Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Rabu, 10 Maret 2010

Khalifah Membantu Proses Persalinan

Amirul Mukminin Umar bin Khaththab r.a mempunyai kebiasaan berkeliling di malam hari untuk melihat kondisi rakyatnya dengan cara menyusuri tiap rumah rakyatnya. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada kemah tua yang berdiri di tengah tanah lapang. Padahal, sebelumnya belum ada kemah tersebut, lalu sang Khalifah pun mendekatinya.

Sayup-sayup terdengar rintihan wanita yang menangis karena menahan sakit. Suara itu makin jelas ketika Umar r.a makin dekat menuju kemah tua itu. Di depan kemah, seorang lelaki duduk dengan gelisah dan tampak jelas kegalauan di raut wajahnya.

Amirul Mukminin menyapa dan menanyakan keadaannya. Lelaki itu menjawab, "Saya adalah orang asing yang datang dari sebuah hutan. Di dalam tenda istri saya sedang menahan sakit karena akan melahirkan anak kami. Saya berharap belas kasihan dari Amirul Mukminin. Akan tetapi, saya ragu dia akan membantu kami!"

"Izinkanlah aku membantumu!" Umar r.a menawarkan bantuan kepadanya.

Orang tersebut tidak mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan Amirul Mukminin. la pun menolak mentah-mentah tawaran tersebut, "Apa yang dapat kau lakukan untuk kami? Sudahlah, uruslah urusanmu sendiri."

Sang khalifah pun bergegas meninggalkan tempat tersebut. Bukan kesal karena penolakan tersebut. Namun, ia menuju rumah menemui istrinya, Ummu Kultsum r.a, untuk meminta bantuannya. Ia berkata kepada istrinya, "Istriku. Sesungguhnya Allah SWT telah membuka jalan bagimu, yaitu jalan mulia di sisi Allah SWT agar kamu mendapat peluang untuk mendapat pahala malam ini."

"Apa maksudmu, wahai Amirul Mukminin?" tanya Ummu Kultsum r.a. penasaran.

Umar r.a menjelaskan tentang apa yang ditemuinya tadi, "Istriku, di ujung sebelah sana terdapat sebuah kemah tua yang penghuninya datang dari hutan. Di dalam kemah tersebut terdapat wanita yang menahan sakit karena hendak melahirkan. Tidak ada seorang pun yang merawatnya di sana."

Menanggapi cerita sang suami, Ummu Kultsum r.a. menangkap permintaan suaminya, "Suamiku, aku bersedia merawatnya karena kewajibanku adalah menyempurnakan hasrat dan kesucian hati suamiku."

Ummu Kultsum r.a segera mempersiapkan alat-alat yang diperlukan termasuk air hangat. Mereka berdua bergegas menuju kemah tua tersebut. Sementara itu, Ummu Kultsum r.a membantu persalinan sang ibu di dalam kemah, Umar r.a memasakkan makanan di luar kemah untuk kedua musafir tersebut.

Suara tangisan bayi yang syahdu terdengar lembut di telinga membuncahkan kebahagiaan bagi mereka yang ada di situ. Ummu Kultsum r.a keluar dari kemah sambil menggendong si jabang bayi dan memanggil suaminya, "Wahai Amirul Mukminin, ucapkanlah tahniah (doa keselamatan) tanda kesyukuranmu untuk saudaramu ini karena telah melahirkan anak lelaki!"

Sungguh terkejut orang tersebut ketika orang yang sedang memasak di hadapannya dipanggil Amirul Mukminin. Benar-benar ia tidak menyangka bahwa seorang Amirul Mukminin hidup dalam kebersahajaan, tidak tampak tanda-tanda kemewahan dalam penampilannya, kecuali kekayaan hatinya yang terpancar dari sikapnya sehingga bersedia dengan susah payah menolong orang miskin seperti dirinya.

Lelaki tersebut segera meminta maaf sambil berterima kasih. Umar r.a menjawab, "Tidak usah sungkan, janganlah kedudukanku ini membebani perasaanmu."

Umar r.a menyodorkan makanan yang baru dimasaknya kepada lelaki tersebut dan kepada Ummu r.a untuk dibawa ke dalam kemah dan disuguhkan kepada istri lelaki itu.

Setelah semua tertangani, Umar r.a beserta istri berpamitan seraya berkata, "Datanglah menemuiku besok, insya Allah, aku akan menolongmu."

Aku adalah Pelayanmu

Siang hari yang terik menggersangkan padang pasir di seluruh penjuru kota. Tidak seorang pun yang kuat menahan panasnya. Unta-unta pun berteduh di bawah bayangan masjid.

Lewatlah sesosok lelaki yang berjalan terburu-buru sambil menutup mukanya menembus panas terik dan angin berdebu. Mungkinkah ia lelaki asing yang sedang mencari tempat berlindung?

Tidak lama kemudian lelaki itu kembali lagi menantang terik matahari yang menyengat. Namun, kali ini ia menyeret seekor sapi yang enggan melakukan perjalanan sulit tersebut. Utsman bin Affan r.a yang mengamati keseluruhan peristiwa sejak awal dari jendela rumahnya tergerak untuk menolong orang tersebut.

Sungguh tak habis pikir, di saat orang lain beristirahat di dalam rumah yang teduh dan hewan-hewan piaraan memilih untuk bermalas-malasan, tetapi orang ini rela berpanas-panasan. Ada apa gerangan? Siapakah orang itu? Semua pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Utsman r.a.

Ketika Utsman r.a. menyapa orang tersebut, betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa lelaki yang sedang kesusahan di hadapannya adalah Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab r.a. Utsman r.a pun segera menyambutnya dan bertanya, "Apa yang kau lakukan, wahai Amirul Mukminin?"

"Tidakkah kaulihat aku sedang menyeret sapi?" jawab Umar r.a.

Sebenarnya bukan jawaban itu yang diharapkan Utsman r.a. Sudah tentu ia mengetahui sahabatnya sedang menyeret sapi, tetapi mengapa ia melakukannya di siang terik? Bukanlah karakter sahabatnya jika mengkhawatirkan harta bendanya hingga seperti ini. Utsman r.a kembali bertanya, "Mengapa kau menggiring sapi itu di siang terik seperti ini? Begitu mendesakkah keadaanmu?"

Umar r.a kembali menjelaskan, "Ini adalah salah satu sapi sedekah kepunyaan anak-anak yatim yang tiba-tiba terlepas dari kandangnya dan lari ke jalanan. Aku langsung mengejarnya dan alhamdulillah dapat kutangkap!"

Utsman r.a tersentak mendengar jawaban sang Amirul Mukminin, "Tidakkah ada orang lain yang dapat melakukan pekerjaan itu? Bukankah kau seorang khalifah? Kau bisa menyuruh orang lain untuk melakukannya?" tanya Utsman r.a.

Umar r.a menggeleng dan berkata tegas, "Apakah orang itu bersedia menanggung dosaku di hari perhitungan kelak? Maukah ia memikul tanggung jawabku di hadapan Allah? Kekuasaan itu adalah amanah bukan kehormatan."

"Berisitirahatlah dulu di tempatku hingga panas meredup, lalu kau bisa melanjutkan perjalananmu," tawar Utsman r.a dengan hati bergetar setelah mendengar penjelasan sang Khalifah.

"Kembalilah ke tempatmu bernaung, sahabatku. Biarkan aku menyelesaikan kewajibanku." Umar r.a kembali menyeret sapinya sambil terseok-seok menempuh perjalanan di bawah terik matahari.

Utsman r.a. hanya bisa memandangi sahabatnya berlalu dari hadapannya dengan rasa haru mendalam. "Engkau adalah cerminan seorang pemimpin negara. Dan kau memberi contoh yang sulit diikuti oleh penerusmu," gumamnya.

Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Ali bin Abi Thalib r.a mendapati Amirul Mukminin Umar bin Khaththab r.a berjalan terburu-buru di Medinah. Ia bertanya kepada Umar r.a, "Hendak ke mana, wahai Amirul Mukminin?"

Sambil terus berjalan, Umar r.a menjawab singkat, "Seekor unta sedekah kabur!"

"Tidak adakah orang lain yang bisa mencarinya selain dirimu?" tanya Ali r.a.

Kemudian Umar r.a menjawab, "Demi Allah yang mengutus Muhammad dengan kebenaran. Seandainya ada seekor kambing kabur ke sungai Efrat, Umar-lah yang akan dimintai pertanggungjawaban atasnya di akhirat kelak!"

Ali r.a. berkata, "Kau telah memberikan teladan yang melelahkan bagi penerusmu."

Pada riwayat yang lain dikisahkan pula bahwa di musim panas yang terik membakar tanah padang pasir dan mengembuskan angin kering, utusan dari Irak yang dipimpin oleh Ahnaf bin Qais r.a mendatangi Umar bin Khaththab r.a.

Mereka mendapati Amirul Mukminin tengah melepas sorban dan berbalut selendang untuk mengurus unta sedekah. Salah seorang dari utusan tersebut berkata, "Tidakkah sebaiknya engkau memerintahkan seorang hamba sahaya untuk mengurus unta sedekah sehingga engkau tidak perlu melakukan hal ini?"

Umar r.a menjawab dengan rendah hati, "Hamba mana yang lebih menghamba daripadaku? Barangsiapa yang memegang wewenang atas urusan kaum muslimin, ia bertanggung jawab atas mereka. la memiliki kewajiban atas mereka sebagaimana kewajiban seorang hamba kepada tuannya, yaitu memberi nasihat dan menyampaikan amanat!"

Milikku, Urusanku

Suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab r.a. hendak menengok sahabatnya yang sedang sakit. la pun menyewa kendaraan untuk pergi ke tempat sahabatnya itu.

Di tengah perjalanan, sorban Umar r.a tersangkut di sebuah ranting pohon, tetapi ia tidak menyadarinya. Setelah berjalan agak jauh, seseorang memberitahunya, "Wahai Amirul Mukminin! Sorbanmu tersangkut di pohon itu!" sambil menunjuk ke arah pohon yang dimaksud.

Umar r.a. langsung menghentikan kendaraannya dan turun untuk mengambil sorbannya dengan berjalan kaki.

Sekembalinya dari mengambil sorban, pelayan yang membawa kendaraannya bertanya kepada Umar r.a, "Mengapa Tuan tidak menyuruh saya untuk membelokkan kendaraan ini agar Tuan tidak usah berjalan kaki?"

"Kau dan kendaraan yang aku sewa ini hanya untuk perjalanan dari rumahku menuju rumah sahabatku. Tidak ada perjanjian sebelumnya untuk berputar mengambil sorbanku yang tersangkut ranting pohon," jawab Umar r.a santai.

"Tetapi kau adalah khalifah, Tuan berhak menyuruhku untuk mengambil sorban itu," ujar pelayan membantah pernyataan khalifahnya.

"Sorban yang tersangkut adalah milikku dan bukan kepunyaanmu. Mengapa aku harus menyuruhmu? Apakah kaupikir seorang khalifah memiliki wewenang untuk menyuruh orang melakukan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan tugasku?"

Pelayan itu terdiam seribu bahasa mendengar penjelasan khalifah yang begitu rendah hati.

Lebih Baik Meminjam Darimu

Suatu hari Khalifah Umar bin Khaththab r.a mendatangi Abdurrahman bin Auf r.a untuk meminjam uang sebesar 400 dirham. Tentu saja hal ini membuat Abdurrahman r.a heran karena sahabatnya adalah Amirul Mukminin yang memegang kunci Baitul Mal dan tidak sulit untuk meminjam harta dari sana, lalu mengembalikannya.

Ia pun meminta penjelasan Umar r.a dengan bertanya, "Mengapa kau bersusah payah mendatangiku untuk meminjam uang? Bukankah kau memegang kunci Baitul Mal sehingga kau bisa meminjam dari sana dan mengembalikannya nanti?"

Umar r.a menjawab, "Aku tidak mau meminjam dari Baitul Mal karena aku tidak tahu kapan maut menjemputku. Jika aku mati dalam keadaan berutang pada Baitul Mal, kau dan seluruh kaum muslimin akan menuntutku sehingga kebaikanku akan dikurangi di hari kiamat. Sedangkan, jika aku meminjam darimu dan sesuatu menimpaku, kau dapat menagih utangmu pada ahli warisku."

Teladan Pemimpin

Perluasan wilayah Islam dilakukan dengan penaklukan raja-raja nonmuslim yang menentang dengan peperangan. Banyak raja nonmuslim yang takluk atas keberanian dan ketangguhan pasukan muslim. Salah satu raja yang takluk pada pasukan muslim adalah Raja Kisra.

Setelah mengetahui bahwa pasukan muslim berhasil mengalahkan pasukannya yang tangguh, Raja Kisra panik dan meninggalkan istananya. Sa'ad bin Abi Waqqash r.a beserta pasukan masuk ke dalam istana tanpa alas kaki.

Begitu mewah dan indah situasi di dalam istana. Lantainya beralaskan permadani yang menghanyutkan kaki penginjaknya hingga sirna seluruh letih dan penat di tubuh. Dinding dan perabotan indah mencerminkan keanggunan, kemewahan, dan kemegahan istana. Pasukan muslimin dibuat terpesona olehnya, termasuk Sa'ad r.a. Kini semua kemewahan itu ditinggalkan oleh pemiliknya dan menjadi hak kaum muslimin.

Sa'ad r.a membacakan firman Allah SWT, "Betapa banyak taman-taman dan mata air-mata air yang mereka tinggalkan, juga kebun-kebun serta tempat-tempat kediaman yang indah, dan kesenangan-kesenangan yang dopat mereka nikmati di sana, demikianlah, dan Kami wariskan (semua) itu kepada kaum yang iain. Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi penangguhan waktu." (QS. Ad-Dukhan [44]: 25-29)

Ketika waktu shalat tiba dan azan dikumandangkan untuk yang pertama kalinya di Istana Kerajaan Kisra, sirnalah segala bentuk kemusyrikan. Termasuk api di aula utama istana yang dijadikan sesembahan masyarakat Kerajaan Kisra yang beragama Majusi telah dipadamkan untuk selama-lamanya.

Usai melaksanakan shalat jamaah, Sa'ad r.a membagi-bagikan harta rampasan perang kepada pasukannya dan sebagian lagi dikirimkan kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab r.a, untuk disimpan di Baitul Mal.

Menerima harta rampasan yang berlimpah itu, Umar r.a. berkata kepada Ali bin Abi Thalib r.a. yang saat itu sedang bersamanya, "Orang yang mau mengirimkan ini kepada kami sudah tentu orang-orang yang tinggi amanahnya."

Ali r.a. menanggapi pernyataan Amirul Mukminin, "Ya, karena engkau telah bersikap amanah terhadap rakyat sehingga rakyat pun meneladani sikapmu. Sekiranya engkau berkhianat, tentu mereka pun akan berbuat yang serupa."

Tak lama setelah penaklukan itu, seluruh warga Irak dan Iran (penduduk negeri Persia) masuk agama Islam dan menjadi kaum muslim yang baik dengan izin Allah Ta'ala.