OBJEK
PENDIDIKAN (PESERTA DIDIK) DALAM HADIS
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
sebuah pendidikan tentunya terdapat sebuah subyek, obyek dan sarana-sarana lain
yang sekiranya dapat membantu terselenggaranya sebuah pendidikan. Allah SWT
telah memerintahkan kepada Rasul-Nya yang mulia, di dalam ayat-ayat yang jelas
ini, agar dia memberikan peringatkan kepada keluarga dan sanak kerabat dulu
kemudian kepada seluruh umat manusia agar tidak seorang pun yang berprasangka
jelek kepada nabi, keluarga dan sanak kerabatnya.
Jika dia
memulai dengan memberikan peringatan kepada keluarga dan sanak kerabatnya, maka
hal itu akan lebih bermanfaat dan seruannya akan lebih berhasil. Allah juga
menyuruh agar bersikap tawadhu kepada pengikut-pengikut yang beriman, bersikap
baik kepada mereka, dan ikut menggung kesusahan yang mereka mau menerima
nasehat. Dalam makalah ini pemakalah akan sedikit membahas terkait dengan obyek
Pendidikan
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian peserta didik?
2.
Apakah yang dimaksud dengan peserta didik dalam
pendidikan Islam?
3.
Apa kebutuhan-kebutuhan peserta didik dalam
pendidikan Islam?
4.
Bagaimana karakteristik peserta didik dalam
pendidikan Islam?
5.
Hadist-hadist yang membahas tentang peserta didik?
C. Tujuan
1.
Mengetahui pengertian pengertian peserta didik
2.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan peserta didik dalam
pendidikan Islam
3.
Mengetahui kebutuhan-kebutuhan peserta didik
dalam pendidikan Islam
4.
Mengetahui bagaimana karakteristik peserta
didik dalam pendidikan Islam
5.
Mengetahui dan memahami
kandungan Hadist-hadist yang membahas tentang peserta didik.
PEMBAHASAN
A. Definisi
Peserta Didik
Secara
etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat pengajaran ilmu. Secara
terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami
perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan dan arahan
dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari struktural proses
pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah
mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental
maupun fikiran.[1]
Dalam
istilah tasawuf peserta didik disebut dengan “murid” atau “thalib”.
Secara etimologi murid berarti orang yang menghendaki. Sedangkan menurut arti
terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang
pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan istilah thalib secara
bahasa adalah orang yang mencari. Sedang menurut istilah tasawuf adalah
penempuh jalan spiritual, di mana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk
mencapai derajat sufi.[2]
B. Definisi
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Dengan
berpijak pada paradigma “belajar sepanjang masa”, maka istilah yang tepat untuk
menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik dan bukan anak didik.
Peserta didik cakupannya lebih luas, yang tidak hanya melibatkan anak-anak,
tetapi juga pada orang-orang dewasa. Sementara istilah anak didik hanya dikhususkan
bagi individu yang berusia kanak-kanak. Penyebutan peserta didik ini juga
mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya di sekolah (pendidikan
formal), tapi juga lembaga pendidikan di masyarakat, seperti Majelis Taklim,
Paguyuban, dan sebagainya.
Secara
etimologi, murid berarti “orang yang menghendaki”. Sedangkan menurut arti
terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang
pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan thalib secara bahasa
berarti orang yang mencari, sedangkan menurut istilah tasawuf adalah penempuh
jalan spiritual, dimana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk mencapai
derajat sufi. Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut peserta didik
pada sekolah tingkat dasar dan menengah, sementara untuk perguruan tinggi
lazimnya disebut dengan mahasiswa.[3]
Peserta
didik adalah amanat bagi para pendidiknya. Jika ia dibiasakan untuk melakukan
kebaikan, niscaya ia akan tumbuh menjadi orang yang baik, selanjutnya
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhiratlah kedua orang tuanya dan juga setiap
mu’alim dan murabbi yang menangani pendidikan dan pengajarannya.
Sebaliknya, jika peserta didik dibiasakan melakukan hal-hal yang buruk dan
ditelantarkan tanpa pendidikan dan pengajaran seperti hewan ternak yang
dilepaskan beitu saja dengan bebasnya, niscaya dia akan menjadi seorang yang
celaka dan binasa.[4]
Sama
halnya dengan teori barat, peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu
sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan
religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Definisi
tersebut memberi arti bahwa peserta didik merupakan individu yang belum dewasa,
yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa. Anak
kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di
sekolah, dan umat beragama menjadi peserta didik masyarakat sekitarnya, dan
umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.[5]
Dengan
demikian dalam konsep pendidikan Islam, tugas mengajar, mendidik, dan
memberikan tuntunan sama artinya dengan upaya untuk meraih surga. Sebaliknya,
menelantarkan hal tersebut berarti sama dengan mejerumuskan diri ke dalam
neraka. Jadi, kita tidak boleh melalaikan tugas ini, terlebih lagi Nabi
bersabda:[6]
أَكْرِمُوْا اَبْنَاءَكُمْ وَأَحْسِنُوْا
اَدَبَهُمْ
“Muliakanlah
anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik” (hadits
diketengahkan oleh Ibnu Majah 2/1211, tetapi Al-Albani menilainya dha’if)
Menurut
Langeveld anak manusia itu memerlukan pendidikan, karena ia berada dalam
keadaan tidak berdaya (hulpeoosheid).[7]
Dalam Al-Quran dijelakan:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ
أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ
وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur”.(QS. An-Nahl: 78)
Peserta
didik di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus dapat bimbingan sepenuhnya dari
pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah
dan suci/fitrah sedangkan alam sekitarnya akan memberi corak warna terhadap
nilai hidup atas pendidikan agama peserta didik.[8]
Hal ini
sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW., yang berbunyi:
مَامِنْ مَوْلُوْدٍ اِلَّايُوْلَدُعلَىَ
الْفِطْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِ اَوْيُنَصِّرَانِهِ اَوْيُمَجِّسَانِهِ
(رواه مسلم)
Artinya: “Tidaklah
anak yang dilahirkan itu kecuali telah membaa fitrah (kecenderungan untuk
percaya kepada Allah), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut
beragama Yahudi, Nasrani, Majusi (HR. Muslim)
Menurut
hadis ini manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan; kemampuan itulah yang
disebut pembawaan. Fitrah yang disebut di dalam hadis itu adalah potensi.
Potensi adalah kemampuan; jadi fitrah yang dimaksud disini adalah pembawaan.
Ayah-ibu dalam hadis ini adalah lingkungan sebagaimana yang dimaksud oleh para
ahli pendidikan. Kedua-duanya itulah, menurut hadis ini, yang menentukan
perkembangan seseorang.
Manusia
memepunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyak potensi yang
dibawanya. Dalam garis besarnya, kecenderungan itu dapat dibagi dua, yaitu
kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan menjadi orang yang
jahat. Kecenderungan beragama termasuk ke dalam kecenderungan menjadi baik.[9]
Firman
Allah dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ
اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ
الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui” (QS. Ar-Rum: 30)
Dari ayat
dan hadits tersebut jelaslah bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah
beragama, dan kemudian bergantung kepada para pendidiknya dalam mengembangkan
fitrah itu sendiri sesuai dengan usia anak dalam pertumbuhannya. Dasar-dasar
pendidikan agama ini harus sudah ditanamkan sejak peserta didik itu masih usia
muda, karena kalau tidak demikian kemungkinan mengalami kesulitan kelak untuk
mencapai tujuan pendidikan Islam yang diberikan pada masa dewasa. Dengan
demikian, maka agar pendidikan Islam dapat berhasil dengan sebaik-baiknya
haruslah menempuh jalan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan peserta
didik, seperti disebutkan dalam hadits Nabi:
خَاطِبوُاالنَّاسَ عَلىَ قُلُوْبِهِمْ (الحديث)
“Berbicaralah
kepada orang lain sesuai dengan tingkat perkembangan akalnya”
(Al-Hadits)
C. Kebutuhan-Kebutuhan
Peserta Didik
Kebutuhan
peserta didik adalah sesuatu kebutuhan yang harus didapatkan oleh peserta didik
untuk mendapatkan kedewasaan ilmu. Kebutuhan peserta didik tersebut wajib
dipenuhi atau diberikan oleh pendidik kepada peserta didiknya. Menurut Ramayulis,
ada delapan kebutuhan peserta didik yang harus dipenuhi, yaitu:
ü Kebutuhan Fisik
ü Kebutuhan Sosial
ü Kebutuhan untuk Mendapatkan Status
ü Kebutuhan Mandiri
ü Kebutuhan untuk berprestasi
ü Kebutuhan ingin disayangi dan dicintai
ü Kebutuhan untuk curhat
ü Kebutuhan untuk memiliki filsafat hidup
D. Karakteristik
Peserta Didik
Beberapa
hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah:
ü Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia
mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh
dilaksanakan dengan orang dewasa. Orang dewasa tidak patut mengeksploitasi
dunia peserta didik, dengan mematuhi segala aturan dan keinginannya, sehingga
peserta didik kehilangan dunianya.
ü Peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk
pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin. Kebutuhan individu, menurut Abraham
Maslow, terdapat lima hierarki kebutuhan yang dikelompokkan dalam dua kategori,
yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan tahap dasar (basic needs) yang meliputi
kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan
harga diri; dan (2) meta kebutuhan-meta kebutuhan (meta needs), meliputi
apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri, seperti keadilan, kebaikan,
keindahan, keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya. Sekalipun demikian,
masih ada kebutuhan lan yang tidak terjangkau kelima hierarki kebutuhan itu,
yaitu kebutuhan akan transendensi kepada Tuhan. Individu yang melakukan ibadah
sesungguhnya tidak dapat dijelaskan dengan kelima hierarki kebutuhan tersebut,
sebab akhir dari aktivitasnya hanyalah keikhlasan dan ridha dari Allah SWT.
ü Peserta didik memiliki perbedaan antara individu
dengan individu yang lain, baik perbedaan yang disebabkan dari factor endogen
(fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi,
sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang mempengaruhinya. Pesrta didik
dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. Sesuai dengan hakikat manusia,
peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka pribadi peserta didik
walaupun terdiri dari dari banyak segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga
(cipta, rasa dan karsa).
ü Peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus
dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif.
Setiap peserta didik memiliki aktivitas sendiri (swadaya) dan kreatifitas
sendiri (daya cipta), sehingga dalam pendidikan tidak hanya memandang anak
sebagai objek pasif yang bisanya hanya menerima, mendengarkan saja.
ü Peserta didik mengikuti periode-periode
perkembangan tertentu dalam mempunyai pola perkembangan serta tempo dan
iramanya. Implikasi dalam pendidikan adalah bagaimana proses pendidikan itu
dapat disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan peseta didik.
Kadar kemampuan peserta didik sangat ditentukan oleh usia dan priode
perkembangannya, karena usia itu bisa menentukan tingkat pengetahuan,
intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik, baik dilihat dari dimensi
biologis, psikologis, maupun dedaktis.[10]
E. Hadist-hadist yang membahas tentang peserta
didik.
حَدَّثَنَا أَبُو الۡيَمَانِ: أَخۡبَرَنَا
شُعَيۡبٌ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ (ح) قَالَ أَبُو عَبۡدِ اللهِ: وَقَالَ ابۡنُ وَهۡبٍ:
أَخۡبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ عُبَيۡدِ اللهِ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ
بۡنِ أَبِي ثَوۡرٍ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عَبَّاسٍ، عَنۡ عُمَرَ قَالَ: كُنۡتُ
أَنَا وَجَارٌ لِي مِنَ الۡأَنۡصَارِ، فِي بَنِي أُمَيَّةَ بۡنِ زَيۡدٍ - وَهِيَ
مِنۡ عَوَالِي الۡمَدِينَةِ - وَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ عَلَى رَسُولِ
اللهِ ﷺ، يَنۡزِلُ يَوۡمًا، وَأَنۡزِلُ يَوۡمًا، فَإِذَا نَزَلۡتُ جِئۡتُهُ
بِخَبَرِ ذٰلِكَ الۡيَوۡمِ مِنَ الۡوَحۡيِ وَغَيۡرِهِ، وَإِذَا نَزَلَ فَعَلَ
مِثۡلَ ذٰلِكَ، فَنَزَلَ صَاحِبِي الۡأَنۡصَارِيُّ يَوۡمَ نَوۡبَتِهِ، فَضَرَبَ
بَابِي ضَرۡبًا شَدِيدًا فَقَالَ: أَثَمَّ هُوَ؟ فَفَزِعۡتُ فَخَرَجۡتُ إِلَيۡهِ،
فَقَالَ: قَدۡ حَدَثَ أَمۡرٌ عَظِيمٌ، قَالَ: فَدَخَلۡتُ عَلَى حَفۡصَةَ، فَإِذَا
هِيَ تَبۡكِي، فَقُلۡتُ: طَلَّقَكُنَّ رَسُولُ اللهِ ﷺ؟ قَالَتۡ: لَا أَدۡرِي.
ثُمَّ دَخَلۡتُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقُلۡتُ وَأَنَا قَائِمٌ: أَطَلَّقۡتَ
نِسَاءَكَ؟ قَالَ: (لَا) فَقُلۡتُ: اللهُ أَكۡبَرُ.
Artinya:
“Abu Al-Yaman telah
menceritakan kepada kami: Syu’aib mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri. (Dalam
riwayat lain) Abu ‘Abdullah berkata: Ibnu Wahb berkata: Yunus mengabarkan
kepada kami dari Ibnu Syihab, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin Abu Tsaur,
dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, dari ‘Umar. Beliau mengatakan: Dahulu, aku dan
tetanggaku ansar tinggal di pemukiman Bani Umayyah bin Zaid, yaitu tempat yang
termasuk ‘Awali Madinah. Kami dahulu saling bergantian turun ke tempat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia turun satu hari dan aku pun turun
satu hari. Ketika aku turun, aku membawa kabar hari itu berupa wahyu atau
selainnya. Dan ketika dia yang turun, dia melakukan semisal itu. Di hari
gilirannya, sahabatku ansar itu turun. Lalu dia menggedor pintuku dengan keras
seraya bertanya, “Apakah dia ada di sana?” Aku terkejut lalu keluar menemuinya.
Dia berkata, “Ada perkara besar yang telah terjadi.” ‘Umar berkata: Aku masuk
menemui Hafshah dan ternyata dia sedang menangis. Aku bertanya, “Apakah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceraikan kalian?” Hafshah
menjawab, “Aku tidak tahu.” Kemudian aku masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam seraya bertanya dalam keadaan masih berdiri, “Apakah engkau
menceraikan para istrimu?” Nabi menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Allahu Akbar.”.
Analisa Sarah
hadis
Hadis ini adalah hadis berganti-gantian atau piket
(shift-shiftan) dalam menuntut ilmu. Maksudnya di sini adalah dua orang
yang tidak ingin ketinggalan terus. Maka mereka saling bergantian. Hari ini
yang datang si A untuk menuntut ilmu, si B mencari nafkah. Besok si B yang
datang menuntut ilmu, sedangkan si A mencari nafkah. Ini maksud dari التَّنَاوُبِ فِي العِلْمِ. Saling bergantian, saling piket didalam menuntut ilmu.Umar radhyiallahu
‘anhu mengatakan bahwa mereka bergantian mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tetangganya yang pergi satu hari dan besoknya Umar
yang pergi satu hari.Ini adalah apa yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab radhyiallahu
‘anhu bersama tetangganya orang Anshar bernama Itban ibnu Malik. Dan ini
menunjukkan bagaimana mulianya ilmu dan bagaimana para sahabat Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam benar-benar memuliakan ilmu. Terlihat bagaimana
ketamakan mereka terhadap ilmu. Terlihat bagaimana mereka benar-benar mengorbankan
banyak hal dalam dunia mereka untuk menimba ilmu agama dari Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam.Manusia memiliki kewajiban. Pertama kewajibannya kepada
Allah. Dan didalam kewajiban kepada Allah itu dituntut untuk menimba ilmu agar
kewajiban-kewajiban kita kepada Allah tabaraka wa ta’ala bisa kita
laksanakan dengan baik dan benar. Lalu kita bisa menyampaikan agama Allah
kepada yang lainnya. Sehingga kita bisa membenahi kesalahan-kesalahan kita dan
dengan ilmu kita bisa membenahi dengan izin Allah kesalahan-kesalahan yang ada
pada saudara kita, tetangga kita, sahabat kita, teman kita dan yang lainnya.
Ini satu kewajiban. Kewajiban yang lainnya adalah kewajiban antara makhluk
dengan makhluk lainnya. Kewajiban seorang ayah terhadap istrinya dan
anak-anaknya, terhadap keluarganya harus mencari nafkah, para sahabat tidak
ingin hidup mereka semuanya untuk mencari nafkah. Mereka ingin ilmu. Akan
tetapi kalau duduk terus di majelis ilmu, kapan mencari nafkah? Sementara
ada kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan juga. Sebagai seorang suami
untuk menafkahi istri, sebagai orang tua untuk menafkahi dan sebagai seorang
anak untuk orang tua kalau orang tua kita masih hidup.Sehingga bertemu dua
kewajiban. Umar dan tetangganya tidak mau menyepelekan dua kewajiban ini.
Kewajiban menimba ilmu dan kewajiban mencari nafkah. Akhirnya mereka berdua
membuat kesepakatan. Tetangganya itu yang pergi menuntut ilmu kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, sedangkan Umar mencari nafkah. Satu hari itu Umar
tidak bisa datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menimba
ilmu agama. Namun, ketika malam tetangganya menceritakan kepada Umar
seluruh yang dia tahu, kejadian-kejadian yang terjadi bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Apakah ada wahyu baru yang turun? Apakah ada
kejadian-kejadian? Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengeluarkan kata-kata pengajaran, ilmu? Apa yang didapatkan oleh tetangga Umar
bin Khattab pada hari itu disampaikan kepada Umar. Ini adalah cara untuk
membuat ilmu semakin kokoh dalam hafalan kita. Yaitu ketika kita
mendapatkan ilmu, sampaikan kepada orang lain.
Ketika kita mendapatkan ilmu, jangan berhenti
dikita. Zakatnya ilmu adalah dengan mengajarkan ilmu itu kepada orang
lain. Dan semakin rajin kita mengajarkannya kepada orang lain, ilmu itu
kan semakin lengket dan ilmu itu akan semakin kokoh. Karena diawal kita tahu
belum tentu kokoh, belum tentu kuat, belum tentu permanen sampai kita
benar-benar mengajarkannya, mengajarkannya, mengajarkannya dan mengajarkannya.
Sehingga terjadi pengulangan ilmu, pematangan ilmu dan semacamnya.
Maka kata Umar bin Khattab, giliran tetangga saya
belajar ilmu agama, nanti ketika malamnya dia sampaikan kepada saya seluruh
ilmu yang dia ketahui, yang terjadi pada hari itu bersama Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Demikian sebaliknya, kalau hari dimana apabila Umar
bin Khattab radiyallahu ta’ala ‘anhu yang menghadap
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menuntut ilmu bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari itu, Umar pun
melakukan hal yang sama kepada tetangganya. Umar memberitahu tetangganya
tentang apa yang terjadi, apa wahyu yang turun, apa kata kata Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, siapa yang mengadu kepada Nabi ketika itu?
Bagaimana Rasulullah menanggapi aduannya dan seterusnya. Ini menunjukkan
kemuliaan ilmu
Bagaimana para sahabat mengorbankan hari demi hari
mereka yang bisa mereka gunakan untuk meraup keuntungan dunia dengan
berbisnis, berniaga, bercocok tanam, menggembalakan hewan-hewan gembalaan,
akan tetapi mereka tinggalkan sebahagian waktu mereka demi ilmu. Yang
seharusnya 30 hari dalam sebulan bisa setiap hari digunakan untuk mencari
nafkah, bisa setiap hari digunakan untuk mengais rezeki dan malamnya bisa
menuntut ilmu. Tapi Umar dan tetangganya tidak mau.
Mereka ingin benar-benar duduk di samping
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendengarkan ilmu-ilmu yang
diturunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat.
Sehingga mereka kompak, Umar radhiyallahu ‘anhu bersama tetangganya
untuk bergantian. Hari ini Umar yang pergi belajar, tetangganya pergi
mencari nafkah.
Disebutkan dalam riwayat lain kata para ahli ilmu,
tetangganya pergi membawa hewan gembalan-gembalan milik Umar supaya hewan-hewan
gembalaannya bisa merumput dan mengais rezeki yang ada di sekitar kota Madinah.
Besoknya tetangganya yang perg dan giliran Umar radhyiallahu ‘anhu yang
mengurus hewan tetangganya itu. Ini menunjukkan ketampakan para sahabat
yang luar biasa terhadap ilmu agama Allah subhanahu wa ta’ala. Dan
ini menunjukkan bagaimana mereka benar-benar merasa pentingnya seesorang tahu
agama Allah. Karena untuk yang mahal, juga harus mengorbankan yang mahal pula.
Tidak mungkin kita mau membeli dengan harga yang murah sementara kita ingin
barang yang mahal. Tidak mungkin. Ini yang disadari oleh para sahabat Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ilmu adalah sesuatu yang
sangat teramat penting. Sehingga mengorbankan satu hari mencari nafkahnya, satu
hari meraih rezekinya untuk ilmu. Sehingga duduk bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Lihatlah bagaimana tamaknya para sahabat. Hari yang
dimana beliau tidak bisa hadir, beliau dengarkan dari tetangganya. Apa gerangan
yang terjadi? Apa gerangan wahyu yang turun? Apa gerangan kondisi, kisah yang terjadi
seharian itu bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Karena
apa yang dikatakan Rasul adalah syariat. Apa yang diajarkan Rasul adalah agama.
Apa yang disampaikan Rasul kepada kita, itulah agama Allah. Inilah yang ingin
diketahui oleh Umar. Dan dia tidak ingin terlepas dari informasi tentang adanya
wahyu yang turun, tentang adanya hukum yang turun, maka beliau mengorbankan
sebagian yang mahal dari hidupnya.
Sehingga hari ini bisa menuntut ilmu dengan cara
langsung, besok menuntut ilmu dengan perantara, besoknya lagi langsung datang
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, besoknya melalui perantara.
Ini menunjukkan semangat menuntut ilmu yang luar biasa. Sehingga waktu yang
berharga, yang banyak digunakan manusia untuk mencari nafkah, mencari
keuntungan duniawi, mencari rezeki, mereka bisa korbankan waktu itu untuk
menimba ilmu agama Allah subhanahu wa ta’ala.
Analisis Kependidikan:
Para sahabat Nabi adalah figur yang sangat
teguh didalam memegang prinsip, terutama dibidang ilmu pengetahuan mereka
selalu berusaha mengambil manfaat dari tiap nafas yang berhembus dan selalu
ingin menambah ilmu disetiap waktunya seperti apa yang di contohkan sahabat
Umar Rodhiyah Allah ‘anhu dan tetangganya ‘Itban bin malik Rodhiyah
Allah ‘anhu dari cerita di atas dapat di ambil pelajaran bagi seorang yang
menuntut ilmu hendaknya :
a. Selalu
berusaha mencari ilmu meskipun ditengah kesibukan dalam masalah pekerjaan
b. Bila ada
udzur tidak bisa menghadiri dalam majlis ilmu yang menjadi kebiasaan
belajarnya, hendaknya minta keterangan kepada
kawan yang lain.
c. Sebagai
seorang yang mencari ilmu hendaknya kita mengajarkan ilmu kita kepada orang
lain atau berbagi kepada teman.
d. Jarak
bukanlah suatu penghalang seseorang mencari ilmu.[12]
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ قَالَ أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ قَالَ حَدَّثَنَا
هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ زَيْنَبَ ابْنَةِ أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ
سَلَمَةَ قَالَت ْجَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي
مِنْ الْحَقِّ فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ فَغَطَّتْ
أُمُّ سَلَمَةَ تَعْنِي وَجْهَهَا وَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَتَحْتَلِمُ
الْمَرْأَةُ قَالَ نَعَمْ تَرِبَتْ يَمِينُكِ فَبِمَ يُشْبِهُهَا وَلَدُهَا
Artinya:
“Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Salam berkata, telah mengabarkan kepada kami Abu
Mu'awiyah berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam bin 'Urwah dari
Bapaknya dari Zainab puteri Ummu Salamah, dari Ummu Salamah ia berkata,
"Ummu Sulaim datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan
berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dalam perkara
yang hak. Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?" Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Ya, jika dia melihat air."
Ummu Salamah lalu menutupi wajahnya seraya bertanya, "Wahai Rasulullah,
apakah seorang wanita itu bermimpi?" Beliau menjawab: "Ya. Celaka
kamu. (jika tidak) Lantas dari mana datangnya kemiripan seorang anak itu”
Analisa Syarah Hadis
Ummu sulain adalah Sahlah binti milhan
menurut salah satu pendapat, dari paparan hadis diatas pada hakikatnya menuntut
ilmu jangan sampai terhalang oleh keadaan atau perbedaan atau mungkin munculnya
rasa malu karena sebab tertentu, karena pada hakikatnya rasa malu secara syar’I
adalah watak/pekerti yang muncul untuk bisa menghindari dari berbuat perkara
yang jelek dan mencegah dari berbuat dzolim pada hak yang dimiliki orang lain.
Terutama bagi seorang
perempuan ketika mengalami hal-hal yang membuat dia bingung dalam suatu masalah
tertentu, maka jalan yang harus di tempuh adalah mencari pencerahan atau
bertanya kepada orang lain, meskipun terkadang hal tersebut adalah hal-hal yang
sensitif seperti masalah haid dan sebagainya, seperti yang di alami oleh ummi
sulaim tentang masalah perempuan yang mimpi basah.
Analisis Kependidikan:
Mencari ilmu adala kewajiban bagi setiap muslim
baik laki-laki ataupun perempuan tanpa ada perbedaan diantara keduanya.
Terutama ilmu-ilmu yang menjadi tuntukan didalam perkara yang seseorang hadapi
dalam kehidupannya, sebagaima disebutkan dalam kitab ta’limul muta’allim
اعلم,
بأنه لايفترض على كل مسلم، طلب كل علم وإنما يفترض عليه طلب علم الحال كما قال:
وأفضل العلم علم الحال
Dari hadis di atas dapat muncul beberapa
analisis dalam dunia pendidikan bagi peserta didik hendaknya
Ø
Hendaknya orang yang
menuntut ilmu tidak malu meskipun kepada siapa saja dia berguru
Ø
Kesamaan antara lelaki
dan perempuan dalam mendapatkan hak yang sama dalam menuntut ilmu.
Ø
Suatu hukum syar’i
harus berdasarkan penetian terlebih dahulu ketika berhubungan dengan biologis
manusia.
Ø
komponen yang harus dimiliki peserta didik
dalam proses pendidikan
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Materi pendidikan Islam adalah komponen penting yang
harus disesuaikan dalam pendidikan karena akan menyebabkan kesalahan yang
sangat besar apabila sebuah materi pembelajaran tidak sedemikian rupa. Oleh
karena itu hakikatnya penggunaan dan penyesuaian materi adalah agar peserta
didik mampu terarah dengan baik, tidak hanya sekedar belajar tanpa materi yang
dipersiapkan dengan matang dan disesuaikan dengan usia perkembangan peserta
didik berdasar jenjang tingkat pendidikannya.
Ḥadith-ḥadith dari Nabi Muḥammad ﷺ diatas telah memberikan
kita pembelajaran dalam hal materi pelajaran yang meliputi pendidikan agama,
matematika, ibadah, akhlak, bahasa dan sosial, maka sebagai hamba kita wajib
belajar untuk menyeimbangkan berbagai kebutuhan dalam pendidikan sesuai dengan ḥadith yang di contohkan Rasūlullāh ﷺ dan juga harus kita
ajarkan mulai dasar terhadap anak didik kita. Sehingga kita dapat menjadi hamba
yang sesuai dengn syariat dan selalu mencontoh perbuatan Nabi Muḥammad ﷺ
Materi pendidikan pada
hakikatnya adalah Isi kurikulum. Isi kurikulum hendaknya memuat segala aspek
yang berhubungan dengan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang terdapat
pada isi setiap mata pelajaran yang disampaikan dalam kegiatan proses
pembelajaran.
B. Saran
Penulis menyadari banyak terdapat kekeliruan dalam
penulisan makalah ini, maka penulis mengharapkan saran dari para pembaca demi
kesempurnaan pada penulisan
makalah-makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Misbakhudinmunir.wodrpress.com.
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana, 2008).
Jamal Abdul Rahman, Tahapan Mendidik Anak, Penerjemah :
Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, (Bandung : Irsyad Baitus salam, 2008)
M.
Nashir Ali, Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, (Jakarta: Mutiara, 1982).
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1995)
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
(Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2008).
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia,
Jakarta, 2006, hlm. 103.
Shahih al-Bukhāri, Jilid 1.
’Aunul
bari li hilli adilati shohihil bukhori juz.1 (darul kutub al ilmiyah).
Mukhtashor bukhori juz 1.
[4] Jamal Abdul Rahman, Tahapan Mendidik Anak, Penerjemah :
Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, (Bandung : Irsyad Baitus salam, 2008), hlm. 16.
[7] M. Nashir Ali, Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, (Jakarta: Mutiara,
1982), hlm. 93.
[9] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
(Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2008), hlm. 35
[12] ’Aunul bari li hilli adilati shohihil
bukhori juz.1 (darul kutub al ilmiyah) hal 208
Tidak ada komentar:
Posting Komentar