Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Jumat, 20 Maret 2020

OBJEK PENDIDIKAN (PESERTA DIDIK) DALAM HADIS


OBJEK PENDIDIKAN (PESERTA DIDIK) DALAM HADIS



PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam sebuah pendidikan tentunya terdapat sebuah subyek, obyek dan sarana-sarana lain yang sekiranya dapat membantu terselenggaranya sebuah pendidikan. Allah SWT telah memerintahkan kepada Rasul-Nya yang mulia, di dalam ayat-ayat yang jelas ini, agar dia memberikan peringatkan kepada keluarga dan sanak kerabat dulu kemudian kepada seluruh umat manusia agar tidak seorang pun yang berprasangka jelek kepada nabi, keluarga dan sanak kerabatnya.
Jika dia memulai dengan memberikan peringatan kepada keluarga dan sanak kerabatnya, maka hal itu akan lebih bermanfaat dan seruannya akan lebih berhasil. Allah juga menyuruh agar bersikap tawadhu kepada pengikut-pengikut yang beriman, bersikap baik kepada mereka, dan ikut menggung kesusahan yang mereka mau menerima nasehat. Dalam makalah ini pemakalah akan sedikit membahas terkait dengan obyek Pendidikan
B.  Rumusan Masalah
1.        Apa pengertian peserta didik?
2.        Apakah yang dimaksud dengan peserta didik dalam pendidikan Islam?
3.        Apa kebutuhan-kebutuhan peserta didik dalam pendidikan Islam?
4.        Bagaimana karakteristik peserta didik dalam pendidikan Islam?
5.        Hadist-hadist yang membahas tentang peserta didik?
C.  Tujuan
1.        Mengetahui pengertian pengertian peserta didik
2.        Mengetahui apa yang dimaksud dengan peserta didik dalam pendidikan Islam
3.        Mengetahui kebutuhan-kebutuhan peserta didik dalam pendidikan Islam
4.        Mengetahui bagaimana karakteristik peserta didik dalam pendidikan Islam
5.        Mengetahui dan memahami kandungan Hadist-hadist yang membahas tentang peserta didik.
PEMBAHASAN
A.    Definisi Peserta Didik
Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun fikiran.[1]
Dalam istilah tasawuf peserta didik disebut dengan “murid” atau “thalib”. Secara etimologi murid berarti orang yang menghendaki. Sedangkan menurut arti terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan istilah thalib secara bahasa adalah orang yang mencari. Sedang menurut istilah tasawuf adalah penempuh jalan spiritual, di mana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk mencapai derajat sufi.[2]
B.     Definisi Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Dengan berpijak pada paradigma “belajar sepanjang masa”, maka istilah yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik dan bukan anak didik. Peserta didik cakupannya lebih luas, yang tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga pada orang-orang dewasa. Sementara istilah anak didik hanya dikhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak. Penyebutan peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya di sekolah (pendidikan formal), tapi juga lembaga pendidikan di masyarakat, seperti Majelis Taklim, Paguyuban, dan sebagainya.
Secara etimologi, murid berarti “orang yang menghendaki”. Sedangkan menurut arti terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan thalib secara bahasa berarti orang yang mencari, sedangkan menurut istilah tasawuf adalah penempuh jalan spiritual, dimana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk mencapai derajat sufi. Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut peserta didik pada sekolah tingkat dasar dan menengah, sementara untuk perguruan tinggi lazimnya disebut dengan mahasiswa.[3]
Peserta didik adalah amanat bagi para pendidiknya. Jika ia dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya ia akan tumbuh menjadi orang yang baik, selanjutnya memperoleh kebahagiaan dunia dan akhiratlah kedua orang tuanya dan juga setiap mu’alim dan murabbi yang menangani pendidikan dan pengajarannya. Sebaliknya, jika peserta didik dibiasakan melakukan hal-hal yang buruk dan ditelantarkan tanpa pendidikan dan pengajaran seperti hewan ternak yang dilepaskan beitu saja dengan bebasnya, niscaya dia akan menjadi seorang yang celaka dan binasa.[4]
Sama halnya dengan teori barat, peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Definisi tersebut memberi arti bahwa peserta didik merupakan individu yang belum dewasa, yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah, dan umat beragama menjadi peserta didik masyarakat sekitarnya, dan umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.[5]
Dengan demikian dalam konsep pendidikan Islam, tugas mengajar, mendidik, dan memberikan tuntunan sama artinya dengan upaya untuk meraih surga. Sebaliknya, menelantarkan hal tersebut berarti sama dengan mejerumuskan diri ke dalam neraka. Jadi, kita tidak boleh melalaikan tugas ini, terlebih lagi Nabi bersabda:[6]
أَكْرِمُوْا اَبْنَاءَكُمْ وَأَحْسِنُوْا اَدَبَهُمْ
“Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik” (hadits diketengahkan oleh Ibnu Majah 2/1211, tetapi Al-Albani menilainya dha’if)
Menurut Langeveld anak manusia itu memerlukan pendidikan, karena ia berada dalam keadaan tidak berdaya (hulpeoosheid).[7] Dalam Al-Quran dijelakan:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.(QS. An-Nahl: 78)
Peserta didik di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus dapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah sedangkan alam sekitarnya akan memberi corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan agama peserta didik.[8]
Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW., yang berbunyi:
مَامِنْ مَوْلُوْدٍ اِلَّايُوْلَدُعلَىَ الْفِطْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِ اَوْيُنَصِّرَانِهِ اَوْيُمَجِّسَانِهِ (رواه مسلم)
Artinya: “Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membaa fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada Allah), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani, Majusi (HR. Muslim)
Menurut hadis ini manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan; kemampuan itulah yang disebut pembawaan. Fitrah yang disebut di dalam hadis itu adalah potensi. Potensi adalah kemampuan; jadi fitrah yang dimaksud disini adalah pembawaan. Ayah-ibu dalam hadis ini adalah lingkungan sebagaimana yang dimaksud oleh para ahli pendidikan. Kedua-duanya itulah, menurut hadis ini, yang menentukan perkembangan seseorang.
Manusia memepunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyak potensi yang dibawanya. Dalam garis besarnya, kecenderungan itu dapat dibagi dua, yaitu kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan menjadi orang yang jahat. Kecenderungan beragama termasuk ke dalam kecenderungan menjadi baik.[9]
Firman Allah dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum: 30)
Dari ayat dan hadits tersebut jelaslah bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah beragama, dan kemudian bergantung kepada para pendidiknya dalam mengembangkan fitrah itu sendiri sesuai dengan usia anak dalam pertumbuhannya. Dasar-dasar pendidikan agama ini harus sudah ditanamkan sejak peserta didik itu masih usia muda, karena kalau tidak demikian kemungkinan mengalami kesulitan kelak untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang diberikan pada masa dewasa. Dengan demikian, maka agar pendidikan Islam dapat berhasil dengan sebaik-baiknya haruslah menempuh jalan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan peserta didik, seperti disebutkan dalam hadits Nabi:
خَاطِبوُاالنَّاسَ عَلىَ قُلُوْبِهِمْ (الحديث)
“Berbicaralah kepada orang lain sesuai dengan tingkat perkembangan akalnya” (Al-Hadits)
C.      Kebutuhan-Kebutuhan Peserta Didik
Kebutuhan peserta didik adalah sesuatu kebutuhan yang harus didapatkan oleh peserta didik untuk mendapatkan kedewasaan ilmu. Kebutuhan peserta didik tersebut wajib dipenuhi atau diberikan oleh pendidik kepada peserta didiknya. Menurut Ramayulis, ada delapan kebutuhan peserta didik yang harus dipenuhi, yaitu:
ü  Kebutuhan Fisik
ü  Kebutuhan Sosial
ü  Kebutuhan untuk Mendapatkan Status
ü  Kebutuhan Mandiri
ü  Kebutuhan untuk berprestasi
ü  Kebutuhan ingin disayangi dan dicintai
ü  Kebutuhan untuk curhat
ü  Kebutuhan untuk memiliki filsafat hidup
D.    Karakteristik Peserta Didik
Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah:
ü  Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh dilaksanakan dengan orang dewasa. Orang dewasa tidak patut mengeksploitasi dunia peserta didik, dengan mematuhi segala aturan dan keinginannya, sehingga peserta didik kehilangan dunianya.
ü  Peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin. Kebutuhan individu, menurut Abraham Maslow, terdapat lima hierarki kebutuhan yang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan tahap dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga diri; dan (2) meta kebutuhan-meta kebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri, seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya. Sekalipun demikian, masih ada kebutuhan lan yang tidak terjangkau kelima hierarki kebutuhan itu, yaitu kebutuhan akan transendensi kepada Tuhan. Individu yang melakukan ibadah sesungguhnya tidak dapat dijelaskan dengan kelima hierarki kebutuhan tersebut, sebab akhir dari aktivitasnya hanyalah keikhlasan dan ridha dari Allah SWT.
ü  Peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang disebabkan dari factor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang mempengaruhinya. Pesrta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. Sesuai dengan hakikat manusia, peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka pribadi peserta didik walaupun terdiri dari dari banyak segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa).
ü  Peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif. Setiap peserta didik memiliki aktivitas sendiri (swadaya) dan kreatifitas sendiri (daya cipta), sehingga dalam pendidikan tidak hanya memandang anak sebagai objek pasif yang bisanya hanya menerima, mendengarkan saja.
ü  Peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dalam mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implikasi dalam pendidikan adalah bagaimana proses pendidikan itu dapat disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan peseta didik. Kadar kemampuan peserta didik sangat ditentukan oleh usia dan priode perkembangannya, karena usia itu bisa menentukan tingkat pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik, baik dilihat dari dimensi biologis, psikologis, maupun dedaktis.[10]  
E.     Hadist-hadist yang membahas tentang peserta didik.
1.      Sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Umar bin Khotob[[11]]
حَدَّثَنَا أَبُو الۡيَمَانِ: أَخۡبَرَنَا شُعَيۡبٌ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ (ح) قَالَ أَبُو عَبۡدِ اللهِ: وَقَالَ ابۡنُ وَهۡبٍ: أَخۡبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ عُبَيۡدِ اللهِ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ أَبِي ثَوۡرٍ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عَبَّاسٍ، عَنۡ عُمَرَ قَالَ: كُنۡتُ أَنَا وَجَارٌ لِي مِنَ الۡأَنۡصَارِ، فِي بَنِي أُمَيَّةَ بۡنِ زَيۡدٍ - وَهِيَ مِنۡ عَوَالِي الۡمَدِينَةِ - وَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ عَلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ، يَنۡزِلُ يَوۡمًا، وَأَنۡزِلُ يَوۡمًا، فَإِذَا نَزَلۡتُ جِئۡتُهُ بِخَبَرِ ذٰلِكَ الۡيَوۡمِ مِنَ الۡوَحۡيِ وَغَيۡرِهِ، وَإِذَا نَزَلَ فَعَلَ مِثۡلَ ذٰلِكَ، فَنَزَلَ صَاحِبِي الۡأَنۡصَارِيُّ يَوۡمَ نَوۡبَتِهِ، فَضَرَبَ بَابِي ضَرۡبًا شَدِيدًا فَقَالَ: أَثَمَّ هُوَ؟ فَفَزِعۡتُ فَخَرَجۡتُ إِلَيۡهِ، فَقَالَ: قَدۡ حَدَثَ أَمۡرٌ عَظِيمٌ، قَالَ: فَدَخَلۡتُ عَلَى حَفۡصَةَ، فَإِذَا هِيَ تَبۡكِي، فَقُلۡتُ: طَلَّقَكُنَّ رَسُولُ اللهِ ﷺ؟ قَالَتۡ: لَا أَدۡرِي. ثُمَّ دَخَلۡتُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقُلۡتُ وَأَنَا قَائِمٌ: أَطَلَّقۡتَ نِسَاءَكَ؟ قَالَ: (لَا) فَقُلۡتُ: اللهُ أَكۡبَرُ.
Artinya:
“Abu Al-Yaman telah menceritakan kepada kami: Syu’aib mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri. (Dalam riwayat lain) Abu ‘Abdullah berkata: Ibnu Wahb berkata: Yunus mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin Abu Tsaur, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, dari ‘Umar. Beliau mengatakan: Dahulu, aku dan tetanggaku ansar tinggal di pemukiman Bani Umayyah bin Zaid, yaitu tempat yang termasuk ‘Awali Madinah. Kami dahulu saling bergantian turun ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia turun satu hari dan aku pun turun satu hari. Ketika aku turun, aku membawa kabar hari itu berupa wahyu atau selainnya. Dan ketika dia yang turun, dia melakukan semisal itu. Di hari gilirannya, sahabatku ansar itu turun. Lalu dia menggedor pintuku dengan keras seraya bertanya, “Apakah dia ada di sana?” Aku terkejut lalu keluar menemuinya. Dia berkata, “Ada perkara besar yang telah terjadi.” ‘Umar berkata: Aku masuk menemui Hafshah dan ternyata dia sedang menangis. Aku bertanya, “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceraikan kalian?” Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Kemudian aku masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya dalam keadaan masih berdiri, “Apakah engkau menceraikan para istrimu?” Nabi menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Allahu Akbar.”.

Analisa Sarah hadis
Hadis ini adalah hadis berganti-gantian atau piket (shift-shiftan) dalam menuntut ilmu. Maksudnya di sini adalah dua orang yang tidak ingin ketinggalan terus. Maka mereka saling bergantian. Hari ini yang datang si A untuk menuntut ilmu, si B mencari nafkah. Besok si B yang datang menuntut ilmu, sedangkan si A mencari nafkah. Ini maksud dari التَّنَاوُبِ فِي العِلْمِ. Saling bergantian, saling piket didalam menuntut ilmu.Umar radhyiallahu ‘anhu mengatakan bahwa mereka bergantian mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetangganya yang pergi satu hari dan besoknya Umar yang pergi satu hari.Ini adalah apa yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab radhyiallahu ‘anhu bersama tetangganya orang Anshar bernama Itban ibnu Malik. Dan ini menunjukkan bagaimana mulianya ilmu dan bagaimana para sahabat Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar memuliakan ilmu. Terlihat bagaimana ketamakan mereka terhadap ilmu. Terlihat bagaimana mereka benar-benar mengorbankan banyak hal dalam dunia mereka untuk menimba ilmu agama dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.Manusia memiliki kewajiban. Pertama kewajibannya kepada Allah. Dan didalam kewajiban kepada Allah itu dituntut untuk menimba ilmu agar kewajiban-kewajiban kita kepada Allah tabaraka wa ta’ala bisa kita laksanakan dengan baik dan benar. Lalu kita bisa menyampaikan agama Allah kepada yang lainnya. Sehingga kita bisa membenahi kesalahan-kesalahan kita dan dengan ilmu kita bisa membenahi dengan izin Allah kesalahan-kesalahan yang ada pada saudara kita, tetangga kita, sahabat kita, teman kita dan yang lainnya. Ini satu kewajiban. Kewajiban yang lainnya adalah kewajiban antara makhluk dengan makhluk lainnya. Kewajiban seorang ayah terhadap istrinya dan anak-anaknya, terhadap keluarganya harus mencari nafkah, para sahabat tidak ingin hidup mereka semuanya untuk mencari nafkah. Mereka ingin ilmu. Akan tetapi kalau duduk terus di majelis ilmu, kapan mencari nafkah? Sementara ada kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan juga. Sebagai seorang suami untuk menafkahi istri, sebagai orang tua untuk menafkahi dan sebagai seorang anak untuk orang tua kalau orang tua kita masih hidup.Sehingga bertemu dua kewajiban. Umar dan tetangganya tidak mau menyepelekan dua kewajiban ini. Kewajiban menimba ilmu dan kewajiban mencari nafkah. Akhirnya mereka berdua membuat kesepakatan. Tetangganya itu yang pergi menuntut ilmu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan Umar mencari nafkah. Satu hari itu Umar tidak bisa datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menimba ilmu agama. Namun, ketika malam tetangganya menceritakan kepada Umar seluruh yang dia tahu, kejadian-kejadian yang terjadi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah ada wahyu baru yang turun? Apakah ada kejadian-kejadian? Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan kata-kata pengajaran, ilmu? Apa yang didapatkan oleh tetangga Umar bin Khattab pada hari itu disampaikan kepada Umar. Ini adalah cara untuk membuat ilmu semakin kokoh dalam hafalan kita. Yaitu  ketika kita mendapatkan ilmu, sampaikan kepada orang lain.
Ketika kita mendapatkan ilmu, jangan berhenti dikita. Zakatnya ilmu adalah dengan mengajarkan ilmu itu kepada orang lain. Dan semakin rajin kita mengajarkannya kepada orang lain, ilmu itu kan semakin lengket dan ilmu itu akan semakin kokoh. Karena diawal kita tahu belum tentu kokoh, belum tentu kuat, belum tentu permanen sampai kita benar-benar mengajarkannya, mengajarkannya, mengajarkannya dan mengajarkannya. Sehingga terjadi pengulangan ilmu, pematangan ilmu dan semacamnya.
Maka kata Umar bin Khattab, giliran tetangga saya belajar ilmu agama, nanti ketika malamnya dia sampaikan kepada saya seluruh ilmu yang dia ketahui, yang terjadi pada hari itu bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian sebaliknya, kalau hari dimana apabila Umar bin Khattab radiyallahu ta’ala ‘anhu yang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menuntut ilmu bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari itu, Umar pun melakukan hal yang sama kepada tetangganya. Umar memberitahu tetangganya tentang apa yang terjadi, apa wahyu yang turun, apa kata kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapa yang mengadu kepada Nabi ketika itu? Bagaimana Rasulullah menanggapi aduannya dan seterusnya. Ini menunjukkan kemuliaan ilmu
Bagaimana para sahabat mengorbankan hari demi hari mereka yang bisa mereka gunakan untuk meraup keuntungan dunia dengan berbisnis, berniaga, bercocok tanam, menggembalakan hewan-hewan gembalaan, akan tetapi mereka tinggalkan sebahagian waktu mereka demi ilmu. Yang seharusnya 30 hari dalam sebulan bisa setiap hari digunakan untuk mencari nafkah, bisa setiap hari digunakan untuk mengais rezeki dan malamnya bisa menuntut ilmu. Tapi Umar dan tetangganya tidak mau.
Mereka ingin benar-benar duduk di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendengarkan ilmu-ilmu yang diturunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat. Sehingga mereka kompak, Umar radhiyallahu ‘anhu bersama tetangganya untuk bergantian. Hari ini Umar yang pergi belajar, tetangganya pergi mencari nafkah.
Disebutkan dalam riwayat lain kata para ahli ilmu, tetangganya pergi membawa hewan gembalan-gembalan milik Umar supaya hewan-hewan gembalaannya bisa merumput dan mengais rezeki yang ada di sekitar kota Madinah. Besoknya tetangganya yang perg dan giliran Umar radhyiallahu ‘anhu yang mengurus hewan tetangganya itu. Ini menunjukkan ketampakan para sahabat yang luar biasa terhadap ilmu agama Allah subhanahu wa ta’ala. Dan ini menunjukkan bagaimana mereka benar-benar merasa pentingnya seesorang tahu agama Allah. Karena untuk yang mahal, juga harus mengorbankan yang mahal pula. Tidak mungkin kita mau membeli dengan harga yang murah sementara kita ingin barang yang mahal. Tidak mungkin. Ini yang disadari oleh para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ilmu adalah sesuatu yang sangat teramat penting. Sehingga mengorbankan satu hari mencari nafkahnya, satu hari meraih rezekinya untuk ilmu. Sehingga duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lihatlah bagaimana tamaknya para sahabat. Hari yang dimana beliau tidak bisa hadir, beliau dengarkan dari tetangganya. Apa gerangan yang terjadi? Apa gerangan wahyu yang turun? Apa gerangan kondisi, kisah yang terjadi seharian itu bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Karena apa yang dikatakan Rasul adalah syariat. Apa yang diajarkan Rasul adalah agama. Apa yang disampaikan Rasul kepada kita, itulah agama Allah. Inilah yang ingin diketahui oleh Umar. Dan dia tidak ingin terlepas dari informasi tentang adanya wahyu yang turun, tentang adanya hukum yang turun, maka beliau mengorbankan sebagian yang mahal dari hidupnya.
Sehingga hari ini bisa menuntut ilmu dengan cara langsung, besok menuntut ilmu dengan perantara, besoknya lagi langsung datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, besoknya melalui perantara. Ini menunjukkan semangat menuntut ilmu yang luar biasa. Sehingga waktu yang berharga, yang banyak digunakan manusia untuk mencari nafkah, mencari keuntungan duniawi, mencari rezeki, mereka bisa korbankan waktu itu untuk menimba ilmu agama Allah subhanahu wa ta’ala.

Analisis Kependidikan:
Para sahabat Nabi adalah figur yang sangat teguh didalam memegang prinsip, terutama dibidang ilmu pengetahuan mereka selalu berusaha mengambil manfaat dari tiap nafas yang berhembus dan selalu ingin menambah ilmu disetiap waktunya seperti apa yang di contohkan sahabat Umar Rodhiyah Allah ‘anhu dan tetangganya ‘Itban bin malik Rodhiyah Allah ‘anhu dari cerita di atas dapat di ambil pelajaran bagi seorang yang menuntut ilmu hendaknya :
a.    Selalu berusaha mencari ilmu meskipun ditengah kesibukan  dalam masalah pekerjaan
b.    Bila ada udzur tidak bisa menghadiri dalam majlis ilmu yang menjadi kebiasaan belajarnya, hendaknya minta keterangan kepada  kawan yang lain.
c.    Sebagai seorang yang mencari ilmu hendaknya kita mengajarkan ilmu kita kepada orang lain atau berbagi kepada teman.
d.   Jarak bukanlah suatu penghalang seseorang mencari ilmu.[12]
1.    Sabda Nabi dari Ummi Salamah:[13]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ قَالَ أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ زَيْنَبَ ابْنَةِ أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَت ْجَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي مِنْ الْحَقِّ فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ فَغَطَّتْ أُمُّ سَلَمَةَ تَعْنِي وَجْهَهَا وَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَتَحْتَلِمُ الْمَرْأَةُ قَالَ نَعَمْ تَرِبَتْ يَمِينُكِ فَبِمَ يُشْبِهُهَا وَلَدُهَا
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salam berkata, telah mengabarkan kepada kami Abu Mu'awiyah berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam bin 'Urwah dari Bapaknya dari Zainab puteri Ummu Salamah, dari Ummu Salamah ia berkata, "Ummu Sulaim datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dalam perkara yang hak. Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?" Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Ya, jika dia melihat air." Ummu Salamah lalu menutupi wajahnya seraya bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah seorang wanita itu bermimpi?" Beliau menjawab: "Ya. Celaka kamu. (jika tidak) Lantas dari mana datangnya kemiripan seorang anak itu

Analisa Syarah Hadis
Ummu sulain adalah Sahlah binti milhan menurut salah satu pendapat, dari paparan hadis diatas pada hakikatnya menuntut ilmu jangan sampai terhalang oleh keadaan atau perbedaan atau mungkin munculnya rasa malu karena sebab tertentu, karena pada hakikatnya rasa malu secara syar’I adalah watak/pekerti yang muncul untuk bisa menghindari dari berbuat perkara yang jelek dan mencegah dari berbuat dzolim pada hak yang dimiliki orang lain.
Terutama bagi seorang perempuan ketika mengalami hal-hal yang membuat dia bingung dalam suatu masalah tertentu, maka jalan yang harus di tempuh adalah mencari pencerahan atau bertanya kepada orang lain, meskipun terkadang hal tersebut adalah hal-hal yang sensitif seperti masalah haid dan sebagainya, seperti yang di alami oleh ummi sulaim tentang masalah perempuan yang mimpi basah.

Analisis Kependidikan:
Mencari ilmu adala kewajiban bagi setiap muslim baik laki-laki ataupun perempuan tanpa ada perbedaan diantara keduanya. Terutama ilmu-ilmu yang menjadi tuntukan didalam perkara yang seseorang hadapi dalam kehidupannya, sebagaima disebutkan dalam kitab ta’limul muta’allim
اعلم, بأنه لايفترض على كل مسلم، طلب كل علم وإنما يفترض عليه طلب علم الحال كما قال: وأفضل العلم علم الحال
Dari hadis di atas dapat muncul beberapa analisis dalam dunia pendidikan bagi peserta didik hendaknya
Ø  Hendaknya orang yang menuntut ilmu tidak malu meskipun kepada siapa saja dia berguru
Ø  Kesamaan antara lelaki dan perempuan dalam mendapatkan hak yang sama dalam menuntut ilmu.
Ø  Suatu hukum syar’i harus berdasarkan penetian terlebih dahulu ketika berhubungan dengan biologis manusia.
Ø  komponen yang harus dimiliki peserta didik dalam proses pendidikan


PENUTUP

A.      Kesimpulan
     Materi pendidikan Islam adalah komponen penting yang harus disesuaikan dalam pendidikan karena akan menyebabkan kesalahan yang sangat besar apabila sebuah materi pembelajaran tidak sedemikian rupa. Oleh karena itu hakikatnya penggunaan dan penyesuaian materi adalah agar peserta didik mampu terarah dengan baik, tidak hanya sekedar belajar tanpa materi yang dipersiapkan dengan matang dan disesuaikan dengan usia perkembangan peserta didik berdasar jenjang tingkat pendidikannya.
Ḥadith-ḥadith dari Nabi Muḥammad ﷺ diatas telah memberikan kita pembelajaran dalam hal materi pelajaran yang meliputi pendidikan agama, matematika, ibadah, akhlak, bahasa dan sosial, maka sebagai hamba kita wajib belajar untuk menyeimbangkan berbagai kebutuhan dalam pendidikan sesuai dengan ḥadith yang di contohkan Rasūlullāh ﷺ dan juga harus kita ajarkan mulai dasar terhadap anak didik kita. Sehingga kita dapat menjadi hamba yang sesuai dengn syariat dan selalu mencontoh perbuatan Nabi Muḥammad ﷺ
Materi pendidikan pada hakikatnya adalah Isi kurikulum. Isi kurikulum hendaknya memuat segala aspek yang berhubungan dengan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang terdapat pada isi setiap mata pelajaran yang disampaikan dalam kegiatan proses pembelajaran.
B.       Saran
Penulis menyadari banyak terdapat kekeliruan dalam penulisan makalah ini, maka penulis mengharapkan saran dari para pembaca demi kesempurnaan  pada penulisan makalah-makalah kami selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Misbakhudinmunir.wodrpress.com.
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008).
Jamal Abdul Rahman, Tahapan Mendidik Anak, Penerjemah : Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, (Bandung : Irsyad Baitus salam, 2008)
M. Nashir Ali, Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, (Jakarta: Mutiara, 1982).
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,  2008).
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006, hlm. 103.
Shahih al-Bukhāri, Jilid 1.
’Aunul bari li hilli adilati shohihil bukhori juz.1 (darul kutub al ilmiyah).
Mukhtashor bukhori juz 1.



[1] Misbakhudinmunir.wodrpress.com.
[2] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008),  hlm. 104.
[3] Ibit. hlm. 103 – 104
[4] Jamal Abdul Rahman, Tahapan Mendidik Anak, Penerjemah : Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, (Bandung : Irsyad Baitus salam, 2008), hlm. 16.
[5] Op Cit, Abdul Mujib, hlm 103.
[6] Op Cit, Jamal Abdul Rahman, hlm. 17.
[7] M. Nashir Ali, Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, (Jakarta: Mutiara, 1982), hlm. 93.
[8] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 170.
[9] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,  2008), hlm. 35
[10] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006, hlm. 103.
[11] Shahih al-Bukhāri, Jilid 1, hal 190
[12] ’Aunul bari li hilli adilati shohihil bukhori juz.1 (darul kutub al ilmiyah) hal 208
[13] Mukhtashor bukhori juz.1 hal.229