Dia bernama Abdullah bin Idris Al-Kaudi Al-Kufi atau terkenal dengan nama Abdullah bin Idris. Dia memiliki kemuliaan melebih para raja, hidup dalam kesederhanaan, dan menjadi suri teladan bagi semua orang.
Suatu hari Harun Ar-Rasyid memanggilnya. la pun bertanya kepada Ibnu Idris, "Tahukah kamu mengapa aku memanggilmu?"
"Tidak," jawab Ibnu Idris singkat.
Harun menjelaskan, "Penduduk negeri ini memintamu menjadi hakim bagi mereka. Namamu disebut mereka di antara nama-nama lain. Setelah aku mempertimbangkannya, aku setuju untuk memercayakan jabatan itu kepadamu demi kemaslahatan umat. Bersumpahlah dan lakukan tugasmu sebagaimana mestinya!"
Ibnu Idris menolak tawaran tersebut dengan berkata, "Aku bukanlah orang yang cocok untuk jabatan tersebut."
Jawaban itu membuat Harun Ar-Rasyid kecewa dan marah. la pun berseru kepada Ibnu Idris, "Seandainya aku tidak memanggilmu!"
Ibnu Idris juga membalas, "Ya, seandainya aku tidak memenuhi panggilanmu!" katanya sambil meninggalkan Harun Ar-Rasyid di ruangannya.
Harun kaget melihat reaksi Ibnu Idris yang meninggalkannya begitu saja. Sebagai ungkapan penyesalan, ia segera memanggil pengawalnya agar menyusul Ibnu Idris untuk memberikan bekal perjalanan sebesar lima puluh ribu dirham.
Pengawal itu dengan sigap mengejar dia, lalu menyampaikan pesan raja kepadanya, "Amirul Mukminin menyampaikan salam kepadamu dan memberikan uang ini sebagai bekal perjalananmu!" Namun, Ibnu Idris menolaknya dengan tegas.
Mengetahui niat baiknya ditolak, Harun mengirim surat kepadanya yang isinya, "Semoga Allah memaafkan kita. Kami memintamu untuk masuk ke dalam amal kami, tetapi engkau tidak mau. Lalu, kami kirimkan sebagian uang kami kepadamu, tetapi engkau tidak menerimanya. Jika anakku yang bernama Al-Ma'mun datang kepadamu, ajarilah dia hadis, insya Allah."
Setelah membaca surat itu, Ibnu Idris berkata kepada pengawal Harun, "Jika dia datang kepada kami bersama-sama, akan saya riwayatkan hadis kepadanya, insya Allah."
Dengan kebesaran hati Ibnu Idris tersebut, selesailah pertikaian di antara mereka.
Banyak ulama yang menghindari kedudukan dan kekuasaan, antara lain sebagai berikut:
- Manshur bin Al-Mu'tamir As-Sulami menolak untuk diangkat sebagai seorang hakim. Dikirimlah serombongan pasukan untuk memaksanya. Kepada Yusuf bin Umar komandan pasukan tersebut dikatakan, "Walaupun engkau koyak kulit tubuhku, aku tidak akan mau untuk menerima tawaran tersebut." Kemudian Manshur pun ditinggalkan.
- Abu Qilabah Al-Jarmi, salah seorang tabiin, lari meninggalkan negerinya dari Bashrah hingga daerah Yamamah dan meninggal di sana. Beliau lari untuk menghindari tawaran menjadi seorang hakim. Ayyub As-Sikhtiyani pernah menemuinya dan bertanya tentang alasan beliau untuk lari menghindar. Abu Qilabah menjawab, "Aku tidak melihat sebuah perumpamaan yang tepat untuk seorang hakim, kecuali seseorang yang tercebur di dalam lautan yang luas, hingga kapan dia akan mampu berenang? Pasti dia akan tenggelam."
- Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyi ketika menolak untuk diangkat menjadi seorang hakim, beliau berkata kepada seseorang yang menanyakan sebab penolakannya, "Apakah engkau tidak mengerti bahwa para ulama akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama para nabi? Sementara itu, para hakim akan dikumpulkan bersama para penguasa."
- Al-Mughirah bin Abdillah Al-Yasykuri menolak permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menjadi seorang hakim. Beliau beralasan, "Sungguh demi Allah, wahai Amirul Mukminin, aku lebih memilih dicekik setan daripada harus memegang kedudukan sebagai hakim!" Ar-Rasyid, lalu berkata, "Tidak ada lagi keinginan selain itu." Kemudian Harun Ar-Rasyid pun mengabulkan permintaannya.
- Al-lmam Abdurrahman bin Mahdi berkata, "Amirul Mukminin memaksa Sufyan Ats-Tsauri untuk memegang kedudukan sebagai hakim. Sufyan pun berpura-pura menjadi orang bodoh agar terbebas. Setelah Amirul Mukminin mengetahui hal tersebut, Sufyan pun dibebaskan, lalu ia melarikan diri."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar