Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Jumat, 18 November 2022

PROFIL DAN SEJARAH GKJW (GEREJA KRISTEN JAWI WETAN) MOJOWARNO


GEREJA KRISTEN JAWI WETAN (GKJW) di Mojowarno, Jombang disebut-sebut sebagai gereja tertua ke dua di Jawa Timur setelah Gereja yang berada di Ngoro. Menurut bapak Adi selaku staff pengurus KESEKRETARIATAN GKJW  Mojowarno menuturkan bahwa asal mula sejarah berdirinya GKJW yaitu berawal dari pertengahan tahun 1826 ada seorang warga yang berasal dari Madura bernama Midah, dia adalah seorang tuna netra. Suatu ketika dia menemukan sebuah cetakan (Injil Markus dalam huruf Jawa). Karena keterbatasannya, ia tidak mampu membacanya. Oleh karena itu Midah mendatangi salah satu temannya di Wiyung (sekarang masuk wilayah Surabaya) yang bernama Dasimah. Nukilan Injil Markus itu lantas dibaca oleh Dasimah, namun dia sendiri pun tak kunjung mengerti apa maknanya.

            Dasimah kemudian berinisiatif untuk mencari arti kutipan Injil yang mengusik hati dan pikirannya. Bertahun-tahun dia bingung, hingga pada tahun 1836 ada seseorang yang memperkenalkannya kepada Coenraad Louren Coolen, seorang sinder blandhong ( pengawas penebangan kayu ) yang berada didaerah Ngoro. Setelah 5 tahun mondar mandir Wiyung-Ngoro, Dasimah akhirnya ingin di Baptis. Dan pada tanggal 12 Desember 1843 Dasimah di baptis, akhirnya tahun itulah yang ditetapkan sebagai tahun adanya orang Kristen di Jawa Timur.

            Di Ngoro, Coenraad Louren Coolen atau yang akrab dipanggil Coolen dikenal sebagai pengajar agama Kristen untuk orang Jawa. Coolen mengajarkan kekristenan melalui budaya Jawa dan mengemas ajaran dengan ilmu sejati, yang inti ajarannya adalah Rapal Pengandelan ( Ucapan pengakuan iman ), Rapal Pepujan ( Pujian/Doa Bapa Kami ), Rapal Racikan Sedasa Perkawis ( Sepuluh perintah Tuhan). Nah, munculnya GKJW di Mojowarno tidak lepas dari peranan Coolen tersebut. Coolen mempunyai murid kesayangan yang bernama Ditotruno ( Abisai ) yang juga merupakan mantan Laskar Pangeran Diponegoro. Ditotruno (Abisai) pergi ke Ngoro karena tertarik oleh ajaran ilmu sejati yang diajarkan oleh Coolen. Pada tahun 1845, Ditotruno (Abisai) meninggalkan Ngoro karena membuat kesalahan pada tuan Coolen yaitu memanipulasi harga kerbau ketika ditugasi membeli kerbau, selain itu juga Abisai merasa tidak puas pada tuan Coolen karena orang Jawa yang masuk Kristen tidak perlu dibaptis, padahal teman-temannya yang di Surabaya sudah di baptis.

            Setelah meninggalkan Ngoro, Abisai dan rombongannya tinggal di hutan Bayeman selama satu tahun, kemudian pindah ke hutan Gebang Klanthing selama satu tahun. Setelah itu Abisai membabat hutan yang lebat, angker dan dihuni oleh binatang-binatang buas, sehingga pada saat itu masyarakat menyebutnya `` Jalmo moro jalmo mati `` yang berarti jika ada orang yang datang maka orang itu akan mati. Hutan tersebut dinamakan hutan keracil karena di dalam hutan banyak terdapat pohon kesambi, yang buahnya disebut keracil sehingga hutan ini lebih dikenal dengan sebutan hutan keracil. Di hutan keracil ini ada sebuah tempat yang diberi nama desa Dagangan yang kemudian berganti nama menjadi Mojowarno. Dari sinilah awal tempat ibadah dibuat, saat itu tempat ibadah (GKJW) dibuat dari rumah gubug yang beratap pelepah daun kengkeng (tumbuhan rawa). Dan perluasan pertamanya menghabiskan biaya 7 gulden. Pada masa Pendeta Jellesma diperluas lagi dan menghabiskan biaya 20 gulden. GKJW mengalami 2 kali masa renovasi yaitu pada masa Pendeta Hoezoo bangunan GKJW diganti dengan kayu dan diplester. Kemudian renovasi pada tahun 1871 masa Pendeta Tosari yang mengusulkan pada Kruyt untuk mendirikan GKJW secara permanen ( menggunakan batu bata). Pada tanggal 24 Februari 1879. Pembangunan GKJW secara permanen dilaksanakan dengan menggunakan dana warga yang sudah terkumpul 5000-6000 gulden, dan peletakan batu pertamanya oleh Christina Catarina Kruyt ( putri bungsu Kruyt). Kemudian pada 3 Maret 1881 GKJW selesai dibangun dan diresmikan. Tahap penyelesaian ini menghabiskan biaya 25.000-30.000 gulden, ini belum termasuk sumbangan material dan tenaga dari warga sekitar.

Keunikan GKJW Mojowarno

Keunikan dari GKJW yang paling mencolok adalah dari model bangunan itu sendiri yang bergaya arsitektur Belanda, yang mana bentuk temboknya timbul dua dimensi, dan batu bata yang digunakan untuk membangun dinding GKJW Mojowarno berukuran jumbo, hal inilah yang menjadi ciri khas tersendiri GKJW Mojowarno dibandingkan dengan GKJW yang lainnya. Selain itu, di gewel (tembok yang berbentuk segitiga dibagian depan atas gedung) juga ada huruf Jawa yang berbunyi `` Duh Gusti, ingkang kawula purugi sinten malih? Paduka ingkang kagungan pangandikaning gesang langgeng`` yang dalam bahasa Indonesianya berarti ``Ya Tuhan, kepada siapa kami pergi?Hanya Tuhan saya yang memiliki perkataan hidup kekal. Selain di gewel, di pintu gerbang (gapura) masuk pun terdapat tulisan Jawa yang berbunyi `` Gunaning Panembah Trusing Tunggal `` yang berarti `` Manfaat ibadah menuju Allah yang satu `` tetapi tulisan itu dapat pula dibaca `` Suryo Sengkolo `` menurut ilmu sandi Jawa. Di GKJW Mojowarno terdapat bangunan menara yang berbentuk mercusuar yang berada di depan bagian atas bangunan.

Di dalam menara itu terdapat lonceng yang berasal dari sumbangan orang Belanda, namun lonceng tersebut sudah diganti dengan lonceng baru, karena lonceng yang lama sudah retak termakan usia.

Jika pada gereja umumnya terdapat alat musik modern seperti gitar, orgen, drum dan lain-lain, namun di GKJW mojowarno terdapat alat music yang berbeda, yaitu pepaduan alat musik modern dan tradisional ( alat musik gamelan ). Tidak jauh dari GKJW Mojowarno juga terdapat makam-makam pendiri dan pendeta GKJW Mojowarno. Jemaat GKJW juga mendirikan lembaga pendidikan, mulai dari PAUD sampai dengan SMA. Lokasi lembaga pendidikan tersebut berada di sekitar komplek GKJW Mojowarno. Jika ingin mengetahui sejarah berdirinya GKJW Mojowarno beserta ajaran-ajarannya, kita bisa mengunjungi perpustakaan yang berada di kesekretariatan GKJW Mojowarno.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar