Tersebutlah seorang saleh bernama Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baihaqi. Ia terkenal akan kejujuran dan sifat amanahnya.
Saat itu ia merasa sangat lapar. Padahal, ia tidak memiliki uang sepeser pun untuk membeli makanan. Ia pun tidak menemukan sesuatu yang halal untuk dimakan.
Tiba-tiba ia melihat sesuatu yang menarik pandangannya. Sebuah kantong yang terbuat dari sutra tergeletak begitu saja di tengah jalan. Ia pun memungutnya dan membawanya pulang ke rumah.
Ketika kantong itu ia buka, isinya adalah kalung permata yang sangat indah. Melihat isi kantong itu ia sangat terkejut karena baru pertama kali melihat perhiasan begitu indahnya. Namun, imannya menyuruh untuk mencari pemiliknya agar bisa dikembalikan kalung tersebut kepadanya.
Al-Qadhi keluar dari rumahnya. Ia mendengar seseorang berteriak mencari kantongnya yang hilang. Ternyata orang itu adalah lelaki tua yang menawarkan sejumlah uang bagi yang menemukan kantongnya.
Ia berkata, "Barangsiapa menemukan kantong sutra berisi permata milikku dan mau mengembalikannya kepadaku, aku akan menebusnya dengan lima ratus dinar!"
Betapa senangnya Al-Qadhi jika lelaki tua itu benar-benar pemilik kantong berisi permata yang ia temukan. Segera ia panggil lelaki tua tersebut, "Hai Pak Tua, kemarilah, ceritakanlah kepadaku ciri-ciri kantongmu!"
Lelaki tua itu menggambarkan dengan sedetail-detailnya bentuk kantong permata tersebut. Benarlah bahwa kantong permata yang ia temukan adalah milik lelaki tua itu. Tanpa membuang waktu, ia pun langsung memulangkan kantong itu pada si empunya.
Bahagia tak terkira terpancar dari wajah lelaki tua itu. Ia pun memberikan sekantong uang yang ia janjikan kepada Al-Qadhi. Namun, Al-Qadhi menolak dengan berkata, "Barang itu memang milikmu dan kau berhak memilikinya tanpa perlu memberiku sesuatu."
"Ambillah karena sudah janjiku untuk memberimu hadiah!" bujuk lelaki tua itu.
Sekali lagi Al-Qadhi menolak meskipun didesak berkali-kali oleh lelaki tua tersebut. Akhirnya, lelaki tua itu mengucapkan terima kasih sambil berlalu meninggalkan Al-Qadhi.
Hari-hari berikutnya setelah kejadian itu, Al-Qadhi berlayar meninggalkan Mekah. Malang baginya karena perahu yang ditumpanginya hancur dihantam ombak besar. Tidak ada penumpang yang selamat kecuali dirinya. Ia berpegangan pada pecahan kayu perahu.
Ia terdampar di sebuah pulau berpenduduk. Ketika dilihatnya sebuah masjid, ia segera menuju ke sana dan membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Beberapa orang dari penduduk setempat mendengarnya. Mereka lalu memintanya untuk diajari membaca Al-Qur'an.
Ketika mengetahui bahwa Al-Qadhi bisa menulis, mereka pun minta untuk diajari cara menulis. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa, mereka berdatangan ke masjid untuk belajar. Ia pun mendapat uang yang lumayan banyak dari mereka.
Melihat kesalehan Al-Qadhi, salah seorang dari mereka menawarinya untuk menikah dengan seorang gadis yatim. Ia berkata kepada Al-Qadhi, "Kami memiliki seorang putri yatim. Ia memiliki harta yang cukup. Maukah kau menikahinya?"
Awalnya Al-Qadhi menolak tawaran tersebut. Namun, setelah didesak terus-menerus ia pun menerima tawaran tersebut.
Ketika gadis yatim yang dimaksud dibawa ke hadapannya, Al-Qadhi mengenali kalung permata yang melingkar di leher gadis itu. Kalung itu adalah kalung permata yang pernah ditemukannya.
Salah seorang dari mereka yang mengetahui bahwa Al-Qadhi tertarik pada kalung tersebut bertanya, "Kau hanya memerhatikan kalung itu. Mengapa kau tidak mau memerhatikan gadis yang memakainya?"
Al-Qadhi menceritakan pengalamannya yang lalu saat menemukan permata yang hilang kepada mereka. Setelah mereka mendengarkan seluruh cerita darinya, mereka langsung meneriakkan tahlil dan takbir.
Al-Qadhi tidak mengerti mengapa mereka melakukan itu. Kemudian salah seorang dari mereka menjelaskan, "Tahukah engkau bahwa orang tua yang pernah kau jumpai di Mekah dahulu adalah ayah gadis ini. Dia pernah mengatakan bahwa tidak pernah ia menjumpai seorang muslim yang lebih baik dan jujur daripada orang yang telah mengembalikan kalung tersebut. Kemudian dia berdoa agar dapat dipertemukan kembali dengannya dan dapat menikahkan dengan putrinya. Sekarang doanya telah terkabul!" ujar mereka.
Akhirnya, pernikahan antara keduanya pun berlangsung dengan khidmat. Mereka pun mengarungi bahtera hidup dengan bahagia bersama anak-anak mereka.
Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi
Sabtu, 03 April 2010
Ulah Burung Beo
Tersebutlah seorang raja bernama Iskandar Zulkarnain. Ia adalah raja yang gagah perkasa dan berwatak keras. Ia memiliki rahasia yang hanya diketahui oleh dirinya dan istrinya.
Rahasia itu adalah ia memiliki tanduk di kepalanya seperti sapi, tetapi selalu tertutupi oleh mahkotanya. Karena itulah ia dijuluki Zulkarnain yang artinya memiliki dua tanduk.
Pada suatu hari Raja Zulkarnain dan para pengawalnya sedang berburu ke dalam hutan. Sang Raja memisahkan diri dari yang lainnya karena kepalanya terasa gatal sekali. Dia harus mencari tempat sepi agar rahasianya tidak diketahui orang lain ketika ia menggaruk kepalanya.
Setelah yakin tidak ada yang melihat, sang raja membuka mahkotanya. Digaruklah bagian kepalanya yang gatal dengan saksama. Begitu asyiknya, hingga ia tidak menyadari bahwa ada seorang tukang kayu yang sedang memerhatikannya. Tukang kayu tersebut terpekik kaget melihat tanduk di kepala sang raja. Pekikan kaget tukang kayu terdengar oleh raja.
Akhirnya, kedua orang itu saling bertatapan dan memandangi satu sama lain. Raja terkesiap saat menyadari rahasianya telah diketahui orang lain. Dengan garang sang raja berteriak, "Hai! Apa yang kaulihat?!"
Kontan tukang kayu itu ketakutan. Bisa saja ia berkelit dan pura-pura tidak tahu-menahu tentang tanduk di kepala rajanya. Namun, ia sudah terbiasa berkata jujur di sepanjang hidupnya. Akhirnya, tukang kayu itu memilih untuk jujur meskipun ia takut dengan hukuman sang raja. la berkata, "Saya melihat tanduk di kepala Tuan."
Khawatir cacatnya akan diketahui banyak orang, sang raja pun mengancam tukang kayu tersebut, "Aku sudah menjaga rahasia ini bertahun-tahun. Bahkan, para menteri dan pengawalku tidak ada yang tahu. Aku tidak ingin mereka atau rakyatku tahu tentang cacat ini. Nah, karena kau telah mengetahui cacatku, kau harus kubunuh agar apa yang kaulihat tadi lenyap bersama jasadmu di liang kubur!"
Tukang kayu itu memohon, "Ampun Tuanku, hamba tidak sengaja. Jika aku mati, siapa yang akan mengurus anak-anakku?"
"Ah, itu bukan urusanku! Memang sudah saatnya hidup kamu berakhir di tanganku sekarang!" gertak sang raja.
"Aku mohon, Tuanku. Anak-anak saya masih kecil. Ibu mereka telah meninggal dunia. Siapa yang akan merawat mereka jika aku mati?" ujar tukang kayu memelas.
Hati sang raja pun luluh. Ia melihat sisi kejujuran tukang kayu tersebut dan berharap jika ia dibiarkan hidup, ia akan sanggup menjaga rahasianya. Raja berkata kepadanya, "Baiklah, engkau kuberi kesempatan untuk hidup dengan syarat jangan kauceritakan rahasia ini kepada siapa pun. Jika rahasia ini sampai bocor, kau beserta keluargamu akan kuhabisi!"
Alangkah bahagianya tukang kayu itu karena terbebas dari ancaman maut sang raja. Ia pun pulang menuju rumahnya. Namun, bayangan tentang tanduk di kepala sang raja terus menghantuinya. Tentunya hal aneh itu ingin ia ceritakan kepada setiap orang karena ini betul-betul suatu berita besar.
Akan tetapi, ia teringat ancaman sang raja yang akan menghabisinya beserta keluarga jika membocorkan rahasia itu. la pun berusaha melupakannya. Akan tetapi, makin berusaha dilupakan, bayangan itu makin kuat dalam pikirannya.
Ia tak kuasa untuk menahan rahasia itu seorang diri. Akhirnya, ia mendapat jalan keluarnya. "Mungkin jika aku menceritakan hal ini kepada sebatang pohon, akan mengurangi keinginanku untuk memberi tahu rahasia raja kepada orang lain," pikir si tukang kayu.
Ia pun masuk ke dalam hutan yang paling dalam dan gelap. Dilihatnya sebatang pohon besar dan ia pun berbicara kepada pohon itu, "Hai pohon! Raja Iskandar memiliki tanduk di kepalanya!"
Sungguh lega perasaan si tukang kayu setelah menceritakan rahasia sang raja pada pohon itu. Ketika ia menoleh ke atas pohon, dilihatnya seekor burung sedang bertengger di salah satu ranting pohon. Namun, si tukang kayu mengacuhkannya. Ia pun kembali ke rumah.
Beralih ke si burung. Ternyata yang bertengger di pohon itu adalah seekor burung Beo yang pandai menirukan suara manusia. Beo itu terbang ke mana pun ia suka hingga tiba di pasar yang terletak di dalam kota raja. Di sana ia mengulang-ulang apa yang ia dengar dari si tukang kayu, "Hai pohon! Raja Iskandar memiliki tanduk di kepalanya!"
Seluruh isi pasar menjadi geger mendengar berita tersebut. Ketika sang raja mengetahui bahwa rahasianya sudah menjadi rahasia umum alias terbongkar, murkalah ia.
Raja segera mengetahui bahwa biang keladi semua ini pastilah si tukang kayu di hutan tersebut. Tanpa buang waktu, sang raja menyuruh para pengawalnya untuk menangkap si tukang kayu itu. Tukang kayu itu digiring ke hadapan raja dengan tangan dan kaki terborgol rantai.
Raja geram kepadanya seraya berkata, "Hai Tukang Kayu! Engkau memang tidak tahu balas budi! Aku sudah memberimu kesempatan, tetapi kau malah membocorkan rahasiaku kepada rakyat. Maka sesuai perjanjian, kau beserta keluargamu harus mati!"
Dengan ketakutan, si tukang kayu membela diri, "Demi Allah, Tuanku. Saya tidak pernah berbicara kepada siapa pun!"
Raja tidak percaya. Ia berkata, "Lantas dari mana mereka tahu tentang tanduk di kepalaku jika bukan kau yang telah membocorkan rahasiaku!"
Si tukang kayu pun tidak habis pikir, bagaimana rahasia itu bisa bocor kepada khalayak. Apakah ada seseorang yang mendengarnya berbicara dengan pohon itu? Aha! Ia teringat akan burung yang hinggap di pohon tersebut. Kemungkinan besar, ialah pelakunya.
Si tukang kayu pun menceritakan dugaannya kepada sang raja, "Tuanku, terus terang saya memang tidak kuat menahan rahasia itu sendiri. Saat itu aku memutuskan untuk masuk ke dalam hutan dan menceritakan rahasia yang aku ketahui di hadapan sebuah pohon. Setelah aku mengungkap isi hatiku, aku melihat seekor burung hinggap di ranting pohon tersebut. Mungkinkah burung itu pelakunya?"
Raja adalah seorang yang adil dan bijaksana. Oleh karena itu, ia menyuruh menterinya untuk menyelidiki bagaimana kabar itu bisa tersebar. Setelah ditelusuri, seluruh rakyat mengatakan bahwa mereka mendengar berita itu dari seekor burung Beo yang terus mengoceh di pasar.
Benarlah, sang raja menyaksikan sendiri burung Beo berceloteh, "Hai pohon. Raja Iskandar memiliki tanduk di kepalanya!"
Perkataan tukang kayu itu benar adanya. Terbuktilah bahwa ia adalah seorang yang jujur. Dibebaskanlah ia dari segala hukuman, bahkan raja memberinya jabatan di pemerintahan karena kejujurannya.
Rahasia itu adalah ia memiliki tanduk di kepalanya seperti sapi, tetapi selalu tertutupi oleh mahkotanya. Karena itulah ia dijuluki Zulkarnain yang artinya memiliki dua tanduk.
Pada suatu hari Raja Zulkarnain dan para pengawalnya sedang berburu ke dalam hutan. Sang Raja memisahkan diri dari yang lainnya karena kepalanya terasa gatal sekali. Dia harus mencari tempat sepi agar rahasianya tidak diketahui orang lain ketika ia menggaruk kepalanya.
Setelah yakin tidak ada yang melihat, sang raja membuka mahkotanya. Digaruklah bagian kepalanya yang gatal dengan saksama. Begitu asyiknya, hingga ia tidak menyadari bahwa ada seorang tukang kayu yang sedang memerhatikannya. Tukang kayu tersebut terpekik kaget melihat tanduk di kepala sang raja. Pekikan kaget tukang kayu terdengar oleh raja.
Akhirnya, kedua orang itu saling bertatapan dan memandangi satu sama lain. Raja terkesiap saat menyadari rahasianya telah diketahui orang lain. Dengan garang sang raja berteriak, "Hai! Apa yang kaulihat?!"
Kontan tukang kayu itu ketakutan. Bisa saja ia berkelit dan pura-pura tidak tahu-menahu tentang tanduk di kepala rajanya. Namun, ia sudah terbiasa berkata jujur di sepanjang hidupnya. Akhirnya, tukang kayu itu memilih untuk jujur meskipun ia takut dengan hukuman sang raja. la berkata, "Saya melihat tanduk di kepala Tuan."
Khawatir cacatnya akan diketahui banyak orang, sang raja pun mengancam tukang kayu tersebut, "Aku sudah menjaga rahasia ini bertahun-tahun. Bahkan, para menteri dan pengawalku tidak ada yang tahu. Aku tidak ingin mereka atau rakyatku tahu tentang cacat ini. Nah, karena kau telah mengetahui cacatku, kau harus kubunuh agar apa yang kaulihat tadi lenyap bersama jasadmu di liang kubur!"
Tukang kayu itu memohon, "Ampun Tuanku, hamba tidak sengaja. Jika aku mati, siapa yang akan mengurus anak-anakku?"
"Ah, itu bukan urusanku! Memang sudah saatnya hidup kamu berakhir di tanganku sekarang!" gertak sang raja.
"Aku mohon, Tuanku. Anak-anak saya masih kecil. Ibu mereka telah meninggal dunia. Siapa yang akan merawat mereka jika aku mati?" ujar tukang kayu memelas.
Hati sang raja pun luluh. Ia melihat sisi kejujuran tukang kayu tersebut dan berharap jika ia dibiarkan hidup, ia akan sanggup menjaga rahasianya. Raja berkata kepadanya, "Baiklah, engkau kuberi kesempatan untuk hidup dengan syarat jangan kauceritakan rahasia ini kepada siapa pun. Jika rahasia ini sampai bocor, kau beserta keluargamu akan kuhabisi!"
Alangkah bahagianya tukang kayu itu karena terbebas dari ancaman maut sang raja. Ia pun pulang menuju rumahnya. Namun, bayangan tentang tanduk di kepala sang raja terus menghantuinya. Tentunya hal aneh itu ingin ia ceritakan kepada setiap orang karena ini betul-betul suatu berita besar.
Akan tetapi, ia teringat ancaman sang raja yang akan menghabisinya beserta keluarga jika membocorkan rahasia itu. la pun berusaha melupakannya. Akan tetapi, makin berusaha dilupakan, bayangan itu makin kuat dalam pikirannya.
Ia tak kuasa untuk menahan rahasia itu seorang diri. Akhirnya, ia mendapat jalan keluarnya. "Mungkin jika aku menceritakan hal ini kepada sebatang pohon, akan mengurangi keinginanku untuk memberi tahu rahasia raja kepada orang lain," pikir si tukang kayu.
Ia pun masuk ke dalam hutan yang paling dalam dan gelap. Dilihatnya sebatang pohon besar dan ia pun berbicara kepada pohon itu, "Hai pohon! Raja Iskandar memiliki tanduk di kepalanya!"
Sungguh lega perasaan si tukang kayu setelah menceritakan rahasia sang raja pada pohon itu. Ketika ia menoleh ke atas pohon, dilihatnya seekor burung sedang bertengger di salah satu ranting pohon. Namun, si tukang kayu mengacuhkannya. Ia pun kembali ke rumah.
Beralih ke si burung. Ternyata yang bertengger di pohon itu adalah seekor burung Beo yang pandai menirukan suara manusia. Beo itu terbang ke mana pun ia suka hingga tiba di pasar yang terletak di dalam kota raja. Di sana ia mengulang-ulang apa yang ia dengar dari si tukang kayu, "Hai pohon! Raja Iskandar memiliki tanduk di kepalanya!"
Seluruh isi pasar menjadi geger mendengar berita tersebut. Ketika sang raja mengetahui bahwa rahasianya sudah menjadi rahasia umum alias terbongkar, murkalah ia.
Raja segera mengetahui bahwa biang keladi semua ini pastilah si tukang kayu di hutan tersebut. Tanpa buang waktu, sang raja menyuruh para pengawalnya untuk menangkap si tukang kayu itu. Tukang kayu itu digiring ke hadapan raja dengan tangan dan kaki terborgol rantai.
Raja geram kepadanya seraya berkata, "Hai Tukang Kayu! Engkau memang tidak tahu balas budi! Aku sudah memberimu kesempatan, tetapi kau malah membocorkan rahasiaku kepada rakyat. Maka sesuai perjanjian, kau beserta keluargamu harus mati!"
Dengan ketakutan, si tukang kayu membela diri, "Demi Allah, Tuanku. Saya tidak pernah berbicara kepada siapa pun!"
Raja tidak percaya. Ia berkata, "Lantas dari mana mereka tahu tentang tanduk di kepalaku jika bukan kau yang telah membocorkan rahasiaku!"
Si tukang kayu pun tidak habis pikir, bagaimana rahasia itu bisa bocor kepada khalayak. Apakah ada seseorang yang mendengarnya berbicara dengan pohon itu? Aha! Ia teringat akan burung yang hinggap di pohon tersebut. Kemungkinan besar, ialah pelakunya.
Si tukang kayu pun menceritakan dugaannya kepada sang raja, "Tuanku, terus terang saya memang tidak kuat menahan rahasia itu sendiri. Saat itu aku memutuskan untuk masuk ke dalam hutan dan menceritakan rahasia yang aku ketahui di hadapan sebuah pohon. Setelah aku mengungkap isi hatiku, aku melihat seekor burung hinggap di ranting pohon tersebut. Mungkinkah burung itu pelakunya?"
Raja adalah seorang yang adil dan bijaksana. Oleh karena itu, ia menyuruh menterinya untuk menyelidiki bagaimana kabar itu bisa tersebar. Setelah ditelusuri, seluruh rakyat mengatakan bahwa mereka mendengar berita itu dari seekor burung Beo yang terus mengoceh di pasar.
Benarlah, sang raja menyaksikan sendiri burung Beo berceloteh, "Hai pohon. Raja Iskandar memiliki tanduk di kepalanya!"
Perkataan tukang kayu itu benar adanya. Terbuktilah bahwa ia adalah seorang yang jujur. Dibebaskanlah ia dari segala hukuman, bahkan raja memberinya jabatan di pemerintahan karena kejujurannya.
Bebas dari Hukuman Berkat Orang Tua Jujur
Rib'i bin Hirasy adalah seorang tabiin yang dikenal tidak pernah berdusta. Suatu hari dua putranya tiba dari Khurasan berkumpul dengannya. Mereka berdua adalah pemberontak pada masa pemerintahan Gubernur Al-Hajjaj. Sedangkan, Al-Hajjaj adalah seorang pemimpin bertangan besi yang menghendaki anak-anak Rib'i itu ditangkap.
Seorang mata-mata memberi kabar kepada Al-Hajjaj. Katanya, "Wahai pimpinanku, masyarakat seluruhnya menganggap Rib'i bin Hirasy tidak pernah berdusta selamanya. Sementara itu, saat ini kedua anaknya yang pemberontak dari Khurasan berkumpul dengannya."
"Baiklah," kata Al-Hajjaj, "bawalah ayah mereka ke sini!" perintahnya.
Rib'i mengetahui bahwa anaknya adalah buronan pemerintah karena pemberontakannya. Namun, ia tidak tahu alasan sang gubernur memanggilnya.
Dalam benak Al-Hajjaj sendiri menyangsikan akan kejujuran Rib'i, "Akankah seorang ayah berkata jujur saat mengetahui anaknya dalam bahaya? Seorang ayah tidak akan memberitahukan keberadaan anaknya demi keselamatan mereka," pikir Al-Hajjaj.
Sang gubernur pun bertanya kepada Rib'i, "Wahai orang tua, beritahukanlah keberadaan anakmu saat ini?"
Dengan santainya Rib'i menjawab, "Mereka berada di rumah!"
Mendengar penyataan jujur tersebut, Al-Hajjaj berkata, "Tidak ada pidana. Kami memaafkan keduanya karena kejujuranmu. Demi Allah, sekarang aku yakin kau tidak akan menyembunyikan anakmu. Sekarang kedua anakmu terserah kepadamu. Keduanya bebas dari tuduhan pidana."
Seorang mata-mata memberi kabar kepada Al-Hajjaj. Katanya, "Wahai pimpinanku, masyarakat seluruhnya menganggap Rib'i bin Hirasy tidak pernah berdusta selamanya. Sementara itu, saat ini kedua anaknya yang pemberontak dari Khurasan berkumpul dengannya."
"Baiklah," kata Al-Hajjaj, "bawalah ayah mereka ke sini!" perintahnya.
Rib'i mengetahui bahwa anaknya adalah buronan pemerintah karena pemberontakannya. Namun, ia tidak tahu alasan sang gubernur memanggilnya.
Dalam benak Al-Hajjaj sendiri menyangsikan akan kejujuran Rib'i, "Akankah seorang ayah berkata jujur saat mengetahui anaknya dalam bahaya? Seorang ayah tidak akan memberitahukan keberadaan anaknya demi keselamatan mereka," pikir Al-Hajjaj.
Sang gubernur pun bertanya kepada Rib'i, "Wahai orang tua, beritahukanlah keberadaan anakmu saat ini?"
Dengan santainya Rib'i menjawab, "Mereka berada di rumah!"
Mendengar penyataan jujur tersebut, Al-Hajjaj berkata, "Tidak ada pidana. Kami memaafkan keduanya karena kejujuranmu. Demi Allah, sekarang aku yakin kau tidak akan menyembunyikan anakmu. Sekarang kedua anakmu terserah kepadamu. Keduanya bebas dari tuduhan pidana."
Mengalahkan Perampok dengan Kejujuran
Abdul Qadir Al-Jaelani yang memiliki nama lengkap Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih Al-Hasani Al-Husaini adalah seorang ulama besar yang sederhana dan rendah hati. Ia dikenal sebagai pendiri Tarekat Qadariyah. Namanya juga dikenal dalam lingkungan tasawuf.
Sebuah kisah menggambarkan tentang dirinya. Kala itu ia hendak berangkat dari kota Mekah menuju Baghdad untuk menuntut ilmu. Ibunya memberinya perbekalan uang sejumlah empat puluh dinar dan berpesan agar selama perjalanan tidak berkata bohong.
Di tengah perjalanan, ia dihadang oleh gerombolan perampok, tepatnya di daerah Hamadah. Mereka merampas harta dan perbekalan kafilah yang kebetulan lewat jalan itu juga. Salah seorang perampok yang beringas menghampiri Abdul Qadir dan menodongnya, "Apa yang kaubawa?!"
Tanpa berbohong, sesuai amanah sang ibu, ia menjawab, "Empat puluh dinar."
Digeledahlah pakaian dan tas bawaan Abdul Qadir. Karena tidak menemukannya, perampok itu menghardiknya, "Di mana kau letakkan uang itu?!"
Abdul Qadir pun menjawabnya dengan jujur, "Di kantong sebelah sini," tunjuknya.
Benar juga, perampok itu menemukan uang yang dibawa Abdul Qadir ditempat yang ia katakan. Jumlahnya pun tepat empat puluh dinar. Sebenarnya ada rasa heran dalam diri perampok tersebut, baru kali ini ia menemukan korban yang dengan senang hati memberikan hartanya kepada perampok.
Keheranannya itu ia laporkan kepada pimpinannya. Setelah menerima informasi mengejutkan dari anak buahnya, pimpinan perampok itu bertanya kepada Abdul Qadir, "Apa yang mendorongmu untuk berkata jujur kepada kami?"
Abdul Qadir menjawab, "Sebelum berangkat, ibu saya berpesan agar tidak berbohong dalam kondisi apa pun. Saya hanya melaksanakan pesannya."
Pimpinan perampok terhenyak mendengar penjelasan dari korbannya. Lalu, ia berkata, "Engkau takut melanggar pesan ibumu, sedangkan kami tidak takut melanggar perintah Allah. Betapa zalimnya kami!"
Mereka pun menyesali perbuatannya dan bertobat.
Sebuah kisah menggambarkan tentang dirinya. Kala itu ia hendak berangkat dari kota Mekah menuju Baghdad untuk menuntut ilmu. Ibunya memberinya perbekalan uang sejumlah empat puluh dinar dan berpesan agar selama perjalanan tidak berkata bohong.
Di tengah perjalanan, ia dihadang oleh gerombolan perampok, tepatnya di daerah Hamadah. Mereka merampas harta dan perbekalan kafilah yang kebetulan lewat jalan itu juga. Salah seorang perampok yang beringas menghampiri Abdul Qadir dan menodongnya, "Apa yang kaubawa?!"
Tanpa berbohong, sesuai amanah sang ibu, ia menjawab, "Empat puluh dinar."
Digeledahlah pakaian dan tas bawaan Abdul Qadir. Karena tidak menemukannya, perampok itu menghardiknya, "Di mana kau letakkan uang itu?!"
Abdul Qadir pun menjawabnya dengan jujur, "Di kantong sebelah sini," tunjuknya.
Benar juga, perampok itu menemukan uang yang dibawa Abdul Qadir ditempat yang ia katakan. Jumlahnya pun tepat empat puluh dinar. Sebenarnya ada rasa heran dalam diri perampok tersebut, baru kali ini ia menemukan korban yang dengan senang hati memberikan hartanya kepada perampok.
Keheranannya itu ia laporkan kepada pimpinannya. Setelah menerima informasi mengejutkan dari anak buahnya, pimpinan perampok itu bertanya kepada Abdul Qadir, "Apa yang mendorongmu untuk berkata jujur kepada kami?"
Abdul Qadir menjawab, "Sebelum berangkat, ibu saya berpesan agar tidak berbohong dalam kondisi apa pun. Saya hanya melaksanakan pesannya."
Pimpinan perampok terhenyak mendengar penjelasan dari korbannya. Lalu, ia berkata, "Engkau takut melanggar pesan ibumu, sedangkan kami tidak takut melanggar perintah Allah. Betapa zalimnya kami!"
Mereka pun menyesali perbuatannya dan bertobat.
Kisah Seguci Emas
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda tentang suatu kisah.
Suatu hari seorang laki-laki membeli sebidang tanah kepada seseorang. Ternyata di dalam tanahnya terdapat seguci emas. Lalu, berkatalah orang yang membeli tanah itu kepada sang penjual tanah, "Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas."
Si penjual tanah berkata kepadanya, "Saya menjual tanah kepadamu berikut isinya."
Dikarenakan tidak mencapai kata mufakat, akhirnya keduanya menemui seseorang untuk menjadi hakim. Kemudian berkatalah orang yang diangkat sebagai hakim itu, "Apakah kamu berdua mempunyai anak?"
Salah satu dari mereka berkata, "Saya punya seorang anak laki-laki."
Yang lain berkata, "Saya punya seorang anak perempuan."
Kata sang hakim, "Nikahkanlah mereka berdua dan berilah mereka belanja dari harta ini serta bersedekahlah kalian berdua."
Rasulullah saw bersabda, "Rahmat Allah atas orang-orong yang berbaik hati ketika ia menjual dan membeli serta ketika dia membuat keputusan." (HR Bukhari)
Suatu hari seorang laki-laki membeli sebidang tanah kepada seseorang. Ternyata di dalam tanahnya terdapat seguci emas. Lalu, berkatalah orang yang membeli tanah itu kepada sang penjual tanah, "Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas."
Si penjual tanah berkata kepadanya, "Saya menjual tanah kepadamu berikut isinya."
Dikarenakan tidak mencapai kata mufakat, akhirnya keduanya menemui seseorang untuk menjadi hakim. Kemudian berkatalah orang yang diangkat sebagai hakim itu, "Apakah kamu berdua mempunyai anak?"
Salah satu dari mereka berkata, "Saya punya seorang anak laki-laki."
Yang lain berkata, "Saya punya seorang anak perempuan."
Kata sang hakim, "Nikahkanlah mereka berdua dan berilah mereka belanja dari harta ini serta bersedekahlah kalian berdua."
Rasulullah saw bersabda, "Rahmat Allah atas orang-orong yang berbaik hati ketika ia menjual dan membeli serta ketika dia membuat keputusan." (HR Bukhari)
Langganan:
Postingan (Atom)