Sejak kanak-kanak, Muhammad terkenal dengan kejujurannya. Penduduk Mekah berkata tentang sifat amanah beliau, "Jika engkau harus pergi dan perlu seseorang untuk menjaga istrimu, percayakan dia kepada Muhammad tanpa ragu-ragu sebab dia tidak akan menatap sekejap pun pada wajahnya. Jika engkau ingin memercayakan hartamu untuk dijaga, percayakan kepada orang jujur dan dapat dipercaya ini sebab dia tidak akan pernah menyentuhnya. Jika engkau mencari seseorang yang tidak pernah berbohong dan tidak pernah melanggar kata-katanya, pergilah ke Muhammad sebab apa pun yang dikatakannya adalah benar!"
Seluruh penduduk Mekah menaruh kepercayaan yang tinggi kepada Rasulullah saw. Mereka tidak sungkan-sungkan untuk menitipkan barang-barangnya yang berharga kepada Rasulullah. Bahkan, setelah beliau diangkat menjadi rasul pun, musuh-musuhnya masih ada yang memercayakan barang-barangnya kepada beliau.
Para pemuda Mekah menyapa Rasulullah saw. ketika melintas di depan mereka seraya berkata kepada beliau, "Demi Allah, wahai Muhammad, engkau terkenal sebagai seseorang yang tidak pernah mengingkari janji, baik di masa kecilmu maupun sesudah engkau dewasa."
Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi
Minggu, 14 Maret 2010
Jumat, 12 Maret 2010
Kaum Muslimin yang Tertindas
Kaum muslimin dibuat gusar oleh kesepakatan antara Rasulullah saw. dan pihak Quraisy yang diwakili oleh Suhail, ayah Abu Jandal r.a. Dalam kesepakatan yang terkenal dengan Perjanjian Hudaibiyah itu tertulis bahwa pihak muslimin harus mengembalikan setiap orang dari pihak Quraisy yang menggabungkan diri dengan kaum muslimin setelah perjanjian tersebut disepakati.
Ketika itu datanglah Abu Jandal bin Suhail r.a dalam keadaan terikat dan telah mengalami siksaan oleh kaum Quraisy karena keislamannya. Tentu saja dengan isi perjanjian itu Abu Jandal r.a tidak akan mendapat pertolongan dari kaum muslimin di Medinah karena ia harus tetap berada di Mekah dan kembali mengalami siksaan.
Abu Jandal r.a. memohon, "Saudara-saudara muslimin, apakah kalian akan mengembalikan aku kepada orang-orang musyrik itu agar mereka menyiksaku karena keislamanku?"
Sebenarnya kaum muslimin tidak tega melihat kekejaman dan penyiksaan kaum musyrikin Quraisy yang ditimpakan kepada Abu Jandal r.a. Rasulullah pun menitikkan air matanya karena melihat kondisi Abu Jandal r.a yang kepayahan dan memelas mohon pertolongan.
Namun, apa daya meskipun perjanjian hitam di atas putih belum selesai ditandatangani, Rasulullah saw. tetap harus mengembalikan Abu Jandal r.a. ke Mekah untuk memenuhi perjanjian tersebut.
Rasulullah bersabda kepada Abu Jandal r.a, "Abu Jandal, bersabarlah, sesungguhnya Allah akan memberikan jalan keluar kepadamu dan orang-orang tertindas yang bersamamu."
Kejadian tersebut tidak hanya menimpa Abu Jandal r.a, tetapi juga Utbah bin Asid r.a yang lebih dikenal dengan nama Abu Bashir. Ia melarikan diri dari kota Mekah setelah Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani dengan maksud meminta perlindungan dari kaum muslimin di Medinah dari penyiksaan kaum Quraisy.
Kemudian kaum musyrikin Quraisy mengirim dua orang utusan untuk meminta Abu Bashir r.a dikembalikan kepada mereka karena terikat dengan Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw pun mengembalikan Abu Bashir r.a kepada mereka.
Namun, di tengah perjalanan kembali ke kota Mekah, Abu Bashir r.a melakukan perlawanan. Ia berhasil membunuh salah satu utusan Quraisy dan membuat satu orang lainnya kabur.
Abu Bashir r.a pun kembali ke Medinah menemui Rasulullah saw dan menyampaikan kepada beliau, "Demi Allah, Anda telah mengembalikan aku kepada mereka, tetapi Allah menyelamatkanku dari tindakan mereka!"
Rasulullah saw tetap bersikukuh tidak akan menerima Abu Bashir r.a di Medinah. Akhirnya, beliau bersabda, "Orang-orang Quraisy itu akan celaka jika mereka mengobarkan perang terhadapmu seandainya kau ada kawannya!"
Abu Bashir r.a menangkap maksud di balik ucapan Rasulullah saw. Ia pun meninggalkan Medinah, tetapi bukan untuk ke Mekah, melainkan ke sebuah tempat di daerah pesisir bernama Ish tempat jalur dagang kafilah Mekah menuju Syam.
Ia mengajak seluruh kaum muslimin, termasuk Abu Jandal r.a untuk meninggalkan kota Mekah dan bergabung dengannya. Mereka pun menyusun kekuatan di sana dan menjegal serta melumpuhkan setiap kafilah dagang musyrikin Quraisy yang lewat menuju Syam.
Ulah kawanan Abu Bashir r.a dan Abu Jandal r.a yang mengobrak-abrik perdagangan kaum Quraisy membuat mereka 'kebakaran jenggot'. Mereka pun meminta perlindungan dari Rasulullah saw di Medinah dan membatalkan pasal yang awalnya dianggap menguntungkan mereka dan merugikan kaum muslimin.
Akhirnya, Rasullullah saw mengirim utusan kepada kawanan Abu Bashir r.a untuk menghentikan sepak terjangnya terhadap kafilah dagang orang-orang Quraisy dan mengizinkan mereka menetap di Medinah karena perjanjian yang melarang hal itu telah dibatalkan.
Ketika itu datanglah Abu Jandal bin Suhail r.a dalam keadaan terikat dan telah mengalami siksaan oleh kaum Quraisy karena keislamannya. Tentu saja dengan isi perjanjian itu Abu Jandal r.a tidak akan mendapat pertolongan dari kaum muslimin di Medinah karena ia harus tetap berada di Mekah dan kembali mengalami siksaan.
Abu Jandal r.a. memohon, "Saudara-saudara muslimin, apakah kalian akan mengembalikan aku kepada orang-orang musyrik itu agar mereka menyiksaku karena keislamanku?"
Sebenarnya kaum muslimin tidak tega melihat kekejaman dan penyiksaan kaum musyrikin Quraisy yang ditimpakan kepada Abu Jandal r.a. Rasulullah pun menitikkan air matanya karena melihat kondisi Abu Jandal r.a yang kepayahan dan memelas mohon pertolongan.
Namun, apa daya meskipun perjanjian hitam di atas putih belum selesai ditandatangani, Rasulullah saw. tetap harus mengembalikan Abu Jandal r.a. ke Mekah untuk memenuhi perjanjian tersebut.
Rasulullah bersabda kepada Abu Jandal r.a, "Abu Jandal, bersabarlah, sesungguhnya Allah akan memberikan jalan keluar kepadamu dan orang-orang tertindas yang bersamamu."
Kejadian tersebut tidak hanya menimpa Abu Jandal r.a, tetapi juga Utbah bin Asid r.a yang lebih dikenal dengan nama Abu Bashir. Ia melarikan diri dari kota Mekah setelah Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani dengan maksud meminta perlindungan dari kaum muslimin di Medinah dari penyiksaan kaum Quraisy.
Kemudian kaum musyrikin Quraisy mengirim dua orang utusan untuk meminta Abu Bashir r.a dikembalikan kepada mereka karena terikat dengan Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw pun mengembalikan Abu Bashir r.a kepada mereka.
Namun, di tengah perjalanan kembali ke kota Mekah, Abu Bashir r.a melakukan perlawanan. Ia berhasil membunuh salah satu utusan Quraisy dan membuat satu orang lainnya kabur.
Abu Bashir r.a pun kembali ke Medinah menemui Rasulullah saw dan menyampaikan kepada beliau, "Demi Allah, Anda telah mengembalikan aku kepada mereka, tetapi Allah menyelamatkanku dari tindakan mereka!"
Rasulullah saw tetap bersikukuh tidak akan menerima Abu Bashir r.a di Medinah. Akhirnya, beliau bersabda, "Orang-orang Quraisy itu akan celaka jika mereka mengobarkan perang terhadapmu seandainya kau ada kawannya!"
Abu Bashir r.a menangkap maksud di balik ucapan Rasulullah saw. Ia pun meninggalkan Medinah, tetapi bukan untuk ke Mekah, melainkan ke sebuah tempat di daerah pesisir bernama Ish tempat jalur dagang kafilah Mekah menuju Syam.
Ia mengajak seluruh kaum muslimin, termasuk Abu Jandal r.a untuk meninggalkan kota Mekah dan bergabung dengannya. Mereka pun menyusun kekuatan di sana dan menjegal serta melumpuhkan setiap kafilah dagang musyrikin Quraisy yang lewat menuju Syam.
Ulah kawanan Abu Bashir r.a dan Abu Jandal r.a yang mengobrak-abrik perdagangan kaum Quraisy membuat mereka 'kebakaran jenggot'. Mereka pun meminta perlindungan dari Rasulullah saw di Medinah dan membatalkan pasal yang awalnya dianggap menguntungkan mereka dan merugikan kaum muslimin.
Akhirnya, Rasullullah saw mengirim utusan kepada kawanan Abu Bashir r.a untuk menghentikan sepak terjangnya terhadap kafilah dagang orang-orang Quraisy dan mengizinkan mereka menetap di Medinah karena perjanjian yang melarang hal itu telah dibatalkan.
Larangan Ikut Perang karena Perjanjian
Kaum muslimin berbondong-bondong meninggalkan Mekah menuju Medinah, sebuah kota yang awalnya bernama Yastrib. Hijrahnya kaum muslimin tersebut mendapat rintangan dari penduduk asli Mekah yang membenci Islam, yaitu kaum musyrikin Quraisy. Segala upaya mereka gencarkan untuk mencegah kaum muslimin keluar dari kota Mekah dan bergabung dengan Rasulullah saw di Medinah.
Suatu hari Hudzaifah bin Yaman r.a beserta ayahnya, Husain r.a, hendak menyusul Rasulullah saw hijrah ke Medinah. Namun, di tengah perjalanan orang-orang Quraisy mencegat dan menginterogasi mereka, "Apakah kalian berdua hendak berhijrah mengikuti Muhammad?"
"Tidak, kami hanya hendak ke Medinah," jawab Hudzaifah r.a. Ia menjawab demikian agar mereka diizinkan lepas dari kepungan orang-orang musyrikin Ouraisy.
Mendengar jawaban Hudzaifah r.a, salah seorang dari mereka berkata, "Kami izinkan kalian meneruskan perjalanan ke Medinah, tetapi awas kalau kami melihat kalian berperang bersama Muhammad nanti!"
"Baiklah, kami tidak akan ikut berperang bersama kaum muslimin di Badar!" kata Hudzaifah r.a tegas. Ia mengatakan demikian agar terbebas dari cengkeraman kaum musyrikin Quraisy, bukan karena keinginan sebenarnya.
Mendengar janji Hudzaifah, orang-orang Quraisy tersebut membiarkan mereka melanjutkan perjalanan menuju Medinah.
Hari pertemuan antara pasukan muslimin dan pasukan musyrikin Quraisy pun tiba. Mereka bertemu di medan pertempuran di daerah Badar yang kelak dikenal dengan Perang Badar.
Rasulullah saw melihat Hudzaifah r.a dan ayahnya berada dalam barisan pasukan muslimin untuk ikut berperang melawan pasukan musyrikin Quraisy.
Kemudian beliau mendekati mereka seraya berkata, "Ingatlah perjanjian kalian dengan orang-orang Quraisy untuk tidak ikut berperang bersama kami. Kembalilah kalian dan tepatilah janji tersebut. Kami akan meminta pertolongan Allah agar bisa mengalahkan mereka."
Suatu hari Hudzaifah bin Yaman r.a beserta ayahnya, Husain r.a, hendak menyusul Rasulullah saw hijrah ke Medinah. Namun, di tengah perjalanan orang-orang Quraisy mencegat dan menginterogasi mereka, "Apakah kalian berdua hendak berhijrah mengikuti Muhammad?"
"Tidak, kami hanya hendak ke Medinah," jawab Hudzaifah r.a. Ia menjawab demikian agar mereka diizinkan lepas dari kepungan orang-orang musyrikin Ouraisy.
Mendengar jawaban Hudzaifah r.a, salah seorang dari mereka berkata, "Kami izinkan kalian meneruskan perjalanan ke Medinah, tetapi awas kalau kami melihat kalian berperang bersama Muhammad nanti!"
"Baiklah, kami tidak akan ikut berperang bersama kaum muslimin di Badar!" kata Hudzaifah r.a tegas. Ia mengatakan demikian agar terbebas dari cengkeraman kaum musyrikin Quraisy, bukan karena keinginan sebenarnya.
Mendengar janji Hudzaifah, orang-orang Quraisy tersebut membiarkan mereka melanjutkan perjalanan menuju Medinah.
Hari pertemuan antara pasukan muslimin dan pasukan musyrikin Quraisy pun tiba. Mereka bertemu di medan pertempuran di daerah Badar yang kelak dikenal dengan Perang Badar.
Rasulullah saw melihat Hudzaifah r.a dan ayahnya berada dalam barisan pasukan muslimin untuk ikut berperang melawan pasukan musyrikin Quraisy.
Kemudian beliau mendekati mereka seraya berkata, "Ingatlah perjanjian kalian dengan orang-orang Quraisy untuk tidak ikut berperang bersama kami. Kembalilah kalian dan tepatilah janji tersebut. Kami akan meminta pertolongan Allah agar bisa mengalahkan mereka."
Bagian untuk Muallaf
Setelah 19 hari seusai penaklukan kota Mekah, kaum Hawazin dan Tsaqif berkumpul di Hunain untuk mengatur rencana memerangi Rasulullah saw. Berita tersebut terdengar oleh Rasulullah saw. Kemudian beliau mengirim mata-mata untuk menyusup ke kubu musuh dan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang persiapan mereka.
Ternyata kaum Hawazin tidak ingin peperangan yang ala kadarnya. Mereka ingin pasukan muslimin ditumpas habis dalam peperangan sehingga mereka mengumpulkan seluruh harta benda berharga mereka dan mengajak kabilah-kabilah yang belum masuk Islam untuk bergabung dengan mereka.
Mendengar informasi bahwa pasukan musuh benar-benar mempersiapkan diri untuk berperang, Rasulullah saw segera menyusun kekuatan untuk menghadapi mereka. Banyak para mualaf yang meminjamkan bala bantuan berupa uang sebanyak 40.000 dirham, 30 ekor unta, 3.000 batang tombak, termasuk 100 buah perisai baja dari Shafwan bin Umayyah, dan 30 buah dari muallaf lainnya.
Hari pertemuan dua pasukan itu pun tiba. Pertemuan dua pasukan yang sangat kuat itu menimbulkan peperangan yang sangat dahsyat dan sengit di Hunain. Atas pertolongan Allah SWT, kaum muslimin berhasil memenangkan pertempuran meskipun sempat dibuat kocar-kacir oleh pihak musuh.
Kaum muslimin memperoleh harta rampasan yang sangat besar pada Perang Hunain ini, yaitu 4.000 keping perak, 24.000 ekor unta, lebih dari 40.000 ekor domba, dan 6.000 tawanan perang.
Shafwan bin Umayyah memandangi harta rampasan yang melimpah itu dengan gelisah. Ia khawatir harta rampasan tersebut hanya untuk kaum Muhajirin dan Anshar yang terlebih dahulu memeluk Islam daripada dia yang hanya seorang muallaf.
Melihat keresahan Shafwan, Rasulullah mempersilakan Shafwan untuk mengambil unta hasil rampasan perang sebanyak yang ia mau. Beliau memang sangat berterima kasih kepada Shafwan yang telah meminjamkan peralatan perang untuk kaum muslimin.
Ternyata Rasulullah saw tidak melupakan jasanya meskipun saat perang ia hanya berada di barisan paling belakang. Merasa berterima kasih pada kebaikan Rasulullah, Shafwan segera berlari menuju kaumnya dan berseru, "Wahai kaumku! Terimalah Islam tanpa ragu-ragu sebab Muhammad memberikan sesuatu sedemikian rupa sehingga hanya orang yang tidak takut miskin dan sepenuhnya bersandar kepada Allah sajalah yang bisa melakukannya!"
Subhanallah, dengan jiwa pemurah dan menghargai pengorbanan para muallaf, beliau berhasil membimbing Shafwan dan kaumnya ke jalan kebenaran, padahal dulunya mereka adalah kaum yang sangat sengit memerangi Islam.
Ternyata kaum Hawazin tidak ingin peperangan yang ala kadarnya. Mereka ingin pasukan muslimin ditumpas habis dalam peperangan sehingga mereka mengumpulkan seluruh harta benda berharga mereka dan mengajak kabilah-kabilah yang belum masuk Islam untuk bergabung dengan mereka.
Mendengar informasi bahwa pasukan musuh benar-benar mempersiapkan diri untuk berperang, Rasulullah saw segera menyusun kekuatan untuk menghadapi mereka. Banyak para mualaf yang meminjamkan bala bantuan berupa uang sebanyak 40.000 dirham, 30 ekor unta, 3.000 batang tombak, termasuk 100 buah perisai baja dari Shafwan bin Umayyah, dan 30 buah dari muallaf lainnya.
Hari pertemuan dua pasukan itu pun tiba. Pertemuan dua pasukan yang sangat kuat itu menimbulkan peperangan yang sangat dahsyat dan sengit di Hunain. Atas pertolongan Allah SWT, kaum muslimin berhasil memenangkan pertempuran meskipun sempat dibuat kocar-kacir oleh pihak musuh.
Kaum muslimin memperoleh harta rampasan yang sangat besar pada Perang Hunain ini, yaitu 4.000 keping perak, 24.000 ekor unta, lebih dari 40.000 ekor domba, dan 6.000 tawanan perang.
Shafwan bin Umayyah memandangi harta rampasan yang melimpah itu dengan gelisah. Ia khawatir harta rampasan tersebut hanya untuk kaum Muhajirin dan Anshar yang terlebih dahulu memeluk Islam daripada dia yang hanya seorang muallaf.
Melihat keresahan Shafwan, Rasulullah mempersilakan Shafwan untuk mengambil unta hasil rampasan perang sebanyak yang ia mau. Beliau memang sangat berterima kasih kepada Shafwan yang telah meminjamkan peralatan perang untuk kaum muslimin.
Ternyata Rasulullah saw tidak melupakan jasanya meskipun saat perang ia hanya berada di barisan paling belakang. Merasa berterima kasih pada kebaikan Rasulullah, Shafwan segera berlari menuju kaumnya dan berseru, "Wahai kaumku! Terimalah Islam tanpa ragu-ragu sebab Muhammad memberikan sesuatu sedemikian rupa sehingga hanya orang yang tidak takut miskin dan sepenuhnya bersandar kepada Allah sajalah yang bisa melakukannya!"
Subhanallah, dengan jiwa pemurah dan menghargai pengorbanan para muallaf, beliau berhasil membimbing Shafwan dan kaumnya ke jalan kebenaran, padahal dulunya mereka adalah kaum yang sangat sengit memerangi Islam.
Keluarga Pemegang Kunci Ka'bah
Kemenangan gemilang diraih umat Islam pada peristiwa Fathu Mekah. Kaum musyrikin Quraisy yang angkuh dan sombong hanya tertunduk takut dan takluk di hadapan kaum muslimin yang dahulu mereka tindas. Sungguh karunia Allah SWT yang sangat besar yang diberikan kepada umat Islam sehingga kaum muslimin dapat melenggang penuh kehormatan memasuki kota Mekah, kampung halaman yang begitu mereka rindukan.
Pengorbanan harta dan jiwa, rasa sakit tersayat-sayat, serta sedih dan pilu yang mereka rasakan saat memperjuangkan kebenaran terobati sudah dengan menyaksikan kemenangan yang nyata ini.
Salah satu tugas yang harus dilaksanakan Rasulullah saw dan kaum muslimin di Mekah adalah membersihkan Ka'bah, rumah Allah, dari sesembahan kaum musyrikin Ouraisy. Setelah beliau melakukan thawaf dan beristirahat sejenak, beliau memanggil Bilal r.a dan menyuruhnya untuk meminjam kunci Ka'bah dari keluarga Utsman bin Thalhah.
Kunci Ka'bah memang dipercayakan kepada keluarga Utsman bin Thalhah secara turun-menurun meskipun mereka masih memegang ajaran agama jahiliah.
Bilal r.a segera menyampaikan permintaan Rasulullah saw kepada Utsman bin Thalhah di kediamannya. Namun, ibunda Utsman menolak memberikan kunci Ka'bah tersebut seraya berkata kepada putranya, "Wahai anakku, keluarga kita mendapat kehormatan untuk memegang kunci Ka'bah ini dari dulu. Jika kau berikan kunci ini kepada mereka, akan berakhirlah kehormatan keluarga kita!"
Utsman mengerti kekhawatiran ibunya. Namun, dengan kekuatan pasukan Islam saat ini, percuma menahan kunci tersebut karena kaum muslimin akan memintanya dengan paksa. Dan kemungkinan kunci tersebut akan diamanahkan kepada salah seorang dari kaum muslimin. Oleh karena itu, Utsman menenangkan ibunya agar merelakan kunci Ka'bah dibawa oleh kaum muslimin.
Setelah pintu Ka'bah terbuka, Rasulullah saw dan para sahabat segera menghancurkan ratusan berhala di dalamnya. Begitu pula, lukisan-lukisan para Nabiyullah terdahulu yang menggambarkan adegan sesat dan dikarang oleh orang-orang jahiliah dilucuti dari dinding Ka'bah dan dibuang keluar.
Setelah Ka'bah bersih dari segala benda yang mengandung kesyirikan dan kejahiliahan, beliau melaksanakan shalat dua rakaat di dalamnya. Kemudian beliau keluar dan menyerahkan kunci Ka'bah tersebut kembali kepada Utsman.
Tentu saja Utsman heran sekaligus kaget, ternyata Rasulullah saw tetap memercayakan perawatan Ka'bah di tangan keluarganya, yaitu Bani Syaibah yang nonmuslim.
Pengorbanan harta dan jiwa, rasa sakit tersayat-sayat, serta sedih dan pilu yang mereka rasakan saat memperjuangkan kebenaran terobati sudah dengan menyaksikan kemenangan yang nyata ini.
Salah satu tugas yang harus dilaksanakan Rasulullah saw dan kaum muslimin di Mekah adalah membersihkan Ka'bah, rumah Allah, dari sesembahan kaum musyrikin Ouraisy. Setelah beliau melakukan thawaf dan beristirahat sejenak, beliau memanggil Bilal r.a dan menyuruhnya untuk meminjam kunci Ka'bah dari keluarga Utsman bin Thalhah.
Kunci Ka'bah memang dipercayakan kepada keluarga Utsman bin Thalhah secara turun-menurun meskipun mereka masih memegang ajaran agama jahiliah.
Bilal r.a segera menyampaikan permintaan Rasulullah saw kepada Utsman bin Thalhah di kediamannya. Namun, ibunda Utsman menolak memberikan kunci Ka'bah tersebut seraya berkata kepada putranya, "Wahai anakku, keluarga kita mendapat kehormatan untuk memegang kunci Ka'bah ini dari dulu. Jika kau berikan kunci ini kepada mereka, akan berakhirlah kehormatan keluarga kita!"
Utsman mengerti kekhawatiran ibunya. Namun, dengan kekuatan pasukan Islam saat ini, percuma menahan kunci tersebut karena kaum muslimin akan memintanya dengan paksa. Dan kemungkinan kunci tersebut akan diamanahkan kepada salah seorang dari kaum muslimin. Oleh karena itu, Utsman menenangkan ibunya agar merelakan kunci Ka'bah dibawa oleh kaum muslimin.
Setelah pintu Ka'bah terbuka, Rasulullah saw dan para sahabat segera menghancurkan ratusan berhala di dalamnya. Begitu pula, lukisan-lukisan para Nabiyullah terdahulu yang menggambarkan adegan sesat dan dikarang oleh orang-orang jahiliah dilucuti dari dinding Ka'bah dan dibuang keluar.
Setelah Ka'bah bersih dari segala benda yang mengandung kesyirikan dan kejahiliahan, beliau melaksanakan shalat dua rakaat di dalamnya. Kemudian beliau keluar dan menyerahkan kunci Ka'bah tersebut kembali kepada Utsman.
Tentu saja Utsman heran sekaligus kaget, ternyata Rasulullah saw tetap memercayakan perawatan Ka'bah di tangan keluarganya, yaitu Bani Syaibah yang nonmuslim.
Langganan:
Postingan (Atom)