Ada seorang saleh dari Bani Israel. Ia memiliki seorang anak yang masih kecil dan seekor anak lembu. Mengingat usianya yang sudah tua, sang ayah menyadari bahwa sepeninggalnya nanti, anak kesayangannya tidak akan memiliki apa-apa kecuali sang ibu dan lembu yang masih kecil itu.
Sang anak belum cukup umur untuk bisa memelihara lembu tersebut. Kemudian sang ayah memutuskan untuk menitipkan lembu itu kepada Sang Maha Pencipta, yang tidak pernah tidur dan selalu menjaga makhluk-Nya, yaitu Allah SWT.
Selanjutnya, ia membawa anak lembu itu ke dalam hutan seraya berdoa, "Ya Allah. Saya titipkan lembu ini kepada-Mu untuk putraku hingga ia dewasa!" Tidak berapa lama kemudian, ajal menjemput sang ayah.
Kini, lembu kecil tersebut hidup sendiri di dalam hutan tanpa ada yang menggembalai. Setiap ada pemburu yang mendekatinya, ia langsung lari terbirit-birit. Demikianlah, hewan itu selalu berhasil menghindar dari orang-orang yang berniat menangkapnya.
Bagaimana tentang anak kecil yang ditinggalkan oleh sang ayah? Ia tumbuh menjadi anak saleh yang berbakti kepada ibunya. Ia membagi malamnya menjadi tiga waktu, yaitu sepertiga untuk sembahyang, sepertiga untuk tidur, dan sisanya untuk menjaga ibunya.
Ketika pagi menjelang, ia pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu dan menjualnya ke pasar. Hasil penjualannya pun di bagi tiga, yaitu sepertiga untuk sedekah, sepertiga untuk makan, dan sisanya untuk sang ibu.
Ketika beranjak remaja, sang ibu memberitahukan wasiat sang ayah kepadanya. la berkata, "Ayahmu telah mewariskan kepadamu seekor lembu. Ia berada di hutan dalam penjagaan Allah SWT. Berdoalah kepada-Nya agar lembu itu dikembalikan kepadamu. Lembu itu berwarna kuning berkilauan bagaikan emas, terutama jika terkena sinar matahari. Jika kau telah menemukannya, peganglah lehernya."
Pemuda itu pun pergi memenuhi perintah sang ibu. Di dalam hutan ia melihat seekor lembu berwarna kuning dan berkilauan bagai emas sedang merumput, persis yang digambarkan oleh ibunya. la pun memanggil lembu tersebut, "Demi Tuhannya Ibrahim, Ismail, Ishaq, dan Ya'qub, segeralah datang kemari!"
Lembu itu menurut dan mendekatinya. Pemuda itu memegang leher si lembu untuk dituntun pulang. Tak disangka, lembu itu tiba-tiba berbicara, "Wahai pemuda yang taat kepada ibunya, naiklah ke atas punggungku!"
Pemuda itu menolaknya dan berkata, "Ibuku tidak menyuruh untuk itu, ia hanya berpesan 'Pegang lehernya!"'
Lembu itu menimpali, "Demi Tuhan Bani Israel! Andai kau tidak mau mengendaraiku, berjalanlah! Sekiranya engkau perintahkan pada bukit untuk berpindah, pasti ia akan pindah. Semua itu karena taat dan baktimu kepada ibumu!" Kemudian mereka berdua berjalan pulang ke rumah.
Setibanya di rumah, sang ibu yang melihat kedatangan mereka lantas berkata, "Anakku, engkau miskin dan tidak berharta serta berat bagimu mencari kayu di waktu siang dan bangun malam. Oleh karena itu, lebih baik kau jual lembu ini."
"Berapa aku harus menjualnya?" tanya sang anak.
"Tiga dinar dan jangan dijual sebelum kau bermusyawarah denganku!" pesan ibunya.
Harga tiga dinar adalah harga yang lumrah untuk seekor lembu pada saat itu. Sang pemuda membawanya ke pasar untuk dijual.
Allah SWT mengutus malaikat untuk menguji kejujuran sang pemuda dalam melaksanakan amanah dari ibunya, sekaligus menunjukkan kebesaran-Nya. Malaikat dalam rupa manusia mendatangi pemuda itu dan bertanya, "Berapakah harga lembu ini?"
"Tiga dinar dengan rida ibuku," jawab pemuda itu.
"Baiklah, akan saya beli seharga enam dinar, asalkan kau tidak memberitahukan ibumu!" tawar malaikat.
Pemuda saleh itu menjawab, "Andaikan kau memberiku uang emas seberat lembu ini, aku tidak akan menerimanya tanpa rida ibuku."
Ia pun melaporkan tawaran tersebut kepada sang ibu. "Kini kau boleh menjualnya enam dinar dengan ridaku," kata ibunya.
Ia kembali lagi ke pasar untuk menemui calon pembelinya yang jelmaan malaikat. Katanya, "Ibu rida dengan enam dinar, tolong jangan kurang dari enam dinar!"
Namun, malaikat memberikan penawaran lain, "Kini akan saya bayar dua belas dinar, kau tidak perlu memberi tahu ibumu!"
Pemuda itu tetap pulang ke rumah untuk memberitahukan tawaran baru pembelinya kepada ibunya. Sang ibu menyadari bahwa calon pembelinya bukan orang biasa melainkan malaikat. Oleh karena itu, sang ibu berpesan, "Calon pembeli itu adalah seorang malaikat yang diutus Allah untuk mengujimu. Tanyakanlah kepadanya apakah lembu ini boleh dijual atau tidak?"
Pemuda itu melaksanakan saran ibunya. la tanyakan pesan ibunya kepada malaikat. Dijawablah oleh malaikat, "Tahanlah lembu ini sebab Nabi Musa bin Imran a.s akan membeli lembu ini saat terjadi pembunuhan di kalangan Bani Israel. Apabila dia datang untuk membeli lembu ini, jangan dijual kecuali jika ditukar dengan emas yang sama beratnya dengan lembu ini."
Kemudian ditahanlah lembu itu sehingga turunlah perintah Allah kepada Bani Israel untuk menyembelih lembu dengan ciri-ciri yang sama dengan milik pemuda jujur itu. Mereka pun membayar dengan uang dinar emas seberat lembu itu.
Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi
Tampilkan postingan dengan label Amanah dalam perniagaan dan pekerjaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Amanah dalam perniagaan dan pekerjaan. Tampilkan semua postingan
Rabu, 10 Maret 2010
Abdurrahman bin Auf r.a, Sahabat Terpercaya
Rasulullah saw. bersabda, "Abdurrahman bin Auf adalah orang terpercaya di langit dan orang terpercaya di bumi."
Siapa tidak kenal saudagar kaya-raya ini? Ia terkenal dengan kedermawanan, kemandirian, dan ketulusan menolong sesama. Begitu besar limpahan nikmat yang Allah SWT anugerahkan kepadanya, hingga ia dijuluki sahabat bertangan emas.
Harta kekayaan dan pundi-pundi emas mengalir tiada henti kepadanya. Bahkan, seandainya ia membalikkan batu, niscaya di bawahnya terdapat emas dan perak yang berlimpah. Itulah perumpamaan atas kelancaran dan kemudahan Allah SWT atasnya dalam memperoleh harta kekayaan.
Meskipun demikian, kenikmatan luar biasa itu tidak membuatnya terlena. Ia berderma kepada fakir miskin dan para istri Nabi saw, memerdekakan puluhan budak, dan menyuplai keperluan militer kaum muslimin untuk berperang.
Pernah dalam sehari ia memerdekakan 30 orang budak. la juga berjuang dengan gagah berani di medan pertempuran hingga pada Perang Uhud ia mendapat 21 luka kecil, mulai dari sedalam kelingking hingga sembilan luka menganga lainnya. Gigi depannya sampai hancur sehingga ia kesulitan dalam berbicara. Betisnya terluka sehingga ia menjadi pincang.
Sepeninggal Rasulullah saw, Abdurrahman r.a ditugaskan untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan Ummahatul Mu'minin (para istri Rasulullah). Di samping memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari para istri Rasulullah saw sebagaimana yang dulu ia lakukan, ia juga mengawal para istri Rasulullah yang mulia itu ke mana pun mereka pergi.
Ia bertugas untuk membantu mereka naik dan turun dari sekedup (tenda kecil yang berada di atas punggung unta). Bahkan, ketika mereka berhaji pun Abdurrahman bin Auf r.a menyertai mereka. Dikarenakan ketulusan dan kemurahan hati dalam menunaikan amanah tersebut, Aisyah r.a. selalu mendoakannya. Salah satu doanya adalah, "Semoga Allah memberinya minum dengan minuman dari telaga Salsabil."
la mewasiatkan seluruh hartanya yang berlimpah kepada Utsman bin Affan r.a seorang sahabat yang kaya-raya — karena Utsman r.a termasuk pejuang Badar. Utsman r.a menerima bagian warisan dengan berkata, "Aku menerima harta tersebut karena di dalamnya terdapat keberkahan."
Siapa tidak kenal saudagar kaya-raya ini? Ia terkenal dengan kedermawanan, kemandirian, dan ketulusan menolong sesama. Begitu besar limpahan nikmat yang Allah SWT anugerahkan kepadanya, hingga ia dijuluki sahabat bertangan emas.
Harta kekayaan dan pundi-pundi emas mengalir tiada henti kepadanya. Bahkan, seandainya ia membalikkan batu, niscaya di bawahnya terdapat emas dan perak yang berlimpah. Itulah perumpamaan atas kelancaran dan kemudahan Allah SWT atasnya dalam memperoleh harta kekayaan.
Meskipun demikian, kenikmatan luar biasa itu tidak membuatnya terlena. Ia berderma kepada fakir miskin dan para istri Nabi saw, memerdekakan puluhan budak, dan menyuplai keperluan militer kaum muslimin untuk berperang.
Pernah dalam sehari ia memerdekakan 30 orang budak. la juga berjuang dengan gagah berani di medan pertempuran hingga pada Perang Uhud ia mendapat 21 luka kecil, mulai dari sedalam kelingking hingga sembilan luka menganga lainnya. Gigi depannya sampai hancur sehingga ia kesulitan dalam berbicara. Betisnya terluka sehingga ia menjadi pincang.
Sepeninggal Rasulullah saw, Abdurrahman r.a ditugaskan untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan Ummahatul Mu'minin (para istri Rasulullah). Di samping memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari para istri Rasulullah saw sebagaimana yang dulu ia lakukan, ia juga mengawal para istri Rasulullah yang mulia itu ke mana pun mereka pergi.
Ia bertugas untuk membantu mereka naik dan turun dari sekedup (tenda kecil yang berada di atas punggung unta). Bahkan, ketika mereka berhaji pun Abdurrahman bin Auf r.a menyertai mereka. Dikarenakan ketulusan dan kemurahan hati dalam menunaikan amanah tersebut, Aisyah r.a. selalu mendoakannya. Salah satu doanya adalah, "Semoga Allah memberinya minum dengan minuman dari telaga Salsabil."
la mewasiatkan seluruh hartanya yang berlimpah kepada Utsman bin Affan r.a seorang sahabat yang kaya-raya — karena Utsman r.a termasuk pejuang Badar. Utsman r.a menerima bagian warisan dengan berkata, "Aku menerima harta tersebut karena di dalamnya terdapat keberkahan."
Besar Zakat yang Kurang
Ubay bin Ka'ab r.a pernah ditugaskan oleh Rasulullah saw untuk mengambil zakat di sebuah wilayah. la pun bertemu dengan seseorang yang hendak membayar zakatnya. Kemudian Ubay r.a mengumpulkan keterangan tentang harta orang tersebut dan menghitung zakatnya.
Hasilnya adalah ia harus menyerahkan zakat seekor anak unta yang baru berusia setahun. Namun, orang itu tidak setuju dengan hasil perhitungan Ubay r.a. Kemudian ia mengajukan keberatannya seraya berkata, "Apa gunanya seekor anak unta yang baru berusia setahun? Engkau tidak dapat mengambil susunya atau menungganginya. Aku memiliki seekor unta betina dewasa. Ambillah unta betina itu sebagai gantinya!"
Ternyata orang tersebut merasa zakat yang harus ia keluarkan terlalu kecil dan kurang berguna. Lalu, ia menawarkan unta dewasa yang bisa dimanfaatkan susunya dan dapat ditunggangi. Akan tetapi, Ubay r.a pun keberatan dengan tawaran orang tersebut.
Ia mengajukan alasannya dengan berkata, "Tugas yang dipikulkan kepadaku tidak membenarkan aku mengambil lebih dari apa yang telah ditetapkan," jawab Ubay r.a tegas. Merasa tidak puas dengan jawaban utusan tersebut, orang itu mendatangi Rasulullah saw sambil membawa unta betinanya.
Di hadapan beliau, ia menceritakan hal yang mengganggunya, "Wahai Rasulullah! Utusanmu telah datang menemuiku untuk mengumpulkan zakat. Demi Allah! Sesunguhnya aku belum pernah mendapat kesempatan yang sangat berharga ini, yaitu membayar sesuatu kepada engkau atau utusanmu. Oleh karena itu, aku telah memberitahukan tentang semua keadaan hartaku untuk dihitung zakatnya oleh utusanmu. Ternyata ia memutuskan agar aku mengeluarkan zakat sebesar seekor unta berusia satu tahun! Wahai Rasulullah, apa yang bisa dilakukan unta sekecil itu? la tidak dapat mengeluarkan susu atau memikul barang. Oleh karena itu, aku menyerahkan unta betina dewasa ini sebagai gantinya. Utusanmu menolaknya, tetapi aku berharap kau mau menerimanya."
Mengetahui semangat orang tersebut dalam berzakat, Rasulullah saw. bersabda, "Utusanku telah melakukan hal yang benar. Hanya sekadar itulah yang harus dikeluarkan olehmu. Akan tetapi, jika kamu sanggup mengeluarkan lebih dari yang telah ditetapkan, akan tetap diterima."
Rasulullah saw pun menerima zakat berupa unta betina dewasa dari orang tersebut dan mendoakan keberkahan baginya.
Hasilnya adalah ia harus menyerahkan zakat seekor anak unta yang baru berusia setahun. Namun, orang itu tidak setuju dengan hasil perhitungan Ubay r.a. Kemudian ia mengajukan keberatannya seraya berkata, "Apa gunanya seekor anak unta yang baru berusia setahun? Engkau tidak dapat mengambil susunya atau menungganginya. Aku memiliki seekor unta betina dewasa. Ambillah unta betina itu sebagai gantinya!"
Ternyata orang tersebut merasa zakat yang harus ia keluarkan terlalu kecil dan kurang berguna. Lalu, ia menawarkan unta dewasa yang bisa dimanfaatkan susunya dan dapat ditunggangi. Akan tetapi, Ubay r.a pun keberatan dengan tawaran orang tersebut.
Ia mengajukan alasannya dengan berkata, "Tugas yang dipikulkan kepadaku tidak membenarkan aku mengambil lebih dari apa yang telah ditetapkan," jawab Ubay r.a tegas. Merasa tidak puas dengan jawaban utusan tersebut, orang itu mendatangi Rasulullah saw sambil membawa unta betinanya.
Di hadapan beliau, ia menceritakan hal yang mengganggunya, "Wahai Rasulullah! Utusanmu telah datang menemuiku untuk mengumpulkan zakat. Demi Allah! Sesunguhnya aku belum pernah mendapat kesempatan yang sangat berharga ini, yaitu membayar sesuatu kepada engkau atau utusanmu. Oleh karena itu, aku telah memberitahukan tentang semua keadaan hartaku untuk dihitung zakatnya oleh utusanmu. Ternyata ia memutuskan agar aku mengeluarkan zakat sebesar seekor unta berusia satu tahun! Wahai Rasulullah, apa yang bisa dilakukan unta sekecil itu? la tidak dapat mengeluarkan susu atau memikul barang. Oleh karena itu, aku menyerahkan unta betina dewasa ini sebagai gantinya. Utusanmu menolaknya, tetapi aku berharap kau mau menerimanya."
Mengetahui semangat orang tersebut dalam berzakat, Rasulullah saw. bersabda, "Utusanku telah melakukan hal yang benar. Hanya sekadar itulah yang harus dikeluarkan olehmu. Akan tetapi, jika kamu sanggup mengeluarkan lebih dari yang telah ditetapkan, akan tetap diterima."
Rasulullah saw pun menerima zakat berupa unta betina dewasa dari orang tersebut dan mendoakan keberkahan baginya.
Selasa, 09 Maret 2010
Abdullah bin Mas'ud, Seorang Anak Gembala yang Jujur
Tersebutlah seorang anak berjiwa kuat dan jujur bernama Abdullah bin Mas'ud atau lebih terkenal dengan nama Ibnu Mas'ud. la adalah seorang penggembala kambing yang cekatan. Ratusan kambing ia tangani dan tidak satu pun luput dari pengawasannya. la pula yang mengatur makan dan minuman gembalaannya tersebut.
Pada suatu ketika Rasulullah saw. dan Abu Bakar r.a. lewat di sebuah padang yang luas tempat Ibnu Mas'ud menggembalakan kambingnya. Mereka melihat kambing-kambing gembalaan Ibnu Mas'ud yang gemuk dan sehat. Merasa dahaga dan lelah, terbesitlah dalam pikiran mereka berdua untuk meminum susu kambing gembalaan tersebut.
Mereka berdua menghampiri Ibnu Mas'ud yang terlihat sibuk mengatur kambing-kambingnya. Ketika ditanya adakah kambing yang dapat diperah susunya, Ibnu Mas'ud mengiyakan.
Namun, sayangnya, Ibnu Mas'ud tidak bisa memberikan kepada mereka. Bocah itu berkata, "Susu itu ada, tetapi sayang mereka bukan milikku. Kambing-kambing ini hanyalah amanah dari orang lain yang dititipkan kepadaku."
Ibnu Mas'ud hanyalah seorang penggembala yang mengurus kambing-kambing milik Uqbah bin Abi Mu'ith, seorang musyrik yang bertetangga dengan Rasulullah saw.
Rasulullah saw sangat bahagia dengan jawaban bocah penggembala tersebut. Padahal, saat itu Ibnu Mas'ud belum memeluk Islam. Beliau salut bahwa keteguhan prinsip pada dirinya dapat mencegahnya dari perbuatan khianat atas kepercayaan yang diamanahkan kepadanya.
Ini adalah bukti kebersihan hati yang akan memudahkannya menerima kebenaran Islam. Oleh karena itu, Rasulullah saw berusaha menjaga prinsip mulia bocah tersebut dan menunjukkan kekuasaan Allah SWT kepadanya agar tergerak untuk mengikuti Al-lslam.
Selanjutnya, Rasulullah saw. mengambil anak kambing betina yang belum dapat mengeluarkan susu. Kemudian Rasulullah saw. mengucapkan basmalah sambil mengusap puting susu kambing tersebut. Mukjizat pun terjadi, air susu memancar dari kambing kecil betina tersebut. Allahu Akbar!
Ibnu Mas'ud terperangah menyaksikan keajaiban luar biasa di depan matanya. Kemudian ia memohon kepada Rasulullah saw agar mengajarkan kepadanya beberapa ayat Al-Qur'an. Dengan senang hati, Rasulullah saw mengajarkan beberapa ayat Al-Qur'an kepadanya.
Seperti yang diharapkan, Ibnu Mas'ud menjadi orang keenam yang masuk Islam di awal permulaan syiarnya. Dia selalu belajar dan belajar kepada Rasulullah saw. di Darul Arqam tempat kaum muslimin bertemu secara diam-diam agar aman dari kezaliman kaum musyrikin Quraisy.
Pada suatu ketika Rasulullah saw. dan Abu Bakar r.a. lewat di sebuah padang yang luas tempat Ibnu Mas'ud menggembalakan kambingnya. Mereka melihat kambing-kambing gembalaan Ibnu Mas'ud yang gemuk dan sehat. Merasa dahaga dan lelah, terbesitlah dalam pikiran mereka berdua untuk meminum susu kambing gembalaan tersebut.
Mereka berdua menghampiri Ibnu Mas'ud yang terlihat sibuk mengatur kambing-kambingnya. Ketika ditanya adakah kambing yang dapat diperah susunya, Ibnu Mas'ud mengiyakan.
Namun, sayangnya, Ibnu Mas'ud tidak bisa memberikan kepada mereka. Bocah itu berkata, "Susu itu ada, tetapi sayang mereka bukan milikku. Kambing-kambing ini hanyalah amanah dari orang lain yang dititipkan kepadaku."
Ibnu Mas'ud hanyalah seorang penggembala yang mengurus kambing-kambing milik Uqbah bin Abi Mu'ith, seorang musyrik yang bertetangga dengan Rasulullah saw.
Rasulullah saw sangat bahagia dengan jawaban bocah penggembala tersebut. Padahal, saat itu Ibnu Mas'ud belum memeluk Islam. Beliau salut bahwa keteguhan prinsip pada dirinya dapat mencegahnya dari perbuatan khianat atas kepercayaan yang diamanahkan kepadanya.
Ini adalah bukti kebersihan hati yang akan memudahkannya menerima kebenaran Islam. Oleh karena itu, Rasulullah saw berusaha menjaga prinsip mulia bocah tersebut dan menunjukkan kekuasaan Allah SWT kepadanya agar tergerak untuk mengikuti Al-lslam.
Selanjutnya, Rasulullah saw. mengambil anak kambing betina yang belum dapat mengeluarkan susu. Kemudian Rasulullah saw. mengucapkan basmalah sambil mengusap puting susu kambing tersebut. Mukjizat pun terjadi, air susu memancar dari kambing kecil betina tersebut. Allahu Akbar!
Ibnu Mas'ud terperangah menyaksikan keajaiban luar biasa di depan matanya. Kemudian ia memohon kepada Rasulullah saw agar mengajarkan kepadanya beberapa ayat Al-Qur'an. Dengan senang hati, Rasulullah saw mengajarkan beberapa ayat Al-Qur'an kepadanya.
Seperti yang diharapkan, Ibnu Mas'ud menjadi orang keenam yang masuk Islam di awal permulaan syiarnya. Dia selalu belajar dan belajar kepada Rasulullah saw. di Darul Arqam tempat kaum muslimin bertemu secara diam-diam agar aman dari kezaliman kaum musyrikin Quraisy.
Sehidup Semati
Ibnu Abbas r.a menuturkan bahwa Umar bin Khaththab r.a berangkat menuju kota Syam untuk menemui Abu Ubaidah Al-Jarrah r.a yang telah berhasil menguasai seluruh wilayah Syam. Pada waktu itu wabah penyakit menular (tha'un) yang sangat berbahaya sedang menyerang penduduk Syam sehingga banyak korban yang berjatuhan.
Umar r.a. yang mengetahui adanya wabah penyakit berbahaya di Syam mengurungkan niatnya untuk pergi ke sana. Lalu, Umar r.a. menulis surat kepada Abu Ubaidah r.a yang isinya, "Saya datang untuk bertemu denganmu. Namun, saya tidak dapat masuk ke dalam kota karena adanya penyakit yang sedang mengganas. Seandainya surat ini sampai ke tanganmu siang hari, segeralah berangkat menemuiku sebelum sore!"
Ketika Abu Ubaidah r.a membaca surat itu, ia berkata, "Saya tahu maksud Amirul Mukminin memerintahku demikian. la ingin agar saya terhindar dari penyakit berbahaya ini."
la pun membalas surat sang Khalifah, "Wahai Amirul Mukminin, saya sangat mengerti maksud Anda. Saya sedang berada di tengah-tengah tentara muslimin dan sedang bertugas memimpin mereka. Saya tidak ingin meninggalkan mereka dalam bahaya hanya untuk menyelamatkan diri sendiri. Saya tidak ingin berpisah dengan mereka, hingga Allah memberikan keputusan kepada kami keselamatan atau kebinasaan. Jika surat ini sampai ke tangan Khalifah, maafkan saya karena tidak bisa memenuhi permintaan Anda. Izinkan saya bersama mereka."
Usai membaca isi surat dari panglima perangnya, Umar r.a. menangis tersedu. Orang-orang pun bertanya, "Wahai Amirul Mukminin. Apakah Abu Ubaidah telah meninggal?"
"Tidak," jawab Umar r.a, "tetapi ia di ambang kematian."
Dugaan Khalifah benar. Tidak lama kemudian, Abu Ubaidah r.a. meninggal dunia.
Umar r.a. yang mengetahui adanya wabah penyakit berbahaya di Syam mengurungkan niatnya untuk pergi ke sana. Lalu, Umar r.a. menulis surat kepada Abu Ubaidah r.a yang isinya, "Saya datang untuk bertemu denganmu. Namun, saya tidak dapat masuk ke dalam kota karena adanya penyakit yang sedang mengganas. Seandainya surat ini sampai ke tanganmu siang hari, segeralah berangkat menemuiku sebelum sore!"
Ketika Abu Ubaidah r.a membaca surat itu, ia berkata, "Saya tahu maksud Amirul Mukminin memerintahku demikian. la ingin agar saya terhindar dari penyakit berbahaya ini."
la pun membalas surat sang Khalifah, "Wahai Amirul Mukminin, saya sangat mengerti maksud Anda. Saya sedang berada di tengah-tengah tentara muslimin dan sedang bertugas memimpin mereka. Saya tidak ingin meninggalkan mereka dalam bahaya hanya untuk menyelamatkan diri sendiri. Saya tidak ingin berpisah dengan mereka, hingga Allah memberikan keputusan kepada kami keselamatan atau kebinasaan. Jika surat ini sampai ke tangan Khalifah, maafkan saya karena tidak bisa memenuhi permintaan Anda. Izinkan saya bersama mereka."
Usai membaca isi surat dari panglima perangnya, Umar r.a. menangis tersedu. Orang-orang pun bertanya, "Wahai Amirul Mukminin. Apakah Abu Ubaidah telah meninggal?"
"Tidak," jawab Umar r.a, "tetapi ia di ambang kematian."
Dugaan Khalifah benar. Tidak lama kemudian, Abu Ubaidah r.a. meninggal dunia.
Amanah untuk Ali r.a
Berita mengenai rencana hijrah Rasulullah saw. terdengar oleh kaum musyrikin Quraisy. Mereka pun mengumpulkan algojo-algojo terkuatnya untuk menghadang kepergian Muhammad keluar dari kota Mekah ke Medinah.
Namun, Rasulullah telah terlebih dahulu menyusun strategi jitu agar perjalanan hijrahnya lancar. Dalam rencana tersebut beliau melibatkan Ali bin Abi Thalib r.a, seorang pemuda belia yang pertama masuk Islam untuk mengecoh musuh Allah dengan tidur di peraduan Rasulullah saw.
Ia juga ditugaskan untuk mengembalikan barang-barang titipan penduduk Mekah yang dipercayakan kepada Rasulullah saw. Setelah itu, ia harus mengatur hijrahnya tiga wanita yang bernama Fatimah, yaitu Fatimah Az-Zahra r.a. (putri Rasulullah saw.), Fatimah binti Asad r.a. (ibunda Ali r.a.), dan Fatimah binti Zubair r.a.
Malam harinya, seluruh algojo terbaik telah mengepung kediaman Rasulullah saw. Dengan beringas dan bersemangat, mereka mendobrak pintu rumah dan mendapati seseorang berselimut tengah tidur di tempat tidur Rasulullah saw.
Ketika pedang terhunus dan siap dihunjamkan, alangkah terkejutnya mereka ketika mengetahui bahwa orang berselimut itu adalah Ali r.a dan bukan target yang mereka cari. Mereka langsung menggertak Ali r.a, "Di mana Muhammad!"
Dengan tenang Ali r.a. menjawab, "Beliau sudah tidak ada di sini!"
Mereka marah dan geram saat rencana yang mereka susun hancur berantakan. Satu sama lain saling menyalahkan. Jika Allah SWT telah melindungi hamba-Nya, tidak akan ada yang sanggup mencelakakannya.
Keesokan harinya, Ali r.a menjalankan amanah keduanya. la mengumumkan bahwa dirinya telah ditunjuk oleh Rasulullah saw. untuk mengembalikan barang-barang titipan penduduk Mekah. Berkumpulah orang-orang pemilik barang tersebut dan mengambil miliknya. Setelah semua tertunaikan, selesailah amanah kedua.
Amanah ketiga adalah mengawal hijrahnya tiga orang wanita mulia. Tugas ini pun Ali r.a jalankan dengan mulus.
Dalam usianya yang belia, Ali r.a. begitu sigap dan cekatan menyelesaikan seluruh amanah yang diberikan kepadanya. Bahkan, ketika ia mengetahui bahwa nyawanya terancam jika menggantikan Rasulullah di peraduannya, ia tetap melaksanakannya dengan ikhlas.
Namun, Rasulullah telah terlebih dahulu menyusun strategi jitu agar perjalanan hijrahnya lancar. Dalam rencana tersebut beliau melibatkan Ali bin Abi Thalib r.a, seorang pemuda belia yang pertama masuk Islam untuk mengecoh musuh Allah dengan tidur di peraduan Rasulullah saw.
Ia juga ditugaskan untuk mengembalikan barang-barang titipan penduduk Mekah yang dipercayakan kepada Rasulullah saw. Setelah itu, ia harus mengatur hijrahnya tiga wanita yang bernama Fatimah, yaitu Fatimah Az-Zahra r.a. (putri Rasulullah saw.), Fatimah binti Asad r.a. (ibunda Ali r.a.), dan Fatimah binti Zubair r.a.
Malam harinya, seluruh algojo terbaik telah mengepung kediaman Rasulullah saw. Dengan beringas dan bersemangat, mereka mendobrak pintu rumah dan mendapati seseorang berselimut tengah tidur di tempat tidur Rasulullah saw.
Ketika pedang terhunus dan siap dihunjamkan, alangkah terkejutnya mereka ketika mengetahui bahwa orang berselimut itu adalah Ali r.a dan bukan target yang mereka cari. Mereka langsung menggertak Ali r.a, "Di mana Muhammad!"
Dengan tenang Ali r.a. menjawab, "Beliau sudah tidak ada di sini!"
Mereka marah dan geram saat rencana yang mereka susun hancur berantakan. Satu sama lain saling menyalahkan. Jika Allah SWT telah melindungi hamba-Nya, tidak akan ada yang sanggup mencelakakannya.
Keesokan harinya, Ali r.a menjalankan amanah keduanya. la mengumumkan bahwa dirinya telah ditunjuk oleh Rasulullah saw. untuk mengembalikan barang-barang titipan penduduk Mekah. Berkumpulah orang-orang pemilik barang tersebut dan mengambil miliknya. Setelah semua tertunaikan, selesailah amanah kedua.
Amanah ketiga adalah mengawal hijrahnya tiga orang wanita mulia. Tugas ini pun Ali r.a jalankan dengan mulus.
Dalam usianya yang belia, Ali r.a. begitu sigap dan cekatan menyelesaikan seluruh amanah yang diberikan kepadanya. Bahkan, ketika ia mengetahui bahwa nyawanya terancam jika menggantikan Rasulullah di peraduannya, ia tetap melaksanakannya dengan ikhlas.
Tepat dalam Menunaikan Janji
Umar bin Khaththab r.a mendapat pengaduan dari seorang penggembala unta dan anak pemilik kebun anggur ketika ia masih menjabat sebagai khalifah. Anak pemilik kebun tersebut menuntut si penggembala agar dihukum mati karena telah membunuh ayahnya. Umar r.a pun meminta si penggembala menceritakan peristiwa yang menyebabkan ia harus membunuh si pemilik kebun anggur tersebut.
Dia lalu bercerita. Ketika ia sedang menggembalakan unta-untanya, tanpa ia sadari hewan gembalaannya tersebut masuk ke dalam kebun anggur milik seseorang. la pun segera menghalau unta-untanya agar keluar dari lingkungan kebun.
Namun, pemilik kebun anggur tersebut keburu memergokinya. Saking marahnya, si pemilik anggur mengangkat bongkahan batu besar dan melemparnya ke arah seekor unta dan jatuh tepat di kepalanya. Unta itu menggelepar dan tidak lama kemudian mati.
Tentu saja kejadian itu membuat si penggembala panik. Bagaimana tidak, unta itu bukan miliknya. la hanya diberi upah untuk menggembalakan hewan ternak milik orang lain. Kepanikannya itu membuatnya hilang akal. Diambilnya bongkahan batu yang menyebabkan kematian unta gembalaanya, lalu ia lempar balik ke pemilik kebun hingga ia pun tewas seketika.
Anak pemilik kebun yang menyaksikan peristiwa kematian ayahnya itu segera melapor kepada Amirul Mukminin Umar r.a. Ia pun menceritakan kronologis kejadian dari awal sampai akhir. Tentu saja ia berharap si penggembala yang telah membunuh ayahnya itu dihukum mati.
Namun, Umar r.a ingin mendengar peristiwa itu dari si penggembala sendiri. Dengan wajah penuh penyesalan, ia pun membenarkan cerita anak pemilik kebun tersebut bahwa memang benar ia telah membunuh ayahnya.
Dalam hukum Islam, hukuman bagi pelaku pembunuhan ada dua. Yang pertama qishas, yaitu nyawa dibayar nyawa, artinya si pelaku harus dihukum mati. Sedangkan, yang kedua membayar diyat atau ganti rugi kepada ahli waris korban yang terbunuh.
Umar r.a pun memberikan kedua pilihan hukuman itu kepada anak pemilik kebun. Akan tetapi, ia memang tidak bisa memaafkan perbuatan si penggembala. la menginginkan agar pengembala itu dihukum mati saja. Umar r.a akhirnya memvonis hukuman mati bagi si penggembala.
Sebelum pelaksanaan hukuman mati, Umar r.a memberi kesempatan kepada si penggembala untuk mengungkapkan permohonan terakhir sebelum kematiannya. Umar r.a. berkata, "Adakah satu hal yang ingin kau sampaikan sebelum kamu dihukum mati?"
Si penggembala tampak gembira mendapat tawaran tersebut. Satu keinginannya adalah agar diberi kesempatan untuk mengembalikan harta anak-anak yatim yang dititipkan kepadanya. Dengan demikian, hukuman mati untuknya pun harus ditunda agar bisa menyelesaikan seluruh amanahnya.
la pun mengungkapkan keinginannya kepada Amirul Mukminin, "Wahai Amirul Mukminin. Selama ini aku dipercaya untuk mengelola harta anak yatim, terutama bagi anak yatim yang belum sanggup memegang harta. Harta mereka akan aku serahkan kelak saat mereka beranjak dewasa. Oleh karena itu, aku mohon agar aku bisa mengembalikan harta-harta itu kepada mereka dan mencari orang sebagai penggantiku. Jika kau tidak keberatan, aku mohon penundaan hukuman mati selama tiga hari agar aku dapat menyelesaikan segala urusanku. Jika aku tidak memiliki beban lagi, baru aku bisa mati dengan tenang," pinta si penggembala.
Tentu saja ahli waris pemilik kebun merasa keberatan. Bagaimana jika permohonan itu hanyalah taktik belaka agar ia bisa lari dan menghindari hukuman tersebut. Melihat keluarga korban yang keberatan, si penggembala memohon dengan bersumpah berkali-kali bahwa ia tidak akan mangkir dari hukuman mati tersebut.
Umar r.a menengahi kedua pihak yang berseteru tersebut dan berseru kepada orang yang ada di sana, "Adakah di antara kalian yang bersedia menjadi penjamin orang ini?"
Semua orang terdiam. Menjadi penjamin bagi orang yang hendak dihukum mati risikonya adalah dirinya sendiri yang akan dipenggal. Mana ada orang yang rela mati konyol dengan menukar posisinya dengan si penggembala unta tersebut.
Ketika harapan makin tipis, si penggembala lemas karena tidak memiliki harapan untuk mati tanpa beban, tiba-tiba seorang pemuda menyatakan kesediaannya, "Aku bersedia menjadi penjaminnya, wahai Amirul Mukminin! Aku adalah sahabatnya. Kami tinggal dan tumbuh besar di kampung yang sama. Aku mengenalnya sebagai orang yang jujur dan tak pernah ingkar janji. Aku yakin bahwa sahabatku ini memang benar-benar ingin menunaikan amanahnya dan aku akan membantunya dengan senang hati!"
Si penggembala langsung memeluk sahabatnya untuk berterima kasih dan berjanji bahwa ia akan kembali untuk melaksanakan hukuman matinya.
Tiga hari telah berlalu. Seluruh penduduk telah berkumpul untuk menyaksikan hukuman mati termasuk para ahli waris pemilik kebun.
Sahabat yang menjaminkan dirinya sudah berdiri di samping algojo dengan kilatan pedang yang tajam. la tampak tenang meskipun waktu sudah hampir habis dan si penggembala belum juga menampakkan batang hidungnya. Semua orang saling bertanya dan curiga, akankah si penggembala datang memenuhi panggilannya.
Ternyata dari kejauhan, terdengar suara derap kaki kuda diiringi debu yang membumbung di udara. Makin dekat makin jelas bahwa penunggang kuda tersebut adalah si penggembala yang akan dihukum mati. Ia mempercepat lari kudanya seolah tidak ragu untuk menyambut kematiannya. Padahal, sebenarnya ia tidak ingin sahabatnya yang baik hati mati karena dirinya.
Di depan sahabatnya, ia melompat dari kudanya yang masih berlari untuk segera bertukar posisi. Dengan nafas tersengal-sengal dan wajah lelah, ia segera meminta maaf kepada sang sahabat karena telah merisaukannya. Dia langsung mendekat ke arah algojo dan memberi tanda bahwa ia siap dihukum mati saat itu juga.
Tanpa terduga, seseorang berteriak kepada algojo, "Hentikan hukuman mati ini, kami telah memaafkannya!" Seluruh hadirin terperangah dan menoleh ke arah sumber suara. Ternyata yang berteriak itu adalah anak pemilik kebun yang dulu sangat dendam kepada si penggembala.
Ya, anak pemilik kebun itu telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketulusan hati si penggembala dalam menepati janji dan amanahnya. la menjadi yakin bahwa peristiwa pembunuhan ayahnya tersebut hanyalah sebuah kekhilafan belaka. Mengingat si penggembala menepati amanah dan janjinya serta berani bertanggung jawab meskipun nyawa taruhannya, ia pun memaafkan kekhilafan itu.
Dia lalu bercerita. Ketika ia sedang menggembalakan unta-untanya, tanpa ia sadari hewan gembalaannya tersebut masuk ke dalam kebun anggur milik seseorang. la pun segera menghalau unta-untanya agar keluar dari lingkungan kebun.
Namun, pemilik kebun anggur tersebut keburu memergokinya. Saking marahnya, si pemilik anggur mengangkat bongkahan batu besar dan melemparnya ke arah seekor unta dan jatuh tepat di kepalanya. Unta itu menggelepar dan tidak lama kemudian mati.
Tentu saja kejadian itu membuat si penggembala panik. Bagaimana tidak, unta itu bukan miliknya. la hanya diberi upah untuk menggembalakan hewan ternak milik orang lain. Kepanikannya itu membuatnya hilang akal. Diambilnya bongkahan batu yang menyebabkan kematian unta gembalaanya, lalu ia lempar balik ke pemilik kebun hingga ia pun tewas seketika.
Anak pemilik kebun yang menyaksikan peristiwa kematian ayahnya itu segera melapor kepada Amirul Mukminin Umar r.a. Ia pun menceritakan kronologis kejadian dari awal sampai akhir. Tentu saja ia berharap si penggembala yang telah membunuh ayahnya itu dihukum mati.
Namun, Umar r.a ingin mendengar peristiwa itu dari si penggembala sendiri. Dengan wajah penuh penyesalan, ia pun membenarkan cerita anak pemilik kebun tersebut bahwa memang benar ia telah membunuh ayahnya.
Dalam hukum Islam, hukuman bagi pelaku pembunuhan ada dua. Yang pertama qishas, yaitu nyawa dibayar nyawa, artinya si pelaku harus dihukum mati. Sedangkan, yang kedua membayar diyat atau ganti rugi kepada ahli waris korban yang terbunuh.
Umar r.a pun memberikan kedua pilihan hukuman itu kepada anak pemilik kebun. Akan tetapi, ia memang tidak bisa memaafkan perbuatan si penggembala. la menginginkan agar pengembala itu dihukum mati saja. Umar r.a akhirnya memvonis hukuman mati bagi si penggembala.
Sebelum pelaksanaan hukuman mati, Umar r.a memberi kesempatan kepada si penggembala untuk mengungkapkan permohonan terakhir sebelum kematiannya. Umar r.a. berkata, "Adakah satu hal yang ingin kau sampaikan sebelum kamu dihukum mati?"
Si penggembala tampak gembira mendapat tawaran tersebut. Satu keinginannya adalah agar diberi kesempatan untuk mengembalikan harta anak-anak yatim yang dititipkan kepadanya. Dengan demikian, hukuman mati untuknya pun harus ditunda agar bisa menyelesaikan seluruh amanahnya.
la pun mengungkapkan keinginannya kepada Amirul Mukminin, "Wahai Amirul Mukminin. Selama ini aku dipercaya untuk mengelola harta anak yatim, terutama bagi anak yatim yang belum sanggup memegang harta. Harta mereka akan aku serahkan kelak saat mereka beranjak dewasa. Oleh karena itu, aku mohon agar aku bisa mengembalikan harta-harta itu kepada mereka dan mencari orang sebagai penggantiku. Jika kau tidak keberatan, aku mohon penundaan hukuman mati selama tiga hari agar aku dapat menyelesaikan segala urusanku. Jika aku tidak memiliki beban lagi, baru aku bisa mati dengan tenang," pinta si penggembala.
Tentu saja ahli waris pemilik kebun merasa keberatan. Bagaimana jika permohonan itu hanyalah taktik belaka agar ia bisa lari dan menghindari hukuman tersebut. Melihat keluarga korban yang keberatan, si penggembala memohon dengan bersumpah berkali-kali bahwa ia tidak akan mangkir dari hukuman mati tersebut.
Umar r.a menengahi kedua pihak yang berseteru tersebut dan berseru kepada orang yang ada di sana, "Adakah di antara kalian yang bersedia menjadi penjamin orang ini?"
Semua orang terdiam. Menjadi penjamin bagi orang yang hendak dihukum mati risikonya adalah dirinya sendiri yang akan dipenggal. Mana ada orang yang rela mati konyol dengan menukar posisinya dengan si penggembala unta tersebut.
Ketika harapan makin tipis, si penggembala lemas karena tidak memiliki harapan untuk mati tanpa beban, tiba-tiba seorang pemuda menyatakan kesediaannya, "Aku bersedia menjadi penjaminnya, wahai Amirul Mukminin! Aku adalah sahabatnya. Kami tinggal dan tumbuh besar di kampung yang sama. Aku mengenalnya sebagai orang yang jujur dan tak pernah ingkar janji. Aku yakin bahwa sahabatku ini memang benar-benar ingin menunaikan amanahnya dan aku akan membantunya dengan senang hati!"
Si penggembala langsung memeluk sahabatnya untuk berterima kasih dan berjanji bahwa ia akan kembali untuk melaksanakan hukuman matinya.
Tiga hari telah berlalu. Seluruh penduduk telah berkumpul untuk menyaksikan hukuman mati termasuk para ahli waris pemilik kebun.
Sahabat yang menjaminkan dirinya sudah berdiri di samping algojo dengan kilatan pedang yang tajam. la tampak tenang meskipun waktu sudah hampir habis dan si penggembala belum juga menampakkan batang hidungnya. Semua orang saling bertanya dan curiga, akankah si penggembala datang memenuhi panggilannya.
Ternyata dari kejauhan, terdengar suara derap kaki kuda diiringi debu yang membumbung di udara. Makin dekat makin jelas bahwa penunggang kuda tersebut adalah si penggembala yang akan dihukum mati. Ia mempercepat lari kudanya seolah tidak ragu untuk menyambut kematiannya. Padahal, sebenarnya ia tidak ingin sahabatnya yang baik hati mati karena dirinya.
Di depan sahabatnya, ia melompat dari kudanya yang masih berlari untuk segera bertukar posisi. Dengan nafas tersengal-sengal dan wajah lelah, ia segera meminta maaf kepada sang sahabat karena telah merisaukannya. Dia langsung mendekat ke arah algojo dan memberi tanda bahwa ia siap dihukum mati saat itu juga.
Tanpa terduga, seseorang berteriak kepada algojo, "Hentikan hukuman mati ini, kami telah memaafkannya!" Seluruh hadirin terperangah dan menoleh ke arah sumber suara. Ternyata yang berteriak itu adalah anak pemilik kebun yang dulu sangat dendam kepada si penggembala.
Ya, anak pemilik kebun itu telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketulusan hati si penggembala dalam menepati janji dan amanahnya. la menjadi yakin bahwa peristiwa pembunuhan ayahnya tersebut hanyalah sebuah kekhilafan belaka. Mengingat si penggembala menepati amanah dan janjinya serta berani bertanggung jawab meskipun nyawa taruhannya, ia pun memaafkan kekhilafan itu.
Mencuri Harta Rampasan
Sepulang dari Perang Khaibar, seorang pembantu Rasulullah saw. terkena anak panah yang tidak diketahui asal usulnya. Ia pun mati seketika. Para sahabat kemudian berdoa, "Semoga dia dikaruniai surga."
Akan tetapi, Rasulullah saw berkata lain, "Saya tidak sependapat dengan kalian!"
Para sahabat terperanjat, mereka lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah dia telah ikut andil dalam perjuangan melawan musuh-musuh Allah?"
Rasulullah saw menjawab, "Ia menggunakan jubah hasil rampasan perang yang belum menjadi haknya. la telah melanggar amanah, mengambil barang yang bukan haknya. Jubah itu kelak akan melingkari tubuhnya dalam bentuk api di hari pengadilan nanti!"
Mendengar penjelasan tersebut, seorang sahabat mengaku, "Wahai Rasulullah. Saya telah mengambil dua tali sepatu dari hasil rampasan perang tanpa izin," ujarnya sambil gemetar.
"Kembalikanlah atau dia akan mengikat kakimu dalam bentuk api di hari pengadilan nanti!"
Akan tetapi, Rasulullah saw berkata lain, "Saya tidak sependapat dengan kalian!"
Para sahabat terperanjat, mereka lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah dia telah ikut andil dalam perjuangan melawan musuh-musuh Allah?"
Rasulullah saw menjawab, "Ia menggunakan jubah hasil rampasan perang yang belum menjadi haknya. la telah melanggar amanah, mengambil barang yang bukan haknya. Jubah itu kelak akan melingkari tubuhnya dalam bentuk api di hari pengadilan nanti!"
Mendengar penjelasan tersebut, seorang sahabat mengaku, "Wahai Rasulullah. Saya telah mengambil dua tali sepatu dari hasil rampasan perang tanpa izin," ujarnya sambil gemetar.
"Kembalikanlah atau dia akan mengikat kakimu dalam bentuk api di hari pengadilan nanti!"
Larangan Mengkhianati Amanah
Di zaman Rasulullah saw hiduplah seorang penggembala. Melihat keluhuran budi pekerti Rasulullah saw dan keagungan akhlak beliau, akhirnya penggembala itu masuk Islam tanpa sepengetahuan majikannya. Setelah ia mengikrarkan keislamannya, ia pun mengajukan usul yang ia kira dapat menguntungkan umat Islam.
Saat itu permusuhan antara kaum musyrikin Quraisy di Mekah dan kaum muslimin di Medinah makin memuncak sehingga mengarah pada peperangan. Atas dasar itulah si penggembala hendak memberikan kontribusi pertamanya pada Islam.
la berkata kepada Rasulullah saw, "Saya adalah penggembala yang mengurus ratusan domba kepunyaan orang musyrik yang sangat membenci dan memusuhi risalahmu."
"Lalu?" Rasulullah saw. meminta penjelasan lebih lanjut.
"Saya yakin umat Islam kini sedang membutuhkan dana untuk persiapan peperangan," jelasnya lagi.
"Lalu?" tanya beliau lagi.
"Majikan saya belum tahu bahwa saya telah memeluk Islam. Aku berpikir bagaimana kalau domba yang ia percayakan kepadaku diberikan untuk kepentingan kaum muslimin sebagai tambahan modal untuk berperang melawan mereka?"
Rasulullah saw tersenyum mendengar usul tersebut. Sungguh kesyukuran atas nikmat iman Islam yang telah mengobarkan semangat juangnya. Akan tetapi, Rasulullah saw adalah orang mulia yang selalu menjunjung tinggi kejujuran dan amanah.
Oleh karena itu, beliau menolak usul itu dengan halus serta memberi nasihat kepada penggembala itu, "Seorang muslim haruslah bersikap amanah. Jadi, kau harus melaksanakan tugas yang diamanahkan kepadamu. Artinya, kau harus mengembalikan seluruh domba kepada pemiliknya dalam jumlah dan kondisi yang sama tidak kurang suatu apa pun."
Saat itu permusuhan antara kaum musyrikin Quraisy di Mekah dan kaum muslimin di Medinah makin memuncak sehingga mengarah pada peperangan. Atas dasar itulah si penggembala hendak memberikan kontribusi pertamanya pada Islam.
la berkata kepada Rasulullah saw, "Saya adalah penggembala yang mengurus ratusan domba kepunyaan orang musyrik yang sangat membenci dan memusuhi risalahmu."
"Lalu?" Rasulullah saw. meminta penjelasan lebih lanjut.
"Saya yakin umat Islam kini sedang membutuhkan dana untuk persiapan peperangan," jelasnya lagi.
"Lalu?" tanya beliau lagi.
"Majikan saya belum tahu bahwa saya telah memeluk Islam. Aku berpikir bagaimana kalau domba yang ia percayakan kepadaku diberikan untuk kepentingan kaum muslimin sebagai tambahan modal untuk berperang melawan mereka?"
Rasulullah saw tersenyum mendengar usul tersebut. Sungguh kesyukuran atas nikmat iman Islam yang telah mengobarkan semangat juangnya. Akan tetapi, Rasulullah saw adalah orang mulia yang selalu menjunjung tinggi kejujuran dan amanah.
Oleh karena itu, beliau menolak usul itu dengan halus serta memberi nasihat kepada penggembala itu, "Seorang muslim haruslah bersikap amanah. Jadi, kau harus melaksanakan tugas yang diamanahkan kepadamu. Artinya, kau harus mengembalikan seluruh domba kepada pemiliknya dalam jumlah dan kondisi yang sama tidak kurang suatu apa pun."
Mengungkap Pengkhianat
Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bercerita tentang seorang Nabi Allah, bernama Yusya bin Nun a.s, yang hendak berperang. la berseru kepada kaumnya, "Tidak boleh ikut bersamaku dalam peperangan ini seorang laki-laki yang telah berkumpul bersama istrinya dan dari itu dia berharap anak dan belum mendapatkannya. Begitu pula, orang yang sedang membangun rumah, tetapi belum menyelesaikan atapnya serta orang yang telah membeli kambing atau unta bunting yang dia tunggu kelahiran anaknya!"
Kemudian Nabi Yusya bin Nun a.s bersama pasukannya berangkat jihad.
Ketika sampai pada daerah yang dituju, waktu menunjukkan saat Ashar atau menjelang Ashar. Nabi Yusya bin Nun a.s. berkata kepada matahari, "Hai Matahari! Engkau tunduk kepada perintah Allah dan aku pun demikian. Ya Allah, tahanlah matahari itu sejenak agar tidak terbenam!"
Allah pun menahan matahari sehingga panas tidak begitu terik sampai Nabi Yusya bin Nun a.s. bersama pasukannya berhasil menaklukkan tempat tersebut. Setelah itu, bala tentaranya mengumpulkan harta rampasan yang diperoleh, (pada masa sebelum Rasulullah saw, harta rampasan tidak dihalalkan untuk pasukan nabi).
Kemudian api menyambar harta rampasan tersebut meskipun tidak membakarnya. Artinya, ada barang rampasan yang disembunyikan dan belum dikumpulkan. Nabi a.s berseru, "Di antara kalian ada yang berkhianat dan masih menyimpan sebagian dari harta rampasan. Aku harap semua orang dari setiap kabilah bersumpah kepadaku!"
Kemudian satu per satu dari mereka bersumpah sambil menjabat tangan Nabi Yusya bin Nun a.s Tiba-tiba tangan Nabi Yusya bin Nun a.s lengket pada tangan dua atau tiga orang pasukannya, "Kalian telah berkhianat!" serunya kepada mereka.
Lalu, mereka mengeluarkan emas sebesar kepala sapi dan dikumpulkan bersama harta rampasan yang lain. Setelah itu, datanglah api menyambar dan membakar seluruh harta rampasan tersebut.
Kemudian Nabi Yusya bin Nun a.s bersama pasukannya berangkat jihad.
Ketika sampai pada daerah yang dituju, waktu menunjukkan saat Ashar atau menjelang Ashar. Nabi Yusya bin Nun a.s. berkata kepada matahari, "Hai Matahari! Engkau tunduk kepada perintah Allah dan aku pun demikian. Ya Allah, tahanlah matahari itu sejenak agar tidak terbenam!"
Allah pun menahan matahari sehingga panas tidak begitu terik sampai Nabi Yusya bin Nun a.s. bersama pasukannya berhasil menaklukkan tempat tersebut. Setelah itu, bala tentaranya mengumpulkan harta rampasan yang diperoleh, (pada masa sebelum Rasulullah saw, harta rampasan tidak dihalalkan untuk pasukan nabi).
Kemudian api menyambar harta rampasan tersebut meskipun tidak membakarnya. Artinya, ada barang rampasan yang disembunyikan dan belum dikumpulkan. Nabi a.s berseru, "Di antara kalian ada yang berkhianat dan masih menyimpan sebagian dari harta rampasan. Aku harap semua orang dari setiap kabilah bersumpah kepadaku!"
Kemudian satu per satu dari mereka bersumpah sambil menjabat tangan Nabi Yusya bin Nun a.s Tiba-tiba tangan Nabi Yusya bin Nun a.s lengket pada tangan dua atau tiga orang pasukannya, "Kalian telah berkhianat!" serunya kepada mereka.
Lalu, mereka mengeluarkan emas sebesar kepala sapi dan dikumpulkan bersama harta rampasan yang lain. Setelah itu, datanglah api menyambar dan membakar seluruh harta rampasan tersebut.
Meminta Jabatan
Suatu hari Abu Musa Al-Asy'ari r.a datang menghadap Rasulullah saw bersama kedua sepupunya. Salah seorang sepupu Abu Musa r.a berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, berilah kami jabatan untuk membantu tugas-tugasmu!"
Rasulullah saw menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan memberikan jabatan kepada orang yang memintanya."
Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Abu Hurairah r.a bercerita, "Ketika Rasulullah saw sedang berbicara di hadapan para sahabat, tiba-tiba datang seorang Arab Badui, lalu bertanya, 'Kapankah terjadi hari kiamat?' Namun, Rasulullah terus melanjutkan pembicaraan. Sebagian orang mengatakan bahwa Rasulullah mendengarnya, tetapi beliau membenci perkataannya itu. Sebagian orang mengatakan bahwa beliau tidak mendengarnya. Setelah selesai berbicara, Rasulullah berkata, 'Di mana si penanya tentang hari kiamat tadi?' Orang yang bertanya tadi berkata, 'Aku orangnya, wahai Rasulullah!' Rasulullah berkata, 'Jika amanah telah disia-siakan, tunggulah hari Kiamat.' Orang itu bertanya lagi, 'Bagaimanakah amanah disia-siakan?' Rasulullah berkata, 'Jika urusan ini telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah hari kiamat'! " (HR Bukhari)
Pada saat yang lain, Abu Dzar Al-Ghifari r.a pernah melakukan hal yang sama, yaitu meminta jabatan. Kemudian Rasulullah saw. menanggapi permohonannya, "Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah. Padahal, jabatan merupakan amanat yang pada hari kiamat nanti menjadi sumber penyesalan dan kehinaan. Hanya orang-orang yang dapat menunaikan hak dan kewajiban yang dapat selamat dari azab Allah SWT."
Sejak saat itu Abu Dzar r.a selalu menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan. Bahkan, tawaran menjadi pemimpin di Irak ia tolak dan berkata, "Demi Allah, tuan-tuan takkan dapat memancingku dengan dunia tuan-tuan itu untuk selama-lamanya!"
Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Rasulullah saw pernah menasihati sahabat bernama Abdurrahman bin Samurah r.a Beliau bersabda, "Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik pada kebenaran). Namun, jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)."
Pada suatu hari, Abbas r.a, paman Rasulullah saw mendatangi beliau dan memohon agar diberi jabatan, "Ya Rasulullah, apakah kamu tidak suka mengangkatku menjadi pejabat pemerintahan?" pintanya.
Abbas r.a tidak asal meminta jabatan karena ia adalah orang yang cerdas, berpengetahuan luas, dan memiliki sifat-sifat kepemimpinan. Namun, Rasulullah saw. tidak ingin membebaninya dengan tugas pemerintahan.
Kemudian beliau menjelaskan kepada sang paman bahwa akhirat lebih baik daripada jabatan di dunia. Beliau bersabda, "Wahai Paman, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik dan'pada menghitung-hitung jabatan pemerintahan."
Pernyataan itu menenangkan hati Abbas r.a. sehingga runtuhlah keinginannya untuk memiliki jabatan. Namun, Ali r.a yang melihat pada diri Abbas r.a terdapat sebuah potensi yang bermanfaat untuk kepentingan umat berkata kepadanya, "Kalau kau ditolak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut sedekah!"
Abbas r.a kembali menghadap Rasulullah saw dan mengikuti saran Ali r.a, yaitu meminta diangkat menjadi pemungut sedekah. Rasulullah tersenyum seraya berkata kepada pamannya, "Tidak mungkin aku mengangkatmu untuk mengurusi 'cucian dosa' orang."
Pada waktu yang lain, Abbas r.a kembali menemui kemenakannya. Namun, bukan dalam rangka meminta jabatan. Dengan segala kerendahan hati ia meminta petunjuk kepada Rasulullah saw agar dirinya berguna di sisi Allah SWT.
la berkata, "Aku ini pamanmu, usiaku sudah lanjut dan ajalku hampir tiba. Ajarilah aku sesuatu yang kiranya berguna bagiku di sisi Allah!"
Rasulullah saw. menjawab, "Abbas, engkau adalah pamanku dan aku tidak berdaya sedikit pun dalam masalah yang berkenaan di sisi Allah, tetapi mohonlah kepada Tuhanmu ampunan dan keselamatan!"
la pun menerima saran Rasulullah saw. Pada dasarnya, Abbas r.a hanya ingin sisa hidupnya bermanfaat bukan hanya untuk dirinya. Jika ia tidak bisa memanfaatkan potensinya melalui jabatan dan mengurus rakyat, ia ingin berguna di sisi Allah SWT.
Akan tetapi, Allah SWT tidak membutuhkan siapa pun atau apa pun untuk menjalankan Kerajaan-Nya. Allah SWT menciptakan malaikat dan mengutus para rasul bukan karena Allah SWT membutuhkan pertolongan, tetapi itulah cara Dia mengatur alam semesta beserta makhluk-Nya.
Sepeninggal Rasulullah saw, sang paman senantiasa meluruskan pemimpin yang khilaf dan hidup terhormat di tengah-tengah para Khulafaur Rasyidin.
Rasulullah saw menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan memberikan jabatan kepada orang yang memintanya."
Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Abu Hurairah r.a bercerita, "Ketika Rasulullah saw sedang berbicara di hadapan para sahabat, tiba-tiba datang seorang Arab Badui, lalu bertanya, 'Kapankah terjadi hari kiamat?' Namun, Rasulullah terus melanjutkan pembicaraan. Sebagian orang mengatakan bahwa Rasulullah mendengarnya, tetapi beliau membenci perkataannya itu. Sebagian orang mengatakan bahwa beliau tidak mendengarnya. Setelah selesai berbicara, Rasulullah berkata, 'Di mana si penanya tentang hari kiamat tadi?' Orang yang bertanya tadi berkata, 'Aku orangnya, wahai Rasulullah!' Rasulullah berkata, 'Jika amanah telah disia-siakan, tunggulah hari Kiamat.' Orang itu bertanya lagi, 'Bagaimanakah amanah disia-siakan?' Rasulullah berkata, 'Jika urusan ini telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah hari kiamat'! " (HR Bukhari)
Pada saat yang lain, Abu Dzar Al-Ghifari r.a pernah melakukan hal yang sama, yaitu meminta jabatan. Kemudian Rasulullah saw. menanggapi permohonannya, "Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah. Padahal, jabatan merupakan amanat yang pada hari kiamat nanti menjadi sumber penyesalan dan kehinaan. Hanya orang-orang yang dapat menunaikan hak dan kewajiban yang dapat selamat dari azab Allah SWT."
Sejak saat itu Abu Dzar r.a selalu menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan. Bahkan, tawaran menjadi pemimpin di Irak ia tolak dan berkata, "Demi Allah, tuan-tuan takkan dapat memancingku dengan dunia tuan-tuan itu untuk selama-lamanya!"
Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Rasulullah saw pernah menasihati sahabat bernama Abdurrahman bin Samurah r.a Beliau bersabda, "Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik pada kebenaran). Namun, jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)."
Pada suatu hari, Abbas r.a, paman Rasulullah saw mendatangi beliau dan memohon agar diberi jabatan, "Ya Rasulullah, apakah kamu tidak suka mengangkatku menjadi pejabat pemerintahan?" pintanya.
Abbas r.a tidak asal meminta jabatan karena ia adalah orang yang cerdas, berpengetahuan luas, dan memiliki sifat-sifat kepemimpinan. Namun, Rasulullah saw. tidak ingin membebaninya dengan tugas pemerintahan.
Kemudian beliau menjelaskan kepada sang paman bahwa akhirat lebih baik daripada jabatan di dunia. Beliau bersabda, "Wahai Paman, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik dan'pada menghitung-hitung jabatan pemerintahan."
Pernyataan itu menenangkan hati Abbas r.a. sehingga runtuhlah keinginannya untuk memiliki jabatan. Namun, Ali r.a yang melihat pada diri Abbas r.a terdapat sebuah potensi yang bermanfaat untuk kepentingan umat berkata kepadanya, "Kalau kau ditolak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut sedekah!"
Abbas r.a kembali menghadap Rasulullah saw dan mengikuti saran Ali r.a, yaitu meminta diangkat menjadi pemungut sedekah. Rasulullah tersenyum seraya berkata kepada pamannya, "Tidak mungkin aku mengangkatmu untuk mengurusi 'cucian dosa' orang."
Pada waktu yang lain, Abbas r.a kembali menemui kemenakannya. Namun, bukan dalam rangka meminta jabatan. Dengan segala kerendahan hati ia meminta petunjuk kepada Rasulullah saw agar dirinya berguna di sisi Allah SWT.
la berkata, "Aku ini pamanmu, usiaku sudah lanjut dan ajalku hampir tiba. Ajarilah aku sesuatu yang kiranya berguna bagiku di sisi Allah!"
Rasulullah saw. menjawab, "Abbas, engkau adalah pamanku dan aku tidak berdaya sedikit pun dalam masalah yang berkenaan di sisi Allah, tetapi mohonlah kepada Tuhanmu ampunan dan keselamatan!"
la pun menerima saran Rasulullah saw. Pada dasarnya, Abbas r.a hanya ingin sisa hidupnya bermanfaat bukan hanya untuk dirinya. Jika ia tidak bisa memanfaatkan potensinya melalui jabatan dan mengurus rakyat, ia ingin berguna di sisi Allah SWT.
Akan tetapi, Allah SWT tidak membutuhkan siapa pun atau apa pun untuk menjalankan Kerajaan-Nya. Allah SWT menciptakan malaikat dan mengutus para rasul bukan karena Allah SWT membutuhkan pertolongan, tetapi itulah cara Dia mengatur alam semesta beserta makhluk-Nya.
Sepeninggal Rasulullah saw, sang paman senantiasa meluruskan pemimpin yang khilaf dan hidup terhormat di tengah-tengah para Khulafaur Rasyidin.
Nabi Yusuf a.s dan Jabatan
Allah SWT mengisahkan ketika Nabi Yusuf a.s. ditawari sebuah jabatan oleh raja kafir: "Dan raja berkata, "Bawalah dia (Yusuf) kepadaku agar aku memilih dia (sebagai orang yang dekat) kepadaku." Ketika dia (raja) tetah bercakap-cakap dengan dia, dia (raja) berkata, "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan dipercaya." Dia (Yusuf) berkata, "Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan." (QS. Yusuf [12]: 54-55).
Syekh Abdurrahman As-Sa'di menjelaskan tentang ayat ini dalam tafsirnya Bahjatul Qulub Al-Abrar bahwa Nabi Yusuf a.s meminta posisi sebagai bendaharawan Mesir karena ia memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk melaksanakan tugas tersebut yang tidak mungkin dilakukan orang lain.
Yaitu, menjaga harta dengan sempurna, mengetahui segala sisi yang terkait dengan perbendaharaan tersebut, baik pengeluaran, pembelanjaan, maupun penegakan keadilan yang sempurna.
Kemudian ketika beliau melihat sang raja mendekatkan diri kepadanya (menjadikannya orang kepercayaan) dan mengutamakannya atas raja itu sendiri serta pada kedudukan yang tinggi, sudah menjadi kewajiban baginya untuk memberikan pengarahan yang sempurna bagi raja dan rakyat. Itu adalah suatu keharusan dalam tugasnya sebagai utusan Allah.
Ketika Nabi Yusuf melakukan tugas menjaga perbendaharaan Mesir, beliau berusaha untuk menguatkan pertanian sehingga tidak tersisa satu tempat pun dari tanah Mesir, dari ujung ke ujung yang lain, yang pantas untuk ditanami, melainkan beliau tanami selama tujuh tahun. Lalu, beliau bentengi dan jaga dengan penjagaan yang sangat ajaib.
Setelah itu, datanglah tahun-tahun paceklik. Manusia sangat membutuhkan pangan. Beliau pun berusaha menimbang dengan penuh keadilan sehingga melarang para pedagang untuk membeli makanan karena khawatir mendesak orang-orang yang butuh. Kemudian terwujudlah kebaikan dan keuntungan yang banyak serta manfaat yang tidak terhitung.
Perihal Nabi Yusuf a.s pernah menjadi perbincangan antara Umar bin Khaththab r.a dan Abu Hurairah r.a. Diriwayatkan oleh Muhammad bin Sirrin r.a bahwa Umar r.a menugaskan Abu Hurairah r.a sebagai gubernur di daerah Bahrain.
Lalu, Abu Hurairah r.a datang membawa uang 10.000 dirham. Umar r.a berkata kepadanya, "Apakah engkau peruntukkan harta ini untuk kepentingan pribadimu, wahai musuh Allah dan musuh kitab-Nya?!"
Abu Hurairah r.a menjawab, "Aku bukan musuh Allah maupun musuh kitab-Nya, tetapi justru musuh yang memusuhi keduanya."
Umar r.a menukas, "Lalu, dari mana hartamu ini?"
"Itu adalah kuda yang berkembang biak dan hasil pekerjaan budakku serta pemberian yang datang beberapa kali," jawab Abu Hurairah.
Mereka pun memeriksanya. Ternyata benar apa yang dikatakan Abu Hurairah.
Setelah hal itu berlalu, Umar r.a memanggil Abu Hurairah r.a untuk ditugaskan kembali, tetapi ia menolak. Kemudian Umar berkata, "Mengapa kamu tidak suka jabatan ini, padahal telah memintanya orang yang lebih baik darimu, Yusuf a.s.?"
Abu Hurairah menjawab," Yusuf adalah seorang nabi, putra seorang nabi, dan cucu seorang nabi. Sedangkan, saya, Abu Hurairah, putra seorang ibu yang kecil. Dan, aku khawatir tiga tambah dua (perkara)."
Umar r.a berkata, "Mengapa tidak kau katakan lima (perkara) saja?"
Abu Hurairah menjawab, "Saya khawatir berkata tanpa ilmu, memutuskan tanpa kesabaran dan pikir panjang, takut punggungku dicambuk, hartaku diambil, dan kehormatanku dicela."
Syekh Abdurrahman As-Sa'di menjelaskan tentang ayat ini dalam tafsirnya Bahjatul Qulub Al-Abrar bahwa Nabi Yusuf a.s meminta posisi sebagai bendaharawan Mesir karena ia memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk melaksanakan tugas tersebut yang tidak mungkin dilakukan orang lain.
Yaitu, menjaga harta dengan sempurna, mengetahui segala sisi yang terkait dengan perbendaharaan tersebut, baik pengeluaran, pembelanjaan, maupun penegakan keadilan yang sempurna.
Kemudian ketika beliau melihat sang raja mendekatkan diri kepadanya (menjadikannya orang kepercayaan) dan mengutamakannya atas raja itu sendiri serta pada kedudukan yang tinggi, sudah menjadi kewajiban baginya untuk memberikan pengarahan yang sempurna bagi raja dan rakyat. Itu adalah suatu keharusan dalam tugasnya sebagai utusan Allah.
Ketika Nabi Yusuf melakukan tugas menjaga perbendaharaan Mesir, beliau berusaha untuk menguatkan pertanian sehingga tidak tersisa satu tempat pun dari tanah Mesir, dari ujung ke ujung yang lain, yang pantas untuk ditanami, melainkan beliau tanami selama tujuh tahun. Lalu, beliau bentengi dan jaga dengan penjagaan yang sangat ajaib.
Setelah itu, datanglah tahun-tahun paceklik. Manusia sangat membutuhkan pangan. Beliau pun berusaha menimbang dengan penuh keadilan sehingga melarang para pedagang untuk membeli makanan karena khawatir mendesak orang-orang yang butuh. Kemudian terwujudlah kebaikan dan keuntungan yang banyak serta manfaat yang tidak terhitung.
Perihal Nabi Yusuf a.s pernah menjadi perbincangan antara Umar bin Khaththab r.a dan Abu Hurairah r.a. Diriwayatkan oleh Muhammad bin Sirrin r.a bahwa Umar r.a menugaskan Abu Hurairah r.a sebagai gubernur di daerah Bahrain.
Lalu, Abu Hurairah r.a datang membawa uang 10.000 dirham. Umar r.a berkata kepadanya, "Apakah engkau peruntukkan harta ini untuk kepentingan pribadimu, wahai musuh Allah dan musuh kitab-Nya?!"
Abu Hurairah r.a menjawab, "Aku bukan musuh Allah maupun musuh kitab-Nya, tetapi justru musuh yang memusuhi keduanya."
Umar r.a menukas, "Lalu, dari mana hartamu ini?"
"Itu adalah kuda yang berkembang biak dan hasil pekerjaan budakku serta pemberian yang datang beberapa kali," jawab Abu Hurairah.
Mereka pun memeriksanya. Ternyata benar apa yang dikatakan Abu Hurairah.
Setelah hal itu berlalu, Umar r.a memanggil Abu Hurairah r.a untuk ditugaskan kembali, tetapi ia menolak. Kemudian Umar berkata, "Mengapa kamu tidak suka jabatan ini, padahal telah memintanya orang yang lebih baik darimu, Yusuf a.s.?"
Abu Hurairah menjawab," Yusuf adalah seorang nabi, putra seorang nabi, dan cucu seorang nabi. Sedangkan, saya, Abu Hurairah, putra seorang ibu yang kecil. Dan, aku khawatir tiga tambah dua (perkara)."
Umar r.a berkata, "Mengapa tidak kau katakan lima (perkara) saja?"
Abu Hurairah menjawab, "Saya khawatir berkata tanpa ilmu, memutuskan tanpa kesabaran dan pikir panjang, takut punggungku dicambuk, hartaku diambil, dan kehormatanku dicela."
Langganan:
Postingan (Atom)