, ia berseru kepada Amirul Mukminin, Ali r.a, "Maksudmu kau menyuruh aku jadi perampok?"
Dengan tenang Ali r.a menjawab, "Ya, bukankah kau tadi memaksa aku untuk merampok uang Baitul Mal yang bukan hakmu?"
Emas dan Perak adalah Api Neraka bagi Kami
Qunbur, salah seorang keluarga Ali bin Abi Thalib r.a membawa kabar gembira untuk Ali r.a, "Wahai Amirul Mukminin, engkau tidak menyisakan apa-apa untuk keluargamu, padahal keluargamu memiliki hak atas harta dari Baitul Mal ini. Selama ini aku telah menyimpannya untukmu!"
"Apakah itu?" tanya Ali r.a.
"Ikutilah aku!" ajak Qunbur.
Mereka pun berjalan hingga tiba di sebuah rumah kecil tempat kediaman Ali r.a itu sendiri. Di dalamnya terdapat kantung besar teronggok di tepi tembok. Qunbur mempersilakan Ali r.a. untuk membukanya. Alangkah terkejutnya Ali r.a ketika didapati di dalamnya ada bejana-bejana dari emas dan perak.
Ia memandangi Qunbur dengan marah seraya berkata, "Demi Allah, kau ingin memasukkan api yang besar ke dalam rumahku?!"
Ali r.a segera membawa kantung beserta isinya keluar rumah dan membagi-bagikannya kepada orang-orang sambil berkata, "Hai si warna kuning (emas)! Hai si warna putih (perak)! Perdayailah selain aku! Ini silakan ambil ...! Ini silakan ambil ...!" Ia membagikannya hingga tidak ada yang tersisa.
"Apakah itu?" tanya Ali r.a.
"Ikutilah aku!" ajak Qunbur.
Mereka pun berjalan hingga tiba di sebuah rumah kecil tempat kediaman Ali r.a itu sendiri. Di dalamnya terdapat kantung besar teronggok di tepi tembok. Qunbur mempersilakan Ali r.a. untuk membukanya. Alangkah terkejutnya Ali r.a ketika didapati di dalamnya ada bejana-bejana dari emas dan perak.
Ia memandangi Qunbur dengan marah seraya berkata, "Demi Allah, kau ingin memasukkan api yang besar ke dalam rumahku?!"
Ali r.a segera membawa kantung beserta isinya keluar rumah dan membagi-bagikannya kepada orang-orang sambil berkata, "Hai si warna kuning (emas)! Hai si warna putih (perak)! Perdayailah selain aku! Ini silakan ambil ...! Ini silakan ambil ...!" Ia membagikannya hingga tidak ada yang tersisa.
Memangkas Uang Gaji
Setiap hari istri Umar bin Abdul Aziz menyediakan roti tawar yang keras untuk suaminya. la ingin sekali-kali menyediakan hidangan istimewa untuk menyenangkan hati suami tercintanya. la pun mulai menyisihkan uang sedikit demi sedikit dari uang belanjanya agar cukup dibelikan bahan makanan istimewa tersebut.
Dengan penuh rasa cinta dan membayangkan wajah bahagia suaminya, sang istri menyuguhkan roti gandum isi daging domba masakannya kepada sang suami. Umar terbelalak melihat hidangan lezat di hadapannya dan bertanya kepada sang istri, "Dari mana kau dapatkan makanan mewah ini?"
"Saya membuatnya sendiri, suamiku," jawab sang istri.
"Lantas, dari mana kau peroleh uang untuk membeli bahan-bahan makanan ini?"
"Saya menyisihkan uang belanja kita sedikit demi sedikit selama sebulan," jawab sang istri kembali.
"Berapa yang kau habiskan?" tanya Umar
"Sekitar tiga setengah dirham."
Umar mengangguk-angguk, kemudian berkata, "Tiga setengah dirham cukup untuk memberi makan dua orang selama dua hari."
Lalu, Umar memanggil Muzahim, salah seorang pembantunya seraya bertanya, "Apakah kau di sini bisa makan kenyang?"
Muzahim menjawab, "Kadang-kadang, malah terlalu kenyang, Tuanku."
"Cukup lezatkah makanan yang kau nikmati?"
Muzahim kembali menjawab, "Sangat lezat, Tuanku. Lebih lezat daripada makanan di rumahku."
Umar melanjutkan, "Jika demikian, aku akan mengurangi biaya untuk keluargaku karena dengan biaya sebelumnya bisa dihemat sebesar tiga setengah dirham sebulan."
Ia memotong roti yang dihidangkan istrinya di meja dan memakannya untuk menyenangkan hati sang istri. Sisanya ia bagikan kepada anak-anak yatim.
Dengan penuh rasa cinta dan membayangkan wajah bahagia suaminya, sang istri menyuguhkan roti gandum isi daging domba masakannya kepada sang suami. Umar terbelalak melihat hidangan lezat di hadapannya dan bertanya kepada sang istri, "Dari mana kau dapatkan makanan mewah ini?"
"Saya membuatnya sendiri, suamiku," jawab sang istri.
"Lantas, dari mana kau peroleh uang untuk membeli bahan-bahan makanan ini?"
"Saya menyisihkan uang belanja kita sedikit demi sedikit selama sebulan," jawab sang istri kembali.
"Berapa yang kau habiskan?" tanya Umar
"Sekitar tiga setengah dirham."
Umar mengangguk-angguk, kemudian berkata, "Tiga setengah dirham cukup untuk memberi makan dua orang selama dua hari."
Lalu, Umar memanggil Muzahim, salah seorang pembantunya seraya bertanya, "Apakah kau di sini bisa makan kenyang?"
Muzahim menjawab, "Kadang-kadang, malah terlalu kenyang, Tuanku."
"Cukup lezatkah makanan yang kau nikmati?"
Muzahim kembali menjawab, "Sangat lezat, Tuanku. Lebih lezat daripada makanan di rumahku."
Umar melanjutkan, "Jika demikian, aku akan mengurangi biaya untuk keluargaku karena dengan biaya sebelumnya bisa dihemat sebesar tiga setengah dirham sebulan."
Ia memotong roti yang dihidangkan istrinya di meja dan memakannya untuk menyenangkan hati sang istri. Sisanya ia bagikan kepada anak-anak yatim.
Segala Puji Hanya untuk Allah SWT
Seorang ibu mendatangi kediaman Umar bin Abdul Aziz r.a dan diterima oleh istri Amirul Mukminin. Tak berapa lama kemudian, Umar r.a keluar dari dalam rumah sambil membawa beberapa buah-buahan yang ranum.
la pun memilih buah-buahan terbaiknya dan diberikan kepada tamunya, sedangkan buah-buahan yang hampir busuk ia sisihkan untuk diri dan keluarganya.
Setiap kali ibu tersebut menerima buah dari Amirul Mukminin, ia berucap, "Alhamdulillah ...."
Tentu saja hal ini menyenangkan hati Amirul Mukminin yang kemudian menanyakan maksud kedatangannya. "Saya memiliki lima orang anak yang belum memiliki pekerjaan, bantulah kami, wahai Amirul Mukminin," pinta ibu tersebut.
Mendengar hal itu, berlinanglah air mata Umar r.a. Ia menyesali dirinya yang lalai terhadap rakyatnya sehingga masih ada yang tidak kebagian pekerjaan, sementara ada pula yang bertumpuk jabatannya.
Umar r.a mengambil kertas hendak mencatat siapa saja putra ibu tersebut yang membutuhkan pekerjaan.
"Sebutkan nama anak Ibu yang pertama," pinta Umar r.a.
Ibu itu menyebut namanya, kemudian dicatat oleh Umar r.a beserta jenis dan jumlah bantuan untuknya. Sang ibu mengucap, "Alhamdulillah."
Begitu pun ketika disebut anak kedua, ketiga, dan keempat, sang ibu selalu menyebut alhamdulillah. Akan tetapi, ketika disebut anak kelima dan sang ibu mengetahui Amirul Mukminin memberikan bantuan dalam jumlah cukup besar, ia pun berdiri dan membungkuk-bungkuk di hadapan Umar r.a seraya berkata, "Puji syukur untuk Tuan, puji syukur!"
Melihat hal itu, Umar r.a menyobek kertas kelima itu. Tentu saja hal itu membuat heran sang ibu. Akan tetapi, Amirul Mukminin lebih heran lagi dengan kelakuan ibu tersebut.
Umar r.a bertanya, "Awal mulanya aku melihatmu selalu mengucap 'alhamdulillah' ketika kau memperoleh nikmat karena memang Allah-lah yang berhak atas puji-pujian tersebut. Dialah yang memberi dan menarik rezeki dari kita. Begitu pula, ketika aku menuliskan bantuan untuk anak-anakmu, kau selalu mengucap hamdalah, tetapi mengapa untuk anak yang kelima kau mengucapkan hal lain kepadaku?"
"Itu karena Tuan sangat dermawan dan berhati mulia," jawab sang ibu.
"Maaf, ucapan itu tak pantas bagiku. Hanya untuk Allah segala puji-pujian. Siapakah diri saya sehingga layak dipuji? Bahkan, dalam pandangan Allah SWT bisa jadi ibu lebih baik daripadaku karena hisabku sangatlah berat. Oleh karena itu, saya hanya bisa memberi bantuan hingga anak keempat sebab hanya untuk mereka Ibu bersyukur kepada Dzat yang memang layak untuk dipuja. Namun, hendaklah bantuan tersebut dibagi rata kepada seluruh keluarga."
la pun memilih buah-buahan terbaiknya dan diberikan kepada tamunya, sedangkan buah-buahan yang hampir busuk ia sisihkan untuk diri dan keluarganya.
Setiap kali ibu tersebut menerima buah dari Amirul Mukminin, ia berucap, "Alhamdulillah ...."
Tentu saja hal ini menyenangkan hati Amirul Mukminin yang kemudian menanyakan maksud kedatangannya. "Saya memiliki lima orang anak yang belum memiliki pekerjaan, bantulah kami, wahai Amirul Mukminin," pinta ibu tersebut.
Mendengar hal itu, berlinanglah air mata Umar r.a. Ia menyesali dirinya yang lalai terhadap rakyatnya sehingga masih ada yang tidak kebagian pekerjaan, sementara ada pula yang bertumpuk jabatannya.
Umar r.a mengambil kertas hendak mencatat siapa saja putra ibu tersebut yang membutuhkan pekerjaan.
"Sebutkan nama anak Ibu yang pertama," pinta Umar r.a.
Ibu itu menyebut namanya, kemudian dicatat oleh Umar r.a beserta jenis dan jumlah bantuan untuknya. Sang ibu mengucap, "Alhamdulillah."
Begitu pun ketika disebut anak kedua, ketiga, dan keempat, sang ibu selalu menyebut alhamdulillah. Akan tetapi, ketika disebut anak kelima dan sang ibu mengetahui Amirul Mukminin memberikan bantuan dalam jumlah cukup besar, ia pun berdiri dan membungkuk-bungkuk di hadapan Umar r.a seraya berkata, "Puji syukur untuk Tuan, puji syukur!"
Melihat hal itu, Umar r.a menyobek kertas kelima itu. Tentu saja hal itu membuat heran sang ibu. Akan tetapi, Amirul Mukminin lebih heran lagi dengan kelakuan ibu tersebut.
Umar r.a bertanya, "Awal mulanya aku melihatmu selalu mengucap 'alhamdulillah' ketika kau memperoleh nikmat karena memang Allah-lah yang berhak atas puji-pujian tersebut. Dialah yang memberi dan menarik rezeki dari kita. Begitu pula, ketika aku menuliskan bantuan untuk anak-anakmu, kau selalu mengucap hamdalah, tetapi mengapa untuk anak yang kelima kau mengucapkan hal lain kepadaku?"
"Itu karena Tuan sangat dermawan dan berhati mulia," jawab sang ibu.
"Maaf, ucapan itu tak pantas bagiku. Hanya untuk Allah segala puji-pujian. Siapakah diri saya sehingga layak dipuji? Bahkan, dalam pandangan Allah SWT bisa jadi ibu lebih baik daripadaku karena hisabku sangatlah berat. Oleh karena itu, saya hanya bisa memberi bantuan hingga anak keempat sebab hanya untuk mereka Ibu bersyukur kepada Dzat yang memang layak untuk dipuja. Namun, hendaklah bantuan tersebut dibagi rata kepada seluruh keluarga."
Uang Panas Milik Negara
Ketika Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz sedang menikmati kacang adas dan bawang, seorang wanita datang kepadanya. Wanita itu adalah bibinya. Umar yang telah mengetahui tabiat bibinya sudah bisa menebak maksud kedatangannya. Sang bibi akan meminta uang dari Baitul Mal karena kemenakannya adalah Amirul Mukminin.
Umar r.a mengambil sekantung uang perak yang sebelumnya telah dibakar di atas bara api hingga panas. Kemudian ia menyerahkannya kepada bibinya sambil berkata, "Inilah tambahan yang bibi minta!"
Betapa senangnya hati bibi Umar r.a memperoleh uang tambahan dari kemenakannya. Tatkala ia menerima kantung pemberian itu, sontak ia menjerit keras kepanasan.
Melihat hal itu Umar r.a langsung menasihati bibinya, "Kalau api dunia terasa begitu panas, bagaimana dengan api akhirat kelak yang akan membakarmu, begitu juga aku karena menyelewengkan harta kaum muslimin!"
Umar r.a mengambil sekantung uang perak yang sebelumnya telah dibakar di atas bara api hingga panas. Kemudian ia menyerahkannya kepada bibinya sambil berkata, "Inilah tambahan yang bibi minta!"
Betapa senangnya hati bibi Umar r.a memperoleh uang tambahan dari kemenakannya. Tatkala ia menerima kantung pemberian itu, sontak ia menjerit keras kepanasan.
Melihat hal itu Umar r.a langsung menasihati bibinya, "Kalau api dunia terasa begitu panas, bagaimana dengan api akhirat kelak yang akan membakarmu, begitu juga aku karena menyelewengkan harta kaum muslimin!"
Milik Negara untuk Kepentingan Negara
Di suatu malam kelam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz sibuk mengerjakan tugas negara ditemani sebuah lentera kecil yang sinarnya tidak seberapa. Cahaya di ruangan kerja sang khalifah begitu redup, padahal ia harus membaca dan menulis.
Namun, tampaknya ia sangat menikmati kebersahajaan itu. Padahal, wilayah kekuasaannya sangat luas dan harta bertumpuk di Baitul Mal. Bukannya negara tidak mampu memberikannya lentera yang lebih terang, tetapi sang Amirul Mukminin lebih memilih menggunakan sedikit mungkin harta dari Baitul Mal dan menggunakan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan rakyat. la tidak ingin terjebak dalam penyalahgunaan harta negara.
Kala itu seseorang bertamu ke tempatnya. Dalam ruangan yang remang-remang, Amirul Mukminin menjawab salam tamu tersebut seraya bertanya, "Apakah kedatanganmu ini untuk keperluan negara atau pribadi?"
"Saya kemari untuk membicarakan urusan pribadi dengan Anda," jawabnya.
Umar lantas mematikan lenteranya sehingga suasana menjad gelap temaram. Tamu tersebut bertanya, "Mengapa kau matikan lentera itu?"
"Bukankah engkau kemari untuk urusan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan negara? Lentera beserta cahayanya ini dibayar oleh negara karena itulah aku matikan agar tidak terjadi penyelewengan penggunaan harta negara," jelasnya.
Namun, tampaknya ia sangat menikmati kebersahajaan itu. Padahal, wilayah kekuasaannya sangat luas dan harta bertumpuk di Baitul Mal. Bukannya negara tidak mampu memberikannya lentera yang lebih terang, tetapi sang Amirul Mukminin lebih memilih menggunakan sedikit mungkin harta dari Baitul Mal dan menggunakan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan rakyat. la tidak ingin terjebak dalam penyalahgunaan harta negara.
Kala itu seseorang bertamu ke tempatnya. Dalam ruangan yang remang-remang, Amirul Mukminin menjawab salam tamu tersebut seraya bertanya, "Apakah kedatanganmu ini untuk keperluan negara atau pribadi?"
"Saya kemari untuk membicarakan urusan pribadi dengan Anda," jawabnya.
Umar lantas mematikan lenteranya sehingga suasana menjad gelap temaram. Tamu tersebut bertanya, "Mengapa kau matikan lentera itu?"
"Bukankah engkau kemari untuk urusan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan negara? Lentera beserta cahayanya ini dibayar oleh negara karena itulah aku matikan agar tidak terjadi penyelewengan penggunaan harta negara," jelasnya.
Sa'ad bin Amir r.a, Pejabat Amanah
Umar bin Khaththab r.a sebagai khalifah mengangkat Sa'ad bin Amir Al-Jamhi r.a sebagai gubernur. Meskipun tawaran tersebut sempat ditolak Sa'ad r.a, Umar r.a tetap mendesaknya. Pengangkatan ini dikarenakan Sa'ad r.a adalah sahabat yang taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya serta dapat dipercaya.
Hingga suatu ketika Umar r.a mendapat laporan dari rakyatnya bahwa gubernur yang telah diangkatnya lalai menjalani tugas. Tentu saja Umar r.a terkejut mendengar laporan tersebut.
Ia heran karena pengangkatan Sa'ad menjadi gubernur sudah dipertimbangkan masak-masak sebelumnya. Bagi Umar r.a, Sa'ad r.a memenuhi kriteria untuk menjalankan amanah tersebut. Apakah benar jabatan telah mengubah kepribadian Sa'ad r.a. hingga lalai mengurus rakyatnya?
Tanpa membuang waktu, Umar r.a segera memanggil Sa'ad r.a untuk menanyakan kebenaran laporan tersebut. Ia berjanji kepada para pelapor akan memecat gubernurnya jika terbukti bersalah.
Saad r.a disidang oleh Umar r.a di hadapan para pelapor. la mempersilakan rakyatnya berbicara, "Silakan sampaikan apa yang telah kalian adukan kepadaku agar orang yang kalian laporkan ini dapat melakukan pembelaan," kata Umar r.a. kepada rakyatnya.
Para pelapor berkata, "Dia tak keluar menemui kami hingga matahari meninggi!"
Umar r.a menoleh kepada Sa'ad r.a dan berkata, "Aku menunggu pembelaanmu atas masalah ini, wahai Sa'ad."
Sa'ad r.a. menjawab, "Saya tidak memiliki pembantu dan karenanya aku harus membuat roti untuk keluargaku. Setelah itu aku berwudu untuk menemui rakyatku."
Umar r.a mengangguk dan menerima alasan gubernurnya. Ia lantas meminta si pelapor mengajukan pengaduan berikutnya. Mereka berkata, "Dia (Sa'ad r.a) tidak menerima seorang pun di waktu malam!"
Ketika Umar r.a. menatapnya, Sa'ad segera menukas, "Demi Allah. Sesungguhnya aku tidak suka menyebutkan alasannya. Kujadikan siang bagi mereka dan kujadikan waktu malam untuk Allah SWT semata!"
Sa'ad r.a enggan mengatakan bahwa malamnya ia isi dengan ibadah kepada Allah SWT karena akan membuatnya ujub dan takabur.
"Apalagi yang hendak kalian adukan?" tanya Umar r.a kepada para pelapor. Hingga saat ini, Umar r.a bisa lega karena alasan-alasan yang dilontarkan Sa'ad r.a tidak bertentangan dengan prinsipnya.
Para pelapor tetap merasa kurang puas. Mereka mengadu lagi, "Sehari dalam sebulan dia tidak mau menemui siapa saja!"
Sa'ad r.a kembali melakukan pembelaan, "Aku tidak memiliki pelayan untuk mencuci baju-bajuku. Oleh karena itu, sebulan sekali aku mencuci semua bajuku yang kotor, lalu kujemur. Aku harus menunggu seharian sampai pakaianku kering dan bisa kupakai kembali."
Para pelapor akhirnya mengetahui bahwa sang gubernur berusaha menunaikan amanahnya kepada Allah SWT, keluarga, dan rakyatnya dengan adil. Umar r.a pun mengakui bahwa tidak ada yang berubah dalam diri Sa'ad r.a sehingga ia masih memercayakan amanah itu kepadanya.
Hingga suatu ketika Umar r.a mendapat laporan dari rakyatnya bahwa gubernur yang telah diangkatnya lalai menjalani tugas. Tentu saja Umar r.a terkejut mendengar laporan tersebut.
Ia heran karena pengangkatan Sa'ad menjadi gubernur sudah dipertimbangkan masak-masak sebelumnya. Bagi Umar r.a, Sa'ad r.a memenuhi kriteria untuk menjalankan amanah tersebut. Apakah benar jabatan telah mengubah kepribadian Sa'ad r.a. hingga lalai mengurus rakyatnya?
Tanpa membuang waktu, Umar r.a segera memanggil Sa'ad r.a untuk menanyakan kebenaran laporan tersebut. Ia berjanji kepada para pelapor akan memecat gubernurnya jika terbukti bersalah.
Saad r.a disidang oleh Umar r.a di hadapan para pelapor. la mempersilakan rakyatnya berbicara, "Silakan sampaikan apa yang telah kalian adukan kepadaku agar orang yang kalian laporkan ini dapat melakukan pembelaan," kata Umar r.a. kepada rakyatnya.
Para pelapor berkata, "Dia tak keluar menemui kami hingga matahari meninggi!"
Umar r.a menoleh kepada Sa'ad r.a dan berkata, "Aku menunggu pembelaanmu atas masalah ini, wahai Sa'ad."
Sa'ad r.a. menjawab, "Saya tidak memiliki pembantu dan karenanya aku harus membuat roti untuk keluargaku. Setelah itu aku berwudu untuk menemui rakyatku."
Umar r.a mengangguk dan menerima alasan gubernurnya. Ia lantas meminta si pelapor mengajukan pengaduan berikutnya. Mereka berkata, "Dia (Sa'ad r.a) tidak menerima seorang pun di waktu malam!"
Ketika Umar r.a. menatapnya, Sa'ad segera menukas, "Demi Allah. Sesungguhnya aku tidak suka menyebutkan alasannya. Kujadikan siang bagi mereka dan kujadikan waktu malam untuk Allah SWT semata!"
Sa'ad r.a enggan mengatakan bahwa malamnya ia isi dengan ibadah kepada Allah SWT karena akan membuatnya ujub dan takabur.
"Apalagi yang hendak kalian adukan?" tanya Umar r.a kepada para pelapor. Hingga saat ini, Umar r.a bisa lega karena alasan-alasan yang dilontarkan Sa'ad r.a tidak bertentangan dengan prinsipnya.
Para pelapor tetap merasa kurang puas. Mereka mengadu lagi, "Sehari dalam sebulan dia tidak mau menemui siapa saja!"
Sa'ad r.a kembali melakukan pembelaan, "Aku tidak memiliki pelayan untuk mencuci baju-bajuku. Oleh karena itu, sebulan sekali aku mencuci semua bajuku yang kotor, lalu kujemur. Aku harus menunggu seharian sampai pakaianku kering dan bisa kupakai kembali."
Para pelapor akhirnya mengetahui bahwa sang gubernur berusaha menunaikan amanahnya kepada Allah SWT, keluarga, dan rakyatnya dengan adil. Umar r.a pun mengakui bahwa tidak ada yang berubah dalam diri Sa'ad r.a sehingga ia masih memercayakan amanah itu kepadanya.
Langganan:
Postingan (Atom)