Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Jumat, 02 April 2010

Berbohong karena Terpaksa

Keluarga Yasir termasuk orang-orang yang pertama kali memeluk Islam sejak kedatangannya. Sang ayah, Yasir, berdomisili di Mekah dan bersekutu dengan Bani Makhzum.

Ketika itu Bani Makhzum menikahkannya dengan seorang budak wanita bernama Sumayyah. Dari perkawinan mereka lahirlah Ammar bin Yasir dan Abdullah bin Yasir.

Keteguhan hati mereka dalam mempertahankan Islam menyeretnya pada siksaan bertubi-tubi dari Bani Makhzum musyrikin Quraisy. Mereka disiksa tanpa rasa peri kemanusiaan.

Ammar bin Yasir yang mengajak seluruh keluarganya masuk Islam dipaksa untuk menyaksikan kekejian mereka terhadap kedua orang tuanya dan saudaranya, Abdullah. Mereka memaksanya untuk mengakui Latta dan Uzza jika ingin keluarga yang ia sayangi selamat dari siksaan kejam mereka.

"Ayo! Katakanlah, 'Wahai Latta dan Uzza'!" teriak salah seorang dari musyrikin Quraisy biadab itu. Namun, ayah, ibu, dan adiknya melarang Ammar untuk mengucapkannya sambil menahan perih tak terkira. Mereka pun mendapat siksaan yang bertubi-tubi dan lebih kejam.

Sebenarnya Ammar tidak tahan melihat orang-orang yang dicintainya disiksa sedemikian rupa. Tidak ada siksaan yang lebih menyakitkan selain melihat penyiksaan yang harus dialami oleh keluarganya.

Rasulullah saw yang lewat di tempat kejadian dan menyaksikan penyiksaan itu tidak bisa berbuat apa-apa, selain berkata, "Bersabarlah! Sesungguhnya tempat kalian adalah surga!"

Ucapan Rasulullah membuat Sumayyah berteriak, "Wahai Rasulullah! Saya telah mencium wangi surga!" Seketika itu juga Abu Jahal menusukkan tombaknya ke tubuh mulia Sumayyah. Ia adalah wanita muslimah yang pertama kali mati syahid karena mempertahankan agama Allah.

Ammar makin tak kuasa menahan perih batin dan fisiknya. Setelah ibunya gugur di tangan Abu Jahal, ia harus menyaksikan ayahnya dan saudaranya dihujani anak panah hingga syahid. Satu per satu keluarganya gugur di jalan Allah.

Ibunya, ayahnya, dan saudaranya. Ammar menangis sejadi-jadinya. Di tengah kekalutan pikiran dan kegalauan jiwanya, ia pun mendapat berbagai siksaan tak terperi. Sementara itu, kaum musyrikin Quraisy berteriak-teriak di telinganya, "Cepat! Katakanlah, 'Wahai Latta dan Uzza!"

Tak tahan dengan penderitaan itu, Ammar menyerah sehingga berkata, "Wahai Latta dan Uzza!!!" Penyiksaan berhenti. Para penyiksa musyrikin Quraisy merasa puas karena usaha mereka tidak sia-sia.

"Bagus!" kata mereka dengan gelak tawa yang menyakitkan hati sambil berlalu meninggalkan Ammar yang perih menahan sakit akibat penyiksaan yang diterimanya.

Setelah peristiwa itu, Ammar mengalami penyesalan yang sangat mendalam. Seluruh keluarganya syahid karena mempertahankan keyakinannya, tetapi mengapa ia menjadi lemah? Akankah Allah murka kepadanya?

Ia pun mengadukan kekhilafannya kepada Rasulullah saw. Beliau bertanya kepadanya, "Bagaimana dengan hatimu?" Ammar menjawab, "Hatiku tetap beriman!"

Rasulullah pun berkata, "Apabila mereka memaksamu kembali untuk menyebutkan nama-nama tuhan mereka, lakukanlah!"

Kisah Nabi Ibrahim s.a dan Siti Sarah

Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Ibrahim a.s tidak pernah berbohong kecuali tiga kali. Pertama, perkataannya ketika diajak untuk beribadah kepada berhala tuhan mereka dan Ibrahim a.s menjawab, 'Sesungguhnya aku sakit'. Kedua, perkataannya, 'Sebenarnya patung besar itutah yang melakukannya'. Ketiga, perkataannya tentang Sarah, 'Sesungguhnya dia saudariku'." (HR Bukhari)

Berikut ini adalah kisah pertemuan antara Nabi Ibrahim a.s dan Sarah yang melatarbelakangi Rasulullah mengucapkan sabdanya tersebut.

Suatu hari Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Luth a.s pergi ke wilayah Syam. Mereka bertemu dengan paman Nabi Ibrahim. la memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Sarah. Ibrahim a.s pun berkata, "Belum ada wanita cantik yang memiliki kecantikan seperti Hawa hingga saat ini selain Sarah."

Perkataan Ibrahim a.s tersebut bukan saja melihat kecantikan Sarah secara lahiriah, melainkan juga kesalehan yang tampak pada diri Sarah. Akhirnya, Ibrahim a.s pun menikahinya dan mereka menjalani kehidupan rumah tangga dengan harmonis.

Ujian pada pernikahan mereka berawal ketika Ibrahim a.s dan Sarah r.a hijrah ke Mesir. Saat itu Mesir dipimpin oleh seorang raja kafir yang suka berfoya-foya dan zalim. Raja itu bernama 'Amr bin Amru' Al-Qais bin Mailun.

Setiap mendengar ada wanita cantik, ia selalu ingin memilikinya. Jika wanita itu telah memiliki suami, ia akan memaksa suaminya untuk menceraikan istrinya. Jika wanita itu adalah saudara dari seseorang yang dikenalnya, akan ia tinggalkan.

Kedatangan Ibrahim a.s dan istrinya yang sangat cantik diketahui oleh pengawal kerajaan. Pengawal itu langsung memberitahukan perihal tersebut kepada rajanya. Ia berkata, "Ibrahim datang bersama seorang wanita yang sangat cantik."

Hasrat sang raja tiba-tiba menggebu dan menyuruh pengawalnya untuk memanggil mereka berdua. Ibrahim pun datang menemui raja yang zalim itu. Di hadapan Ibrahim a.s, raja zalim itu bertanya, "Siapakah wanita yang bersamamu itu?"

Ibrahim a.s menjawab, "Saudariku." Sambil berbisik kepada istrinya, "Jangan kaukatakan bahwa kau adalah istriku agar kau selamat. Katakanlah kau adalah saudariku. Demi Allah di bumi ini hanya kita berdua yang mukmin!"

Ketika Sarah melihat raja hendak mendekatinya, ia berdoa, "Ya Allah. Sesungguhnya aku beriman kepada-Mu dan rasul-Mu serta aku selalu memelihara kehormatanku. Janganlah Engkau biarkan orang itu merusak kesucianku!" pintanya kepada Allah SWT.

Tiba-tiba raja itu merasa tercekik dan menghentak-hentakkan kakinya.

Sarah terkejut dan kembali berdoa, "Ya Allah. Andaikan raja ini mati, tentu orang-orang akan menuduh bahwa aku yang membunuhnya!"

Setelah berdoa, raja itu kembali sehat seperti biasa. Namun, raja itu tetap berjalan mendekatinya. Sarah kembali berdoa, "Ya Allah. Sesungguhnya aku beriman kepada-Mu dan rasul-Mu serta aku selalu memelihara kehormatanku. Janganlah Engkau biarkan orang itu merusak kesucianku!"

Kejadian tadi terulang lagi. Raja merasa tercekik dan menghentak-hentakkan kakinya.

Sarah berdoa lagi, "Ya Allah. Andaikan raja ini mati, tentu orang-orang akan menuduh bahwa aku yang membunuhnya!"

Raja itu kembali sembuh, tetapi kali ini ia merasa ketakutan. Kemudian ia berkata kepada pengawalnya, "Demi Tuhan, pasti setan yang kaukirim kepadaku. Kembalikanlah ia kepada Ibrahim dan beri dia seorang hamba sahaya!"

Hamba sahaya itu adalah Siti Hajar, seorang budak hitam, tetapi kecantikannya tampak terpancar di wajahnya. Ia cerdas, beraklak mulia, dan bermental kuat. Kelak ia akan dinikahi oleh Ibrahim a.s dan melahirkan seorang nabi mulia bernama Ismail a.s.

Sabtu, 20 Maret 2010

Pengorbanan Seorang Nabiyullah

Nabi Ibrahim a.s adalah seorang utusan Allah SWT yang taat dan hanif. Berkali-kali ia diuji oleh Allah SWT dengan cobaan yang tiada seorang pun sanggup melaluinya. Namun, ia membuktikan bahwa kecintaannya kepada Allah SWT di atas segalanya hingga dia berhasil menjalani ujian demi ujian dengan gemilang.

Ujian berat pertama yang harus dilalui Ibrahim a.s adalah ketika anak yang sudah lama ia dambakan harus berpisah dengannya. Bayi mungil itu bernama Ismail. Ia lahir dari istri Ibrahim a.s yang bernama Siti Hajar r.a.

Belum lama Ibrahim a.s menikmati status barunya sebagai ayah, ia menerima perintah dari Allah SWT untuk membawa putranya yang masih merah bersama Siti Hajar ke sebuah tempat yang sama sekali belum diketahuinya.

Padahal, saat itu ia sedang merasakan masa-masa bahagia menimang Ismail mungil. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain bagi Ibrahim a.s selain menaati perintah-Nya. Diajaklah Siti Hajar r.a dan Ismail dalam buaiannya menuju tempat yang diperintahkan. Sebuah awan besar mengiringi perjalalanan mereka.

Awan besar itu berhenti di sebuah tempat yang gersang dan tandus. Hanya sebatang pohon besar yang menaungi mereka. Di sanalah Nabi Ibrahim harus meninggalkan istri dan anak tercintanya. Bayangkan bagaimana perasaan seorang ayah ketika harus meninggalkan keluarganya di tempat yang tak berpenghuni seperti itu.

Ibrahim a.s. meminta agar sang istri bersama Ismail mungil tetap di tempat itu dan tidak mengikuti kepergiannya. Ibrahim a.s. membekali mereka dengan segantang kurma dan sekantung wadah berisi air. Ketika Ibrahim a.s beranjak hendak meninggalkan mereka berdua, Hajar r.a menarik pakaian suaminya agar tidak pergi seraya berkata, "Suamiku, ke mana kau hendak pergi? Apakah kau hendak meninggalkan kami di tempat yang tidak ada sesuatu pun di sini?"

Ibrahim a.s diam membisu dan melepas pegangan sang istri sambil berlalu. Ia terus melangkah meninggalkan sang istri dan putra yang sangat dicintainya.

Siti Hajar r.a kembali memanggil dan bertanya, "Ayahanda Ismail, apakah kau hendak meninggalkan kami di tempat yang tidak ada sesuatu pun di sini?"

Panggilan kedua sang istri tercinta tetap tidak menyurutkan langkah Ibrahim a.s. Padahal, maksud Hajar memanggil dengan perkataan 'Ayahanda Ismail' adalah untuk mengingatkan bahwa yang akan Ibrahim a.s tinggalkan adalah anak semata wayangnya, Ismail, yang masih merah dan lemah dan sangat dinantikan kelahirannya. Namun, sang ayah tetap tidak bergeming.

Ketiga kalinya sang istri memanggil dengan agak keras, "Ibrahim! Apakah kau tega meninggalkan kami di tempat yang tidak ada sesuatu pun di sini?"
Kesabaran Hajar r.a mungkin sudah sampai pada puncaknya ketika melihat sikap suaminya yang terus membisu dan tidak memedulikan mereka berdua hingga ia memanggil sang suami dengan menyebut namanya.

Ia betul-betul mengharap suatu jawaban mengapa suami yang sangat pengasih terhadap keluarganya kini tega meninggalkan ia dan putranya yang tak berdaya di sebuah daerah tak berpenghuni. Namun, apa yang diharapkan tidak terjadi, jangankan Ibrahim a.s berhenti, menoleh pun tidak.

Melihat sang suami tidak menggubris panggilannya, Siti Hajar r.a langsung memahami bahwa suaminya tidak akan mungkin berbuat demikian kecuali atas perintah Allah SWT.

Siti Hajar r.a kembali melunakkan suaranya dan memanggil, " Nabiyullah, apakah ini perintah Allah?"

Pertanyaan tersebut membuat Ibrahim a.s berhenti sejenak, kemudian mengangguk tanda mengiyakan dugaan istrinya. Mengetahui hal itu, Siti Hajar r.a langsung berseru, "Suamiku, jika ini perintah Allah maka pergilah! Kami tidak akan tersia-siakan selagi Allah bersama kami!"

Ibrahim a.s pun kembali melanjutkan perjalanannya dengan perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Sebagai seseorang yang lembut dan pengasih, pasti tidak mudah meninggalkan dua manusia lemah yang masih membutuhkan perlindungan dan kasih sayangnya di sebuah padang yang gersang.

Jika bukan karena keimanan yang kuat kepada Allah SWT dalam melaksanakan amanah yang diturunkan kepadanya, ia tidak akan sanggup melakukannya.

Lalu, Ibrahim a.s. mengangkat kedua tangannya seraya berdoa kepada Allah SWT untuk keselamatan istri dan anaknya tercinta, sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur'an, "Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka metoksanakan shalat maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur." (QS. Ibrahim [14]: 37)

Dua hari berlalu dan perbekalan habis, begitu juga air susu sang bunda telah mengering untuk sang bayi. la sendiri merasa kehausan di tengah padang tandus yang terik. Bayi Ismail berteriak menangis keras agar sang bunda mau melepas dahaganya. Namun, apa daya karena air susu telah kering dan sang bunda pun didera rasa haus yang sangat.

Siti Hajar melihat Bukit Shafa tinggi menjulang. Mungkin dari sana, barangkali ada mata air yang bisa diambil untuk melepas dahaga atau seseorang yang dapat dimintai pertolongan.

Akhirnya, Hajar r.a membaringkan Ismail yang terus menangis untuk mencari setetes air. Ia kuatkan hatinya dan berlari kecil menaiki Bukit Shafa. Di puncak Bukit Shafa, terik matahari makin garang menerpa wajah lelahnya. Ia lindungi matanya dengan tangan agar tidak silau dan lebih jelas melihat sekelilingnya.

Namun, sejauh mata memandang, ia tidak melihat sumber air, kafilah, atau apa pun yang dapat membantunya. Yang ia lihat hanya sang jabang bayi yang terus menangis dari kejauhan. Ia segera menuruni Bukit Shafa.

Namun, di lembah antara dua bukit tersebut, Hajar r.a tidak bisa memantau putranya. Kemudian ia segera naik ke atas Bukit Marwah yang bersebelahan dengan Bukit Shafa. Selanjutnya, ia kembali mengamati sekitarnya. Tidak ada apa-apa yang terlihat kecuali hanya bayi mungil dan semilir angin yang membawa debu kering menyapu padang tandus yang sepi dan gersang.

Khawatir dengan sang jabang bayi, Hajar r.a turun dari Bukit Marwah untuk menengok keadaan buah hatinya. Ismail masih menangis. Dengan terus berharap, sang bunda kembali naik ke Bukit Shafa. Sama seperti semula, tidak ada hal baru yang dapat menolongnya.

Ia kembali menuruni Bukit Shafa dan kembali naik ke Bukit Marwah. Dari atas sana, hanya kesunyian yang membentang di hadapannya. Namun, ia tetap yakin akan pertolongan Allah, lalu ia melakukan hal yang serupa, yaitu menaiki dan menuruni Bukit Shafa dan Marwah.

Setelah tujuh kali Hajar r.a berlari menaiki dan menuruni kedua bukit tersebut, ia kembali menengok Ismail yang makin melemah. Kemudian ia terduduk lelah di sisi sang buah hati. Sungguh tak tega mendengar suara tangisan bayinya yang makin lemas dan serak menahan haus. Saat itulah rahmat Allah SWT tercurah kepada mereka. Sebuah mata air menyembur deras tepat di tempat Ismail menghentakkan kakinya.

Rasa syukur dan bahagia yang luar biasa membuncah ketika melihat percikan air di bawah kaki putra tercintanya. Kemudian ia segera menciduk air tersebut dengan tangannya dan meneteskan ke dalam mulut Ismail. la juga meraup air penuh berkah tersebut untuk diminumnya.

Subhanallah, sungguh kenikmatan yang luar biasa. Dahaga dan lelah musnah sudah ketika air bening yang segar mengalir melalui kerongkongannya yang telah lama kering.

Ujian dari Allah SWT berakhir indah. Sumber air tersebut menjadi tempat persinggahan kafilah-kafilah yang sedang melakukan perjalanan. Lama-kelamaan terbentuklah perkampungan di sekitar mata air tersebut. Sumber air itu terkenal dengan nama 'zamzam' hingga kini.

Ketaatan Anak Saleh

Ismail a.s tumbuh menjadi remaja yang tampan. Di usianya yang masih belia, tampak kelembutan hati dan kebijaksanaan terpancar dari wajahnya. Saat-saat bahagia ia rasakan ketika Allah SWT mempertemukan kembali dengan ayahnya yang telah terpisah selama bertahun-tahun.

Meskipun sebenarnya hal itu bukan kehendak sang ayah untuk meninggalkan Ismail bayi dan sang istri di sebuah padang gersang dan tandus di masa lampau. Justru pada saat itu hati Ibrahim a.s sedang terpaut cinta yang dalam kepada putra semata wayangnya tersebut.

Kini ayah dan anak dipersatukan kembali oleh Allah. Ismail a.s merasakan kembali curahan cinta dan kasih sayang seorang ayah. Akan tetapi, belum lama mereka melepas rindu dan kasih sayang, Allah SWT menurunkan perintah selanjutnya.

Ibrahim a.s bermimpi menyembelih putra semata wayangnya yang begitu ia cintai. Tentu saja mimpi itu membuatnya bimbang karena ayah mana yang tega membunuh putra tercintanya. Benarkah mimpi itu datang dari Allah SWT atau hanyalah tipu daya setan terkutuk?

Ketika Allah SWT meyakinkan bahwa mimpi itu benar dan itu adalah perintah yang harus dijalankan, tanpa bertanya lagi Ibrahim a.s langsung mematuhinya. Ibrahim a.s menyampaikan perintah Allah SWT ini kepada putranya, Ismail.

Dialog antara mereka berdua ini diabadikan dalam Al-Qur'an, "Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, "Wahai anakku! Sesungsuhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!" Dia (Ismail) menjawab, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar." (QS Ash-Shaffat [37]: 102)

Subhanallah, kecintaan mereka kepada Allah SWT melahirkan ketaatan yang tulus dan murni. Ismail a.s tanpa ragu siap mempertaruhkan nyawanya jika memang itu yang dikehendaki Allah SWT.

Keduanya beranjak ke sebuah tempat untuk melaksanakan perintah Allah SWT itu. Ibrahim a.s menatap putranya untuk terakhir kali. Ismail merebahkan tubuhnya dengan wajah menghadap ke tanah. Dalam posisi tersebut, sang ayah tidak akan melihat wajah anaknya yang kesakitan, sedangkan bagi Ismail, ia tidak akan melihat prosesi penyembelihan dirinya.

Tatkala pisau akan ditebaskan di leher Ismail, Allah SWT memiliki rencana lain. Atas kehendak-Nya, Ismail diganti dengan seekor domba yang besar. Kesabaran mereka sungguh sangat teruji. Mereka benar-benar bisa melaksanakan perintah Allah dengan penuh kesabaran.

Selanjutnya Allah SWT mengabarkan kisah mereka dalam Al-Qur'an, "Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, "Wahai Ibrahim! sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu." Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, "Selamat sejahtera bagj Ibrahim." Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS Ash-Shaffat [37]: 103-110)

Jumat, 19 Maret 2010

Sebuah Penantian yang Panjang

Sebelum Muhammad diutus menjadi rasul, beliau mengadakan transaksi dengan seseorang yang bernama Abdullah bin Abi Khansa. Pada transaksi itu ternyata ada sisa barang yang harus Abdullah kembalikan kepada Muhammad. Akhirnya, mereka menyepakati untuk bertemu di sebuah tempat pada waktu yang telah ditentukan.

Malang bagi Muhammad, ternyata Abdullah lupa akan janji tersebut. Ia baru ingat keesokan harinya dan ia merasa tidak perlu bertemu Muhammad saat itu karena pikirnya, Muhammad pasti sudah kembali pulang.

Ia berpikir akan langsung ke rumah Muhammad untuk mengantar barang sekaligus meminta maaf akan kekhilafannya. Ia pun berencana pergi keesokan harinya.

Dua hari berlalu dari hari yang telah disepakati, Abdullah berangkat dari rumahnya menuju kediaman Muhammad. Untuk mencapai rumah Muhammad, ia melewati jalan yang dijadikan tempat pertemuan antara dia dan Muhammad dua hari yang lalu.

Alangkah kagetnya ketika ia melihat Muhammad berada di tempat itu. Muhammad tampak sedang menunggu seseorang. "Apakah ia masih menungguku? Ah, tidak mungkin. Janji itu sudah lewat dua hari yang lalu. Mungkin dia sedang menunggu orang lain," pikir Abdullah.

Ia pun segera mendekati Muhammad untuk menyelesaikan urusannya. Muhammad menyambutnya dengan senyum lebar sambil berkata, "Wahai pemuda, kau telah menyusahkan aku. Ketahuilah, aku telah berada di sini selama tiga hari menunggumu!"

Betapa terkejutnya Abdullah mendengar penjelasan Muhammad. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa Muhammad akan menunggunya selama tiga hari demi menepati janji. Jika ia tahu, tentunya ia akan langsung ke tempat itu tanpa mengulur-ulur waktu lebih lama saat ia sadar akan kekhilafannya.