Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Tampilkan postingan dengan label Membela hak dan memberi perlindungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Membela hak dan memberi perlindungan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 Maret 2010

Membela Hak Orang Lain

Suatu hari Abu Jahal membeli beberapa ekor unta dari seorang laki-laki kabilah Khais'am. Ia berjanji akan membayarnya sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati. Namun, ketika batas waktu pembayaran berakhir, Abu Jahal tidak juga membayar utang-utangnya.

Sang pedagang tidak kehabisan akal. Ia pergi ke Masjidil Haram untuk menemui petinggi-petinggi Quraisy di sana. Harapannya hanya satu, ada seseorang di antara mereka yang bersedia membantunya untuk menagih utang kepada Abu Jahal. Ia yakin Abu Jahal akan mendengar nasihat dari para petinggi Quraisy tersebut.

Ketika ia melihat para petinggi Quraisy sedang duduk-duduk dan saling bercengkerama di depan Masjidil Haram, tanpa buang waktu ia segera mendekati mereka. Kemudian ia tumpahkan permasalahan yang dihadapinya dengan harapan para petinggi Quraisy tersebut bersedia membantunya.

Memang orang-orang Quraisy itu mendengarkan curahan hati sang pedagang dengan saksama, tetapi bukannya memikirkan cara membantu sang pedagang, mereka malah melihat situasi ini sebagai kesempatan emas untuk 'mengerjai' Rasulullah saw. Mereka bermaksud mempertemukan Abu Jahal dengan Rasulullah saw agar Abu Jahal leluasa mempermalukan beliau di depan semua orang.

Akhirnya, mereka mengusulkan ide kepada sang pedagang "Adukanlah permasalahan ini kepada Muhammad. Hanya dia yang bisa membuat Abu Jahal menunaikan kewajibannya", usul mereka sambil terkekeh-kekeh.

Tanpa pikir panjang, pedagang itu benar-benar menemui Rasulullah saw. Ia pun mengadukan permasalahannya, "Wahai hamba Allah, Abu Jahal berbuat sewenang-wenang kepadaku. la tidak mau membayar harga unta yang dibelinya. Padahal, aku orang asing yang sedang melakukan perjalanan jauh. Tadi aku meminta orang-orang di sana untuk membantuku. Dan mereka menyuruhku untuk datang kepadamu. Tolonglah aku kali ini! Semoga Tuhan merahmatimu!" pinta sang pedagang.

Rasulullah saw berdiri dan mengajak pedagang itu ke rumah Abu Jahal. Keberangkatan mereka menuju rumah Abu Jahal diketahui oleh orang-orang Quraisy di Masjidil Haram dan mereka berpikir bahwa strategi mereka akan berhasil. Mereka pun mengutus seseorang untuk mengikuti Rasulullah saw dan melaporkan segala sesuatu yang terjadi nanti.

Setibanya di kediaman Abu Jahal, Rasulullah saw. mengetuk pintu rumahnya.

"Siapa itu?" tanya Abu Jahal dari dalam rumah ketika mendengar pintunya diketuk.

"Muhammad!" jawab Rasulullah, "keluarlah!" seru beliau kepada Abu Jahal.

Abu Jahal membuka pintu rumahnya dengan tergesa-gesa. Melihat Rasulullah saw telah berdiri di depan pintunya, tiba-tiba wajahnya berubah pucat pasi. Ia terlihat sangat ketakutan.

"Berikanlah hak orang ini kepadanya!" perintah Rasulullah dengan suara tegas.

Dengan gelagapan, Abu Jahal menjawab, "Ba.. baiklah. Akan kulunasi utangku sekarang!" Abu Jahal melesat masuk ke dalam rumah, lalu keluar dengan membawa uang sejumlah utangnya.

Urusan utang selesai. Rasulullah saw berkata kepada pedagang itu, "Gunakanlah hakmu sesukamu!" Kemudian beliau pergi.

Tentu saja hal ini sangat menggembirakan sang pedagang. Ia berlari menuju Masjidil Haram untuk berterima kasih atas saran yang diberikan para petinggi Ouraisy yang musyrik itu. Ia berkata kepada mereka, "Semoga Tuhan membalas Muhammad dengan kebaikan. Ia benar-benar telah menolongku mendapatkan hakku!"

Mendengar berita itu, para petinggi Quraisy merasa keheranan dan tidak percaya. Benarkah Abu Jahal telah membayar utangnya? Rasanya mustahil jika Abu Jahal menuruti kehendak kemenakannya tersebut. Namun, mereka masih berharap utusan yang mereka kirim membawa berita yang berbeda dari pedagang itu.

Tanpa menunggu lama, sang utusan datang. Ia melaporkan bahwa Abu Jahal langsung membayarkan utangnya ketika Muhammad memintanya. Rasa kaget dan gentar merayap ke dalam dada mereka. Tidak terbayang oleh mereka bahwa seorang Abu Jahal yang kuat kedudukannya serta sangat menentang Muhammad dengan mudahnya tunduk pada perintah beliau.

Ketika Abu Jahal datang dengan kepala tertunduk, mereka langsung menyerangnya dengan cemoohan, "Celakalah engkau! Demi Tuhan, kami tidak pernah melihat seseorang melakukan apa yang telah kaulakukan kepada Muhammad tadi!"

Abu Jahal membalas dengan makian, "Kalianlah yang celaka! Demi Tuhan, ketika kudengar ketukan dan mengetahui bahwa Muhammad yang datang, tiba-tiba saja aku merasa takut. Aku pun keluar. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri ada seekor unta yang sangat besar berdiri tepat di mukaku. Hewan itu membuka mulutnya yang sangat lebar sambil memamerkan gigi taringnya yang tajam-tajam seolah-olah hendak menerkamku. Demi Tuhan, jika aku menolak perintahnya, unta itu pasti sudah memangsaku!"

Membela Hak Makhluk Allah

Di antara sifat amanah adalah memelihara hak-hak makhluk Allah, termasuk hewan. Rasulullah sangat membenci perlakuan yang semena-mena terhadap hewan.

Misalnya, ketika beliau melihat seseorang sedang mengecoh kudanya. Ia seolah-olah hendak memberi makan kepada kudanya agar kuda tersebut mau menuruti dan mengikutinya, padahal tidak ada makanan yang akan ia berikan pada kudanya. Beliau langsung menegur orang itu, "Janganlah menipu hewan! Jadilah orang yang dapat dipercaya bagi mereka!"

Begitu juga, ketika beliau mendapat laporan bahwa ada beberapa orang mengambil anak-anak burung dari sarangnya. Sementara itu, sang induk berputar-putar sambil terus bercicit di atas sarang dengan gelisah mengetahui anak-anaknya tidak ada di tempatnya.

Berita itu benar-benar membuat sedih Rasulullah. Beliau pun langsung memerintahkan agar anak-anak burung itu dikembalikan ke sarangnya dengan segera.

Diriwayatkan pula oleh Bukhari, Rasulullah saw pernah bersabda kepada para sahabat bahwa pernah ada seorang nabi yang mendapat teguran dari Allah SWT karena membakar sarang semut.

Di waktu yang lain ketika di Mina, para sahabat menyerang seekor ular dengan maksud ingin membunuhnya. Namun, ular tersebut berhasil meloloskan diri. Rasulullah yang menyaksikan kejadian tersebut dan berkata, "Ia diselamatkan dari kejahatan kalian, seperti kalian diselamatkan dari kejahatannya."

Ibnu Abbas menceritakan saat Rasulullah saw melihat seseorang hendak menyembelih dombanya. la hanya mengasah pisau sebentar sehingga tidak terlalu tajam. Kemudian beliau menegurnya, sambil bertanya, "Apakah kau ingin membuatnya menderita dengan menyembelihnya berkali-kali?"

Abdullah bin Ja'far juga menceritakan ketika Rasulullah saw bersama sahabat sedang bepergian, beliau melihat seekor unta kurus berdiri di sudut sebuah kebun. Melihat kedatangan Rasulullah dengan serta-merta unta tersebut menangis. Beliau segera mendekatinya dan berdiri di sampingnya.

Tidak beberapa lama kemudian, beliau memanggil pemilik unta dan menegurnya dengan keras seraya berkata, "Berilah peliharaanmu makanan yang pantas untuknya!"

Hak Berbicara untuk Menuntut Hak Miliknya

Suatu ketika seorang Baduy melihat Rasulullah saw bersama para sahabat keluar dari masjid. Ia langsung mencegah langkah Rasulullah saw sambil menarik kerah baju beliau dengan kasar seraya berteriak, "Hai Muhammad! Berikanlah hakku! Kembalikan untaku! Aku yakin kau tidak sanggup mengembalikannya meskipun kaugunakan kekayaanmu ditambah milik ayahmu!"

Melihat Rasulullah saw diperlakukan kasar sedemikian rupa, para sahabat marah dan hendak membalas perlakuan kasar tersebut. Namun, tanpa rasa tersinggung sedikit pun, beliau mencegah para sahabat menyakiti orang Baduy itu. Beliau bersabda, "Biarkanlah orang itu! Sesungguhnya dia memiliki hak berbicara untuk menuntut haknya!"

Kemudian beliau meminta kepada para sahabat, "Berikanlah kepadanya unta berumur sama dengan untanya yang aku pinjam!"

"Para sahabat menuruti perintah beliau dan bergegas mencari unta yang dimaksud Rasulullah saw. Ternyata para sahabat tidak menemukan unta tersebut, melainkan unta yang lebih dewasa umurnya.

Padahal, unta yang lebih dewasa itu lebih kuat dan lebih mahal daripada unta yang lebih muda. Kemudian para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, kami tidak mendapatkan unta yang seumur dengan unta orang itu, kecuali unta yang lebih dewasa."

Rasulullah saw. berkata, "Berikanlah unta dewasa itu kepadanya. Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang paling baik mengembalikan pinjamannya!"

Jangan Memaksakan Kehendakmu, Amirul Mukminin!

Ketika masa pemerintahan khalifah Umar bin Khaththab r.a, Masjid Nabawi senantiasa disesakkan oleh jemaah kaum muslimin yang terus bertambah. Kemudian Umar r.a berniat untuk memperluas masjid tersebut agar bisa menampung kaum muslimin yang hendak beribadah di dalamnya.

Semua rumah di sekitar masjid telah dibelinya, kecuali rumah Abbas bin Abdul Muthalib r.a atau Abul Fadhal (ayahnya Fadhal, putra sulungnya). Amirul Mukminin pun menemuinya dan berkata, "Wahai Abul Fadhal, seperti yang kaulihat bahwa masjid sudah tidak cukup menampung jemaah yang akan shalat di dalamnya. Aku sudah memerintahkan untuk membeli tanah dan bangunan yang ada di sekitarnya untuk memperbesar bangunan masjid, kecuali rumahmu dan kamar-kamar Ummahatui Mu'minin (para istri nabi). Kami tidak mungkin membeli dan membongkar kamar-kamar Ummahatul Mu'minin. Oleh karena itu, aku meminta kepadamu agar kau mau menjual rumahmu berapa pun harga yang kau mau dari Baitul Mal."

Abbas r.a. menjawab singkat, "Tidak mau!"

Bukan Umar r.a namanya jika ia patah semangat. Ia pun menawarkan tiga pilihan bagi Abbas r.a,"Juallah rumahmu! Kau boleh meminta harga berapa pun dari Baitul Mal, aku akan membangunkanmu sebuah bangunan lain dari Baitul Mal, atau kamu berikan rumahmu sebagai harta sedekah kepada kaum muslimin!"

Abbas r.a tetap pada pendiriannya, "Aku tidak mau menerima semua itu!"

Melihat Abbas r.a yang keras kepala, Umar r.a meminta agar Abbas r.a menunjuk orang yang bisa menjadi penengah permasalahan mereka. Abbas r.a menunjuk Ubay bin Ka'ab r.a. yang kemudian disetujui oleh Amirul Mukminin, Umar r.a.

Mereka berdua pun menemui Ubay bin Ka'ab r.a. Umar r.a berharap bahwa caranya ini dapat membuat Abbas r.a merelakan rumahnya untuk disedekahkan. Lagi pula bukankah ia dalam posisi yang benar karena ingin membangun masjid untuk kepentingan kaum muslimin beribadah kepada Rabb-Nya? Umar r.a berkeyakinan bahwa Ubay r.a akan mendukung dirinya.

Setelah Ubay bin Ka'ab r.a mendengar permasalahan dari sudut pandang kedua belah pihak, ia mengisahkan, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Allah SWT pernah mewahyukan kepada Nabi Daud a.s., 'Bangunlah untuk-Ku sebuoh rumah tempat orang-orang menyebut nama-Ku di sana.' Nabi Daud a.s. merencanakan untuk membangunnya di Baitul Magdis. Dalam perencanaannya itu, lokasi pembangunan mengenai sebuah rumah seorang Bani Israel. Nabi Daud menawarkan kepada orang itu untuk menjual rumahnya, tetapi ia menolak ...."

Sampai di sini Umar r.a. merasa di atas angin karena ia yakin dirinyalah yang benar, sebagaimana posisi Nabi Daud a.s saat itu. Kemudian Ubay r.a melanjutkan, "Terpikir oleh Nabi Daud a.s. untuk mengambilnya dengan paksa. Namun, kemudian Allah SWT mewahyukan kepadanya, 'Hai Daud! Aku menyuruhmu membangun untuk-Ku tempat orang menyebut nama-Ku, sedangkan pemaksaan itu bukan sifat-Ku. Karena itu kau tidak usah membangunnya ..."

Umar r.a kaget mendengar cerita itu. Belum pernah sekalipun ia mendengar kisah tersebut dari Rasulullah saw. Sebelum Ubay r.a menyelesaikan kisahnya, Umar r.a. langsung mencengkeram kerah baju Ubay r.a dan menyeretnya ke masjid sambil menghardik, "Aku mengharapkanmu untuk mendukungku, tetapi kau malah menyudutkanku! Kau harus membuktikan kebenaran kisahmu tadi!"

Umar r.a membawanya ke tengah-tengah majelis para sahabat, di antaranya ada Abu Dzar r.a. Umar r.a bertanya ke majelis sahabat, "Saya berharap atas nama Allah, adakah di antara kalian yang pernah mendengar Rasulullah saw. berbicara tentang Nabi Daud a.s yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk mendirikan masjid agar disebut nama-Nya, kemudian ia memilih Baitul Maqdis?"

Abu Dzar r.a. berkata, "Ya, saya pernah mendengarnya!" Begitu pula yang lain berkata sama, "Ya, saya juga mendengarnya!"

Jawaban para sahabat membuat Umar r.a tersadar, kemudian berkata kepada Abbas r.a, "Pergilah! Aku tidak akan menuntut rumahmu lagi!"

Melihat Umar r.a yang telah melunak dan menyadari kesalahannya, Abbas r.a berkata, "Baiklah, kalau kau telah mengubah sikapmu, aku akan serahkan rumahku untuk disedekahkan bagi kepentingan kaum muslimin. Silakan perluas masjid mereka. Akan tetapi, jika kau mengambilnya dengan tekanan dan pemaksaan, aku tidak akan pernah merelakannya!"

Secara tidak langsung, Abbas r.a telah mengoreksi sikap Umar r.a yang bersikap sewenang-wenang merampas hak rakyatnya agar memenuhi keinginannya dengan cara paksa meskipun tujuannya untuk kemaslahatan umat.

Namun, ketika Abbas r.a melihat Umar r.a. mampu menghargai hak rakyatnya untuk berpendapat dan mempertahankan miliknya, barulah ia merelakan rumahnya untuk disedekahkan.

Kamis, 18 Maret 2010

Suami Zainab r.a, Abul Ash bin Rabi' r.a

Abul Ash bin Rabi' adalah seorang pemuda Mekah yang terkenal dengan kepribadiannya yang santun, cakap dalam berdagang, dan kaya-raya. Ia mempersunting Zainab, putri Muhammad dari Khadijah, untuk menjadi istrinya.

Saat itu Muhammad belum diangkat menjadi rasul. Muhammad dan Khadijah sangat bangga memiliki menantu yang baik seperti Abul Ash.
Ketika Muhammad diangkat menjadi rasul, Zainab menjadi bagian dari orang-orang yang pertama masuk Islam.

Akan tetapi, Abul Ash tetap teguh memegang keyakinannya yang lama. Ia tidak mau orang lain berpendapat bahwa keislamannya dikarenakan mengikuti jejak sang istri.

Mereka berdua adalah dua insan yang saling mencintai. Kaum musyrikin Quraisy berkali-kali menyuruh Abul Ash untuk menceraikan Zainab r.a. Dengan tegas, ia menolak permintaan itu mentah-mentah, "Demi Tuhan, aku tidak akan menceraikan istriku. Tidak ada wanita lain dari kaum Quraisy yang kucintai melebihi dia!"

Rasulullah saw menghargai ketegasan menantunya untuk senantiasa melindungi putri kesayangannya. Lagi pula pada saat itu Islam belum memerintahkan seorang istri muslim dipisahkan dari suaminya yang musyrik.

Awal mula Islam datang, berbagai cobaan dan intimidasi selalu dilancarkan orang-orang musyrikin Ouraisy kepada Muhammad. Hal ini membuat Zainab r.a, sebagai anak Muhammad, sangat sedih. Ditambah lagi keinginan yang kuat dari suaminya yang enggan masuk Islam.

Ketika sang ayah hijrah ke Medinah bersama mayoritas kaum muslimin lainnya, Zainab r.a. tetap bertahan di Mekah bersama umat muslim lainnya yang masih tersisa meskipun tinggal sedikit.

Ketika Perang Badar meletus, bertemulah dua kekuatan pasukan, yaitu pasukan musyrikin Quraisy dan pasukan muslim. Pasukan muslim dipimpin oleh ayah Zainab yang berjumlah lebih sedikit daripada pasukan musuh. Sedangkan, sang suami tercinta berada di pihak musuh yang melawan ayahnya.

Peperangan ini membuat Zainab r.a galau. Bagaimana tidak, sang suami berada di pihak musuh ayahnya. Padahal, keduanya adalah orang-orang yang ia cintai. Zainab r.a. hanya bisa berdoa, semoga Allah memenangkan kaum muslimin, menjaga suaminya dari bahaya, serta membimbingnya untuk memeluk Islam.

Akhir dari peperangan tersebut dimenangkan oleh kaum muslimin. Kaum musyrikin harus menanggung malu yang luar biasa karena berhasil dikalahkan oleh pasukan muslim yang jumlahnya lebih sedikit daripada mereka.

Abul Ash bin Rabi' menjadi tawanan kaum muslimin. Mengetahui hal itu, Zainab segera menebus suami tercintanya dengan kalung kesayangan miliknya, peninggalan sang bunda, Khadijah r.a Rasulullah saw sangat mengenali kalung itu.

Akhirnya, Abul Ash dibebaskan oleh para sahabat dan kalung tebusan dikembalikan kepada Zainab. Sebagai ucapan terima kasih, Abul Ash berjanji akan membiarkan Zainab hijrah ke Medinah untuk berkumpul bersama kaum muslimin lainnya. Rasulullah saw memuji Abul Ash dengan berkata, "Ia berbicara jujur dan akan menepati janjinya kepadaku."

Abul Ash kembali pulang menemui istrinya tercinta. Zainab r.a menyambut suaminya dengan suka cita. Terlihat pancaran kesetiaan dan kemuliaan dari wajah sang istri. Abul Ash tak kuasa mengatakan salam perpisahan kepada istri belahan jiwanya, tetapi janji harus ditepati. Sambil terisak, Abul Ash berkata, "Istriku, kembalilah kepada ayahmu."

Tangis Abul Ash makin menjadi-jadi. Ia tidak sanggup jika harus mengawal istrinya di pintu perpisahan. Pintu pembatas akibat perbedaan keyakinan karena masing-masing memegang teguh agamanya. Pintu yang menghalangi dua insan yang diliputi cinta sejati untuk bersatu.

Akhirnya, Abul Ash meminta saudara kandungnya yang bernama Kinanah bin Rabi' untuk mengantar istrinya kembali kepada ayahnya tercinta, "Saudaraku, engkau tahu bagaimana kedudukan Zainab di dalam hatiku, hingga aku tidak menginginkan ada wanita Quraisy berjalan bersamanya. Dan, engkau pun tahu bahwa aku tidak kuasa untuk berpisah dengannya. Oleh karena itu, temanilah ia sampai ke ujung perkampungan. Di sana dua orang utusan Muhammad telah menunggu. Temani ia dalam perjalanan. Jagalah dirinya dengan sungguh-sungguh dan jangan diperkenankan seorang pun mengganggunya hingga sampai ke tempat tujuan," pinta Abul Ash kepada Kinanah.

Kinanah mempersiapkan seekor unta dengan sekedup (tenda kecil yang berada di atas punggung unta) untuk kendaraan dan persenjataan berupa anak panah dan busurnya. Zainab r.a pun berkemas dan mempersiapkan perbekalan.

Zainab r.a. naik ke dalam sekedup, lalu Kinanah mengantarnya ke luar kota Mekah tempat dua orang utusan Rasulullah saw menunggu, yaitu Zaid bin Haritsah r.a. dan seorang sahabat dari kalangan Anshar.

Sikap Abul Ash yang membiarkan istrinya ikut hijrah ke Medinah menjadi sebuah penghinaan sendiri bagi kaum musyrikin Quraisy. Mereka menganggap bahwa Abul Ash telah mencoreng martabat mereka karena setelah mengalami kekalahan di Perang Badar, ditambah lagi mereka harus membiarkan Zainab mengikuti jejak ayahnya yang hijrah ke Medinah.

Tentu saja hal ini ditentang oleh kaum Quraisy. Jika mereka membiarkan putri Muhammad dibiarkan begitu saja meninggalkan Mekah tanpa berbuat apa pun, menurut mereka hal itu akan membuat kaum muslimin makin berada di atas angin dan merendahkan kehormatan musyrikin Ouraisy.

Akhirnya, sekelompok musyrikin Ouraisy segera menyusul Zainab r.a. dan mencegatnya di daerah Dzi Thuwa. Dua orang dari mereka yang bernama Hubar bin Aswad dan Nafi' bin Abdul Qais menakut-nakuti unta yang ditunggangi Zainab r.a dengan memutar-mutarkan lembing.

Salah satu dari mereka mendorong Zainab r.a yang masih berada di atas sekedup sehingga putri Rasulullah saw itu terlempar dan jatuh ke tanah yang keras. Padahal, saat itu ia sedang hamil, akibatnya darah mengalir deras dari tubuhnya.

Kinanah segera memasang anak panah dan merentangkan busurnya untuk melawan mereka yang mendekat. Namun, Abu Sufyan mencegahnya sambil berkata, "Turunkanlah panahmu agar kita bisa berbicara baik-baik."

Kinanah menuruti perintah itu. Abu Sufyan kembali berkata, "Kamu melakukan hal yang salah. Kamu keluar bersama wanita ini secara terang-terangan. Padahal, kamu tahu bahwa kami baru mengalami kekalahan dari Muhammad. Orang-orang akan mengatakan kami terlalu lemah jika membiarkan putri Muhammad meninggalkan Mekah. Kami melakukannya bukan karena ingin tebusan dari ayahnya atau upaya balas dendam. Bukan. Kembalilah bersama wanita itu. Ketika situasi sudah kembali tenang, kamu boleh mengantarkan Zainab kepada ayahnya secara sembunyi-sembunyi."

Kinanah mengikuti saran Abu Sufyan, ditambah lagi ketika melihat kondisi Zainab yang makin melemah dan terus merintih akibat keguguran. Mereka pun bertolak kembali menuju Mekah.

Begitu pengecutnya orang-orang musyrik tersebut yang mengerahkan beberapa orang lelaki hanya untuk mengejar satu orang wanita hamil dan tidak berdaya. Bahkan, Hindun, istri Abu Sufyan pun mencibir orang-orang yang mengejar Zainab r.a. Ia menyindirnya dalam syair yang mengingatkan mereka akan kekalahan di Perang Badar:

Begitu gagah berani kalian ketika tidak berperang
Tetapi kalian bersikap seperti wanita di kala perang


Kondisi Zainab r.a. makin membaik meskipun tidak sembuh total. Ketika malam mulai sepi, Kinanah pun mengantar Zainab keluar meninggalkan Mekah, lalu menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah r.a dan seorang sahabat Anshar.

Dengan pengawalan ketat, Zainab r.a menyongsong Medinah menuju kehidupannya yang baru bersama ayahanda tercinta dalam naungan Islam yang mulia. Sementara itu, suaminya, Abul Ash, tetap tinggal di Mekah.

Empat tahun kemudian, sebuah kafilah dagang Quraisy melakukan perjalanan ke Syam. Abul Ash ikut di dalamnya. Kaum musyrikin Quraisy memercayakan barang dagangannya kepada Abul Ash.

Namun, di tengah perjalanan pulang, mereka bertemu dengan pasukan muslim yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah r.a. Bentrokan pun tak terhindarkan. Pasukan muslim berhasil menawan beberapa orang dari mereka dan merampas barang dagangannya.

Abul Ash berhasil bersembunyi, lalu menyusup ke Medinah. Di sana ia menemui Zainab r.a, wanita yang begitu ia cintai. Ia menceritakan bentrokan yang terjadi antara kafilah dagangnya dan pasukan muslim.

Harta dan barang titipan orang-orang kepadanya telah ikut terampas. la menginginkan harta titipan milik orang-orang yang dipercayakan kepadanya dikembalikan. Ia pun meminta agar Zainab r.a. bersedia melindunginya.

Azan Subuh berkumandang. Seluruh kaum muslimin berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat berjemaah. Ketika Rasulullah saw. takbir dan diikuti oleh kaum muslimin lainnya, tiba-tiba dari barisan jemaah wanita, Zainab r.a. berseru, "Wahai orang-orang! Aku memberikan perlindunganku atas Abul Ash bin Rabi'!"

Rasulullah saw meneruskan shalatnya hingga selesai. Setelah itu, dia berbalik dan berkata, "Apakah kalian mendengar apa yang kudengar?"

"Ya," jawab kaum muslimin.

"Aku bersumpah demi Dia yang diriku berada di tangan-Nya, aku sama sekali tidak mengetahui hal ini hingga aku mendengar seperti apa yang kalian dengar tadi. Setiap muslim berhak memberikan perlindungannya. Dan, kita akan melindungi siapa pun yang dilindunginya!" ujar Rasulullah saw.

Rasulullah saw. keluar dari masjid dan menemui Zainab r.a. Dengan penuh kasih sayang, Rasulullah saw. mengingatkan putrinya akan status pernikahan dia dengan Abul Ash, "Wahai putriku, hormatilah kedudukan Abul Ash. Ia tidak boleh mendekatimu karena kamu tidak halal baginya."

Dengan malu-malu Zainab menimpali, "Dia hanya ingin hartanya dikembalikan, Ayah."

Sebelum Abul Ash mendatangi istrinya, Allah SWT memang telah memutuskan hubungan suami istri antara Abul Ash dan Zainab r.a dikarenakan sang istri telah berhijrah menetapi keimanan dalam Islam, sedangkan suaminya tetap dalam kemusyrikan.

Firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perem-puan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu teiah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka ...." (QS Al-Mumtahanah [60]: 10)

Rasulullah saw segera mengumpulkan anggota pasukan yang telah merampas harta kafilah Quraisy. Beliau berkata, "Kalian kenal orang ini? la datang untuk meminta kembali hartanya yang telah kalian rampas. Jika kalian memutuskan untuk berbuat baik dan mengembalikan harta itu, aku sungguh gembira. Namun, jika kalian enggan mengembalikannya, harta itu adalah harta rampasan yang diberikan Allah kepada kalian dan kalian berhak memilikinya."

Mereka menjawab, "Wahai Rasulullah. Kami memilih untuk mengembalikannya."

Abul Ash terkesima dengan keikhlasan kaum muslimin untuk mengembalikan seluruh hartanya tanpa kurang sedikit pun. Tidak ada rasa penyesalan di wajah kaum muslimin. Mereka rela berbuat apa saja untuk menyenangkan hati Rasulullah saw.

Ketertarikan pada Islam mulai tumbuh dari dalam diri Abul Ash. Cahaya iman mulai memancar meneranginya. Hal ini dirasakan oleh kaum muslimin yang berada di dekatnya saat itu. Seseorang dari mereka bertanya, "Apakah kamu ingin masuk Islam dan mengambil semua harta milik kaum musyrikin ini?"

Abul Ash menjawab, "Alangkah jahatnya jika aku mengkhianati kepercayaan orang di hari pertama aku masuk Islam."

Abul Ash segera memacu kudanya sambil membawa harta titipan yang telah dikembalikan kaum muslimin menuju Mekah. Di sana ia mengembalikan harta dan barang-barang yang dititipkan kepada pemiliknya yang berhak. Setelah menunaikan amanatnya, ia berkata, "Wahai orang-orang Quraisy. Masih adakah harta milik kalian yang belum kalian ambil dariku?"

"Tidak," jawab mereka, "semoga Tuhan membalas kebaikanmu. Engkau benar-benar telah menunaikan tanggung jawabmu!"

Abul Ash melanjutkan, "Jika begitu, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Demi Allah, satu-satunya hal yang menghalangiku memeluk Islam adalah kekhawatiran bahwa kalian akan menyangka aku melakukannya untuk mendapatkan harta-hartayang kalian titipkan kepadaku. Setelah semuanya kuserahkan dan diriku telah terbebas dari tanggung jawab, aku pun menyatakan masuk Islam!"

Betapa kagetnya kaum musyrikin Quraisy mendengar pengakuan Abul Ash tersebut. Mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa ketika Abul Ash memacu kudanya menuju Medinah.

Di Medinah, Abul Ash menemui Rasulullah saw dan membaca kalimat syahadatain. Rasulullah pun mengizinkan Abul Ash kembali kepada Zainab.

Keteguhan Menjaga Rahasia

Seorang wanita mendatangi Ahmad bin Al-Mahdi ketika ia bermalam di Bagdad. Ahmad bin Al-Mahdi bukanlah penduduk asli Bagdad. Sedangkan, wanita yang mendatanginya adalah seorang putri dari warga kota tersebut yang sedang dirundung masalah.

Ia akan menceritakan permasalahannya, tetapi Ahmad bin Al-Mahdi harus bersumpah agar merahasiakannya. Ahmad bin Al-Mahdi pun menyanggupinya.

Wanita itu bercerita bahwa ia telah hamil. Selama itu ia mengaku sebagai istri Ahmad dan bayi dalam kandungannya adalah darah daging Ahmad.

Dia memohon dengan sangat agar Ahmad bin Al-Mahdi mau menjaga rahasianya dengan berkata, "Simpanlah rahasiaku, semoga Allah menutupi rahasiamu seperti halnya engkau menutupi rahasiaku." Wanita itu pun segera pergi meninggalkannya.

Tentu saja hal itu membuatnya kaget. Bagaimana tidak, bisa-bisanya wanita itu mengaku sebagai istrinya, apalagi ia harus mengakui bayi dalam kandungan wanita tersebut sebagai anaknya. Namun, semua sudah terlanjur dan ia hanya ingin membantu wanita tersebut lepas dari kesulitannya.

Waktu pun berlalu. Sesepuh dari daerah tempat tinggal wanita itu datang mengunjungi Ahmad bin Al-Mahdi bersama warga lainnya guna memberi tahu tentang kelahiran anaknya.

Ia pun bergembira atas berita tersebut, kemudian menitipkan uang dua dinar untuk diberikan kepada wanita yang mengaku istrinya untuk menafkahi anaknya.

Begitu seterusnya, ia selalu menitipkan uang untuk wanita tersebut bersama anaknya melalui sesepuh daerah wanita itu. Akan tetapi, tidak lama kemudian anak tersebut meninggal. Ia pun menunjukkan bela sungkawanya ketika orang-orang datang menyampaikan berita tersebut.

Satu bulan kemudian, wanita itu mendatanginya sambil membawa uang yang dititipkan Ahmad untuknya. Seluruh uang Ahmad ia kembalikan seraya berkata, "Semoga Allah menutupi rahasiamu seperti halnya engkau menutupi rahasiaku."

Namun, Ahmad menolaknya, "Uang ini milikmu, gunakanlah untuk keperluanmu."