Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Sabtu, 20 Maret 2010

Ketaatan Anak Saleh

Ismail a.s tumbuh menjadi remaja yang tampan. Di usianya yang masih belia, tampak kelembutan hati dan kebijaksanaan terpancar dari wajahnya. Saat-saat bahagia ia rasakan ketika Allah SWT mempertemukan kembali dengan ayahnya yang telah terpisah selama bertahun-tahun.

Meskipun sebenarnya hal itu bukan kehendak sang ayah untuk meninggalkan Ismail bayi dan sang istri di sebuah padang gersang dan tandus di masa lampau. Justru pada saat itu hati Ibrahim a.s sedang terpaut cinta yang dalam kepada putra semata wayangnya tersebut.

Kini ayah dan anak dipersatukan kembali oleh Allah. Ismail a.s merasakan kembali curahan cinta dan kasih sayang seorang ayah. Akan tetapi, belum lama mereka melepas rindu dan kasih sayang, Allah SWT menurunkan perintah selanjutnya.

Ibrahim a.s bermimpi menyembelih putra semata wayangnya yang begitu ia cintai. Tentu saja mimpi itu membuatnya bimbang karena ayah mana yang tega membunuh putra tercintanya. Benarkah mimpi itu datang dari Allah SWT atau hanyalah tipu daya setan terkutuk?

Ketika Allah SWT meyakinkan bahwa mimpi itu benar dan itu adalah perintah yang harus dijalankan, tanpa bertanya lagi Ibrahim a.s langsung mematuhinya. Ibrahim a.s menyampaikan perintah Allah SWT ini kepada putranya, Ismail.

Dialog antara mereka berdua ini diabadikan dalam Al-Qur'an, "Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, "Wahai anakku! Sesungsuhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!" Dia (Ismail) menjawab, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar." (QS Ash-Shaffat [37]: 102)

Subhanallah, kecintaan mereka kepada Allah SWT melahirkan ketaatan yang tulus dan murni. Ismail a.s tanpa ragu siap mempertaruhkan nyawanya jika memang itu yang dikehendaki Allah SWT.

Keduanya beranjak ke sebuah tempat untuk melaksanakan perintah Allah SWT itu. Ibrahim a.s menatap putranya untuk terakhir kali. Ismail merebahkan tubuhnya dengan wajah menghadap ke tanah. Dalam posisi tersebut, sang ayah tidak akan melihat wajah anaknya yang kesakitan, sedangkan bagi Ismail, ia tidak akan melihat prosesi penyembelihan dirinya.

Tatkala pisau akan ditebaskan di leher Ismail, Allah SWT memiliki rencana lain. Atas kehendak-Nya, Ismail diganti dengan seekor domba yang besar. Kesabaran mereka sungguh sangat teruji. Mereka benar-benar bisa melaksanakan perintah Allah dengan penuh kesabaran.

Selanjutnya Allah SWT mengabarkan kisah mereka dalam Al-Qur'an, "Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, "Wahai Ibrahim! sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu." Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, "Selamat sejahtera bagj Ibrahim." Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS Ash-Shaffat [37]: 103-110)

Jumat, 19 Maret 2010

Sebuah Penantian yang Panjang

Sebelum Muhammad diutus menjadi rasul, beliau mengadakan transaksi dengan seseorang yang bernama Abdullah bin Abi Khansa. Pada transaksi itu ternyata ada sisa barang yang harus Abdullah kembalikan kepada Muhammad. Akhirnya, mereka menyepakati untuk bertemu di sebuah tempat pada waktu yang telah ditentukan.

Malang bagi Muhammad, ternyata Abdullah lupa akan janji tersebut. Ia baru ingat keesokan harinya dan ia merasa tidak perlu bertemu Muhammad saat itu karena pikirnya, Muhammad pasti sudah kembali pulang.

Ia berpikir akan langsung ke rumah Muhammad untuk mengantar barang sekaligus meminta maaf akan kekhilafannya. Ia pun berencana pergi keesokan harinya.

Dua hari berlalu dari hari yang telah disepakati, Abdullah berangkat dari rumahnya menuju kediaman Muhammad. Untuk mencapai rumah Muhammad, ia melewati jalan yang dijadikan tempat pertemuan antara dia dan Muhammad dua hari yang lalu.

Alangkah kagetnya ketika ia melihat Muhammad berada di tempat itu. Muhammad tampak sedang menunggu seseorang. "Apakah ia masih menungguku? Ah, tidak mungkin. Janji itu sudah lewat dua hari yang lalu. Mungkin dia sedang menunggu orang lain," pikir Abdullah.

Ia pun segera mendekati Muhammad untuk menyelesaikan urusannya. Muhammad menyambutnya dengan senyum lebar sambil berkata, "Wahai pemuda, kau telah menyusahkan aku. Ketahuilah, aku telah berada di sini selama tiga hari menunggumu!"

Betapa terkejutnya Abdullah mendengar penjelasan Muhammad. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa Muhammad akan menunggunya selama tiga hari demi menepati janji. Jika ia tahu, tentunya ia akan langsung ke tempat itu tanpa mengulur-ulur waktu lebih lama saat ia sadar akan kekhilafannya.

Penjaga Malam

Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. hendak bermalam di sebuah tempat sepulangnya dari peperangan. Beliau dan pasukannya mendirikan perkemahan di sana. Ammar bin Yasir r.a dari kaum Muhajirin dan Abbad bin Bashir r.a dari golongan Anshar menawarkan diri untuk menjaga kemah Rasulullah saw.

Mereka pun berjaga di puncak bukit yang kemungkinan akan dilalui oleh musuh. Abbad r.a berkata kepada Ammar r.a, "Bagaimana kalau kita berjaga secara bergiliran? Sekarang aku yang berjaga dan kamu boleh tidur. Berikutnya giliran kamu yang berjaga dan aku yang tidur."

Ammar r.a menyetujuinya, lalu merebahkan diri dan langsung terlelap dengan nyenyaknya. Sambil berjaga, Abbad r.a melaksanakan shalat. Tiba-tiba sebatang anak panah musuh menancap di tubuhnya. Disusul dengan dua anak panah berikutnya.

Ia pun segera menyelesaikan shalatnya, lalu mencabut ketiga anak panah tersebut. Setelah itu, ia membangunkan sahabatnya yang tertidur, "Hai, Ammar! Bangunlah, ada musuh!"

Mereka berdua pun menembus kegelapan malam mencari musuh penembak anak panah tersebut. Namun, mereka kalah cepat. Musuh telah lebih dahulu kabur.

Situasi pun aman kembali. Ammar r.a terkejut ketika menyadari bahwa tubuh Abbad r.a sudah berlumuran darah. Ia pun bertanya kepada Abbad r.a, "Subhanallah, mengapa kamu tidak membangunkanku?"

Abbad r.a menjelaskan peristiwa yang menimpanya, "Ketika aku berjaga, aku melaksanakan shalat dan tengah membaca Surat Al-Kahfi. Aku tidak akan ruku' sebelum menyelesaikan bacaan surat itu. Namun, ketika aku merasa anak panah ketiga menembus tubuhku, aku khawatir dengan keselamatan Rasulullah saw. Lalu, aku segera menyelesaikan shalatku dan membangunkanmu. Jika tidak, sudah pasti aku akan menamatkan bacaan surat tersebut sebelum ruku' meskipun aku akan mati tertancap panah musuh."

Kehormatan Menunaikan Amanah

Pada masa jahiliah hiduplah seorang penyair bernama Umru'ul Qais keturunan kerajaan Kindah yang memiliki julukan Penyair Emas. Syair-syairnya sangat tajam mengkritik pemerintahan baru Kerajaan Kindah yang zalim. Ia pun berencana pergi ke Romawi untuk meminta bantuan dan perlindungan dari kezaliman Raja Kindah.

Sebelum berangkat, ia menitipkan tameng, persenjataan, dan barang-barang berharga lain yang nilainya sangat besar kepada Samuel sesama penyair. Qais berpesan agar jika terjadi sesuatu padanya, barang-barang tersebut hanya boleh diserahkan kepada ahli warisnya.

Konon dalam perjalanannya, Qais dibunuh oleh utusan Raja Kindah dengan cara diracun hingga nyawanya pun berakhir. Kemudian Raja Kindah menyuruh pengawalnya untuk mengambil barang-barang milik Qais dari tangan Samuel.

Akan tetapi, Samuel tidak mengizinkannya karena sudah mendapat amanah dari Qais. Segala upaya digencarkan para pengawal Raja Kindah agar barang-barang milik Qais diserahkan, mulai dari membujuk, menjanjikan imbalan, sampai mengancam. Namun, upaya tersebut tidak membuat Samuel melanggar janji dan mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadanya.

Perilaku Samuel membuat Raja Kindah sangat geram. la pun menggunakan cara paling keras dengan mengirim tentara-tentaranya untuk menyerang Samuel dan putranya. Akan tetapi, Samuel tidak gentar. Untuk menghindari serangan tentara-tentara tersebut, Samuel berlindung di dalam benteng yang kukuh. Sementara itu, putranya melindungi ayahnya di depan benteng.

Raja zalim itu tidak kehabisan akal. Ditangkaplah putra Samuel yang melawan puluhan tentara seorang diri untuk dijadikan tawanan. Kemudian Raja memanggil Samuel untuk melihat putranya terakhir kali.

Samuel segera menuju ke atas benteng dan menyaksikan anaknya diseret dalam keadaan terikat. Raja mengancam Samuel jika masih bersikukuh tidak mau memberi barang-barang yang ia minta, anaknya akan dibunuh di hadapannya.

Ayah mana yang rela melihat anaknya menderita, apalagi jika harus mati dengan cara mengenaskan seperti itu. Akan tetapi, Samuel dengan lantang berkata, "Aku tidak akan pernah mengkhianati janji dan melanggar sumpah. Apa pun yang akan kaulakukan, tidak akan mengubah pendirianku!"

Setelah berkata demikian, putranya dibunuh di depan matanya sendiri. Bayangkan apa yang ia rasakan kini. Tiada lagi putra kesayangan yang menemani hidupnya. Semua ia lakukan demi mempertahankan amanah hingga ia harus mengorbankan putranya sendiri.

Misi penyerangan akhirnya gagal dan kali ini raja zalim itu benar-benar kehabisan akal. Mereka pun pulang meninggalkan benteng tanpa membawa hasil yang mereka inginkan.

Suatu hari anak-anak Umru'ul Qais selaku ahli waris mendatangi Samuel. la pun menyerahkan semua barang titipan Qais kepada mereka. Tidak ada dendam atau tuntutan dari Samuel atas pengorbanan yang telah ia lakukan demi menjaga warisan ayahnya. Semua ia lakukan dengan tulus. la pun menggubah syair tentang dirinya:

Kupenuhi janji
Meski getir kuhadapi
Kezaliman raja nan dengki
Meskipun orang mengkhianati
Aku tetap menepati
Sebab, kehormatan lebih aku hormati

Mewakafkan Kebun karena Lalai

Di dalam kebun yang rindang, Abu Thalhah r.a menundukkan dirinya dalam kekhusyu'an shalat kepada Allah SWT. Tanpa ia sadari, kekhusyu'annya terusik oleh seekor burung indah yang bermain di antara rerimbunan pepohonan.

Matanya mengikuti gerakan burung tersebut yang melompat-lompat dari satu ranting ke ranting lainnya. Akhirnya, ia pun lupa akan jumlah rakaat shalat yang telah dijalaninya.

Penyesalan luar biasa menyergap dirinya. Setelah menyelesaikan shalat, Abu Thalhah r.a bergegas menemui Rasulullah saw dan menyatakan penyesalannya, "Wahai Rasulullah, aku telah tertimpa musibah karena kebunku ini. Oleh karena itu, kebun ini kuserahkan kepada Allah. Atau, jika kau menghendaki, gunakanlah sesuai keinginanmu"