Para petinggi Quraisy makin geram melihat segala upaya yang mereka lancarkan untuk membuat Muhammad bungkam dari dakwahnya tidak pernah berhasil. Hal inilah yang menimbulkan Abu Jahal mengusulkan untuk membunuh Muhammad agar mereka terbebas dari gangguannya. Menurutnya tanpa kehadiran Muhammad, Islam sangat mudah dibasmi hingga ke akar-akarnya.
Di luar dugaan, ternyata sebagian yang lain menentang pendapat ini. Hal ini disebabkan Muhammad masih mendapat dukungan dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Mereka adalah kabilah yang sangat berpengaruh di kota Mekah.
Membunuh Muhammad berarti menyulut api peperangan antara kabilah-kabilah Quraisy. Yang mereka takutkan lagi bahwa mereka tidak akan sanggup menghadapinya. Akhirnya, simpulan terakhir adalah lebih baik bersabar sambil terus membujuk Muhammad daripada terjadi pertumpahan darah.
Nadhr bin Harits adalah pendukung kelompok ini. Ia mengingatkan kaumnya bahwa Muhammad pernah menjadi orang yang paling mereka puji. Ia berkata, "Wahai kaum Quraisy, kalian berhadapan dengan masalah yang sulit untuk dicarikan jalan keluarnya. Muhammad pernah menjadi pemuda yang paling kalian sukai karena kejujuran dan integritasnya.
Kemudian ia datang membawa agamanya dan kalian katakan ia tukang sihir. Tidak! Demi Allah, ia bukan tukang sihir. Kita tahu bagaimana tingkah laku tukang sihir. Lalu, kalian katakan ia peramal. Tidak! Demi Allah, ia bukan peramal. Kita tahu bagaimana para peramal mengalami kerasukan dan membaca mantra.
Kalian juga katakan ia penyair. Tidak! Demi Allah, ia bukan penyair. Kita tahu semua jenis syair. Apa yang dikatakannya bukanlah syair indah, tetapi lebih dari itu. Lalu, kalian katakan ia gila. Tidak! Ia tidak gila! Kita tahu ciri-ciri orang gila dan ia sama sekali tidak memiliki ciri-ciri itu. Jadi, pertimbangkanlah masak-masak persoalan ini. Demi Allah, ini bukan persoalan yang bisa dianggap remeh!"
Segala upaya mereka lakukan untuk menghentikan dakwah Muhammad. Akhirnya, dibuatlah berita bohong tentang Muhammad dan mereka sebar ke seluruh penjuru JazirahArab dan tak lupa juga ke Habsyah. Berita bohong yang mereka sebarkan adalah Muhammad pembohong, orang gila, dan tukang sihir.
Meskipun demikian, Allah memiliki rencana lain atas tersiarnya berita bohong tersebut. Orang-orang yang berdatangan pada musim haji ramai-ramai membicarakan Muhammad.
Tentu saja hal ini menimbulkan rasa penasaran mereka untuk mengenal lebih jauh tentang Muhammad. Akhirnya, banyak dari mereka yang memeluk Islam setelah mendengar secara langsung dakwah yang Rasulullah saw sampaikan.
Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi
Kamis, 08 April 2010
Pengakuan Ubay bin Khallaf
Kekalahan kaum musyrikin Ouraisy menimbulkan dendam yang luar biasa di dada para musuh Islam. Apalagi melihat keluarganya, ayahnya, anak laki-lakinya bersimbah darah dibunuh oleh pasukan Islam. Kebencian yang makin membara dirasakan oleh Ubay bin Khallaf. Di depan Rasulullah saw. ia bersumpah, "Aku akan membunuhmu!"
Tidak ada rasa takut sedikit pun terlintas dalam diri Rasulullah saw. Beliau menjawab ancaman Ubay, "Akulah yang akan membunuhmu! Insya Allah!"
Tibalah waktunya saat peperangan kembali berkobar di Uhud sebagai ajang balas dendam kaum musyrikin Quraisy kepada kaum muslimin atas kekalahan mereka terdahulu.
Kesempatan ini digunakan Ubay bin Khallaf untuk memburu Rasulullah saw. Ketika dilihatnya Rasulullah saw berada di tengah-tengah peperangan, ia berseru, "Engkau, Rasulullah! Engkau tidak akan selamat meskipun berusaha menyelamatkan diri!"
Kaum muslimin yang mendengarnya segera melindungi Rasulullah saw. Salah seorang dari mereka berkata, "Wahai Rasulullah. Izinkan salah satu dari kami membereskannya!"
Namun, Rasulullah saw menolak dengan menjawab, "Tidak perlu."
Ubay melihat peluang emas untuk menebaskan pedangnya ke leher Rasulullah saw. Ia mendekat. Akan tetapi, Rasulullah saw dengan tangkas menyambar belati Harits bin Shimah dan mengarahkannya ke leher Ubay.
Luka yang diderita Ubay bin Khallaf tidak terlalu serius karena ia berhasil mengelak. Namun, kejadiannya sungguh aneh, Ubay bin Khallaf tampak ketakutan sambil memegangi lehernya seolah-olah ia mendapat luka yang sangat parah dan akan membunuhnya.
Teman-teman Ubay mencoba menenangkannya, "Apa yang terjadi padamu?"
"Demi Tuhan, Muhammad telah menyerang dan melukaiku!" teriak Ubay sambil terengah-engah.
Teman-temannya makin heran karena melihat luka di leher Ubay hanyalah luka kecil biasa.
"Hai, Ubay! Tenanglah itu hanya luka biasa!"
Ubay tidak peduli perkataan teman-temannya, ia tetap kalap dan berkata, "Muhammad pernah berkata akan membunuhku! Demi Tuhan, bahkan jika dia meludahiku, aku bisa mati karenanya!"
Dikarenakan rasa takutnya yang berlebihan tersebut, akhirnya Ubay bin Khallaf mati karena sangat ketakutan dengan perkataan yang pernah Rasulullah ucapkan.
Tidak ada rasa takut sedikit pun terlintas dalam diri Rasulullah saw. Beliau menjawab ancaman Ubay, "Akulah yang akan membunuhmu! Insya Allah!"
Tibalah waktunya saat peperangan kembali berkobar di Uhud sebagai ajang balas dendam kaum musyrikin Quraisy kepada kaum muslimin atas kekalahan mereka terdahulu.
Kesempatan ini digunakan Ubay bin Khallaf untuk memburu Rasulullah saw. Ketika dilihatnya Rasulullah saw berada di tengah-tengah peperangan, ia berseru, "Engkau, Rasulullah! Engkau tidak akan selamat meskipun berusaha menyelamatkan diri!"
Kaum muslimin yang mendengarnya segera melindungi Rasulullah saw. Salah seorang dari mereka berkata, "Wahai Rasulullah. Izinkan salah satu dari kami membereskannya!"
Namun, Rasulullah saw menolak dengan menjawab, "Tidak perlu."
Ubay melihat peluang emas untuk menebaskan pedangnya ke leher Rasulullah saw. Ia mendekat. Akan tetapi, Rasulullah saw dengan tangkas menyambar belati Harits bin Shimah dan mengarahkannya ke leher Ubay.
Luka yang diderita Ubay bin Khallaf tidak terlalu serius karena ia berhasil mengelak. Namun, kejadiannya sungguh aneh, Ubay bin Khallaf tampak ketakutan sambil memegangi lehernya seolah-olah ia mendapat luka yang sangat parah dan akan membunuhnya.
Teman-teman Ubay mencoba menenangkannya, "Apa yang terjadi padamu?"
"Demi Tuhan, Muhammad telah menyerang dan melukaiku!" teriak Ubay sambil terengah-engah.
Teman-temannya makin heran karena melihat luka di leher Ubay hanyalah luka kecil biasa.
"Hai, Ubay! Tenanglah itu hanya luka biasa!"
Ubay tidak peduli perkataan teman-temannya, ia tetap kalap dan berkata, "Muhammad pernah berkata akan membunuhku! Demi Tuhan, bahkan jika dia meludahiku, aku bisa mati karenanya!"
Dikarenakan rasa takutnya yang berlebihan tersebut, akhirnya Ubay bin Khallaf mati karena sangat ketakutan dengan perkataan yang pernah Rasulullah ucapkan.
Rabu, 07 April 2010
Dipercaya Menjadi Pemimpin Kafilah Dagang
Khadijah adalah seorang saudagar wanita yang kaya-raya di kota Mekah. Dia hendak mengirim kafilah dagangnya ke negeri Syam sehingga dia membutuhkan seseorang yang dapat dipercaya untuk membimbing dan mengawasi rombongan dagang tersebut.
Tersiarlah kabar bahwa di Mekah ada seorang pemuda yang terkenal akan kejujurannya. Keluhuran budi pekerti dan kepribadiannya terpelihara dengan baik, padahal kebanyakan pemuda saat itu senang berfoya-foya.
Namun, pemuda yang satu ini sama sekali tidak terpengaruh oleh kebiasaan jahiliah masyarakat kotanya karena perlindungan Allah SWT. Siapakah dia? Dialah Muhammad bin Abdillah keturunan Bani Hasyim yang terpandang.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kabar tentang kejujuran Muhammad sampai ke telinga Khadijah. Ia tahu Muhammad selalu menemani pamannya berdagang ke Syam.
Akan tetapi, sanggupkah Muhammad memimpin rombongan kafilah dagang yang begitu besar ini? Padahal, Muhammad belum pernah sekali-kali pun memimpin rombongan dagang ke luar kota, apalagi ke luar negeri.
Tentu saja hal ini bukanlah hal yang mudah untuk mengemban tugas itu bagi seseorang yang belum memiliki pengalaman memimpin, mengatur, membimbing, dan mengawasi kafilah dagang ke negeri lain.
Meskipun demikian, sebagai seorang pedagang andal, Khadijah tidak memedulikan pengalaman Muhammad dalam berdagang. Sebagai seseorang yang mengetahui seluk-beluk perdagangan, Khadijah meyakini bahwa kejujuranlah modal penting dalam berdagang. Sifat itu ada pada diri Muhammad. Kemudian ia segera menyuruh pelayannya untuk memanggil Muhammad.
Setelah Muhammad datang, Khadijah berusaha untuk menggali lebih jauh pemahaman dagang pemuda jujur tersebut. Khadijah melontarkan beberapa pertanyaan kepada Muhammad dalam perbincangan yang serius.
Muhammad begitu tenang dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sang saudagar. Ia tampak sangat cerdas, wawasan ilmunya luas, dan memiliki wibawa.
Dalam berbicara, Muhammad mendengarkan lawan bicaranya dengan saksama meskipun pandangannya tertunduk. Seingat Khadijah, hanya sekali Muhammad mengangkat wajahnya, yaitu ketika Khadijah menawarkan posisi menjadi orang kepercayaannya untuk memimpin kafilah dagang ke negeri Syam. Muhammad mengangkat wajahnya sedikit, mengucapkan terima kasih sambil tersenyum, lalu kembali menunduk.
Dari sikap Muhammad yang bersahaja inilah, akhirnya Khadijah memantapkan pilihannya kepada Muhammad. Dengan senang hati pula Muhammad menerimanya.
Setelah dirasa cukup, akhirnya Muhammad diperkenankan untuk pulang. Muhammad segera pulang dan tawaran kerja ini langsung diberitakan kepada pamannya, Abu Thalib. Betapa gembiranya sang paman. la yakin keponakannya mampu menjalani tugas besar tersebut. Abu Thalib berkata, "Ini adalah rezeki yang Allah berikan kepadamu".
Tibalah saatnya rombongan kafilah dagang berangkat menuju Syam. Bersama Maysarah - salah seorang utusan Khadijah untuk membantu Muhammad - mereka bertolak ke negeri Syam. Sudah menjadi tradisi penduduk Mekah untuk beramai-ramai mengantar rombongan dagang hingga ke perbatasan kota, termasuk sang paman, Abu Thalib.
Setibanya di Syam, bersama pedagang lain, Muhammad menawarkan dagangannya dengan gesit kepada para calon pembeli. Ia tidak menutupi cacat pada barang dagangannya. Jika barang tersebut bagus, akan ia katakan bagus, sebaliknya jika barang tersebut jelek atau cacat, ia pun tidak menutupinya dari pembeli.
Dalam menetapkan harga ia menggunakan standar harga yang berlaku di masyarakat. Tidak pernah ia menambah-nambahkan harga. Tawar-menawar ia lakukan suka sama suka dengan pembeli. Kejujurannya tidak pernah mengecewakan.
Hal ini menarik banyak pembeli untuk membeli dagangannya karena pedagang lain terbiasa meninggikan harga barang dagangannya demi mencapai keuntungan sebesar-besarnya.
Urusan perdagangan di Syam berjalan sangat lancar. Muhammad memperoleh keuntungan dagang yang besar. Seluruh barang dagangan habis terjual. Sebelum pulang, kafilah dagang ini membeli barang-barang lain untuk dijual kembali di Mekah.
Kepulangan mereka disambut antusias penduduk Mekah. Barang yang mereka bawa dari Syam pun berhasil dijual hingga habis di Mekah. Keuntungan makin berlipat ganda. Tentu saja hal ini membuat gembira Khadijah yang memilih Muhammad karena reputasi kejujurannya.
Tersiarlah kabar bahwa di Mekah ada seorang pemuda yang terkenal akan kejujurannya. Keluhuran budi pekerti dan kepribadiannya terpelihara dengan baik, padahal kebanyakan pemuda saat itu senang berfoya-foya.
Namun, pemuda yang satu ini sama sekali tidak terpengaruh oleh kebiasaan jahiliah masyarakat kotanya karena perlindungan Allah SWT. Siapakah dia? Dialah Muhammad bin Abdillah keturunan Bani Hasyim yang terpandang.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kabar tentang kejujuran Muhammad sampai ke telinga Khadijah. Ia tahu Muhammad selalu menemani pamannya berdagang ke Syam.
Akan tetapi, sanggupkah Muhammad memimpin rombongan kafilah dagang yang begitu besar ini? Padahal, Muhammad belum pernah sekali-kali pun memimpin rombongan dagang ke luar kota, apalagi ke luar negeri.
Tentu saja hal ini bukanlah hal yang mudah untuk mengemban tugas itu bagi seseorang yang belum memiliki pengalaman memimpin, mengatur, membimbing, dan mengawasi kafilah dagang ke negeri lain.
Meskipun demikian, sebagai seorang pedagang andal, Khadijah tidak memedulikan pengalaman Muhammad dalam berdagang. Sebagai seseorang yang mengetahui seluk-beluk perdagangan, Khadijah meyakini bahwa kejujuranlah modal penting dalam berdagang. Sifat itu ada pada diri Muhammad. Kemudian ia segera menyuruh pelayannya untuk memanggil Muhammad.
Setelah Muhammad datang, Khadijah berusaha untuk menggali lebih jauh pemahaman dagang pemuda jujur tersebut. Khadijah melontarkan beberapa pertanyaan kepada Muhammad dalam perbincangan yang serius.
Muhammad begitu tenang dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sang saudagar. Ia tampak sangat cerdas, wawasan ilmunya luas, dan memiliki wibawa.
Dalam berbicara, Muhammad mendengarkan lawan bicaranya dengan saksama meskipun pandangannya tertunduk. Seingat Khadijah, hanya sekali Muhammad mengangkat wajahnya, yaitu ketika Khadijah menawarkan posisi menjadi orang kepercayaannya untuk memimpin kafilah dagang ke negeri Syam. Muhammad mengangkat wajahnya sedikit, mengucapkan terima kasih sambil tersenyum, lalu kembali menunduk.
Dari sikap Muhammad yang bersahaja inilah, akhirnya Khadijah memantapkan pilihannya kepada Muhammad. Dengan senang hati pula Muhammad menerimanya.
Setelah dirasa cukup, akhirnya Muhammad diperkenankan untuk pulang. Muhammad segera pulang dan tawaran kerja ini langsung diberitakan kepada pamannya, Abu Thalib. Betapa gembiranya sang paman. la yakin keponakannya mampu menjalani tugas besar tersebut. Abu Thalib berkata, "Ini adalah rezeki yang Allah berikan kepadamu".
Tibalah saatnya rombongan kafilah dagang berangkat menuju Syam. Bersama Maysarah - salah seorang utusan Khadijah untuk membantu Muhammad - mereka bertolak ke negeri Syam. Sudah menjadi tradisi penduduk Mekah untuk beramai-ramai mengantar rombongan dagang hingga ke perbatasan kota, termasuk sang paman, Abu Thalib.
Setibanya di Syam, bersama pedagang lain, Muhammad menawarkan dagangannya dengan gesit kepada para calon pembeli. Ia tidak menutupi cacat pada barang dagangannya. Jika barang tersebut bagus, akan ia katakan bagus, sebaliknya jika barang tersebut jelek atau cacat, ia pun tidak menutupinya dari pembeli.
Dalam menetapkan harga ia menggunakan standar harga yang berlaku di masyarakat. Tidak pernah ia menambah-nambahkan harga. Tawar-menawar ia lakukan suka sama suka dengan pembeli. Kejujurannya tidak pernah mengecewakan.
Hal ini menarik banyak pembeli untuk membeli dagangannya karena pedagang lain terbiasa meninggikan harga barang dagangannya demi mencapai keuntungan sebesar-besarnya.
Urusan perdagangan di Syam berjalan sangat lancar. Muhammad memperoleh keuntungan dagang yang besar. Seluruh barang dagangan habis terjual. Sebelum pulang, kafilah dagang ini membeli barang-barang lain untuk dijual kembali di Mekah.
Kepulangan mereka disambut antusias penduduk Mekah. Barang yang mereka bawa dari Syam pun berhasil dijual hingga habis di Mekah. Keuntungan makin berlipat ganda. Tentu saja hal ini membuat gembira Khadijah yang memilih Muhammad karena reputasi kejujurannya.
Kisah Abdullah bin Rawahah
Abdullah bin Rawahah memiliki nama lengkap Abdullah bin Rawahah bin Tsa'labah Al-Anshari Al-Khazraji. Ia termasuk orang Anshar yang mengikrarkan keislamannya pada Baiatul Aqobah kedua. Semasa hidupnya, ia menerima tanggung jawab dari Rasulullah saw untuk menghitung hasil pertanian kaum Yahudi di Khaibar.
Suatu hari ketika ia hendak melaksanakan tugasnya, orang-orang Yahudi mengumpulkan perhiasan istri-istrinya agar pemeriksaan yang dilakukan oleh Abdullah bin Rawahah tidak menghambat perdagangan mereka.
Apalagi pertikaian antara umat Yahudi dan umat Islam kerap terjadi. Mereka khawatir dendam tersebut masih ada sehingga Abdullah bin Rawahah tidak bersikap adil kepada mereka.
Diberikanlah seluruh perhiasan tersebut kepada Abdullah bin Rawahah seraya berkata, "Semua ini kami serahkan untukmu dan berikanlah kami keringanan dan permudahlah dalam menaksir!"
Melihat cara mereka memperlakukannya, Abdullah berkata, "Hai orang-orang Yahudi! Demi Allah. Kamu semuanya adalah makhluk Allah yang aku benci! Meskipun demikian, aku tidak akan mencurangi kalian. Kalian menawarkan kepadaku barang suap, sedangkan barang suap itu haram. Dan kami membenci memakan barang suap!"
Mendengar penolakan Abdullah, orang-orang Yahudi itu berkata, "Dengan sifat itu, langit dan bumi tegak berdiri."
Suatu hari ketika ia hendak melaksanakan tugasnya, orang-orang Yahudi mengumpulkan perhiasan istri-istrinya agar pemeriksaan yang dilakukan oleh Abdullah bin Rawahah tidak menghambat perdagangan mereka.
Apalagi pertikaian antara umat Yahudi dan umat Islam kerap terjadi. Mereka khawatir dendam tersebut masih ada sehingga Abdullah bin Rawahah tidak bersikap adil kepada mereka.
Diberikanlah seluruh perhiasan tersebut kepada Abdullah bin Rawahah seraya berkata, "Semua ini kami serahkan untukmu dan berikanlah kami keringanan dan permudahlah dalam menaksir!"
Melihat cara mereka memperlakukannya, Abdullah berkata, "Hai orang-orang Yahudi! Demi Allah. Kamu semuanya adalah makhluk Allah yang aku benci! Meskipun demikian, aku tidak akan mencurangi kalian. Kalian menawarkan kepadaku barang suap, sedangkan barang suap itu haram. Dan kami membenci memakan barang suap!"
Mendengar penolakan Abdullah, orang-orang Yahudi itu berkata, "Dengan sifat itu, langit dan bumi tegak berdiri."
Kisah Penjual Susu
Di malam yang pekat dan angin dingin semilir menusuk, Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab sedang menelusuri kota Medinah melalui lorong demi lorong. Di saat seluruh penduduk kota terlelap, sang khalifah tetap terjaga mendatangi satu demi satu rumah untuk mengetahui kondisi rakyatnya.
Ia sadar bahwa kepemimpinannya kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, ia tidak ingin ada seorang pun dari rakyatnya yang terzalimi.
Malam makin larut hingga tibalah fajar menyingsing. Ketika hendak beranjak ke masjid, langkahnya tertahan di depan sebuah gubuk reot. Dari dalam gubuk itu terdengar percakapan lirih antara seorang ibu dan putrinya. Dari percakapan itu ternyata mereka adalah penjual susu kambing yang akan menjual hasil perahannya di pasar pagi itu.
"Nak, campurlah susu itu dengan air," pinta sang ibu kepada putrinya. Sang ibu berharap agar ia memperoleh keuntungan lebih banyak dari hasil penjualan susu oplosannya (campuran).
Putrinya menjawab, "Maaf, Bu, tidak mungkin aku melakukannya. Amirul Mukminin tidak membolehkan untuk mencampur susu dengan air, kemudian menjualnya," tolak putrinya dengan halus.
Sang ibu tetap bersikukuh, "Itu suatu hal yang lumrah, Nak. Semua orang melakukannya. Lagi pula Amirul Mukminin tidak akan mengetahuinya," bujuk sang ibu lagi.
"Bu, boleh jadi Amirul Mukminin tidak mengetahui apa yang kita lakukan sekarang, tetapi Allah SWT Maha Melihat dan Mengetahui!" jawab sang putri salehah.
Haru dan bahagia membuncah di dada Amirul Mukminin. Betapa ia kagum akan kejujuran dan keteguhan hati sang gadis miskin tersebut. Mungkin gadis tersebut miskin harta, tetapi begitu kaya hatinya. Amirul Mukminin teringat akan tujuannya semula dan bergegas menuju masjid untuk shalat Fajar bersama para sahabat.
Usai melaksanakan shalat di masjid, Umar bin Khaththab segera memangil putranya yang bernama 'Ashim. Beliau segera memerintahkan 'Ashim untuk melamar putri penjual susu yang jujur tersebut karena memang sudah saatnya 'Ashim untuk berumah tangga. Tidak lupa Amirul Mukminin menceritakan keluhuran hati gadis penghuni gubuk reot tersebut kepada putranya.
"Aku melihat dia akan membawa berkah untukmu kelak jika kamu mempersuntingnya menjadi istrimu. Pergilah dan temui mereka, lamarlah dia untuk menjadi pendampingmu. Semoga kalian dapat melahirkan keturunan yang akan menjadi pemimpin umat kelak!" ujar Umar bin Khaththab kepada putranya, 'Ashim.
Akhirnya, 'Ashim menikahi gadis berhati suci itu dan lahirlah seorang putri bernama Laila. Ia tumbuh menjadi gadis yang taat beribadah dan cerdas. Saat dewasa, Laila dipersunting oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dari pernikahan keduanya lahirlah Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin besar yang disegani. Dia mewarisi keagungan akhlak neneknya dan kepemimpinan buyutnya, Umar bin Khaththab.
Ia sadar bahwa kepemimpinannya kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, ia tidak ingin ada seorang pun dari rakyatnya yang terzalimi.
Malam makin larut hingga tibalah fajar menyingsing. Ketika hendak beranjak ke masjid, langkahnya tertahan di depan sebuah gubuk reot. Dari dalam gubuk itu terdengar percakapan lirih antara seorang ibu dan putrinya. Dari percakapan itu ternyata mereka adalah penjual susu kambing yang akan menjual hasil perahannya di pasar pagi itu.
"Nak, campurlah susu itu dengan air," pinta sang ibu kepada putrinya. Sang ibu berharap agar ia memperoleh keuntungan lebih banyak dari hasil penjualan susu oplosannya (campuran).
Putrinya menjawab, "Maaf, Bu, tidak mungkin aku melakukannya. Amirul Mukminin tidak membolehkan untuk mencampur susu dengan air, kemudian menjualnya," tolak putrinya dengan halus.
Sang ibu tetap bersikukuh, "Itu suatu hal yang lumrah, Nak. Semua orang melakukannya. Lagi pula Amirul Mukminin tidak akan mengetahuinya," bujuk sang ibu lagi.
"Bu, boleh jadi Amirul Mukminin tidak mengetahui apa yang kita lakukan sekarang, tetapi Allah SWT Maha Melihat dan Mengetahui!" jawab sang putri salehah.
Haru dan bahagia membuncah di dada Amirul Mukminin. Betapa ia kagum akan kejujuran dan keteguhan hati sang gadis miskin tersebut. Mungkin gadis tersebut miskin harta, tetapi begitu kaya hatinya. Amirul Mukminin teringat akan tujuannya semula dan bergegas menuju masjid untuk shalat Fajar bersama para sahabat.
Usai melaksanakan shalat di masjid, Umar bin Khaththab segera memangil putranya yang bernama 'Ashim. Beliau segera memerintahkan 'Ashim untuk melamar putri penjual susu yang jujur tersebut karena memang sudah saatnya 'Ashim untuk berumah tangga. Tidak lupa Amirul Mukminin menceritakan keluhuran hati gadis penghuni gubuk reot tersebut kepada putranya.
"Aku melihat dia akan membawa berkah untukmu kelak jika kamu mempersuntingnya menjadi istrimu. Pergilah dan temui mereka, lamarlah dia untuk menjadi pendampingmu. Semoga kalian dapat melahirkan keturunan yang akan menjadi pemimpin umat kelak!" ujar Umar bin Khaththab kepada putranya, 'Ashim.
Akhirnya, 'Ashim menikahi gadis berhati suci itu dan lahirlah seorang putri bernama Laila. Ia tumbuh menjadi gadis yang taat beribadah dan cerdas. Saat dewasa, Laila dipersunting oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dari pernikahan keduanya lahirlah Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin besar yang disegani. Dia mewarisi keagungan akhlak neneknya dan kepemimpinan buyutnya, Umar bin Khaththab.
Langganan:
Postingan (Atom)