Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Minggu, 17 Juli 2011

Jamu Prabayar

Suatu malam, seorang penjual jamu yang telah lima tahun menjanda karena ditinggal mati suaminya didatangi oleh anak perempuannya yang sulung. Anak ini menyampaikan bahwa besok adalah hari terakhir pembayaran uang bangunan dan SPP.

Jika sampai besok tunggakan uang bangunan dan uang sekolah tidak dilunasi, dia akan dikeluarkan dari sekolah. Ibu penjual jamu ini terkejut mendengarnya. Sesaat, seolah dunia menjadi gelap. Dia kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa. Ketika keterkejutan mulai mereda, dia diempaskan lagi oleh gelombang kekagetan berikutnya ketika si anak menyebutkan sejumlah angka sebagai total tunggakannya.

Napas sang Ibu segera saja menderu, keringat dingin mulai meleleh di keningnya, tangannya gemetar, dan suaranya menjadi lirih terputus-putus. Yang dapat dia ucapkan hanya mengulang nilai uang yang sudah disebutkan anaknya.

Tanpa bisa memberikan janji muluk-muluk kepada anak-nya, wanita penjual jamu itu beranjak ke tempat tidur untuk beristirahat sejenak. Akan tetapi, alih-alih dapat tidur dengan nyenyak, semakin dia mencoba memejamkan mata, semakin gelisah pula dia dibuatnya.

Ketika matanya rapat menutup, silih berganti bayangan yang menakutkan dan lintasan kejadian pada masa depan yang suram tergambar di benaknya bak sebuah film horor yang terus-menerus menghantui.

Dia pun berusaha menenangkan diri dengan membetulkan posisi tubuhnya dan berkali-kali dia menarik napas dalam dan mengembuskannya panjang-panjang. Sedikit demi sedikit otak-nya mulai dapat diajak berpikir.

Malangnya, setiap kali otaknya mengalkulasi, setiap kali itu pula dia merasa kepalanya dibenturkan ke sebuah dinding baja. Dengan segala macam tunggakan, utang di warung sebelah, bahan baku jamu yang belum terbayar semuanya, ketercukupan kebutuhan pangan hanya untuk sehari saja, dan beban harus membayar uang sekolah anaknya seolah melengkapi seluruh penderitaannya.

Hampir semalaman, dia takdapat memicingkan matanya, kasur yang tipis terasa semakin tipis. Kamar yang pengap kini terasa semakin membekap. Memang, dunia tak pernah memberikan ampun kepada mereka-mereka yang kalah.

Sepertiga malam yang penghujung pun terlalui. Rasa letih pun pada akhirnya mengalahkan semuanya. Setelah gelombang kekalutannya beranjak surut, akhirnya dia sampai pada sebuah kesadaran bahwa kepasrahan adalah satu-satunya jalan untuk meringankan beban perasaan.

Apa sih, yang bisa dilakukan seorang wanita lemah semacam dirinya. Dia tidak punya apa-apa selain keinginan untuk keluar dari permasalahan tersebut. Dia pun sadar, hanya Allahlah satu-satunya yang dapat menolong. Ketika jajan sudah buntu, ke kiri jurang ke kanan jurang, tidak ada lagi yang bisa dimintai pertolongan selain Zat yang mengatur segalanya.

Pada saat tetesan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya, dia bergumam lirih, "Duh Gusti, hamba minta tolong dari segala kesulitan ini. Tidak ada yang bisa menjadi tempat bergantung selain pada-Mu."

Dibelainya kepala sang Anak yang tertidur di sampingnya perlahan. Damai terasa menyergap bersama dinginnya malam yang gelap. Dalam lelah, si Ibu tertidur setengah bertelekan di tepian ranjang kayu. Tidur yang teramat singkat, tiga puluh menit saja mungkin lamanya.

Ketika azan shubuh dari mushala sebelah berkumandang, sang Ibu merasa lebih segar. Pukul enam pagi, dia sudah berkemas dan siap untuk memulai berjualan dengan berjalan kaki. Telombong segera dipondong, botol-botol yang semula kosong kini telah kembali tampil kinclong.

Dia telah membulatkan tekad untuk menawarkan sebuah opsi kepada seorang pelanggan setianya. Dia akan mengajukan sebuah proposal, suplai jamu terusan dengan setengah pembayaran di muka, tentu saja untuk membayar uang sekolah anaknya.

Singkat kata, dengan tutur kata yang halus, disampaikanlah maksudnya. Sayang, rencana manusia terkadang berjalan takseirama dengan orkestrasi semula. Maksudnya itu dipahami, tetapi sang pelanggan tidak dapat membantunya. Lunglailah badan si Ibu penjual jamu itu.

Tak bersemangat lagi dia untuk menghadapi hari itu yang baginya terasa semakin mirip dengan neraka dunia. Rasa putus asa itu memang menghancurkan. Dia mengubah warna dari semula yang bak bianglala menjadi hegemoni tunggal hitam belaka.

Namun, dengan sisa tenaga yang ada, dia terus mencoba, dan akhirnya pada rumah kelima, proposalnya diterima. Tepat pukul dua, dia sudah duduk di depan meja petugas tata usaha sekolah anaknya. Enam lembar uang lima puluh ribuan pun berpindah tangan dan segera bertukar dengan selembar kertas kuitansi. Selembar kertas kumal yang baginya tampak seindah Pulau Bali.

Barang siapa hatinya dihadirkan oleh Allah kala berdoa, niscaya doa itu tidak akan ditolak. (Yahya bin Mu'adz Ar Razi)

Sabtu, 16 Juli 2011

Doa Seorang Pemburu

Suatu pagi, seorang laki-laki pergi hendak berburu mencari rezeki yang halal. Namun, sampai hampir malam, ia belum mendapatkan satu pun binatang buruan. la lalu berdoa sepenuh hati, "Ya Allah, anak-anakku menunggu kelaparan di rumah, berilah aku seekor binatang buruan."

Tidak lama setelah doanya selesai ia panjatkan, Allah memberikannya rezeki: jala yang dibawa pemburu itu mengenai seekor ikan yang sangat besar. la pun bersyukur kepada Allah dan pulang ke rumah dengan penuh bahagia.

Di tengah perjalanan pulang, ia bertemu dengan kelompok raja yang hendak berburu juga. Raja heran dan takjub luar biasa begitu melihat ikan sebegitu besar yang dibawa pemburu itu. Lalu, ia menyuruh pengawal untuk mengambil ikan itu secara paksa dari tangan sang Pemburu.

Dibawanya ikan itu pulang dengan bahagia. Ketika sampai di istana, ia keluarkan ikan itu dan bolak-balik sambil tertawa ria, tiba-tiba, ikan itu mengigit jarinya dan mengakibatkan badannya jadi panas dingin sehingga malam itu Raja tidak dapat tidur.

Dihadirkanlah seluruh dokter untuk mengobati sakitnya. Semua dokter menyarankan agar jarinya itu dipotong untuk rnenghindari tersebarnya racun ke anggota badan lainnya. Raja pun menyetujui nasihat mereka. Namun, setelah jarinya dipotong, ia tetap tidak dapat istirahat karena ternyata racun itu telah menyebar ke bagian tubuh lainnya.

Para dokter pun menyarankan agar pergelangan tangan raja dipotong dan Raja pun menyetujuinya. Namun, setelah pergelangan tangannya dipotong, tetap saja Raja tidak dapat memejamkan matanya, bahkan rasa sakitnya makin bertambah. la berteriak dan meringis dengan keras karena racun itu telah merasuk dan menyebar ke anggota tubuh lainnya.

Seluruh dokter akhirnya menyarankan agar tangan Raja sampai siku dipotong, Raja pun menyetujuinya. Setelah lengannya dipotong, sakit jasmaninya kini telah hilang, tetapi diri dan jiwanya tetap belum tenang. Semua dokter akhirnya menyarankan, agar Raja dibawa ke seorang dokter jiwa (ahli hikmah).

Dibawalah sang Raja menemui seorang dokter jiwa dan diceritakan seluruh kejadian seputar ikan yang ia rebut dari pemburu itu.

Mendengar itu, ahli hikmah berkata, "Jiwa Tuan tetap tidak akan tenang selamanya sampai pemburu itu memaafkan dosa dan kesalahan yang telah Tuan perbuat."
Dicarinya pemburu itu dan setelah didapatkan, Raja menceritakan kejadian yang dialaminya dan ia memohon agar si Pemburu itu memaafkan semua kesalahannya. Si Pemburu pun memaafkannya dan keduanya saling berjabat tangan.

Sang Raja penasaran ingin mengetahui apa yang dikatakan si Pemburu ketika Raja mengambil paksa ikannya. la bertanya, "Wahai pemburu, apa yang kaukatakan ketika prajuritku merampas ikanmu itu?"

Pemburu itu menjawab, "Tidak ada kecuali aku hanya mengatakan, 'Ya Allah, sesungguhnya dia telah menampakkan kekuatannya kepadaku, perlihatkanlah kekuatan-Mu kepadanya!"'

Sungguh, doa orang teraniaya sangat mustajab maka berhati-hatilah dalam bertindak.

Jika ada yang mengancammu dengan kebinasaan, jawablah ancamannya dengan nasihat dan doa. (Ja'far Ash Shadiq)

Pelajaran dari Ibrahim

Nabi Ibrahim Khalilullah pernah memanjatkan doa di tempat penggembalaan ternaknya di sebuah bukit di Baitul Maqdis. Lalu, dia bertemu dengan seorang laki-laki ahli ibadah. Kemudian, terjadilah dialog di antara keduanya.

Ibrahim bertanya, "Hari apakah yang paling mulia?"

Ahli ibadah itu menjawab, "Hari pembalasan, ketika manusia dibalas, antara yang satu dan sebagian yang lain."

"Apakah engkau bisa mengangkat tanganmu untuk berdoa, sedangkan aku sendiri juga mengangkat tangan mengaminkan doamu agar kita dihindarkan dari kesengsaraan hari itu?" ungkap Ibrahim.

"Janganlah engkau mengharapkan doaku. Demi Allah, aku pernah berdoa sejak tiga puluh tahun silam, tetapi sampai sekarang doaku belum dikabulkan," jawabnya.

"Apakah engkau mau kuberitahu tentang sesuatu yang mengekang doamu?"

"Ahli ibadah itu menjawab, "Ya."

"Sesungguhnya jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya Dia akan menahan doanya agar dia selalu bermunajat, mengiba, dan memohon kepada-Nya. Sementara, jika Dia marah kepada seorang hamba, niscaya Dia akan cepat mengabulkan doanya atau menghunjamkan keputusasaan di dalam hatinya."

Jika doa seorang hamba selalu dikabulkan setiap kali dia meminta, ketahuilah dia bukanlah hamba lagi. Dia diperintahkan berdoa karena dia seorang hamba dan Allah melakukan apa saja yang Dia kehendaki. (Al Syaikh Al Baha'i)

Kubah Ajaib

Suatu hari, Nabi Sulaiman menerima wahyu dari Allah agar pergi ke tepian sebuah pantai untuk menyaksikan keajaiban yang akan ditunjukkan Allah kepadanya. Beliau pun segera pergi ke pantai tersebut dengan diiringi para pengikutnya.

Setibanya di pantai, Nabi Sulaiman terus mengintai-ngintai untuk mencari sesuatu, seperti yang dikatakan oleh Allah. Setelah lama mencari, dia tidak menjumpai apa pun selain desiran ombak dan butir-butir pasir yang terhampar luas.

Perdana menterinya yang bernama Asif bin Barkhiya meminta izin untuk menyelam ke dalam samudra. Setelah mendapat izin, dia membaca sesuatu dan terus menyelam ke dalam laut. Tidak lama kemudian, Asif menjumpai sebuah kubah yang sangat indah.

Kubah tersebut mempunyai empat penjuru, setiap penjuru mempunyai pintu. Pintu pertama terbuat dari mutiara, pintu kedua terbuat dari zamrud berwarna merah, pintu ketiga terbuat dari jauhar, sedangkan pintu keempat terbuat dari zabarjad. Pintu-pintu tersebut terbuka luas, tetapi sangat aneh, air tidak masuk ke dalamnya.

Dengan kuasa yang diberikan oleh Allah, Asif dapat membawa kubah tersebut naik ke darat dan diletakkan di hadapan Nabi Sulaiman. Putra Nabi Daud ini sangat takjub melihat keindahan kubah tersebut. dia segera masuk dan mendapati seorang pemuda berada di dalamnya.

Pemuda tersebut tidak sadar kalau kubahnya telah diangkat ke daratan. Dia tengah sibuk bermunajat kepada Allah. Nabi Sulaiman memberi salam. Pemuda itu menyambut salam dengan perasaan terkejut. Nabi Sulaiman memperkenalkan dirinya kepada pemuda itu, yaitu bahwa dia adalah seorang nabi yang diperintahkan Allah untuk melihat keajaiban yang dikaruniakan kepadanya.

Nabi Sulaiman bertanya kepada pemuda tersebut, bagai-mana dia bisa berada di dalam kubah yang terletak di dasar laut. Pemuda tersebut menceritakan bahwa dia telah berkhidmat kepada orang tuanya selama tujuh puluh tahun. Ayahnya adalah seorang yang lumpuh, sedangkan ibunya seorang yang buta.

Suatu hari, ketika ibunya hendak meninggal dunia, dia memanggil si Pemuda dan memaklumkan bahwa ibunya telah rela atas pengkhidmatan yang diberikan olehnya. Ibunya berdoa kepada Allah agar anaknya dipanjangkan umur dan senantiasa taat kepada Allah.

Setelah ibunya meninggal dunia, tidak lama kemudian, ayahnya pun meninggal dunia. Sebelum meninggal dunia, dia juga telah ridha terhadap pengkhidmatan yang diberikan olehnya. Dia pun berdoa agar anaknya diletakkan di suatu tempat yang tidak dapat diganggu oleh setan.

Doa kedua orang tuanya itu diijabah oleh Allah 'Azza wa Jalla. Suatu hari, ketika pemuda itu berjalan-jalan di tepian pantai, dia melihat sebuah kubah yang sedang terapung di tepian pantai. Ketika dia menghampiri kubah tersebut, ada suara yang menyeru agar dia masuk ke dalamnya.

Ketika sudah berada di dalam, tiba-tiba saja kubah tersebut bergerak dan masuk ke dasar lautan. Tidak lama kemudian, datanglah seseorang yang memperkenalkan diri sebagai malaikat utusan Allah. Dia mengatakan, bahwa kubah itu adalah anugerah Allah kepadanya sebagai balasan atas pengabdiannya kepada kedua orang tuanya.

Dia pun boleh tinggal sesukanya di sana tanpa perlu mengkhawatirkan segala kebutuhan hidupnya. Malaikat itu mengatakan bahwa dia diperintahkah Allah untuk membawa kubah tersebut ke dasar laut. Sejak itulah, sang Pemuda terus bermunajat kepada Allah sampai Allah berkenan mengangkatnya ke darat.

"Berapa lama engkau telah berada di dalam kubah ini?" tanya Nabi Sulaiman.

Pemuda itu menjawab, "Saya tidak menghitungnya, tetapi saya memasukinya pada masa Nabi Ibrahim."

Nabi Sulaiman terdiam lalu berkata, "Itu artinya, engkau telah berada di dalam kubah ini selama dua ribu empat ratus tahun." Nabi Sulaiman melanjutkan, "Wajahmu tidak berubah, malah tetap muda walaupun sudah dua ribu empat ratus tahun lamanya. Bagaimana engkau bisa hidup di dalam kubah di dasar lautan itu?" tanya Nabi Sulaiman.

"Di dalam kubah itu sendiri, aku tidak tahu di mana berada. Di langitkah atau di udara, tetapi Allah tetap memberikan rezeki kepadaku ketika aku tinggal di dalam kubah ini."

"Bagaimana Allah memberi makan kepadamu?"

"Jika aku merasa lapar, Allah menciptakan pohon di dalam kubah lalu buahnya aku makan. Jika aku merasa haus, keluarlah air yang teramat bersih, lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu."

"Bagaimana engkau mengetahui perbedaan siang dan malam?" tanya Sulaiman semakin heran.

"Apabila telah terbit fajar, kubah ini menjadi putih, dari situ aku mengetahui kalau hari itu sudah siang. Apabila matahari terbenam, kubah akan menjadi gelap dan aku mengetahui hari sudah malam," tuturnya.

Nabi Sulaiman pun bertanya apakah sang Pemuda mau ikut bersamanya atau tetap tinggal di dalam kubah.

"Nikmat apa lagi yang harus aku minta selain dari nikmat yang dikaruniakan oleh Allah kepadaku ini," jawabnya.

"Adakah engkau ingin pulang ke tempat asalmu."

"Ya, antarkanlah aku ke tempat asalku."

Setelah kubah tersebut kembali ke tempat asalnya, Nabi Sulaiman berkata kepada kaumnya, "Kalian telah melihat keajaiban yang dikaruniakan oleh Allah. Lihatlah betapa besar balasan yang Allah berikan kepada orang yang taat kepada orang tuanya dan betapa besar siksaannya kepada orang yang durhaka kepada kedua ibu-bapaknya."

Beliau pun beranjak meninggalkan tempat tersebut dan bersyukur kepada Allah karena telah memberikan kesempatan untuk menyaksikan salah satu kekuasaan-Nya.

Aku telah mempelajari apa yang telah dipelajari manusia dan juga yang tidak mereka pelajari. Sungguh, aku tidak menemukan sesuatu yang lebih indah seindah takwa kepada Allah. (Nabi Sulaiman)

Tempe Setengah Jadi

Abah dan Emak tinggal di sebuah desa yang cukup terpencil. Setiap hari, mereka bekerja membuat tempe untuk kemudian Abah menjualnya ke pasar. Jualan tempe merupakan satu-satunya sumber pendapatan mereka untuk bertahan hidup.

Pada satu pagi, Abah jatuh sakit, Emak pun mengambil alih tugas menjual tempe. Saat tengah bersiap-siap untuk pergi ke pasar menjual tempenya, tiba-tiba Emak sadar bahwa tempe buatannya hari itu masih belum matang, masih separah jadi.

Emak merasa sangat sedih karena tempe yang masih muda dan belum matang pastinya tidak akan laku. Itu artinya, untuk hari itu, mereka tidak akan mendapatkan pemasukan. Ketika Emak dalam kesedihan, tiba-tiba Abah mengingatkan Emak bahwa Allah Swt mampu melakukan perkara-perkara ajaib karena tiada yang mustahil bagi-Nya.

Emak pun mengangkat kedua tangannya sambil berdoa, "Ya Allah, aku mohon kepada-Mu agar kacang kedelai ini menjadi tempe, amin." Begitulah doa ringkas yang dipanjatkan dengan sepenuh hatinya. Emak sangat yakin Allah pasti mengabulkan doanya.

Dengan tenang, Emak pun menekan-nekan bungkusan bakal tempe dengan ujung jarinya. Emak pun membuka sedikit bungkusan itu untuk menyaksikan keajaiban kacang kedelai itu menjadi tempe. Emak termenung seketika sebab kacang itu masih tetap kacang kedelai yang belum matang benar.

Namun, Emak tidak putus asa. Dia berpikir mungkin doanya kurang jelas didengar oleh Allah. Emak pun mengangkat kedua tangannya kembali dan berdoa lagi, "Ya Allah, aku tahu bahwa tiada yang mustahil bagi-Mu. Bantulah aku supaya hari ini aku dapat menjual tempe karena inilah mata pencarian kami. Aku mohon, jadikanlah kacang kedelaiku ini menjadi tempe, amin."

Dengan penuh harapan, Emak pun sekali lagi membuka sedikit bungkusan itu. Apakah yang terjadi? Emak menjadi heran sebab kacang-kacang kedelai itu ... masih tetap seperti semula!

Hari pun semakin siang. Artinya, pasar pun sudah ramai didatangi pembeli. Emak tetap tidak kecewa atas doanya yang belum terkabul. Berbekal keyakinan yang sangat tinggi, Emak memaksakan diri untuk tetap pergi ke pasar membawa barang jualannya itu. Emak berpikir, mungkin keajaiban Allah akan terjadi dalam perjalanannya ke pasar.

Dia pun berangkat ke pasar. Semua perlengkapan untuk menjual tempe, seperti biasa, dibawa bersama. Sebelum keluar dari rumah, Emak sempat mengangkat kedua tangannya untuk berdoa, "Ya Allah, aku percaya, Engkau akan mengabulkan doaku. Sementara, aku berjalan menuju ke pasar, karuniakanlah keajaiban ini buatku, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe, amin." Dengan penuh keyakinan, wanita tua ini pun berangkat. Di sepanjang perjalanan, dia tetap tidak lupa membaca doa di dalam hatinya.

Sesampai di pasar, cepat-cepat, Emak meletakkan barang-barangnya. Emak betul-betul yakin kalau tempenya sekarang sudah benar-benar matang dan siap untuk dijual. Dengan hati yang berdebar-debar, Emak pun membuka bakulnya dan menekan-nekan dengan jarinya setiap bungkusan yang ada. Perlahan-lahan, Emak membuka sedikit daun pembungkusnya dan melihat isinya. Apa yang terjadi? Tempenya benar-benar tidak berubah, masih seperti semula!

Emak menarik napas dalam-dalam. Harapan dikabulkan-nya doa perlahan menipis. Emak merasa Allah tidak adil. Allah tidak kasihan kepadanya. Inilah satu-satunya sumber penghasilannya: berjualan tempe.

Dia pun hanya duduk saja tanpa membuka barang dagangannya itu sebab dia yakin bahwa tiada orang yang akan membeli tempe yang baru setengah jadi. Hari pun beranjak petang dan pasar sudah mulai sepi, para pembeli sudah mulai berkurang.

Emak melihat para penjual tempe lainnya, jualan mereka sudah hampir habis. Emak tertunduk lesu seperti tidak sanggup menghadapi kenyataan bahwa dia pulang tanpa membawa hasil jualannya hari itu.

Namun, jauh di sudut hatinya, Emak masih menaruh harapan terakhir kepada Allah, pasti Allah akan menolongnya. Walau tahu bahwa hari itu dia tidak akan mendapatkan pendapatan langsung, tetapi Emak berdoa untuk terakhir kali "Ya Allah, berikanlah penyelesaian terbaik terhadap tempeku yang belum jadi ini."

Tiba-tiba, Emak dikejutkan oleh teguran seorang wanita. "Bu ...! Maaf ya, saya ingin bertanya, apakah Ibu menjual tempe yang belum jadi? Dari tadi, saya sudah pusing berkeliling pasar ini untuk mencarinya, tapi tidak ketemu juga."

Emak langsung termenung, seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya. Betapa tidak terkejut, sejak sepuluh tahun dia menjual tempe, tidak pernah ada seorang pun pelanggan yang mencari tempe belum jadi.

Sebelum Emak menjawab sapaan wanita di depannya itu, cepat-cepat Emak berdoa di dalam hatinya "Ya Allah, saat ini aku tidak mau tempe ini menjadi matang. Biarlah kacang kedelai ini tetap seperti semula, amin."

Sebelum menjawab wanita itu, Emak pun membuka sedikit daun penutupnya. Alangkah senangnya hati Emak, ternyata memang benar, tempenya masih seperti semula! Hati Emak pun bersorak gembira. "Alhamdulillah," ucapnya.

Wanita itu pun memborong semua tempenya yang belum jadi itu. Sebelum wanita itu pergi, Emak sempat bertanya mengapa dia membeli tempe yang belum jadi. Wanita itu menerangkan bahwa anaknya yang tengah sekolah di Inggris ingin makan tempe dari desa.

Karena tempe itu akan dikirimkan ke tempat anaknya itu, si Ibu pun membeli tempe yang belum jadi. Harapannya, apabila sampai di Eropa nanti, akan menjadi tempe yang sempurna. Kalau dikirimkan tempe yang sudah jadi, sesampainya di sana, tempe itu sudah tidak enak lagi dimakan.

Demi Allah, tiada seorang pun yang berbaik sangka kepada Allah, melainkan pasti akan memberikan kepadanya apa yang dia sangkakan. Sebab, semua kebaikan itu ada dalam genggaman Allah.

Maka apabila Allah sudah memberi husnuzan-Nya, berarti Allah akan memberi apa yang disangkakannya itu. (Abdullah bin Mas'ud)