GEREJA KRISTEN JAWI WETAN (GKJW) di
Mojowarno, Jombang disebut-sebut sebagai gereja tertua ke dua di Jawa Timur
setelah Gereja yang berada di Ngoro. Menurut bapak Adi selaku staff pengurus
KESEKRETARIATAN GKJW Mojowarno menuturkan bahwa asal mula sejarah
berdirinya GKJW yaitu berawal dari pertengahan tahun 1826 ada seorang warga
yang berasal dari Madura bernama Midah, dia adalah seorang tuna netra. Suatu
ketika dia menemukan sebuah cetakan (Injil Markus dalam huruf Jawa). Karena
keterbatasannya, ia tidak mampu membacanya. Oleh karena itu Midah mendatangi
salah satu temannya di Wiyung (sekarang masuk wilayah Surabaya) yang bernama
Dasimah. Nukilan Injil Markus itu lantas dibaca oleh Dasimah, namun dia sendiri
pun tak kunjung mengerti apa maknanya.
Dasimah kemudian berinisiatif untuk mencari arti kutipan Injil yang mengusik
hati dan pikirannya. Bertahun-tahun dia bingung, hingga pada tahun 1836 ada
seseorang yang memperkenalkannya kepada Coenraad Louren Coolen, seorang sinder
blandhong ( pengawas penebangan kayu ) yang berada didaerah Ngoro. Setelah 5
tahun mondar mandir Wiyung-Ngoro, Dasimah akhirnya ingin di Baptis. Dan pada
tanggal 12 Desember 1843 Dasimah di baptis, akhirnya tahun itulah yang
ditetapkan sebagai tahun adanya orang Kristen di Jawa Timur.
Di Ngoro, Coenraad Louren Coolen atau yang akrab dipanggil Coolen dikenal
sebagai pengajar agama Kristen untuk orang Jawa. Coolen mengajarkan kekristenan
melalui budaya Jawa dan mengemas ajaran dengan ilmu sejati, yang inti ajarannya
adalah Rapal Pengandelan ( Ucapan pengakuan iman ), Rapal Pepujan ( Pujian/Doa
Bapa Kami ), Rapal Racikan Sedasa Perkawis ( Sepuluh perintah Tuhan). Nah,
munculnya GKJW di Mojowarno tidak lepas dari peranan Coolen tersebut. Coolen
mempunyai murid kesayangan yang bernama Ditotruno ( Abisai ) yang juga
merupakan mantan Laskar Pangeran Diponegoro. Ditotruno (Abisai) pergi ke Ngoro
karena tertarik oleh ajaran ilmu sejati yang diajarkan oleh Coolen. Pada tahun
1845, Ditotruno (Abisai) meninggalkan Ngoro karena membuat kesalahan pada tuan
Coolen yaitu memanipulasi harga kerbau ketika ditugasi membeli kerbau, selain
itu juga Abisai merasa tidak puas pada tuan Coolen karena orang Jawa yang masuk
Kristen tidak perlu dibaptis, padahal teman-temannya yang di Surabaya sudah di
baptis.
Setelah meninggalkan Ngoro, Abisai dan rombongannya tinggal di hutan Bayeman
selama satu tahun, kemudian pindah ke hutan Gebang Klanthing selama satu tahun.
Setelah itu Abisai membabat hutan yang lebat, angker dan dihuni oleh binatang-binatang
buas, sehingga pada saat itu masyarakat menyebutnya `` Jalmo moro jalmo mati ``
yang berarti jika ada orang yang datang maka orang itu akan mati. Hutan
tersebut dinamakan hutan keracil karena di dalam hutan banyak terdapat pohon
kesambi, yang buahnya disebut keracil sehingga hutan ini lebih dikenal dengan
sebutan hutan keracil. Di hutan keracil ini ada sebuah tempat yang diberi nama
desa Dagangan yang kemudian berganti nama menjadi Mojowarno. Dari sinilah awal
tempat ibadah dibuat, saat itu tempat ibadah (GKJW) dibuat dari rumah gubug
yang beratap pelepah daun kengkeng (tumbuhan rawa). Dan perluasan pertamanya
menghabiskan biaya 7 gulden. Pada masa Pendeta Jellesma diperluas lagi dan
menghabiskan biaya 20 gulden. GKJW mengalami 2 kali masa renovasi yaitu pada
masa Pendeta Hoezoo bangunan GKJW diganti dengan kayu dan diplester. Kemudian
renovasi pada tahun 1871 masa Pendeta Tosari yang mengusulkan pada Kruyt untuk
mendirikan GKJW secara permanen ( menggunakan batu bata). Pada tanggal 24
Februari 1879. Pembangunan GKJW secara permanen dilaksanakan dengan menggunakan
dana warga yang sudah terkumpul 5000-6000 gulden, dan peletakan batu pertamanya
oleh Christina Catarina Kruyt ( putri bungsu Kruyt). Kemudian pada 3 Maret 1881
GKJW selesai dibangun dan diresmikan. Tahap penyelesaian ini menghabiskan biaya
25.000-30.000 gulden, ini belum termasuk sumbangan material dan tenaga dari
warga sekitar.
Keunikan GKJW Mojowarno
Keunikan dari GKJW yang paling mencolok
adalah dari model bangunan itu sendiri yang bergaya arsitektur Belanda, yang
mana bentuk temboknya timbul dua dimensi, dan batu bata yang digunakan untuk
membangun dinding GKJW Mojowarno berukuran jumbo, hal inilah yang menjadi ciri
khas tersendiri GKJW Mojowarno dibandingkan dengan GKJW yang lainnya. Selain
itu, di gewel (tembok yang berbentuk segitiga dibagian depan atas gedung) juga
ada huruf Jawa yang berbunyi `` Duh Gusti, ingkang kawula purugi sinten malih?
Paduka ingkang kagungan pangandikaning gesang langgeng`` yang dalam bahasa
Indonesianya berarti ``Ya Tuhan, kepada siapa kami pergi?Hanya Tuhan saya yang
memiliki perkataan hidup kekal. Selain di gewel, di pintu gerbang (gapura)
masuk pun terdapat tulisan Jawa yang berbunyi `` Gunaning Panembah Trusing
Tunggal `` yang berarti `` Manfaat ibadah menuju Allah yang satu `` tetapi
tulisan itu dapat pula dibaca `` Suryo Sengkolo `` menurut ilmu sandi
Jawa. Di GKJW Mojowarno terdapat bangunan menara yang berbentuk mercusuar
yang berada di depan bagian atas bangunan.
Di dalam menara itu terdapat lonceng
yang berasal dari sumbangan orang Belanda, namun lonceng tersebut sudah diganti
dengan lonceng baru, karena lonceng yang lama sudah retak termakan usia.
Jika pada gereja umumnya terdapat alat
musik modern seperti gitar, orgen, drum dan lain-lain, namun di GKJW mojowarno
terdapat alat music yang berbeda, yaitu pepaduan alat musik modern dan
tradisional ( alat musik gamelan ). Tidak jauh dari GKJW Mojowarno juga
terdapat makam-makam pendiri dan pendeta GKJW Mojowarno. Jemaat GKJW juga
mendirikan lembaga pendidikan, mulai dari PAUD sampai dengan SMA. Lokasi
lembaga pendidikan tersebut berada di sekitar komplek GKJW Mojowarno. Jika
ingin mengetahui sejarah berdirinya GKJW Mojowarno beserta ajaran-ajarannya,
kita bisa mengunjungi perpustakaan yang berada di kesekretariatan GKJW Mojowarno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar