Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Tampilkan postingan dengan label Mempercayakan amanah kepada ahlinya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mempercayakan amanah kepada ahlinya. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 Maret 2010

Menolak Jabatan Hakim

Pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid hiduplah seorang tokoh penghafal Al-Qur'an, ahli ibadah, dan meriwayatkan banyak hadis yang dijadikan acuan para ulama.

Dia bernama Abdullah bin Idris Al-Kaudi Al-Kufi atau terkenal dengan nama Abdullah bin Idris. Dia memiliki kemuliaan melebih para raja, hidup dalam kesederhanaan, dan menjadi suri teladan bagi semua orang.

Suatu hari Harun Ar-Rasyid memanggilnya. la pun bertanya kepada Ibnu Idris, "Tahukah kamu mengapa aku memanggilmu?"

"Tidak," jawab Ibnu Idris singkat.

Harun menjelaskan, "Penduduk negeri ini memintamu menjadi hakim bagi mereka. Namamu disebut mereka di antara nama-nama lain. Setelah aku mempertimbangkannya, aku setuju untuk memercayakan jabatan itu kepadamu demi kemaslahatan umat. Bersumpahlah dan lakukan tugasmu sebagaimana mestinya!"

Ibnu Idris menolak tawaran tersebut dengan berkata, "Aku bukanlah orang yang cocok untuk jabatan tersebut."

Jawaban itu membuat Harun Ar-Rasyid kecewa dan marah. la pun berseru kepada Ibnu Idris, "Seandainya aku tidak memanggilmu!"

Ibnu Idris juga membalas, "Ya, seandainya aku tidak memenuhi panggilanmu!" katanya sambil meninggalkan Harun Ar-Rasyid di ruangannya.

Harun kaget melihat reaksi Ibnu Idris yang meninggalkannya begitu saja. Sebagai ungkapan penyesalan, ia segera memanggil pengawalnya agar menyusul Ibnu Idris untuk memberikan bekal perjalanan sebesar lima puluh ribu dirham.

Pengawal itu dengan sigap mengejar dia, lalu menyampaikan pesan raja kepadanya, "Amirul Mukminin menyampaikan salam kepadamu dan memberikan uang ini sebagai bekal perjalananmu!" Namun, Ibnu Idris menolaknya dengan tegas.

Mengetahui niat baiknya ditolak, Harun mengirim surat kepadanya yang isinya, "Semoga Allah memaafkan kita. Kami memintamu untuk masuk ke dalam amal kami, tetapi engkau tidak mau. Lalu, kami kirimkan sebagian uang kami kepadamu, tetapi engkau tidak menerimanya. Jika anakku yang bernama Al-Ma'mun datang kepadamu, ajarilah dia hadis, insya Allah."

Setelah membaca surat itu, Ibnu Idris berkata kepada pengawal Harun, "Jika dia datang kepada kami bersama-sama, akan saya riwayatkan hadis kepadanya, insya Allah."

Dengan kebesaran hati Ibnu Idris tersebut, selesailah pertikaian di antara mereka.

Banyak ulama yang menghindari kedudukan dan kekuasaan, antara lain sebagai berikut:
  1. Manshur bin Al-Mu'tamir As-Sulami menolak untuk diangkat sebagai seorang hakim. Dikirimlah serombongan pasukan untuk memaksanya. Kepada Yusuf bin Umar komandan pasukan tersebut dikatakan, "Walaupun engkau koyak kulit tubuhku, aku tidak akan mau untuk menerima tawaran tersebut." Kemudian Manshur pun ditinggalkan.
  2. Abu Qilabah Al-Jarmi, salah seorang tabiin, lari meninggalkan negerinya dari Bashrah hingga daerah Yamamah dan meninggal di sana. Beliau lari untuk menghindari tawaran menjadi seorang hakim. Ayyub As-Sikhtiyani pernah menemuinya dan bertanya tentang alasan beliau untuk lari menghindar. Abu Qilabah menjawab, "Aku tidak melihat sebuah perumpamaan yang tepat untuk seorang hakim, kecuali seseorang yang tercebur di dalam lautan yang luas, hingga kapan dia akan mampu berenang? Pasti dia akan tenggelam."
  3. Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyi ketika menolak untuk diangkat menjadi seorang hakim, beliau berkata kepada seseorang yang menanyakan sebab penolakannya, "Apakah engkau tidak mengerti bahwa para ulama akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama para nabi? Sementara itu, para hakim akan dikumpulkan bersama para penguasa."
  4. Al-Mughirah bin Abdillah Al-Yasykuri menolak permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menjadi seorang hakim. Beliau beralasan, "Sungguh demi Allah, wahai Amirul Mukminin, aku lebih memilih dicekik setan daripada harus memegang kedudukan sebagai hakim!" Ar-Rasyid, lalu berkata, "Tidak ada lagi keinginan selain itu." Kemudian Harun Ar-Rasyid pun mengabulkan permintaannya.
  5. Al-lmam Abdurrahman bin Mahdi berkata, "Amirul Mukminin memaksa Sufyan Ats-Tsauri untuk memegang kedudukan sebagai hakim. Sufyan pun berpura-pura menjadi orang bodoh agar terbebas. Setelah Amirul Mukminin mengetahui hal tersebut, Sufyan pun dibebaskan, lalu ia melarikan diri."

Jumat, 05 Maret 2010

Panglima Perang Termuda

Usamah r.a di usianya yang 18 tahun sudah diamanahi untuk memimpin pasukan perang muslimin melawan tentara Romawi. la berkulit hitam dan memiliki nama lengkap Usamah bin Zaid bin Haritsah bin Syurahbil bin Ka'ab bin Abd Al-Uzza Al-Kalbi.

la juga biasa dipanggil Abu Muhammad. la memiliki gelar Hibb Rasulullah (jantung hati Rasulullah) dan Ibnu Hibb Rasulullah (putra dari jantung hati Rasulullah). Ayahnya adalah Zaid bin Haritsah r.a, anak angkat Rasulullah saw yang sangat beliau cintai.

Ibunya adalah Ummu Aiman, seorang budak hitam yang mengasuh Muhammad kecil dan dimerdekakan oleh Rasulullah saw. Zaid lebih memilih tinggal bersama Muhammad dari pada kembali kepada ayahnya, Haritsah.

Seusai Rasulullah saw menyelesaikan haji Wada', beliau mempersiapkan pasukan muslimin untuk menghadapi tentara Romawi. Tentara Romawi dengan sadis membunuh salah seorang kepala daerah mereka bernama Farwah bin Umar Al-Judzami ketika diketahui memeluk Islam.


Di antara pasukan muslim terdapat pejuang Muhajirin dan Anshar, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., Umar bin Khaththab r.a., Abu Ubaidah bin Jarrah r.a, Abul A'war Zaid bin Zaid, dan Sa'ad bin Abi Waqqash r.a. Dari sekian banyak muslimin yang andal dalam peperangan, Rasulullah saw memilih Usamah bin Zaid r.a yang masih muda belia untuk memimpin pasukan muslimin. Tentu saja hal tersebut menuai keheranan dan protes dari sebagian kaum muslimin yang meragukan kepemimpinan Usamah r.a.

Mendengar gunjingan yang menyangsikan kepemimpinan Usamah r.a, Rasulullah saw bersabda di hadapan kaum muslimin, "Wahai sekalian manusia, aku mendengar pembicaraan kalian mengenai pengangkatan Usamah. Apabila kalian meragukan kemampuannya dalam memimpin, mengapa kalian sebelumnya tidak meragukan kepemimpinan Zaid bin Haritsah, ayahnya? Demi Allah, jika ayahnya pantas menjadi seorang pemimpin, anak ini juga pantas menjadi pemimpin. Jika ayahnya seorang yang kucintai, anaknya juga orang yang paling kucintai sesudahnya. Mereka berdua adalah orang baik maka perlakukanlah Usamah dengan baik pula!"

Setelah teguran tersebut, kaum muslimin yang pada awalnya meragukan keputusan beliau segera bergabung dengan pasukan Usamah r.a. Saat itu mereka hendak berangkat menuju Juraf di luar kota Medinah untuk membangun perkemahan sesuai dengan perintah Rasulullah saw.

Sebelum berangkat, para pasukan terlebih dahulu menemui Rasulullah yang terbaring sakit. Ummu Aiman, menyarankan agar Usamah tidak diberangkatkan sampai beliau sehat agar tenang dalam perjalanannya. Namun, Rasulullah saw. bersikeras dan berkata, "Biarkan Usamah berangkat sekarang juga!"

Pasukan pun berangkat menuju Juraf dan bermalam di sana. Keesokan harinya, sebelum pasukannya bergerak, Usamah r.a. menyempatkan diri untuk menengok Rasulullah saw. yang sakitnya bertambah parah.

Usamah r.a. mencium wajah pucat Rasulullah saw. dan beliau pun mendoakannya. Setelah itu, Usamah r.a. kembali menuju pasukannya yang telah siap berangkat meninggalkan Juraf.

Namun, tiba-tiba berita duka menyergap seluruh pasukan muslimin. Seorang utusan Ummu Aiman membawa berita bahwa Rasulullah saw telah tiada.

Usamah r.a. segera menghentikan pasukan dan menunda keberangkatannya. Bersama Umar bin Khaththab r.a. dan Abu Ubaidah bin Jarrah r.a., Usamah r.a. kembali menuju kediaman Rasulullah saw. diikuti oleh prajurit-prajuritnya.

Benar-benar duka menyelimuti Medinah saat itu. Kepergian pemimpin yang begitu mereka cintai memberikan pukulan berat hingga tidak sedikit dari kaum muslimin yang histeris dan tidak menerima, bahkan murtad dari Islam. Suasana kota Medinah menjadi kacau.

Segeralah diadakan musyawarah untuk mengangkat khalifah pengganti Rasulullah saw. Mereka sepakat untuk mengamanahkan jabatan tersebut kepada Abu Bakar r.a. Ia pun bertindak cepat untuk mengatur keberangkatan Usamah r.a. Begitu pula, mengamankan kota Medinah.

Sebagian kaum muslimin tidak menyetujui keberangkatan pasukan Usamah mengingat kondisi Medinah sangat genting dan butuh penjagaan yang ketat dari serangan musuh-musuh Allah. Bisa jadi para musuh Allah memanfaatkan kekosongan dan kekacauan di Medinah untuk merebut dan menduduki wilayah kaum muslimin tersebut.

Menyikapi hal itu, Abu Bakar r.a. memberikan pendapatnya, "Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, seandainya aku tahu akan dimakan binatang buas sekalipun, aku akan tetap mengirim pasukan ini ke tujuannya. Insya Allah, mereka akan kembali dengan selamat. Bukankan Rasulullah saw. telah memerintahkan untuk segera memberangkatkan pasukan Usamah? Mengenai keamanan di Medinah, biarkan Umar bin Khaththab tetap tinggal bersamaku di sini untuk membantuku. Apakah kalian setuju dengan pendapatku?"

Keyakinan kuat yang terpancar dari Usan Abu Bakar r.a menular ke seluruh kaum muslimin sehingga mereka menyetujui pendapatnya. Tanpa membuang waktu, Usamah r.a. segera bersiap untuk berangkat bersama 3.000 orang prajurit, 1.000 orang di antaranya menunggang kuda.

Abu Bakar r.a. mendatangi mereka untuk melepas kepergian pasukan muslimin dengan doa keselamatan. Usamah r.a. yang melihat Abu Bakar r.a datang dengan berjalan kaki segera turun dari kudanya untuk memberikan tumpangan kepada sang Khalifah.

Namun, Abu Bakar r.a segera mencegahnya dengan berkata, "Demi Allah, jangan turun, wahai Usamah! Aku ingin telapak kakiku ini dipenuhi debu sabilillah beberapa saat. Bukankah setiap langkah pejuang akan memperoleh imbalan tujuh ratus kebaikan dan menghapus tujuh ratus kesalahan?"

Mereka pun berangkat diiringi doa dan duka mendalam. Meskipun Rasulullah saw. telah tiada, hal itu tidak menyurutkan semangat jihad fi sabilillah yang berkobar dalam jiwa mereka dalam menyiarkan panji Islam.

Pasukan Usamah r.a. bergerak cepat meninggalkan kota Medinah dan melalui beberapa kota yang masih tetap memeluk Islam. Di Wadil Qura, Usamah r.a mengirim Huraits dari suku Hani Adzrah untuk memantau keadaan di Ubna yang menjadi target mereka.

Dari hasil pengintaiannya, ternyata penduduk Ubna tidak mengetahui kedatangan mereka dan tidak ada persiapan untuk berperang sama sekali. Ia pun mengusulkan kepada Usamah r.a agar secepatnya melakukan serangan selagi musuh lengah.

Usamah r.a menyetujuinya dan segera menyusun strategi penyerangan. Hanya dalam empat puluh hari mereka dapat menaklukkan kota tersebut tanpa jatuh korban seorang pun dengan membawa harta rampasan perang yang besar ke Medinah.

Sejak saat itu sosok Usamah r.a makin bersinar di mata kaum muslimin. Bahkan, Umar bin Khaththab r.a memberinya hadiah lebih besar daripada apa yang ia berikan kepada putranya, Abdullah bin Umar r.a.

Ketika ditanya tentang perihal tersebut oleh putranya, Umar menjawab, "Usamah lebih dicintai Rasulullah saw. daripada engkau dan ayahnya lebih disayangi daripada ayahmu!"

Reputasi Seseorang Dilihat dari Teman Bergaulnya

Suatu ketika seseorang memberitahukan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz bahwa gubernur suatu wilayah yang baru dilantiknya pernah memegang jabatan pada pemerintahan Hajaj bin Yusuf. Saat itu juga Umar mengeluarkan perintah untuk memecat gubernur tersebut.

Mengetahui dirinya dipecat, gubernur tersebut membela diri, "Saya memang pernah bekerja pada pemerintahan Hajaj, tetapi tidak lama."

Umar menanggapi pembelaan orang tersebut dengan berkata, "Pergaulanmu dengannya meskipun hanya sehari atau kurang dari sehari sudah cukup menjadikanmu orangyang buruk!"

Umar tetap teguh pada pendiriannya untuk memecat orang tersebut. Siapakah Hajar bin Yusuf sebenarnya? Mengapa reputasinya begitu buruk di mata Umar? Ternyata dia adalah gubernur zalim yang membunuhi para ulama termasuk putra Asma' binti Abu Bakar, yaitu Abdullah bin Zubair.

Oleh karena itu, Umar menilai bahwa orang-orang yang bekerja sama atau pernah bekerja sama dengan gubernur zalim itu tidak lebih baik darinya.

Rasulullah saw bersabda, "Perumpamaan orang yang bergaui dengan orang saleh adalah seperti orang yang duduk dengan penjual minyak wangi. Walaupun ia tidak mendapatkan minyak wangi, dia akan mendapatkan keharumannya. Sebaliknya, perumpamaan orang yang bergaul dengan orang jahat adalah seperti orang yang duduk dengan pandai besi. Walaupun dia tidak terkena percikan api, dia pasti akan terkena asapnya." (HR Bukhari)

Ilmu adalah Amanah

Sudah menjadi kebiasaan jika seorang guru menguji santri-santrinya sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh ilmu yang lebih tinggi lagi. Yusuf bin Al-Husain mendengar bahwa Dzu Nun Al-Mishri memiliki pengetahuan paling tinggi dan mulia, yaitu ilmu tentang asma Allah. Karena ingin memperoleh ilmu tersebut, Yusuf bin Al-Husain segera bertolak ke Mesir untuk menjadi murid Dzu Nun.

Setahun berlalu dan Yusuf masih setia mengabdikan dirinya sebagai santri di tempat Dzu Nun tinggal. Namun, ilmu yang ia dambakan tak kunjung diajarkan. la pun memberanikan diri untuk bertanya kepada gurunya, "Wahai Guruku. Aku telah mengabdikan diri untukmu dan kini aku menuntut hakku darimu. Engkau mengetahui asma Allah yang paling agung dan kau telah mengenalku dengan baik. Oleh karena itu, berilah aku jalan untuk memperoleh ilmu tersebut!" pinta Yusuf.

Dzu Nun hanya terdiam menanggapi permintaan muridnya. Yusuf pun tidak berani mengusik gurunya dengan permohonannya tersebut. Akhirnya, Yusuf memilih untuk bersabar hingga gurunya bersedia menurunkan ilmu tinggi itu kepadanya.

Enam bulan kemudian, sang guru memerintahkan Yusuf untuk mengantar sebuah kotak yang dibalut sapu tangan kepada sahabatnya yang tinggal di Fushthath. Sang guru berpesan agar tidak membuka kotak tersebut karena isinya sangat berharga.

Yusuf pun menyanggupi perintah gurunya. Itu artinya sang guru sudah mulai percaya kepadanya. Dengan perbekalan yang telah dipersiapkan, Yusuf pergi menuju ke Kota Fushthath untuk menyerahkan kotak tersebut kepada sahabat gurunya.

Di tengah perjalanan, godaan pun muncul. la sangat penasaran dengan isi kotak itu. Sebenarnya barang berharga apa yang akan guru berikan kepada sahabatnya. Yusuf memerhatikan kotak di tangannya. Kemudian ia bolak balik, guncangkan kotaknya, dan perhatikan ukurannya sambil mengira-ngira isi di dalamnya.

Rasa penasaran makin membendung di benaknya. Akalnya tidak bisa menebak isi kotak tersebut sehingga ia menjadi pusing karenanya. la berpikir untuk melanggar perintah guru dan membuka kotak tersebut.

Toh, dengan mudah ia bisa membungkusnya kembali sehingga tidak ada orang yang tahu bahwa kotak itu pernah dibuka sebelumnya. Rasa penasaran itu membuat ia lalai dengan amanahnya. Dibukalah sapu tangan pembungkus kotak tersebut dengan hati-hati.

Kotak pun dibuka, seekor tikus kecil meloncat keluar dari kotak. Betapa terkejutnya Yusuf ketika ia mengetahui bahwa barang berharga yang dibawanya hanyalah seekor tikus. la merasa dipermainkan oleh sang guru karena memerintahnya agar melakukan perjalanan jauh hanya untuk menyampaikan seekor tikus. Yusuf pun pulang dengan membawa kekecewaan dan kemarahan yang besar kepada gurunya.

Ketika Dzu Nun melihat kepulangan muridnya dengan raut muka kesal dan marah, ia sudah bisa mengetahui apa yang terjadi. Dibiarkannya si murid mengungkapkan kekesalannya. Setelah itu, Dzu Nun berkata, "Hai Yusuf. Aku hanya ingin menguji kesabaran dan kesungguhanmu. Baru seekor tikus saja yang aku amanatkan, kau sudah berani mengkhianatiku. Bagaimana jadinya kalau aku mengamanatkan asma Allah yang paling agung? Pergilah dan jangan menemuiku lagi!"

Yusuf tersentak kaget. Mengapa ia tidak menyadari dari awal bahwa yang terjadi adalah kesalahannya, yaitu melanggar amanah. llmu Allah itu pun amanah yang harus dilaksanakan. Benar kata sang guru, aku memang belum pantas untuk mendapatkan ilmu itu sebelum aku bisa menjaga amanah dengan baik, gumam Yusuf.

Tidak Ada Bagian untuk Kerabat

Isa bin Uqbah r.a mengisahkan ketika Iyadh bin Ghanam r.a diangkat menjadi gubernur, serombongan keluarganya yang berasal dari tempat jauh datang mengunjunginya dengan maksud meminta harta. Meskipun mereka berniat seperti itu, Iyadh r.a tetap menyambut mereka dengan baik dari hormat.

Setelah beberapa hari menginap di kediaman sang gubernur, mereka pun pamit pulang. Masing-masing dari mereka yang berjumlah lima orang diberi bekal sepuluh dinar. Kontan mereka menolaknya mentah-mentah. Mereka pikir uang sejumlah itu tidak akan cukup sebagai bekal perjalanan jauh. Apalagi sebagai seorang gubernur, tentunya bisa memberi uang lebih dari itu.

Iyadh r.a pun menjelaskan dengan sabar, "Wahai kerabatku. Aku menghargai perjalanan jauh yang kalian tempuh dan aku mengakui bahwa kalian adalah kerabatku. Namun, ketahuilah bahwa harta yang aku berikan kepada kalian tidak lain adalah hasil dari menjual budakku dan barang-barang milikku! Maafkan aku jika tidak bisa memenuhi keinginan kalian!"

"Sungguh keterlaluan! Kau adalah penguasa separuh Syam, tetapi kau tidak mau memberi harta yang cukup untuk perjalanan kami!" ungkap kerabat Iyadh r.a dengan kesal.

Iyadh r.a menanggapi, "Apakah kalian ingin aku mencuri harta Allah untuk kalian? Demi Allah, lebih baik aku dibelah dengan gergaji ketimbang mengambil harta Allah meskipun hanya sepeser!"

Mereka pun mengajukan usul, "Kalau begitu, angkatlah kami menjadi pejabatmu sebagaimana orang lain melakukannya. Kami berjanji tidak akan menyalahgunakan jabatan kami!"

"Aku mengenal kebaikan kalian, tetapi Khalifah Umar bin Khaththab pernah mencelaku ketika aku mengangkat beberapa orang dari kaumku untuk menjadi bawahanku," tandas Iyadh r.a.

Keteladanan Umair bin Sa'ad r.a.

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab r.a, penduduk Hims sangat kritis terhadap para pembesar mereka sehingga sering mengadu kepada Khalifah Umar. Setiap pembesar yang baru datang memerintah, ada saja celanya bagi mereka. Kemudian segala cela dan kesalahan pembesar tersebut dilaporkan kepada Khalifah agar diganti dengan pembesar lain yang lebih baik.

Penduduk Hims tidak ingin diperintah oleh pejabat yang 'bermasalah'. Kemudian Khalifah Umar mencari seseorang yang tidak bercacat dan namanya belum pernah rusak untuk menjadi gubernur di sana.

Khalifah Umar menyebarkan para utusannya mencari orang yang tepat dengan jabatan itu. Akhirnya, tidak diperolehnya orang yang lebih baik selain Umair bin Sa'ad r.a. Ketika itu Umair r.a sedang bertugas memimpin pasukan perang kaum muslimin di wilayah Syam.

Dalam tugas itu dia berhasil memimpin pasukannya untuk membebaskan beberapa kota, menundukkan beberapa kabilah, dan membangun masjid di setiap negeri yang dilaluinya. Pada saat itulah Umair r.a dipanggil pulang ke Medinah untuk memangku jabatan sebagai Gubernur Hims.

Sebenarnya di dalam hati yang paling dalam, Umair r.a enggan menerima tugas baru itu karena baginya tidak ada yang lebih utama selain perang fi sabilillah. Setibanya di Hims ia mengajak penduduk berkumpul di masjid untuk shalat berjemaah.

Selesai shalat dia menyampaikan pidato, "Hai manusia, sesungguhnya Islam adalah benteng pertahanan yang kukuh dan pintu yang kuat. Benteng Islam itu ialah keadilan dan pintunya ialah kebenaran. Apabila benteng itu ambruk dan pintunya roboh, pertahanan agama akan sirna. Islam akan senantiasa kuat selama kekuasaan tegak dengan kukuh. Tegaknya kekuasaan bukanlah dengan cemeti dan tidak pula dengan pedang, melainkan dengan menegakkan keadilan dan melaksanakan yang hak."

Umair bin Sa'ad bertugas sebagai Gubernur Hims hanya setahun. Selama itu dia tidak menulis sepucuk surat pun kepada Khalifah Umar di Medinah. Bahkan, ia pun tidak menyetorkan pajak satu dinar atau satu dirham pun ke Baitul Mal di Medinah.

Dikarenakan hal itu timbullah kecurigaan di hati Khalifah Umar r.a. tentang kepemimpinan Umair r.a. Ke manakah uang pajak yang seharusnya disetorkan ke Baitul Mal? Apakah Umair r.a. telah lalai dengan amanahnya?

Kemudian Khalifah Umar memerintahkan sekretaris negara untuk menulis surat kepada Gubernur Umair, "Katakan kepadanya jika surat ini sampai di tangan Anda, tinggalkanlah Hims dan segeralah menghadap Amirul Mukminin. Jangan lupa membawa sekalian pajak yang Anda pungut dari kaum muslimin."

Setelah Gubernur Hims, Umair bin Sa'ad r.a, membaca surat panggilan dari Amirul Mukminin, ia pun mempersiapkan diri untuk menemuinya. Kemudian diambilnya kantong perbekalan dan tempat air sebagai persediaan air wudu dalam perjalanan. Lalu, dia berangkat meninggalkan Hims.

Dia pergi mengayun langkah menuju Medinah dengan berjalan kaki. Ketika hampir tiba di Medinah, keadaannya pucat karena kurang makan dalam perjalanan. Tubuhnya kurus kering dan lemah, rambut dan jenggotnya sudah panjang, dan dia tampaksangat letih karena perjalanan yang sangat jauh.

Khalifah Umar r.a terkejut melihat keadaan Umair r.a yang begitu kepayahan. la pun menanyakan kabarnya dan dijawab oleh Umair r.a, "Tidak kurang suatu apa pun. Saya sehat, alhamdulillah, saya membawa dunia seluruhnya, saya tarik di kedua tanduknya."

Amirul Mukminin melanjutkan pertanyaannya, "Dunia manakah yang kaubawa?"

Umair r.a menjawab, "Saya membawa kantong perbekalan dan tempat air untuk bekal di perjalanan, beberapa lembar pakaian, air untuk wudu, membasahi kepala, dan minum. Itulah seluruh dunia yang saya bawa. Yang lain tidak saya perlukan."

Amirul Mukminin tertegun dengan jawaban gubernurnya. Ternyata ia masih zuhud seperti dulu, tidak ada yang berubah. Amirul Mukminin kembali bertanya, "Apakah Anda datang berjalan kaki?"

"Betul, ya Amirul Mukminin," tandas Umair r.a.

"Apakah Anda tidak diberi hewan kendaraan oleh pemerintah?" tanya Amirul Mukminin kembali.

"Tidak, mereka tidak memberi saya dan saya tidak pula memintanya dari mereka," jawab Umair r.a.

Amirul Mukminin langsung membawa pembicaraan ke pokok permasalahan, yaitu menagih uang pajak yang selama ini belum disetorkan ke Baitul Mal. la bertanya, "Mana setoran pajak yang kaubawa untuk Baitul Mal?"

"Saya tidak membawa apa-apa untuk Baitul Mal."

"Mengapa?"

"Setibanya di Hims, saya kumpulkan penduduk yang baik-baik, lalu saya perintahkan mereka memungut dan mengumpulkan pajak. Setiap kali mereka berhasil mengumpulkannya, saya bermusyawarah dengan mereka, untuk apa harta itu harus digunakan dan bagaimana cara membagi-bagikannya kepada yang berhak."

Amirul Mukminin bahagia mendengar penjelasan gubernurnya. Ternyata jabatan tidak membutakan hati Umair r.a. la masih Umair r.a yang dulu, seorang sahabat yang zuhud dan amanah. Kemudian Amirul Mukminin memerintah agar masa jabatan Umair r.a sebagai Gubernur Hims diperpanjang.

Namun, Umair menolaknya, "Maaf, wahai Amirul Mukminin, saya tidak menghendaki jabatan itu lagi. Mulai saat ini saya tidak ingin bekerja lagi untukmu atau untuk orang lain sesudahmu," kata Umair r.a memberikan alasan.

Umair r.a pun minta izin untuk pergi ke sebuah dusun di pinggiran kota Medinah dan akan menetap di sana bersama keluarganya. Di sana ia hidup sangat sederhana dan bahagia hingga ajal menjemputnya.

Ketika Amirul Mukminin, Umar r.a, mendengar kematian Umair r.a, ia berduka sangat dalam. la berkata, "Saya membutuhkan orang-orang seperti Umair bin Sa'ad untuk membantu saya mengelola masyarakat kaum muslimin."