Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Kamis, 14 Juli 2011

Berhaji Karena Menunda Haji

Setelah sekian lama menabung, mengumpulkan lembar demi lembar rupiah dari hasil berjualan, terkumpullah dalam tabungan Pak Ahmad sejumlah uang yang cukup untuk membayar ongkos naik haji (ONH). Impian sejak muda untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci sebentar lagi akan terwujud. Doa-doa yang senantiasa terucap selepas shalat taklama lagi akan menjadi kenyataan.

Pak Ahmad bukanlah orang kaya. Dia hanyalah penjual es yang harus bekerja ekstrakeras agar bisa menyisihkan sebagian uangnya untuk berhaji. Kuatnya keinginan Pak Ahmad untuk berhaji menjadikan dia mampu berdisiplin menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabungkan.

Sebenarnya, ada sedikit rasa "tidak enak" dalam hati Pak Ahmad. Uang yang dikumpulkannya itu hanya cukup untuk melunasi ONH untuk dirinya sendiri, tidak untuk istrinya. Padahal, uang itu terkumpul karena bantuan istrinya juga.

"Tidak apalah, mudah-mudahan Allah memberikan rezeki sehingga istrinya bisa kebagian jatah haji pada tahun-tahun berikutnya," begitu pikiran Pak Ahmad.

Satu hari menjelang pendaftaran, salah seorang tetang-ganya datang ke rumah untuk meminjam sejumlah uang untuk membayar biaya rumah sakit. Tetangga Pak Ahmad ini terbilang orang susah, untuk makan sehari-hari saja, dia kelimpungan.

Kesulitannya semakin bertambah ketika suaminya terkena sakit parah dan mau tidak mau dia harus menyelamatkan nyawanya dengan memasukkannya ke rumah sakit. Itu pun di kelas III yang hampir semua penghuninya kaum duafa. Setelah berusaha ke sana-kemari meminjam uang, hasilnya nihil, lalu ibu ini memberanikan diri datang ke rumah Pak Ahmad untuk meminjam uang.

Pak Ahmad pun dihadapkan pada pilihan sulit: meminjamkan uang dan cita-citanya untuk berhaji akan kandas di tengah jalan atau tidak meminjamkan uang dan membuat penderitaan tetangganya bertambah panjang. Setelah berdiskusi dengan istrinya, Pak Ahmad memilih jalan ketiga.

Dia tidak meminjamkan uang dan tidak pula menahannya, tetapi memberikan seluruh uang hajinya untuk membayar biaya rumah sakit tetangganya. Sebuah pilihan yang sangat berat dan berani serta tidak masuk akal dalam pandangan kaum materialis.

Bayangkan saja, bertahun-tahun menabung, peras keringat banting tulang mengumpulkan uang, ketika uang sudah terkumpul, dia memberikannya begitu saja kepada orang lain. Namun, amal kebaikan sering sekali tak bisa diukur dengan logika kebanyakan orang.

Sebagaimana tak masuk logikanya Nabi Ibrahim yang hendak menyembelih anaknya atau "keanehan" sikap para sahabat yang rela meninggalkan tanah kelahirannya, sanak saudara, dan harta kekayaannya demi berhijrah ke Madinah walau harus melalui perjalanan yang sangat berat. Itulah buah keimanan yang teramat tinggi nilainya yang sulit dicerna oleh orang-orang yang matanya sudah silau dengan dunia.

Pak Ahmad dan istrinya sangat yakin bahwa Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan amal kebaikan hamba-hamba-Nya. Bukankah Allah dan Rasul-Nya telah berjanji, "Barang siapa yang meringankan beban saudaranya di dunia, niscaya Allah akan meringankan bebannya di akhirat."

Kemampuan memilih prioritas amal yang disertai keyakinan yang mantap terhadap janji Allah telah menguatkan hati Pak Ahmad untuk memberikan hartanya yang paling berharga.

Disertai derai air mata sedih campur bahagia, tetangga Pak Ahmad menerima uang itu. Dia seakan tengah bermimpi, ternyata pada zaman sekarang masih ada orang yang berhati mulia seperti Pak Ahmad dan istrinya. Dia tak mampu berkata apa-apa selain ucapan terima kasih dan doa semoga Allah mengganti uang tersebut dengan sesuatu yang lebih baik.

Kisah pun berlanjut. Seorang dokter yang menangani operasi Pak Fulan, tetangga Pak Ahmad, sedikit kaget. Kok bisa pasien seperti Pak Fulan bisa membayar biaya operasi yang termasuk mahal, bahkan sangat muaaahal bagi sebagian orang. Padahal, dokter itu sudah bisa menebak latar belakang Pak Fulan. Iseng-iseng dia bertanya dari mana Pak Fulan mendapatkan uang, apakah dia menjual warisan, menjual ramah, meminjam, atau apa?

"Sama sekali bukan Dok, kami ini orang miskin, tidak punya apa-apa. Jangankan membayar biaya rumah sakit yang puluhan juta, untuk makan sehari-hari pun harus gali lobang tutup lobang," jawab Pak Fulan.

"Lho, kalau begitu dari mana?"

"Alhamdulillah, ada seseorang yang membayarkan biaya operasi kami."

Dokter itu makin penasaran, "Wah hebat benar orang itu. Pastilah dia orang kaya yang sangat dermawan."

"Oh.... Tidak Dok, dia orang biasa-biasa," Pak Fulan kemudi-an menceritakan kisah Pak Ahmad yang rela menunda ibadah haji demi meringankan beban penderitaan dirinya yang sekadar seorang tetangga.

Selesai Pak Fulan bercerita, Dokter itu langsung meminta izin untuk diperkenalkan dengan Pak Ahmad. Dia ingin tahu lebih jauh tentang siapa Pak Ahmad itu sebenarnya. Allah pun mempertemukan mereka.

Kepada Pak Ahmad dan istrinya, Dokter ini berkata, "Saya ingin belajar ikhlas seperti yang Ibu-Bapak lakukan. Akan tetapi, bukan di sini, saya ingin belajarnya di Tanah Suci. Jadi, saya dan keluarga akan mengajak serta Ibu dan Bapak pergi ke sana tahun ini."

Mata Pak Ahmad tampak berkaca-kaca. Sejenak, dia tidak bisa berkata-apa. Dia seakan tidak percaya dengan kata-kata yang didengarnya. Hingga akhirnya, ucapan hamdalah terucap dari bibirnya.

Begitulah, sebelum membalas kebaikannya di akhirat, Allah Swt. telah memberikan DP-nya terlebih dahulu di dunia. Harapan Pak Ahmad untuk berhaji dengan istrinya akhirnya terlaksana dalam keadaan yang penuh bahagia.

Jadikanlah dirimu sebagai tolok ukur dari selainmu. Berbuatlah sesuatu yang menggembirakan orang lain sebagaimana yang engkau inginkan mereka berbuat untukmu.

Janganlah berbuat sesuatu yang engkau tidak ingin orang lain berbuat hal itu kepadamu.

Janganlah berbuat aniaya sebagaimana engkau tidak suka dianiaya.

Berbuat baiklah kepada selainmu sebagaimana engkau ingin orang lain berbuat baik kepadamu. Cegahlah dirimu dari perbuatan mungkar sebagaimana engkau tidak ingin orang lain berbuat itu kepadamu.

Berbuatlah sesuatu yang menyenangkan orang lain agar dia juga berbuat sesuatu yang menyenangkan dirimu. (Rasulullah saw.)

Sepuluh Ribu Rupiah

Menjelang shalat Isya, seorang wartawan duduk kelelahan di halaman sebuah masjid. Perutnya bertalu-talu karena keroncongan. Kepalanya clingak-clinguk mencari tukang jual makanan, tapi tak kunjung menemukannya. Dari wajahnya, tampak gurat-gurat kekecewaan.

Usut punya usut, si Wartawan ini tengah kecewa berat karena gagal bertemu dengan seorang tokoh yang hendak diwawancarai. Betapa tidak kecewa, sejak siang hari dia sudah "mengejar-ngejar" tokoh tersebut. Siang hari, mereka janji bertemu di sebuah kantor.

Beberapa saat sebelum waktu pertemuan itu berlangsung, tokoh penting ini mendadak membatalkan janji, ada acara mendadak katanya. Militansinya sebagai seorang wartawan untuk mendapatkan berita telah membuat pria muda ini mendatangi hotel tempat si Pejabat meeting. Dua jam lamanya, dia menunggu. Namun sial, si Pejabat itu keluar dari pintu samping hotel sehingga tidak sempat bertemu sang Wartawan.

Tidak mau patah arang, dia segera mencari tahu di mana keberadaan pejabat itu. Dia pun mendapatkan informasi bahwa orang yang dicarinya itu sudah pulang ke rumahnya di sebuah kompleks perumahan elite. Tanpa banyak berpikir, sang Wartawan tancap gas. Dengan motornya yang sudah agak butut, dia mendatangi perumahan tersebut. Walau harus tanya sana-tanya sini, akhirnya dia bisa sampai ke rumah si Pejabat.

"Aduh maaf, Mas, Bapaknya barusan pergi lagi. Ada pertemuan lagi katanya. Tapi, Bapak nggak bilang di mananya," kata si penghuni rumah.

Lunglailah kaki si Wartawan. Dia pun pergi. Berkali-kali dia coba mengontak si pejabat, tetapi berkali-kali pula ponselnya tidak diangkat. Sudah terbayang di benaknya kalau nanti malam dia akan ditegur atasannya karena tidak mampu mendapatkan berita. Perutnya yang keroncongan seakan menambah derita.

Saat duduk di masjid itulah, dia melihat seorang kakek yang baru saja menunaikan shalat maghrib. Dipandanginya kakek itu. Tampangnya sangat tidak meyakinkan: tinggi, kurus, jambang putihnya tidak terurus, pakaiannya sangat sederhana dan sudah luntur warnanya, sandal jepitnya pun sudah butut.

Kakek itu menghampiri sebuah tanggungan kayu bakar. Lalu, mengambil topi dan duduk melepas lelah takjauh dari tempat si Wartawan. Kerutan wajahnya yang hitam terbakar matahari seakan tampak makin mengerut karena kelelahan.

"Cep, peryogi suluh henteu? Peserlah suluh anu Bapa, ieu ti enjing-enjing teu acan pajeng!" kata Pak Tua kepada si Wartawan. Maksudnya, dia menawarkan kayu bakar yang dibawanya karena sejak dari pagi tidak laku-laku.

"Punten Bapa, abdi di Bumi teu nganggo suluh (Maaf Bapak, saya di rumah tidak menggunakan kayu bakar)," jawabnya.

"Oh muhun, teu sawios. Mangga atuh, Bapa tipayun, (Oh iya, nggak apa-apa. Kalau begitu permisi, Bapak duluan)," ujar Pak Tua penjual kayu bakar itu.

Sebelum Pak Tua itu pergi, si Wartawan segera mengambil dompet. Dilihatnya hanya ada uang sepuluh ribu, satu-satunya, plus beberapa keping uang receh. Itulah hartanya yang tersisa pada hari itu untuk makan dan membeli bensin. Namun, semua itu dia abaikan. Dia berikan uang sepuluh ribu itu kepada Pak Tua. Walau awalnya menolak, tapi akhirnya dia menerimanya pula.

Sambil menahan tangis haru, Pak Tua berkata, "Hatur nuhun Kasep, tos nulungan Bapak. Mugi-mugi Gusti Alloh ngagentosan kunu langkung ageung (Terima kasih, Cakep, sudah menolong Bapak, semoga Gusti Allah menggantinya dengan yang lebih besar)." Ternyata, Bapak ini sejak pagi belum makan dan tidak punya uang untuk pulang.

Selembar sepuluh ribu telah mengubah segalanya. Dia te-lah sudi memasukkan rasa bahagia kepada saudaranya yang tengah kesusahan, Allah Swt. pun langsung membalasnya dengan memasukkan rasa bahagia yang berlipat-lipat ke dalam hatinya.

Rasa lapar, penat, dan hati dongkol yang sebelumnya mendominasi dirinya langsung hilang sirna berganti kelapangan dan kebahagiaan. Uang sepuluh ribu itu benar-benar memberikan kepuasan yang sensasinya sulit terlupakan. Dia tidak bisa berkata apa-apa selain dari tetesan air mata bahagia. "Terima kasih, ya Allah, engkau telah memberiku rezeki sehingga bisa berbagi," gumamnya.

Tak lama kemudian, datanglah karunia yang kedua. Ponselnya tiba-tiba berbunyi, dilihatnya sebuah pesan dari atasannya kalau dia tidak perlu lagi mengejar si Pejabat karena ada narasumber lain yang lebih kompeten yang siap diwawancara seorang rekannya. Dia hanya memberi penugasan untuk meliput sebuah acara syukuran di salah satu hotel berbintang.

Karunia Allah yang ketiga pun segera datang. Di sela-sela acara liputan di hotel itu, sang Wartawan dipersilakan oleh panitia untuk menikmati hidangan mewah yang tersedia sepuasnya. Menjelang pulang, dia mendapatkan sebuah doorprize dan beberapa buah bingkisan sebagai ucapan terima kasih dari pihak penyelenggara. "Malam yang indah ...," ujarnya.

Walau balasan untuk kebaikan dan kejahatan itu dijanjikan Tuhan pada hari kebangkitan, tetap saja muncul suatu keadaan yang mewakili balasan itu. Apabila manusia bergembira di dalam hatinya, itu adalah balasan karena telah membuat orang lain bahagia.

Apabila sedih, itulah balasan karena telah membuat orang lain sedih.

Terdapat suatu bentuk balasan sebagai pemisah hari kebangkitan. (Jalaluddin Rumi)

Selasa, 21 Desember 2010

Andai Lebih Panjang Lagi

Hari itu ada seseorang yang meninggal dunia. Seperti biasanya, jika ada sahabat meninggal dunia, Rasulullah pasti menyempatkan diri mengantarkan jenazahnya sampai ke kuburan.

Tidak cukup sampai di situ, pada saat pulangnya, Rasulullah menyempatkan diri singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga yang ditinggalkan supaya tetap bersabar dan tawakal menerima musbah itu. Begitupun terhadap keluarga sahabat yang satu ini.

Sesampai di rumah duka, Rasulullah bertanya kepada istri almarhum, “Tidakkah almarhum suamimu mengucapkan wasiat ataulah sesuatu sebelum ia wafat?”

Sang istri yang masih diliputi kesedihan hanya tertunduk. Isak tangis masih sesekali terdengar dari dirinya. “Aku mendengar ia mengatakan sesuatu di antara dengkur nafasnya yang tersengal. Ketika itu ia tengah menjelang ajal, ya Rasulullah.”

Rasulullah tertanya, “Apa yang dikatakannya?”

“Aku tidak tahu, ya Rasulullah. Maksudku, aku tidak mengerti apakah ucapannya itu sekadar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih karena dahsyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong.”

“Bagaimana bunyinya?” tanya Rasulullah lagi.

Istri yang setia itu menjawab, “Suamiku mengatakan ‘Andaikata lebih panjang lagi..., Andaikata yang masih baru ..., Andaikata semuanya ...’. Hanya itulah yang tertangkap sehingga aku dan keluargaku bingung dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu hanya igauan dalam keadaan tidak sadar, ataukah pesan-pesan yang tidak selesai”

Rasulullah tersenyum. Senyum Rasulullah itu membuat istri almarhum sahabat menjadi keheranan. Kemudian, terdengar Rasulullah berbicara, “Sungguh, apa yang diucapkan suamimu itu tidak keliru.” Beliau diam sejenak. “Jika kalian semua mau tahu, biarlah aku ceritakan kepada kalian agar tak lagi heran dan bingung.”

Sekarang, bukan hanya istri almarhum saja yang menghadapi Rasulullah. Semua keluarga almarhum mengerubungi Rasul akhir zaman itu. Ingin mendengar apa gerangan sebenarnya yang terjadi.

“Kisahnya begini,” Rasulullah memulai.
“Pada suatu hari, ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan shalat Jumat. Di tengah jalan ia berjumpa dengan dengan orang buta yang bertujuan sama—hendak pergi ke masjid pula. Si buta itu sendirian tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntunnya. Maka, dengan sabar dan telatennya, suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas yang penghabisan, ia menyaksikan pahala amal shalihnya itu. Lalu ia pun berkata, ‘Andaikata lebih panjang lagi.’ Maksudnya adalah andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti pahalanya akan jauh lebih besar pula.”

Semua anggota keluarga itu sekarang mengangguk-angguk kepalanya. Mulai mengerti sebagian duduk perkara. “Terus, ucapan yang lainnya, ya Rasulullah?” tanya sang istri yang semakin penasaran saja.

Nabi menjawab, “Adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi sekali untuk shalat Subuh, cuaca dingin sekali. Di tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan. Kebetulan suaminya membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia pun mencopot mantelnya yang lama yang tengah dikenakannya dan diberikan kepada si lelaki tua itu. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, ‘Coba, andaikata yang masih baru yang kuberikan kepadanya, dan bukannya mantelku yang lama yang kuberikan kepadanya, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi.’ Itulah yang dikatakan suami selengkapnya.”

“Kemudian, ucapan yang ketiga, apa maksudnya ya Rasulullah?” tanya sang istri lagi.

Dengan penuh kesabaran, Rasulullah menjelaskan, “Ingkatkah engkau ketika pada suatu waktu suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Ketika itu engkau segera menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur daging dan mentega. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong. Yang sebelah diberikannya kepada musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalnya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata, ‘Kalau aku tahu begini hasilnya, musafir itu tidak akan kuberi hanya separuh. Sebab, andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti pahalaku akan berlipat ganda pula.’”

Sekarang, semua anggota keluarga mengerti. Mereka tak lagi risau dengan apa yang telah terjadi kepada suami dan ayah mereka ketika akan menjelang wafatnya. Kelapangan telah ia dapatkan karena ia tidak sungkan untuk menolong dan memberi.

Minggu, 19 Desember 2010

Ikrimah Bin Abu Jahal

Abu Ishaw As-Ayabi'i meriwayatkan, ketika Rasulullah SAW berhasil menaklukkan kota Makkah, maka Ikrimah berkata: "Aku tidak akan tinggal di tempat ini!" Setelah berkata demikian, dia pun pergi berlayar dan memerintahkan supaya istrinya membantunya.

Akan tetapi isterinya berkata: "Hendak kemana kamu wahai pemimpin pemuda Quraisy?" Apakah kamu akan pergi kesuatu tempat yang tidak kamu ketahui?" Ikrimah pun melangkahkan kakinya tanpa sedikitpun memperhatikan perkataan istrinya.

Ketika Rasulullah SAW bersama para sahabat lainnya telah berhasil menaklukkan kota Makkah, maka kepada Rasulullah isteri Ikrimah berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya Ikrimah telah melarikan diri ke negeri Yaman karena ia takut kalau-kalau kamu akan membunuhnya. Justru itu aku memohon kepadamu supaya engkau berkenan menjamin keselamatannya."

Rasulullah SAW menjawab: "Dia akan berada dalam keadaan aman!" Mendengar jawaban itu, istri Ikrimah memohon diri dan pergi untuk mencari suaminya.


Akhirnya dia berhasil menemukannya di tepi pantai yang berada di Tihamah. Ketika Ikrimah menaiki kapal, maka orang yang mengemudikan kapal tersebut berkata kepadanya: "Wahai Ikrimah, ikhlaskanlah saja!"

Ikrimah bertanya: "Apakah yang harus aku ikhlaskan?"

"Ikhlaskanlah bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan akuilah bahwa Muhammad adalah utusan Allah!" Kata pengemudi kapal itu.

Ikrimah menjawab: "Tidak, justru aku melarikan diri adalah karena ucapan itu."

Selepas itu datanglah istrinya dan berkata: "Wahai Ikrimah putra bapak saudaraku, aku datang menemuimu membawa pesan dari orang yang paling utama, dari manusia yang paling mulia dan manusia yang paling baik. Aku memohon supaya engkau jangan menghancurkan dirimu sendiri. Aku telah memohonkan jaminan keselamatan untukmu kepada Rasulullah SAW."

Kepada istrinya Ikrimah bertanya: "Benarkah apa yang telah engkau lakukan itu?"

Istrinya menjawab: "Benar, aku telah berbicara dengan Rasulullah dan Rasulullah pun akan memberikan jaminan keselamatan atas dirimu."

Begitu mendengar berita gembira dari isterinya, pada malam harinya Ikrimah bermaksud untuk melakukan persetubuhan dengan isterinya, akan tetapi isterinya menolaknya sambil berkata: "Engkau orang kafir, sedangkan aku orang Muslim."

Kepada isterinya Ikrimah berkata: "Penolakanmu itu adalah masalah besar bagi diriku."

Tidak lama selepas Ikrimah bertemu dengan isterinya, mereka pulang kembali. Mendengar berita bahwa Ikrimah sudah pulang, Rasulullah SAW segera ingin menemuinya. Karena rasa kegembiraan yang tidak terkira, sehingga Rasulullah SAW sampai memakai serbannya.

Setelah bertemu dengan Ikrimah, beliau pun duduk. Ketika itu Ikrimah berserta dengan istrinya berada di hadapan Rasulullah SAW Ikrimah lalu berkata: "Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah."

Mendengar ucapan Ikrimah itu, Rasulullah SAW sangat merasa gembira, selanjutnya Ikrimah kembali berkata: "Wahai Rasulullah, ajarkanlah sesuatu yang baik yang harus aku ucapkan."

Rasulullah SAW menjawab: "Ucapkanlah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya".
Ikrimah kembali bertanya: "Selepas itu apa lagi?"
Rasulullah menjawab: "Ucapkanlah sekali lagi, aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya."

Ikrimah pun mengucapkan apa yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW selepas itu baginda bersabda: "Jika sekiranya pada hari ini kamu meminta kepadaku sesuatu sebagaimana yang telah aku berikan kepada orang lain, niscaya aku akan mengabulkannya."

Ikrimah berkata: "Aku memohon kepadamu ya Rasulullah, supaya engkau berkenan memohonkan ampunan untukku kepada Allah atas setiap permusuhan yang pernah aku lakukan terhadap dirimu, setiap perjalanan yang aku lalui untuk menyerangmu, setiap yang aku gunakan untuk melawanmu dan setiap perkataan kotor yang aku katakan di hadapan atau di belakangmu."

Maka Rasulullah SAW pun berdoa: "Ya Allah, ampunilah dosanya atas setiap permusuhan yang pernah dilakukannya untuk bermusuh denganku, setiap langkah perjalanan yang dilaluinya untuk menyerangku yang tujuannya untuk memadamkan cahaya-Mu dan ampunilah dosanya atas segala sesuatu yang pernah dilakukannya baik secara langsung di depanku maupun di belakangku."

Alangkah senangnya hati Ikrimah mendengar doa yang dipanjatkan oleh Rasulullah SAW, saat itu juga ia berkata: "Ya Rasulullah! Aku bersumpah demi Allah, aku tidak akan membiarkan satu dinar pun biaya yang pernah aku gunakan untuk melawan agama Allah, melainkan akan aku ganti berlipat ganda demi membela agama-Nya. Begitu juga setiap perjuangan yang dahulu aku lakukan untuk melawan agama Allah, akan aku ganti dengan perjuangan yang berlipat ganda demi membela agama-Nya, aku akan ikut berperang dan berjuang sampai ke titisan darah yang terakhir."

Demikianlah keadaan Ikrimah, setelah ia memeluk Islam, ia sentiasa ikut dalam peperangan hingga akhirnya ia terbunuh sebagai syahid. Semoga Allah berkenan melimpahkan kurnia dan rahmat-Nya kepada Ikrimah.

Dalam riwayat yang lain pula diceritakan, bahwa ketika terjadinya Perang Yarmuk, Ikrimah juga ikut serta berperang sebagai pasukan perang yang berjalan kaki, pada waktu itu Khalid bin Walid mengatakan: "Jangan kamu lakukan hal itu, karena bahaya yang akan menimpamu lebih besar!" Ikrimah menjawab: "Karena kamu wahai Khalid telah terlebih dahulu ikut berperang bersama Rasalullah SAW, maka biarlah hal ini aku lakukan!"

Ikrimah tetap meneruskan niatnya, hingga akhirnya ia gugur di medan perang. Pada waktu Ikrimah gugur, ternyata di tubuhnya terdapat lebih kurang tujuh puluh luka bekas tikaman pedang, tombak dan anak panah.

Abdullah bin Mas'ud pula berkata: Di antara orang-orang yang termasuk dalam barisan Perang Yarmuk adalah Haris bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amar. Di saat-saat kematian mereka, ada seorang sahabat yang memberinya air minum, akan tetapi mereka menolaknya.

Setiap kali air itu akan diberikan kepada salah seorang dari mereka yang bertiga orang itu, maka masing-masing mereka berkata: "Berikan saja air itu kepada sahabat di sebelahku." Demikianlah keadaan mereka seterusnya, sehingga akhirnya mereka bertiga menghembuskan nafas yang terakhir dalam keadaan belum sempat meminum air itu.

Dalam riwayat yang lain pula ditambahkan: "Sebenarnya Ikrimah bermaksud untuk meminum air tersebut, akan tetapi pada waktu ia akan meminumnya, ia melihat ke arah Suhail dan Suhail pun melihat ke arahnya pula, maka Ikrimah berkata: "Berikanlah saja air minum ini kepadanya, barangkali ia lebih memerlukannya daripadaku."

Suhail pula melihat kepada Haris, begitu juga Haris melihat kepadanya. Akhirnya Suhail berkata: "Berikanlah air minum ini kepada siapa saja, barangkali sahabat-sahabatku itu lebih memerlukannya daripadaku."

Begitulah keadaan mereka, sehingga air tersebut tidak seorangpun di antara mereka yang dapat meminumnya, sehingga mati syahid semuanya. Semoga Allah melimpahkan kurnia dan rahmat-Nya kepada mereka bertiga.

Hari Sabtunya Orang Yahudi

Dan tanyakanlah kepada Bani Israel tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.

Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: "Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?" Mereka menjawab: "Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa".

Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang lalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.

Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: "Jadilah kamu kera yang hina". Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu memberitahukan, bahwa sesungguhnya Dia akan mengirim kepada mereka (orang-orang Yahudi) sampai hari kiamat orang-orang yang akan menimpakan kepada mereka azab yang seburuk-buruknya.

Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). (Al-A'Raaf: 63-68)

Kisah ini menceritakan tentang sebuah desa orang-orang Yahudi yang terletak di pesisir lautan, yaitu sebuah desa pesisir di antara desa-desa yang mereka diami. Orang-orang Yahudi setempat telah diperintahkan Allah untuk tidak berburu dan menangkap ikan pada hari Sabtu dan mereka dibolehkan untuk menangkap pada hari-hari lain dalam sepekan.

Allah telah menguji mereka dengan kewajiban ini, di mana ikan-ikan itu menjauhi mereka dan jarang ditemui pada hari-hari dibolehkannya menangkap ikan, sementara pada hari Sabtu ikan-ikan itu justru banyak mendatangi mereka dengan terapung-apung di sekitar mereka.

Setan pun membisiki hati sekelompok orang dari penduduk desa dan membujuk mereka untuk menangkap ikan. Akan tetapi, bagaimana caranya mereka dapat mengelak dari perintah Allah tersebut? Setan menunjukkan alibi, cara tipu daya, serta membimbing mereka kiat agar dapat menangkap ikan pada hari Sabtu.

Penduduk desa itu terbagi menjadi dua kelompok dalam menghadapi kelompok yang melanggar batas tersebut. Kelompok pertama adalah orang-orang saleh dari para dai yang menjalankan kewajiban mereka dalam dakwah dan memprotes orang-orang yang mengakali perintah-perintah Allah dengan berbagai alibi, pelanggaran, dan perburuan mereka pada hari Sabtu.

Kelompok kedua adalah orang-orang yang berdiam diri, yang diam melihat pelanggaran orang-orang yang melampaui batas, dan mereka justru melontarkan celaan dan penentangan terhadap orang-orang saleh yang berdakwah, dengan alasan bahwa tidak ada manfaatnya menasihati dan memperingatkan sekelompok orang yang memang sudah sepantasnya binasa dan akan mendapat azab.

Orang-orang saleh itu menjelaskan kepada orang-orang yang mencela mereka dan mendiamkan kemungkaran itu bahwa mereka memprotes kemungkaran itu dengan tujuan melepaskan tanggung jawab di hadapan Allah dan demi menunaikan kewajiban serta agar mereka mau bertakwa.

Ketika azab Allah menimpa orang-orang yang melampaui batas itu, maka Allah mengubah wujud mereka menjadi monyet-monyet hina. Perubahan bentuk wujud itu memang terjadi sesungguhnya. Tidak lama setelah berubah wujud menjadi monyet yang tidak mempunyai keturunan, mereka akhirnya mati.

Allah menyelamatkan orang-orang saleh para dai itu. Sementara itu, Al-Quran tidak menjelaskan nasib orang-orang yang diam, barangkali karena mereka tidak berarti dan hina di mata Allah. Karena mereka tidak disebutkan bersama orang-orang yang selamat maka tampaknya mereka termasuk orang-orang yang binasa dan terkutuk.