Wanita itu adalah Ummu Hani r.a. Nama sebenarnya adalah Fakhitah binti Abi Thalib bin Abdul Muthalib. Ia berasal dari kabilah Ouraisy dari keturunan Bani Hasyim. Ummu Hani r.a adalah saudara kandung Ali bin Abi Thalib r.a.
Sebelum Rasulullah saw menerima wahyu, beliau pernah meminang Ummu Hani melalui pamannya, Abu Thalib, yang juga ayah Ummu Hani. Sayangnya, sang ayah telah mengikat perjanjian dengan Habirah bin Abi Wahab yang telah meminang putrinya terlebih dahulu dan Ummu Hani pun menerima pinangan Habirah.
Ketika Islam makin berkembang, Ummu Hani menjadi pemeluk Islam. Namun, suaminya tetap bertahan dengan kekafirannya. Mereka pun berpisah dan Ummu Hani r.a hidup menjanda bersama anak-anaknya.
Kemudian Rasulullah saw meminang kembali Ummu Hani untuk kedua kalinya.
Namun, dengan halus Ummu Hani berkata, "Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai daripada pendengaran dan penglihatanku sendiri. Namun, hak suami sangatlah besar, hingga aku merasa takut apabila melayani suami, kemudian anak-anakku terlantar. Dan jika aku mengurusi anak-anak, aku khawatir hak-hak suamiku tidak bisa kupenuhi."
Mendengar jawaban tersebut, Rasulullah saw bersabda, "Sebaik-baik wanita yang menunggang unta adalah wanita Quraisy, yang sangat penyayang terhadap anak-anaknya yang masih kecil dan sangat hati-hati dalam menjaga hak-hak suami ketika ia menjadi seorang istri." (HR Ibnul Atsir)
Siapa yang sanggup menolak pinangan Rasulullah saw, sosok mulia dan bertanggung jawab idaman para wanita salehah. Namun, Ummu Hani menekan perasaannya semata-mata karena tidak ingin lalai dalam mengurus suami dan anak-anaknya yang masih kecil.
Dan ia memiliki kasih sayang yang luar biasa besar kepada anak-anaknya sehingga menolak untuk bersuami kembali. Subhanallah, Ummu Hani adalah contoh seorang ibu yang bertanggung jawab dalam membesarkan anak-anaknya demi kebaikan masa depan mereka.
Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi
Tampilkan postingan dengan label Amanah dalam rumah tangga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Amanah dalam rumah tangga. Tampilkan semua postingan
Selasa, 16 Maret 2010
Senin, 15 Maret 2010
Bersabarlah Putriku
Panji-panji terus makin berkobar seiring kemenangan demi kemenangan yang diraih kaum muslimin di seluruh Jazirah Arab hingga ke Persia dan Syria. Harta berlimpah dan beberapa orang tawanan menjadi milik kaum muslimin.
Sebaliknya, di sudut lain kota Medinah, sang putri Rasulullah tercinta, Fatimah r.a, berada dalam kepayahan. Tangannya melepuh, kulitnya mengelupas, dan sangat kasar karena terlalu keras melakukan pekerjaan rumah.
Melihat kondisi sang istri, Ali bin Abi Thalib r.a berkata kepadanya, "Wahai Fatimah, kau melakukan segala sesuatunya sendiri sampai hatiku merintih tak tega."
Ia memandangi wajah lelah istrinya dan melanjutkan, "Aku dengar ayahmu memperoleh tawanan dan harta rampasan yang melimpah. Bagaimana kalau kita ke rumah beliau dan meminta salah seorang tawanannya untuk kita jadikan pembantu?" usul Ali r.a.
"Baiklah, demi Allah, aku memang melakukan segala sesuatunya sendiri hingga tanganku melepuh."
Fatimah r.a. pun beranjak menuju kediaman ayahnya dengan langkah berat. Sungguh ia merasa malu mengadukan perihal ini, apalagi jika harus meminta tawanan perang kepadanya.
Setibanya di kediaman Rasulullah saw ia disambut hangat oleh sang ayah. Bagaimana tidak, ia adalah putrinya yang sangat beliau sayangi dan cintai. Namun, ketika melihat putri tersayangnya muram, beliau pun menanyakan keadaannya, "Bagaimana keadaan kau dan keluargamu, Nak?"
Fatimah r.a. tidak kuasa untuk berterus terang. la khawatir permintaannya akan merisaukan hati ayahanda tercinta. Akhirnya, ia hanya menjawab, "Kami baik-baik saja, Ayah. Saya hanya ingin mengucapkan selamat kepadamu." la pun kembali pulang.
Hari kedua, Fatimah r.a kembali menemui Rasulullah saw. Namun, kali ini ia ditemani suaminya, Ali bin Abi Thalib r.a Dan seperti sebelumnya, Rasulullah saw menyambut mereka dengan penuh kehangatan.
Fatimah r.a memberanikan diri untuk bercerita, "Ayah, sehari-hari aku harus memasak, menggiling gandum, menyediakan pakan dan air untuk kuda ternak kami, membereskan rumah dan segala halnya, hingga aku letih dan lelah. Aku dengar kaum muslimin memperoleh banyak tawanan perempuan. Jika Ayah tidak keberatan, maukah Ayah memberiku seorang tawanan wanita untuk membantuku?" pinta Fatimah r.a.
Rasulullah saw sangat mengerti kesusahan yang dialami putrinya tersebut. Namun, sebagai pemimpin, beliau lebih mendahulukan rakyatnya yang lebih membutuhkan daripada memenuhi kehendak putrinya.
Beliau pun menyampaikan dengan lembut, "Engkau membutuhkan tawanan untuk membantumu, tetapi apakah engkau tega perut para ahlush shuffah melilit kelaparan? Aku tidak memiliki apa pun untuk menanggung hidup mereka kecuali dengan uang hasil menjual tawanan-tawanan perang tersebut. Bersabarlah, putriku. Penuhilah kewajibanmu sebaik-baiknya."
Setelah Rasulullah saw menolak permintaannya, Fatimah dan Ali pun kembali pulang dengan tangan kosong.
Pada suatu malam Rasulullah saw. mengunjungi kediaman putrinya ketika kedua suami istri berselimutkan beledu yang jika diangkat ke atas maka terlihat kaki mereka dan jika menutup kaki maka bagian atas mereka terbuka.
Melihat kedatangan ayahanda sekaligus mertua yang begitu bersahaja, mereka bergegas bangun untuk menyambut beliau. Namun, Rasulullah saw segera menahannya, "Tetaplah di tempat kalian. Maukah aku beri tahu sesuatu yang lebih baik dari yang kalian minta kepadaku?"
Mereka berdua mengangguk.
"Ia adalah beberapa kalimat yang Jibril ajarkan kepadaku. Bacalah tasbih (Subhanallah) sepuluh kali, tahmid (Alhamduliilah) sepuluh kali, dan takbir (Allahu Akbar) sepuluh kali seusai shalat. Dan setiap kali kalian hendak tidur, bacalah tasbih tiga puluh kali, tahmid tiga puluh kali, dan takbir tiga puluh kali atau empat puluh kali."
Ali r.a berkata, "Demi Allah, sejak beliau ajarkan kalimat-kalimat tersebut, kami tidak pernah meninggalkannya."
Fatimah r.a adalah contoh kehidupan putri pembesar yang sangat bersahaja. Bisa saja ia hidup dalam kemewahan, tetapi Rasulullah saw mengajarkan bahwa dunia tidak berarti apa-apa jika dibandingkan kenikmatan di akhirat kelak.
Catatan:
Ahlush shuffah adalah penghuni masjid, yaitu para sahabat migran yang tinggal di emperan masjid karena tidak memiliki tempat tinggal tetap di Medinah. Kata shuffah atau sufi digunakan sebagai cermin dari kebersahajaan hidup mereka.
Sebaliknya, di sudut lain kota Medinah, sang putri Rasulullah tercinta, Fatimah r.a, berada dalam kepayahan. Tangannya melepuh, kulitnya mengelupas, dan sangat kasar karena terlalu keras melakukan pekerjaan rumah.
Melihat kondisi sang istri, Ali bin Abi Thalib r.a berkata kepadanya, "Wahai Fatimah, kau melakukan segala sesuatunya sendiri sampai hatiku merintih tak tega."
Ia memandangi wajah lelah istrinya dan melanjutkan, "Aku dengar ayahmu memperoleh tawanan dan harta rampasan yang melimpah. Bagaimana kalau kita ke rumah beliau dan meminta salah seorang tawanannya untuk kita jadikan pembantu?" usul Ali r.a.
"Baiklah, demi Allah, aku memang melakukan segala sesuatunya sendiri hingga tanganku melepuh."
Fatimah r.a. pun beranjak menuju kediaman ayahnya dengan langkah berat. Sungguh ia merasa malu mengadukan perihal ini, apalagi jika harus meminta tawanan perang kepadanya.
Setibanya di kediaman Rasulullah saw ia disambut hangat oleh sang ayah. Bagaimana tidak, ia adalah putrinya yang sangat beliau sayangi dan cintai. Namun, ketika melihat putri tersayangnya muram, beliau pun menanyakan keadaannya, "Bagaimana keadaan kau dan keluargamu, Nak?"
Fatimah r.a. tidak kuasa untuk berterus terang. la khawatir permintaannya akan merisaukan hati ayahanda tercinta. Akhirnya, ia hanya menjawab, "Kami baik-baik saja, Ayah. Saya hanya ingin mengucapkan selamat kepadamu." la pun kembali pulang.
Hari kedua, Fatimah r.a kembali menemui Rasulullah saw. Namun, kali ini ia ditemani suaminya, Ali bin Abi Thalib r.a Dan seperti sebelumnya, Rasulullah saw menyambut mereka dengan penuh kehangatan.
Fatimah r.a memberanikan diri untuk bercerita, "Ayah, sehari-hari aku harus memasak, menggiling gandum, menyediakan pakan dan air untuk kuda ternak kami, membereskan rumah dan segala halnya, hingga aku letih dan lelah. Aku dengar kaum muslimin memperoleh banyak tawanan perempuan. Jika Ayah tidak keberatan, maukah Ayah memberiku seorang tawanan wanita untuk membantuku?" pinta Fatimah r.a.
Rasulullah saw sangat mengerti kesusahan yang dialami putrinya tersebut. Namun, sebagai pemimpin, beliau lebih mendahulukan rakyatnya yang lebih membutuhkan daripada memenuhi kehendak putrinya.
Beliau pun menyampaikan dengan lembut, "Engkau membutuhkan tawanan untuk membantumu, tetapi apakah engkau tega perut para ahlush shuffah melilit kelaparan? Aku tidak memiliki apa pun untuk menanggung hidup mereka kecuali dengan uang hasil menjual tawanan-tawanan perang tersebut. Bersabarlah, putriku. Penuhilah kewajibanmu sebaik-baiknya."
Setelah Rasulullah saw menolak permintaannya, Fatimah dan Ali pun kembali pulang dengan tangan kosong.
Pada suatu malam Rasulullah saw. mengunjungi kediaman putrinya ketika kedua suami istri berselimutkan beledu yang jika diangkat ke atas maka terlihat kaki mereka dan jika menutup kaki maka bagian atas mereka terbuka.
Melihat kedatangan ayahanda sekaligus mertua yang begitu bersahaja, mereka bergegas bangun untuk menyambut beliau. Namun, Rasulullah saw segera menahannya, "Tetaplah di tempat kalian. Maukah aku beri tahu sesuatu yang lebih baik dari yang kalian minta kepadaku?"
Mereka berdua mengangguk.
"Ia adalah beberapa kalimat yang Jibril ajarkan kepadaku. Bacalah tasbih (Subhanallah) sepuluh kali, tahmid (Alhamduliilah) sepuluh kali, dan takbir (Allahu Akbar) sepuluh kali seusai shalat. Dan setiap kali kalian hendak tidur, bacalah tasbih tiga puluh kali, tahmid tiga puluh kali, dan takbir tiga puluh kali atau empat puluh kali."
Ali r.a berkata, "Demi Allah, sejak beliau ajarkan kalimat-kalimat tersebut, kami tidak pernah meninggalkannya."
Fatimah r.a adalah contoh kehidupan putri pembesar yang sangat bersahaja. Bisa saja ia hidup dalam kemewahan, tetapi Rasulullah saw mengajarkan bahwa dunia tidak berarti apa-apa jika dibandingkan kenikmatan di akhirat kelak.
Catatan:
Ahlush shuffah adalah penghuni masjid, yaitu para sahabat migran yang tinggal di emperan masjid karena tidak memiliki tempat tinggal tetap di Medinah. Kata shuffah atau sufi digunakan sebagai cermin dari kebersahajaan hidup mereka.
Mencintai karena Allah
Umar bin Abdul Aziz hidup dalam kemewahan dan kemegahan hidup bersama istrinya yang memiliki ayah seorang khalifah. Setiap hari Umar mengenakan jubah terindah dan pakaian terbaiknya dengan wewangian mahal hingga meninggalkan aroma harum di setiap jalan yang telah ia lalui. Berjam-jam ia menata rambutnya sampai-sampai terlambah shalat berjemaah. Apa pun yang ia mau dengan mudahnya ia dapatkan.
Hal ini sangat berkebalikan ketika ia terpilih menjadi khalifah meneruskan amanah sang mertua. Kehidupannya berubah seratus persen. Kemewahan yang begitu didambakan setiap orang, ia tinggalkan begitu saja. Sungguh tindakan yang sangat langka karena umumnya setiap orang mencari jabatan agar dapat hidup mewah dan bergelimang harta.
Keputusan ini ia sampaikan kepada istri tercintanya, Fatimah binti Abdul Malik. Bagaimanapun juga, kehidupan barunya akan melibatkan kehidupan istrinya yang lama dibuai kemewahan.
Umar berkata kepadanya, "Wahai Fatimah, masalah besar telah menimpaku. Aku diberi beban yang paling berat dan aku akan dimintai pertangungjawaban tentang manusia yang paling jauh serta yang paling dekat dari umat Muhammad saw.
Tugas ini akan menyita seluruh keberadaanku, hingga tidak ada waktu bagiku untuk memenuhi seluruh hakmu atas diriku. Tidak ada lagi hasrat bagiku kepada wanita, tetapi aku tidak ingin menceraikanmu. Aku tidak menginginkan seorang pun di dunia ini selain dirimu.
Meskipun demikian, aku tidak ingin menzalimi dirimu. Aku khawatir kamu tidak sabar atas cara hidup yang kupilih. Oleh karena itu, aku akan mengantarkanmu ke rumah ayahmu."
Sang istri terpana mendengar penjelasan suaminya yang begitu mendadak. Kemudian ia bertanya untuk meminta penjelasan lebih dari suaminya, "Sebenarnya apa maksudmu?"
Dengan sabar Umar menjelaskan kembali, "Sesungguhnya harta yang kita miliki serta yang dimiliki oleh saudara-saudara dan kerabatmu ini berasal dari harta kaum muslimin. Aku bertekad akan mengambilnya dan mengembalikannya kepada mereka. Aku akan memulai dari diriku. Aku tidak akan menyisakan untukku, kecuali sebidang tanah yang kubeli dari uang hasil jerih payahku. Aku akan hidup dengan harta tersebut. Jika engkau tidak sabar pada kesempitan hidup setelah lapangnya, kau boleh kembali kepada ayahmu."
Tak habis pikir dengan keputusan suaminya, Fatimah kembali bertanya, "Apa yang mendorongmu untuk berbuat seperti itu?"
Umar menjawab, "Wahai Fatimah, sesungguhnya aku memiliki jiwa ambisius dan aku tidak mendapatkan sesuatu, kecuali menginginkan yang lebih baik darinya. Aku menginginkan jabatan, lantas mendapatkannya. Ketika aku mendapatkannya, muncul keinginan untuk menguasai khalifah dan ketika aku telah mendapatkannya, aku menginginkan yang lebih baik darinya, yaitu surga."
Sang istri menanggapi keinginan suaminya, "Wahai suamiku, lakukanlah apa saja yang menurutmu baik, saya akan senantiasa bersamamu. Saya tidak akan menyertaimu dalam keadaan senang, lalu meninggalkanmu dalam keadaan susah. Saya rida dengan apa yang kauridai."
Setelah mendapat persetujuan dari sang istri, ia pun memulai tugasnya dengan meninggalkan istana megahnya. Seluruh harta yang ia dapat dari Baitul Mal dikembalikan. Bersama istrinya, ia menempati gubuk kecil di sebelah kiri masjid. Pakaian, tempat tinggal, makanan, dan minuman benar-benar sangat sederhana, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Kini hanya sebuah permata yang tertinggal sebagai harta satu-satunya Fatimah. Permata kesayangannya, pemberian dari ayah tercinta. Mengetahui hal tersebut, Umar berkata dengan lembut kepada istrinya, "Wahai Fatimah, engkau mengetahui bahwa permata itu diperoleh ayahmu dari harta kaum muslimin dan menghadiahkannya kepadamu. Sesungguhnya aku tidak suka permata itu ada di rumahku. Karena itu, engkau boleh memilih: permatamu atau aku?"
Apa jawaban sang istri? Jika ia memilih permata, seumur hidupnya akan selalu bergelimang harta. Akan tetapi, jika ia memilih suaminya, kehidupan apa adanya yang jauh dari kekayaan duniawi harus ia jalani.
Sang istri telah mantap dengan pilihannya. la pun berkata, "Demi Allah, tentu aku lebih memilihmu, wahai suamiku, daripada permata ini. Bahkan, jika aku memiliki permata yang berlipat-lipat jumlahnya, akan aku serahkan semuanya karena kau lebih berharga dari semua itu."
Sang istri pun mengembalikan permata kesayangannya ke Baitul Mal.
Kini, kedua suami istri mulia tersebut hidup seadanya. Tidak ada pakaian mewah dan indah, melainkan pakaian usang dan penuh tambalan yang melekat pada tubuh mereka. Tidak ada pula istana, melainkan rumah kecil dengan dinding yang rapuh.
Suatu ketika seorang wanita Mesir datang ke rumah mereka. Fatimah menemuinya yang tampak kebingungan di depan pintu rumahnya. Ia pun segera menyapa wanita asing tersebut, "Wahai hamba Allah, adakah yang bisa aku bantu?"
Wanita itu berkata, "Aku datang dari Mesir untuk menemui Amirul Mukminin. Orang-orang menunjuk alamat ini, tetapi di sini aku tidak menemukan istananya."
Fatimah tersenyum lebar dan segera menyambut tamu jauhnya, "Kau benar, ini rumahnya, silakan masuk!"
Alangkah terkejutnya wanita itu mengetahui yang berbicara di hadapannya adalah istri seorang Amirul Mukminin. Pakaiannya lusuh, tidak berdandan, tanpa gelang dan perhiasan. Siapa yang menyangka bahwa ia adalah istri petinggi wilayah ini.
Wanita itu dengan perasaan heran dan bingung masuk ke dalam rumah. la duduk di atas lantai di temani istri Amirul Mukminin yang terhormat. Namun, sang tamu kembali kaget melihat di dalam rumah tersebut ada seorang laki-laki dengan tangan penuh tanah dan berpakaian kotor yang sedang memperbaiki dinding rumah.
Disangkanya lelaki itu adalah tukang batu. Wanita itu pun menegur Fatimah, "Wahai istri Amirul Mukminin. Mengapa kau memasukkan lelaki ke dalam rumahmu di saat suamimu tidak ada di rumah?"
Fatimah kembali tersenyum, "Dialah suamiku, Amirul Mukminin yang kaucari."
Sulit untuk dipercaya ketika sang tamu mengetahui kehidupan keluarga Amirul Mukminin yang sangat jauh dari bayangannya. Bukankah petinggi negara diberi fasilitas dari Baitul Mal? Namun, di hadapannya, tidak ada kemewahan, kesombongan, dan jarak antara mereka dan rakyatnya.
Mereka menjauhi kemewahan duniawi agar jiwanya makin kuat dan terhindar dari fitnah-fitnah dunia. Itulah rumah tangga penuh keimanan yang dihuni oleh pasangan yang menyinari dunia dan menembus cakrawala.
Siapa yang tujuannya adalah akhirat, Allah akan menjadikan rasa cukup dalam hatinya, menyatukan kembali apa yang terpisah darinya, dan dunia akan selalu datang kepadanya dalam keadaan tunduk. Dan siapa yang menjadikan dunia sebaga; tujuannya, Allah akan menjadikan kefakiran selalu membayang-bayanginya, memisahkan yang bersatu dengannya, dan dunia tidak akan datang kepadanya, kecuali yang kotor baginya. (Al-Hadis)
Hal ini sangat berkebalikan ketika ia terpilih menjadi khalifah meneruskan amanah sang mertua. Kehidupannya berubah seratus persen. Kemewahan yang begitu didambakan setiap orang, ia tinggalkan begitu saja. Sungguh tindakan yang sangat langka karena umumnya setiap orang mencari jabatan agar dapat hidup mewah dan bergelimang harta.
Keputusan ini ia sampaikan kepada istri tercintanya, Fatimah binti Abdul Malik. Bagaimanapun juga, kehidupan barunya akan melibatkan kehidupan istrinya yang lama dibuai kemewahan.
Umar berkata kepadanya, "Wahai Fatimah, masalah besar telah menimpaku. Aku diberi beban yang paling berat dan aku akan dimintai pertangungjawaban tentang manusia yang paling jauh serta yang paling dekat dari umat Muhammad saw.
Tugas ini akan menyita seluruh keberadaanku, hingga tidak ada waktu bagiku untuk memenuhi seluruh hakmu atas diriku. Tidak ada lagi hasrat bagiku kepada wanita, tetapi aku tidak ingin menceraikanmu. Aku tidak menginginkan seorang pun di dunia ini selain dirimu.
Meskipun demikian, aku tidak ingin menzalimi dirimu. Aku khawatir kamu tidak sabar atas cara hidup yang kupilih. Oleh karena itu, aku akan mengantarkanmu ke rumah ayahmu."
Sang istri terpana mendengar penjelasan suaminya yang begitu mendadak. Kemudian ia bertanya untuk meminta penjelasan lebih dari suaminya, "Sebenarnya apa maksudmu?"
Dengan sabar Umar menjelaskan kembali, "Sesungguhnya harta yang kita miliki serta yang dimiliki oleh saudara-saudara dan kerabatmu ini berasal dari harta kaum muslimin. Aku bertekad akan mengambilnya dan mengembalikannya kepada mereka. Aku akan memulai dari diriku. Aku tidak akan menyisakan untukku, kecuali sebidang tanah yang kubeli dari uang hasil jerih payahku. Aku akan hidup dengan harta tersebut. Jika engkau tidak sabar pada kesempitan hidup setelah lapangnya, kau boleh kembali kepada ayahmu."
Tak habis pikir dengan keputusan suaminya, Fatimah kembali bertanya, "Apa yang mendorongmu untuk berbuat seperti itu?"
Umar menjawab, "Wahai Fatimah, sesungguhnya aku memiliki jiwa ambisius dan aku tidak mendapatkan sesuatu, kecuali menginginkan yang lebih baik darinya. Aku menginginkan jabatan, lantas mendapatkannya. Ketika aku mendapatkannya, muncul keinginan untuk menguasai khalifah dan ketika aku telah mendapatkannya, aku menginginkan yang lebih baik darinya, yaitu surga."
Sang istri menanggapi keinginan suaminya, "Wahai suamiku, lakukanlah apa saja yang menurutmu baik, saya akan senantiasa bersamamu. Saya tidak akan menyertaimu dalam keadaan senang, lalu meninggalkanmu dalam keadaan susah. Saya rida dengan apa yang kauridai."
Setelah mendapat persetujuan dari sang istri, ia pun memulai tugasnya dengan meninggalkan istana megahnya. Seluruh harta yang ia dapat dari Baitul Mal dikembalikan. Bersama istrinya, ia menempati gubuk kecil di sebelah kiri masjid. Pakaian, tempat tinggal, makanan, dan minuman benar-benar sangat sederhana, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Kini hanya sebuah permata yang tertinggal sebagai harta satu-satunya Fatimah. Permata kesayangannya, pemberian dari ayah tercinta. Mengetahui hal tersebut, Umar berkata dengan lembut kepada istrinya, "Wahai Fatimah, engkau mengetahui bahwa permata itu diperoleh ayahmu dari harta kaum muslimin dan menghadiahkannya kepadamu. Sesungguhnya aku tidak suka permata itu ada di rumahku. Karena itu, engkau boleh memilih: permatamu atau aku?"
Apa jawaban sang istri? Jika ia memilih permata, seumur hidupnya akan selalu bergelimang harta. Akan tetapi, jika ia memilih suaminya, kehidupan apa adanya yang jauh dari kekayaan duniawi harus ia jalani.
Sang istri telah mantap dengan pilihannya. la pun berkata, "Demi Allah, tentu aku lebih memilihmu, wahai suamiku, daripada permata ini. Bahkan, jika aku memiliki permata yang berlipat-lipat jumlahnya, akan aku serahkan semuanya karena kau lebih berharga dari semua itu."
Sang istri pun mengembalikan permata kesayangannya ke Baitul Mal.
Kini, kedua suami istri mulia tersebut hidup seadanya. Tidak ada pakaian mewah dan indah, melainkan pakaian usang dan penuh tambalan yang melekat pada tubuh mereka. Tidak ada pula istana, melainkan rumah kecil dengan dinding yang rapuh.
Suatu ketika seorang wanita Mesir datang ke rumah mereka. Fatimah menemuinya yang tampak kebingungan di depan pintu rumahnya. Ia pun segera menyapa wanita asing tersebut, "Wahai hamba Allah, adakah yang bisa aku bantu?"
Wanita itu berkata, "Aku datang dari Mesir untuk menemui Amirul Mukminin. Orang-orang menunjuk alamat ini, tetapi di sini aku tidak menemukan istananya."
Fatimah tersenyum lebar dan segera menyambut tamu jauhnya, "Kau benar, ini rumahnya, silakan masuk!"
Alangkah terkejutnya wanita itu mengetahui yang berbicara di hadapannya adalah istri seorang Amirul Mukminin. Pakaiannya lusuh, tidak berdandan, tanpa gelang dan perhiasan. Siapa yang menyangka bahwa ia adalah istri petinggi wilayah ini.
Wanita itu dengan perasaan heran dan bingung masuk ke dalam rumah. la duduk di atas lantai di temani istri Amirul Mukminin yang terhormat. Namun, sang tamu kembali kaget melihat di dalam rumah tersebut ada seorang laki-laki dengan tangan penuh tanah dan berpakaian kotor yang sedang memperbaiki dinding rumah.
Disangkanya lelaki itu adalah tukang batu. Wanita itu pun menegur Fatimah, "Wahai istri Amirul Mukminin. Mengapa kau memasukkan lelaki ke dalam rumahmu di saat suamimu tidak ada di rumah?"
Fatimah kembali tersenyum, "Dialah suamiku, Amirul Mukminin yang kaucari."
Sulit untuk dipercaya ketika sang tamu mengetahui kehidupan keluarga Amirul Mukminin yang sangat jauh dari bayangannya. Bukankah petinggi negara diberi fasilitas dari Baitul Mal? Namun, di hadapannya, tidak ada kemewahan, kesombongan, dan jarak antara mereka dan rakyatnya.
Mereka menjauhi kemewahan duniawi agar jiwanya makin kuat dan terhindar dari fitnah-fitnah dunia. Itulah rumah tangga penuh keimanan yang dihuni oleh pasangan yang menyinari dunia dan menembus cakrawala.
Siapa yang tujuannya adalah akhirat, Allah akan menjadikan rasa cukup dalam hatinya, menyatukan kembali apa yang terpisah darinya, dan dunia akan selalu datang kepadanya dalam keadaan tunduk. Dan siapa yang menjadikan dunia sebaga; tujuannya, Allah akan menjadikan kefakiran selalu membayang-bayanginya, memisahkan yang bersatu dengannya, dan dunia tidak akan datang kepadanya, kecuali yang kotor baginya. (Al-Hadis)
Keturunan Bersahaja
Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang ulama yang kaya dan dermawan. Suatu ketika seorang wanita sederhana datang mengadu kepadanya. la berpikir bahwa wanita tersebut akan meminta sedekah darinya, sebagaimana kebanyakan orang.
Namun, sebelumnya ia mendengarkan pengaduan wanita tersebut dengan saksama, "Tuan, saya adalah ibu rumah tangga yang telah ditinggal mati suami. Setiap hari saya bekerja siang hingga malam. Siang hari saya bekerja mengurus anak-anak dan rumah tangga, sedangkan malam hari saya merajut benang untuk dijual sebagai penghasilan kami. Namun, saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli lampu sehingga saya biasa mengerjakannya di bawah sinar rembulan."
Mendengar cerita wanita tersebut, Imam Ahmad tergerak hatinya untuk menolong. Apalagi jika yang ia butuhkan hanya sebuah lampu. Namun, ternyata cerita itu belum selesai. Imam Ahmad mengurungkan niatnya untuk memberi sedekah demi mendengarkan kelanjutan cerita wanita tersebut.
Sambil menarik nafas, wanita itu mengadu kembali dengan wajah penuh kesedihan, "Hingga pada suatu ketika, kafilah milik pemerintah berkemah di depan rumah saya. Lampu-lampunya terang benderang karena banyak jumlahnya. Saya pun segera memanfaatkan cahaya tersebut untuk merajut. Akan tetapi, setelah pekerjaan saya selesai, saya bimbang, apakah rajutan itu jika dijual, hasilnya halal dimakan oleh saya dan anak-anak? Sebab saya menggunakan lampu yang minyaknya dibeli dari uang negara yang sudah barang tentu adalah uang rakyat juga."
Imam Ahmad terkesan dengan kegundahan wanita tersebut yang khawatir dirinya telah mencuri uang rakyat. Sudah pasti ia bukan wanita sembarangan hingga memiliki ketajaman nurani seperti itu.
Namun, sebelumnya ia mendengarkan pengaduan wanita tersebut dengan saksama, "Tuan, saya adalah ibu rumah tangga yang telah ditinggal mati suami. Setiap hari saya bekerja siang hingga malam. Siang hari saya bekerja mengurus anak-anak dan rumah tangga, sedangkan malam hari saya merajut benang untuk dijual sebagai penghasilan kami. Namun, saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli lampu sehingga saya biasa mengerjakannya di bawah sinar rembulan."
Mendengar cerita wanita tersebut, Imam Ahmad tergerak hatinya untuk menolong. Apalagi jika yang ia butuhkan hanya sebuah lampu. Namun, ternyata cerita itu belum selesai. Imam Ahmad mengurungkan niatnya untuk memberi sedekah demi mendengarkan kelanjutan cerita wanita tersebut.
Sambil menarik nafas, wanita itu mengadu kembali dengan wajah penuh kesedihan, "Hingga pada suatu ketika, kafilah milik pemerintah berkemah di depan rumah saya. Lampu-lampunya terang benderang karena banyak jumlahnya. Saya pun segera memanfaatkan cahaya tersebut untuk merajut. Akan tetapi, setelah pekerjaan saya selesai, saya bimbang, apakah rajutan itu jika dijual, hasilnya halal dimakan oleh saya dan anak-anak? Sebab saya menggunakan lampu yang minyaknya dibeli dari uang negara yang sudah barang tentu adalah uang rakyat juga."
Imam Ahmad terkesan dengan kegundahan wanita tersebut yang khawatir dirinya telah mencuri uang rakyat. Sudah pasti ia bukan wanita sembarangan hingga memiliki ketajaman nurani seperti itu.
Penuhilah Hak Dirimu, Dia, dan Mereka
Dari Abu Juhaifah Wahab bin Andullah r.a menceritakan bahwa Nabi saw mempersaudarakan antara Salman r.a dan Abu Darda' r.a. Suatu hari Salman r.a mengunjungi Abu Darda' r.a dan ia melihat istri Abu Darda' r.a mengenakan pakaian yang sangat sederhana tanpa perhiasan sedikit pun.
Karena haru, Salman r.a. bertanya, "Mengapa keadaanmu seperti ini?"
la menjawab, "Saudaramu, Abu Darda' tidak mempunyai minat pada pesona dunia (perempuan)."
Lalu, datanglah Abu Darda' r.a untuk membuatkan makanan. Setelah itu, ia berkata kepada Salman r.a, "Makanlah, hari ini aku sedang berpuasa."
Salman r.a menjawab, "Aku tidak akan makan hingga engkau makan."
Ketika malam tiba, Abu Darda' r.a pergi untuk shalat dan berkata kepada Salman r.a, "Tidurlah!" Lalu, Salman r.a pun tidur.
Namun, tidak lama kemudian Salman r.a terbangun dan melihat saudaranya masih terjaga. la pun menyuruh Abu Darda' r.a untuk tidur. Akhirnya, mereka berdua pun tidur.
Pada akhir malam, Salman r.a bangun dan membangunkan Abu Darda' r.a, "Sekarang bangunlah!" Kemudian mereka berdua shalat malam bersama.
Setelah itu, Salman r.a. menasihati Abu Darda' r.a, "Sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak atas dirimu, sesungguhnya dirimu juga mempunyai hak atas dirimu sendiri, dan keluargamu juga mempunyai hak atas dirimu maka berikanlah hak itu kepada setiap yang mempunyai hak."
Abu Darda' r.a pun menemui Rasulullah saw untuk menanyakan kebenaran pendapat Salman r.a. Kemudian Rasulullah saw menjawab, "Salman benar!"
Karena haru, Salman r.a. bertanya, "Mengapa keadaanmu seperti ini?"
la menjawab, "Saudaramu, Abu Darda' tidak mempunyai minat pada pesona dunia (perempuan)."
Lalu, datanglah Abu Darda' r.a untuk membuatkan makanan. Setelah itu, ia berkata kepada Salman r.a, "Makanlah, hari ini aku sedang berpuasa."
Salman r.a menjawab, "Aku tidak akan makan hingga engkau makan."
Ketika malam tiba, Abu Darda' r.a pergi untuk shalat dan berkata kepada Salman r.a, "Tidurlah!" Lalu, Salman r.a pun tidur.
Namun, tidak lama kemudian Salman r.a terbangun dan melihat saudaranya masih terjaga. la pun menyuruh Abu Darda' r.a untuk tidur. Akhirnya, mereka berdua pun tidur.
Pada akhir malam, Salman r.a bangun dan membangunkan Abu Darda' r.a, "Sekarang bangunlah!" Kemudian mereka berdua shalat malam bersama.
Setelah itu, Salman r.a. menasihati Abu Darda' r.a, "Sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak atas dirimu, sesungguhnya dirimu juga mempunyai hak atas dirimu sendiri, dan keluargamu juga mempunyai hak atas dirimu maka berikanlah hak itu kepada setiap yang mempunyai hak."
Abu Darda' r.a pun menemui Rasulullah saw untuk menanyakan kebenaran pendapat Salman r.a. Kemudian Rasulullah saw menjawab, "Salman benar!"
Aku Hanya Ingin Berhias, Ayah
Idul Adha akan tiba. Setiap wanita tentu ingin berhias untuk menyambut hari raya tersebut. Termasuk Siti Zainab r.a, putri Ali bin Abi Thalib r.a. Saat itu ayahnya menjabat sebagai Amirul Mukminin. Zainab r.a. pun memberanikan diri untuk meminjam kalung berlian dari Baitul Mal.
Ia mendatangi Ali bin Abi Rafi', seorang sahabat Nabi saw yang bertanggung jawab atas Baitul Mal seraya berkata, "Wahai Ibnu Abi Rafi', pinjamilah aku kalung berlian agar aku dapat berhias di Hari Idul Adha dan aku akan mengembalikannya tiga hari kemudian!"
Mengingat peminjam adalah putri Amirul Mukminin, Abi Rafi' r.a pun meminjamkannya.
Ketika Ali bin Abi Thalib r.a mengetahui putrinya memakai kalung berlian, dia pun bertanya, "Dari mana kau dapatkan kalung berlian itu, Zainab?"
Siti Zainab r.a. menjawab, "Aku meminjamnya dari Ibnu Abi Rafi', Ayah. Aku akan mengembalikannya tiga hari kemudian."
Mendengar hal itu, Amirul Mukminin tampak geram segera memanggil Ali bin Abi Rafi' untuk menegur, "Hai Ibnu Abi Rafi'! Apakah kau mau mengkhianati kaum muslimin?"
"Na'udzubillah, ya Amirul Mukminin! Aku hanya meminjamkannya kepada putri Amirul Mukminin untuk berhias di Hari Idul Adha dan akan dikembalikannya setelah tiga hari!" jawab Ibnu Abi Rafi'.
"Kembalikanlah kalung itu ke Baitul Mal!" perintah Ali, "dan janganlah kau ulangi lagi perbuatanmu itu! Demi Allah, kalau saja ia (Zainab r.a) tidak mampu mempertanggungjawabkan pinjamannya itu, niscaya ia akan menjadi wanita pertama dari keturunan Bani Hasyim yang akan aku potong tangannya karena pencurian!"
Zainab r.a yang mendengar percakapan antara ayahnya dan Ibnu Abi Rafi' tersentak kaget dengan ancaman tersebut. la pun merajuk kepada sang ayah, "Ayahku, Amirul Mukminin, aku adalah putrimu dan bagian dari dirimu. Siapakah yang lebih berhak memakai kalung itu daripada diriku, seorang putri Amirul Mukminin?"
"Hai cucu Abu Thalib! Janganlah kamu berpaling dari kebenaran! Apakah semua perempuan istri sahabat Anshar dan Muhajirin berhias di hari raya seperti ini?" jawab Ali r.a tegas.
Ia mendatangi Ali bin Abi Rafi', seorang sahabat Nabi saw yang bertanggung jawab atas Baitul Mal seraya berkata, "Wahai Ibnu Abi Rafi', pinjamilah aku kalung berlian agar aku dapat berhias di Hari Idul Adha dan aku akan mengembalikannya tiga hari kemudian!"
Mengingat peminjam adalah putri Amirul Mukminin, Abi Rafi' r.a pun meminjamkannya.
Ketika Ali bin Abi Thalib r.a mengetahui putrinya memakai kalung berlian, dia pun bertanya, "Dari mana kau dapatkan kalung berlian itu, Zainab?"
Siti Zainab r.a. menjawab, "Aku meminjamnya dari Ibnu Abi Rafi', Ayah. Aku akan mengembalikannya tiga hari kemudian."
Mendengar hal itu, Amirul Mukminin tampak geram segera memanggil Ali bin Abi Rafi' untuk menegur, "Hai Ibnu Abi Rafi'! Apakah kau mau mengkhianati kaum muslimin?"
"Na'udzubillah, ya Amirul Mukminin! Aku hanya meminjamkannya kepada putri Amirul Mukminin untuk berhias di Hari Idul Adha dan akan dikembalikannya setelah tiga hari!" jawab Ibnu Abi Rafi'.
"Kembalikanlah kalung itu ke Baitul Mal!" perintah Ali, "dan janganlah kau ulangi lagi perbuatanmu itu! Demi Allah, kalau saja ia (Zainab r.a) tidak mampu mempertanggungjawabkan pinjamannya itu, niscaya ia akan menjadi wanita pertama dari keturunan Bani Hasyim yang akan aku potong tangannya karena pencurian!"
Zainab r.a yang mendengar percakapan antara ayahnya dan Ibnu Abi Rafi' tersentak kaget dengan ancaman tersebut. la pun merajuk kepada sang ayah, "Ayahku, Amirul Mukminin, aku adalah putrimu dan bagian dari dirimu. Siapakah yang lebih berhak memakai kalung itu daripada diriku, seorang putri Amirul Mukminin?"
"Hai cucu Abu Thalib! Janganlah kamu berpaling dari kebenaran! Apakah semua perempuan istri sahabat Anshar dan Muhajirin berhias di hari raya seperti ini?" jawab Ali r.a tegas.
Langganan:
Postingan (Atom)