Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Sabtu, 03 April 2010

Bebas dari Hukuman Berkat Orang Tua Jujur

Rib'i bin Hirasy adalah seorang tabiin yang dikenal tidak pernah berdusta. Suatu hari dua putranya tiba dari Khurasan berkumpul dengannya. Mereka berdua adalah pemberontak pada masa pemerintahan Gubernur Al-Hajjaj. Sedangkan, Al-Hajjaj adalah seorang pemimpin bertangan besi yang menghendaki anak-anak Rib'i itu ditangkap.

Seorang mata-mata memberi kabar kepada Al-Hajjaj. Katanya, "Wahai pimpinanku, masyarakat seluruhnya menganggap Rib'i bin Hirasy tidak pernah berdusta selamanya. Sementara itu, saat ini kedua anaknya yang pemberontak dari Khurasan berkumpul dengannya."

"Baiklah," kata Al-Hajjaj, "bawalah ayah mereka ke sini!" perintahnya.
Rib'i mengetahui bahwa anaknya adalah buronan pemerintah karena pemberontakannya. Namun, ia tidak tahu alasan sang gubernur memanggilnya.

Dalam benak Al-Hajjaj sendiri menyangsikan akan kejujuran Rib'i, "Akankah seorang ayah berkata jujur saat mengetahui anaknya dalam bahaya? Seorang ayah tidak akan memberitahukan keberadaan anaknya demi keselamatan mereka," pikir Al-Hajjaj.

Sang gubernur pun bertanya kepada Rib'i, "Wahai orang tua, beritahukanlah keberadaan anakmu saat ini?"

Dengan santainya Rib'i menjawab, "Mereka berada di rumah!"

Mendengar penyataan jujur tersebut, Al-Hajjaj berkata, "Tidak ada pidana. Kami memaafkan keduanya karena kejujuranmu. Demi Allah, sekarang aku yakin kau tidak akan menyembunyikan anakmu. Sekarang kedua anakmu terserah kepadamu. Keduanya bebas dari tuduhan pidana."

Mengalahkan Perampok dengan Kejujuran

Abdul Qadir Al-Jaelani yang memiliki nama lengkap Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih Al-Hasani Al-Husaini adalah seorang ulama besar yang sederhana dan rendah hati. Ia dikenal sebagai pendiri Tarekat Qadariyah. Namanya juga dikenal dalam lingkungan tasawuf.

Sebuah kisah menggambarkan tentang dirinya. Kala itu ia hendak berangkat dari kota Mekah menuju Baghdad untuk menuntut ilmu. Ibunya memberinya perbekalan uang sejumlah empat puluh dinar dan berpesan agar selama perjalanan tidak berkata bohong.

Di tengah perjalanan, ia dihadang oleh gerombolan perampok, tepatnya di daerah Hamadah. Mereka merampas harta dan perbekalan kafilah yang kebetulan lewat jalan itu juga. Salah seorang perampok yang beringas menghampiri Abdul Qadir dan menodongnya, "Apa yang kaubawa?!"
Tanpa berbohong, sesuai amanah sang ibu, ia menjawab, "Empat puluh dinar."

Digeledahlah pakaian dan tas bawaan Abdul Qadir. Karena tidak menemukannya, perampok itu menghardiknya, "Di mana kau letakkan uang itu?!"

Abdul Qadir pun menjawabnya dengan jujur, "Di kantong sebelah sini," tunjuknya.

Benar juga, perampok itu menemukan uang yang dibawa Abdul Qadir ditempat yang ia katakan. Jumlahnya pun tepat empat puluh dinar. Sebenarnya ada rasa heran dalam diri perampok tersebut, baru kali ini ia menemukan korban yang dengan senang hati memberikan hartanya kepada perampok.

Keheranannya itu ia laporkan kepada pimpinannya. Setelah menerima informasi mengejutkan dari anak buahnya, pimpinan perampok itu bertanya kepada Abdul Qadir, "Apa yang mendorongmu untuk berkata jujur kepada kami?"

Abdul Qadir menjawab, "Sebelum berangkat, ibu saya berpesan agar tidak berbohong dalam kondisi apa pun. Saya hanya melaksanakan pesannya."

Pimpinan perampok terhenyak mendengar penjelasan dari korbannya. Lalu, ia berkata, "Engkau takut melanggar pesan ibumu, sedangkan kami tidak takut melanggar perintah Allah. Betapa zalimnya kami!"

Mereka pun menyesali perbuatannya dan bertobat.

Kisah Seguci Emas

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda tentang suatu kisah.

Suatu hari seorang laki-laki membeli sebidang tanah kepada seseorang. Ternyata di dalam tanahnya terdapat seguci emas. Lalu, berkatalah orang yang membeli tanah itu kepada sang penjual tanah, "Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas."

Si penjual tanah berkata kepadanya, "Saya menjual tanah kepadamu berikut isinya."

Dikarenakan tidak mencapai kata mufakat, akhirnya keduanya menemui seseorang untuk menjadi hakim. Kemudian berkatalah orang yang diangkat sebagai hakim itu, "Apakah kamu berdua mempunyai anak?"
Salah satu dari mereka berkata, "Saya punya seorang anak laki-laki."

Yang lain berkata, "Saya punya seorang anak perempuan."

Kata sang hakim, "Nikahkanlah mereka berdua dan berilah mereka belanja dari harta ini serta bersedekahlah kalian berdua."

Rasulullah saw bersabda, "Rahmat Allah atas orang-orong yang berbaik hati ketika ia menjual dan membeli serta ketika dia membuat keputusan." (HR Bukhari)

Kejujuran Bilal bin Rabah r.a.

Suatu ketika dua orang hamba sahaya yang dimulia-kan Allah SWT hendak meminang seorang putri dari kalangan bangsa Quraisy yang terhormat. Mereka adalah Bilal bin Rabah r.a dan Shuhaib Ar-Rumi r.a.

Bilal bertindak sebagai juru bicara dan mengajukan pinangan kepada keluarga wanita tersebut agar bersedia mem'kah dengan sahabatnya, Shuhaib. Salah seorang dari keluarga tersebut bertanya, "Siapakah gerangan kalian berdua ini?"

Bilal menjawab, "Saya adalah Bilal dan ini saudara saya, Shuhaib. Kalian tentu telah mengetahui keberadaan kami. Dahulu kami adalah para budak yang kemudian dimerdekakan oleh Allah SWT. Kami juga dahulu adalah orang-orang tersesat, lalu diberi hidayah oleh Allah SWT. Kami dulunya fakir, lalu dijadikan kaya oleh-Nya. Kini kami menginginkan putri Anda untuk dijodohkan dengan saudaraku. Jika kalian menerimanya, segala puji bagi Allah SWT. Dan jika kalian menolak, Allah Dzat Yang Maha besar."

Sebenarnya Shuhaib khawatir ketika Bilal mengungkap jati diri mereka yang dahulunya hanyalah hamba sahaya. Apalagi setelah itu Shuhaib melihat para anggota keluarga wanita tersebut saling memandang satu sama lain.

Mereka lalu berkata, "Bilal termasuk orang yang kita kenal kepeloporan, kepahlawanan, dan kedudukannya di sisi Rasulullah saw. Oleh karena itu, nikahkanlah saudaramu dengan putri kami!" Mereka menerima pinangan Shuhaib kepada putrinya. Betapa bahagianya Shuhaib mendengar keputusan itu.

Dalam perjalanan pulang, Shuhaib bertanya kepada Bilal, "Mengapa engkau katakan kepada mereka tentang asal usul kita?"

Bilal menjawab, "Diamlah! Aku telah menceritakan hal yang sejujurnya. Dan karena kejujuran itulah yang menjadikan engkau menikah dengannya!"
Sesungguhnya shiddiq (kejujuran) itu membawa pada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga .... (HR Bukhari dan Muslim)

Jumat, 02 April 2010

Kesaksian Iblis

Suatu ketika Iblis menerima perintah dari Allah SWT untuk menghadap Rasulullah saw dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan beliau. Kemudian Iblis mengubah wujudnya menjadi seorang lelaki tua yang bersih dan rapi sambil membawa tongkat.

Rasulullah saw yang menerima kedatangannya bertanya, "Siapa kau?"

"Aku Iblis," jawab Iblis.

"Ada urusan apa kau datang kemari?" tanya Rasulullah.

"Allah yang memerintahkan kepadaku untuk menemuimu agar dapat menjawab semua pertanyaan darimu," jelas Iblis.

Rasulullah saw. lalu bertanya, "Hai Iblis! Siapa sajakah musuhmu dari umatku?"

Iblis menjawab, "Ada empat belas macam orang. Yaitu, engkau sendiri (Muhammad saw), pemimpin yang adil, orang kaya yang rendah hati, pedagang yang jujur, orang alim yang shalatnya khusyu', orang mukmin yang menasihati sahabatnya, orang mukmin yang menebarkan kasih sayang terhadap sesamanya, orang yang bertobat sampai akhir hayat, orang mukmin yang selalu dalam keadaan suci atau berwudhu, orang yang berhati-hati dari hal-hal yang dilarang, orang mukmin yang berakhlak mulia, orang mukmin yang berguna bagi masyarakat, penghafal Al-Qur'an, dan orang-orang yang gemar bertahajud di saat orang lain tertidur."

Beliau kembali bertanya, "Hai Iblis! Siapa sajakah yang menjadi sahabatmu?"

"Ada sepuluh orang. Yaitu, hakim yang tidak adil, orang kaya yang sombong, pedagang yang tidak jujur atau khianat, pemabuk, orang yang memutuskan silaturrahim, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, orang yang melalaikan shalat, orang yang enggan berzakat, dan orang yang sering berkhayal (panjang angan-angan)." Urai Iblis, "mereka itulah sahabat dan saudaraku," tambahnya.