Bukhari dan Abu Daud menulis kisah Khabbab bin Arat r.a. Dia adalah salah seorang sahabat Nabi saw yang memeluk Islam pada awal penyebarannya. Dia juga seorang hamba sahaya dari seorang perempuan zalim bernama Ummu Anmar Al-Khuza'iyyah.
Khabab sering mengunjungi Rasulullah saw untuk menuntut ilmu agama. Akan tetapi, malang baginya, berbagai macam penderitaan dan siksaan ia terima dari majikannya setelah diketahui sering mengunjungi Rasulullah saw.
Khabab sering dijemur di atas pasir panas di bawah teriknya matahari dengan mengenakan pakaian besi. Bukan hanya itu, ia pernah diletakkan di tempat pemanggangan hingga punggungnya terbakar dan luka itu terus membekas di punggungnya.
Tidak tahan dengan siksaan keji itu, Khabbab r.a mengadu kepada Rasulullah saw dengan harapan beliau mau menolongnya. Khabab berkata kepada Rasulullah saw yang sedang berselimutkan kain beludru di bawah Kakbah, "Tidakkan Anda menolong kami dan berdoa untuk kami?"
Rasulullah saw menatapnya sambil berkata, "Demi Allah, umat-umat sebelum ini menahan siksa yang lebih berat daripada siksaan yang telah kau alami. Mereka pernah dibuatkan lubang, kemudian disekap di dalamnya. Setelah itu, seseorang mendatanginya dengan membawa gergaji, meletakkan di kepalanya, lalu dengan sergaji itu membelah kepalanya menjadi dua.
Namun, semua itu tak pernah membuatnya berniat untuk meningsalkan agamanya. Seorang dari mereka ada yang pernah disisir kulitnya dengan sisir besi hingga dagingnya terkelupas dari tulang dan jaringan sarafnya. Akan tetapi, hal itu tidak membuatnya berpikir untuk meninggalkan agamanya.
Allah akan menyempurnakan agama ini, tetapi engkau tidak bersabar. Suatu hari, kelak akan tiba saatnya perempuan zalim itu (majikan Khabbab) akan berjalan sendiri dari San'a ke Hadramaut tanpa takut apa pun selain binatang buas. Namun, mengapa engkau tidak sabar?"
Ternyata Rasulullah saw telah mengetahui azab yang akan Allah SWT timpakan terhadap majikan zalim tersebut dengan mengabarkan bahwa majikan zalim itu akan mati diterkam binatang buas. Khabab r.a memberikan kesaksiannya, "Demi Allah, apa yang dikabarkan oleh Rasulullah saw benar! Aku melihatnya sendiri!"
Kebenaran pernyataan Rasulullah saw tentang azab yang akan menimpa majikan yang zalim benar adanya. Bukti kebenaran itu disaksikan oleh Khabab, budak milik majikan zalim, secara langsung. Dia melihat majikannya mati diterkam binatang buas sesuai dengan apa yang dikatakan Rasulullah saw.
Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi
Kamis, 08 April 2010
Pengakuan Abu Jahal
Dalam penyebaran risalah Islam, Rasulullah banyak sekali menemui kendala sehingga untuk menghindari sikap orang-orang Quraisy yang menentang risalah Islam, Rasulullah melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Hal itu dilakukan Rasulullah dikarenakan belum ada petunjuk dari Allah untuk melaksanakan dakwah secara terang-terangan.
Akan tetapi, ketika turun perintah untuk dakwah secara terang-terangan, Rasulullah saw langsung keluar dari kediamannya dan mendaki bukit Shafa. Di atas sana, beliau berseru dengan lantang memanggil penduduk Mekah, "Wahai kaum Quraisy!" Seruan itu memancing masyarakat Mekah untuk berduyun-duyun mendekati beliau.
Setelah masyarakat Mekah berkumpul di bukit Shafa, Rasulullah bersabda, "Percayakah kalian jika kukabarkan kepada kalian bahwa seekor unta akan ketuar dari kaki gunung ini?"
Mereka menjawab, "Kami tidak pernah menemukan kebohongan darimu sebelumnya."
Rasulullah melanjutkan, "Ketahuilah, sesungguhnya aku mengingatkan kalian akan adanya siksa yang sangat pedih!"
Mendengar hal itu, pamannya yang bernama Abu Lahab berdiri dan langsung meninggalkan beliau. Ketidakpedulian Abu Lahab terhadap ajakan Rasulullah saw diikuti oleh yang lainnya. Satu per satu dari mereka pergi meninggalkan beliau. Tidak ada yang tertarik dengan ajakannya.
Tradisi jahiliah begitu melekat dalam diri kaum Quraisy Mekah sehingga hampir mustahil untuk meninggalkan kebiasaan yang turun-menurun tersebut.
Meskipun demikian, Rasulullah saw tidak berhenti begitu saja. Pada suatu kesempatan, beliau bertemu dengan pamannya, Abu Jahal, di sebuah lorong kota Mekah. Pertemuan ini tidak disia-siakan oleh Rasulullah saw untuk mengajak pamannya menauhidkan Allah SWT. Beliau bersabda, "Wahai, Abu Hakam, marilah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku mengajakmu kepada Allah!"
Dengan ketus Abu Jahal menjawab, "Hai, Muhammad! Tidakkah kamu berhenti mencela tuhan-tuhan kami? Jika engkau melakukan ini agar kami bersaksi di hadapan Allah bahwa kamu adalah penyampai risalah, akan kami lakukan jika kamu memang benar! Karena itu, biarkanlah kami mengurus diri kami sendiri!"
Mendengar pernyataan Abu Jahal, Rasulullah saw berlalu meninggalkannya. Mughirah bin Shu'bah yang saat itu sedang bersama Abu Jahal bertanya tentang kerasulan Nabi Muhammad.
Abu Jahal menjawab, "Aku tahu bahwa dia adalah seorang nabi dan apa yang dikatakannya adalah kebenaran. Akan tetapi, kami bersaing dengan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah saw) di segala sesuatu. Mereka membanggakan diri karena menyediakan makanan dan minuman bagi para peziarah. Jika di antara mereka ada yang menjadi nabi, mereka pasti akan membangga-banggakannya di hadapan kami. Jika demikian, tentu saja kami tidak mampu menyainginya."
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abu Jahal pernah berkata, "Kami tidak pernah mendustakan engkau dan engkau bukanlah seorang pendusta. Namun, kami mendustakan apa yang engkau bawa."
Pengakuan Abu Jahal terhadap kerasulan Muhammad pun diungkapkan Abu Dzar Al-Ghifari. Saat itu Abu Dzar belum memeluk Islam dan ia pun menjadi sahabat dekat Abu Jahal. Keduanya dipersatukan dalam kerja sama perdagangan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Setiap kali Abu Dzar datang ke kota Mekah, ia selalu membawa barang-barang dagangan yang akan ia jual melalui perantaraan Abu Jahal.
Alkisah diceritakan bahwa terjadi sesuatu di luar kebiasaan. Suatu ketika Abu Dzar datang ke Mekah tanpa membawa barang dagangan satu pun, termasuk uang perniagaan. Hal ini tentu saja membuat Abu Jahal heran. la pun bertanya kepada Abu Dzar, "Apakah kau membawa barang dagangan, hai sahabatku?"
Abu Dzar menjawab, "Seperti yang kaulihat, aku tidak membawa apa pun."
"Apakah engkau membawa uang?" tanya Abu Jahal kembali.
"Tidak juga," jawab Abu Dzar singkat.
Melihat ada sesuatu yang tidak biasa pada sahabatnya, Abu Jahal kembali bertanya, "Ada apa denganmu? Apa yang membuatmu datang jauh-jauh ke Mekah tanpa membawa barang dagangan atau uang? Adakah tujuanmu yang lain?"
Melihat kerisauan sahabatnya, Abu Dzar mencoba menenangkannya dengan menjawab, "Sahabatku Abu Jahal, kali ini kedatanganku bukan untuk mengadu untung dalam perdagangan."
"Lantas untuk apa?" tanya Abu Jahal yang makin penasaran.
"Aku ingin bertemu dengan kemenakanmu."
Jawaban Abu Dzar makin membingungkan Abu Jahal. Abu Jahal pun kembali bertanya, "Kemenakanku? Siapakah yang kaumaksud?"
"Muhammad," jawab Abu Dzar singkat.
"Muhammad?" ulang Abu Jahal untuk meyakinkan apa yang baru saja ia dengar.
"Ya. Kudengar dari beberapa sahabatku bahwa Muhammad, kemenakanmu itu telah diangkat menjadi seorang rasul. Engkau harus bangga mempunyai kemenakan semulia itu, sahabatku!" jelas Abu Dzar panjang lebar. Ia tidak tahu bahwa sang paman tidak menyukai risalah yang dibawa kemenakannya, Muhammad.
Abu Jahal yang tidak ingin Islam memengaruhi sahabatnya segera mencegah Abu Dzar untuk bertemu Rasulullah saw dan berkata, "Sahabatku, dengarkanlah aku jika kau ingin selamat, jangan kautemui dia! Sekali-kali jangan pernah kau menemui kemenakanku itu!"
"Mengapa kau berkata seperti itu?" tanya Abu Dzar Al-Ghifari heran.
Abu Jahal menjelaskan, "Kautahu, Muhammad itu sangat menarik. Ia sangat memesona. Sekali berjumpa dengannya, aku jamin kaupasti akan benar-benar terpikat dengannya. Wajahnya bersih, perkataannya berisi mutiara indah dan selalu benar. Perilakunya sangat lembut dan sopan membacakan wahyu. Semua kalimatnya menyentuh jiwa."
Tentu saja jawaban Abu Jahal sangat berlawanan dengan sarannya untuk tidak menemui Rasulullah saw. Di satu sisi ia melarang Abu Dzar untuk bertemu kemenakannya, tetapi di sisi lain ia memberikan alasan yang baik-baik tentang Rasulullah saw.
Abu Dzar mengungkap keheranannya seraya berkata, "Aku tidak mengerti, tetapi apa itu berarti kau yakin dia seorang rasul?"
Abu Jahal langsung mengiyakan. Katanya, "Jelas. Mustahil rasanya jika ia bukan seorang rasul. Ia baik kepada semua orang tua dan muda, begitu pula budi pekerti dan akhlaknya sangat mulia. Satu hal lagi yang perlu kauketahui, ia sangat tabah menghadapi apa pun yang terjadi padanya. Ia mempunyai daya tarik yang hebat sekali."
"Aku tidak habis mengerti terhadapmu, Abu Jahal sahabatku," tandas Abu Dzar, "kaubilang bahwa kauyakin kemenakanmu itu adalah seorang rasul."
"Yakin betul. Aku tidak pernah meragukannya sedikit pun," tegas Abu Jahal.
"Apakah kaupercaya bahwa ia benar?" tanya Abu Dzar kembali.
"Lebih dari sekadar percaya," Jawab Abu Jahal.
"Tapi engkau melarangku untuk menemuinya ...," tanya Abu Dzar masih dengan keheranan.
Abu Jahal menjawab "Begitulah ...."
"Lalu, apakah engkau mengikuti ajaran agamanya?"
Abu Jahal tersentak dengan pertanyaan sang sahabat. "Ulangi sekali lagi pertanyaanmu ...," pinta Abu Jahal.
"Apakah engkau mengikuti agamanya menjadi pemeluk Islam?" Abu Dzar kembali mengulangi pertanyaannya seperti permintaan Abu Jahal.
Tidak bisa mengelak, Abu Jahal berkilah, "Sahabatku, sampai kapan pun aku tetap Abu Jahal. Aku bukanlah orang gila. Aku masih waras. Berapa pun kaubayar aku, aku tidak akan menjadi pengikut Muhammad!"
Abu Jahal melanjutkan, "Meskipun aku yakin bahwa Muhammad itu benar, aku tetap akan melawan Muhammad sampai kapan pun. Sampai titik darah penghabisanku."
"Apa sebabnya?" tanya Abu Dzar.
"Kautahu sahabatku, jika aku menjadi pengikut kemenakanku sendiri, kedudukan dan wibawaku akan hancur. Akan kuletakan di mana mukaku di hadapan bangsa Quraisy?"
Abu Dzar menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tidak percaya akan pemikiran sahabatnya, " Pendirianmu keliru, sahabatku."
"Aku tahu aku memang keliru," ujar Abu Jahal.
Abu Dzar mengingatkan sahabatnya, "Kelak, engkau akan dikalahkan oleh kekeliruanmu."
"Baik, biar saja aku kalah. Bahkan, aku tahu diakhirat kelak akan dimasukkan ke dalam neraka jahanam. Namun, aku tidak mau dikalahkan Muhammad di dunia walaupun di akhirat sana aku pasti dikalahkan," jawab Abu Jahal sambil berlalu meninggalkan Abu Dzar yang masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Abu Jahal tetap dalam pendiriannya. Ketika Perang Badar berlangsung, ia ditanya oleh Akhnas bin Syariq, "Hai, Abu Jahal! Di sini hanya kita berdua dan tidak ada orang lain, ceritakanlah tentang diri Muhammad, apakah benar dia itu orang yang jujur atau pendusta?"
"Demi Tuhan! Sesungguhnya Muhammad itu adalah orang yang benar dan tidak pernah berdusta!"
Akan tetapi, ketika turun perintah untuk dakwah secara terang-terangan, Rasulullah saw langsung keluar dari kediamannya dan mendaki bukit Shafa. Di atas sana, beliau berseru dengan lantang memanggil penduduk Mekah, "Wahai kaum Quraisy!" Seruan itu memancing masyarakat Mekah untuk berduyun-duyun mendekati beliau.
Setelah masyarakat Mekah berkumpul di bukit Shafa, Rasulullah bersabda, "Percayakah kalian jika kukabarkan kepada kalian bahwa seekor unta akan ketuar dari kaki gunung ini?"
Mereka menjawab, "Kami tidak pernah menemukan kebohongan darimu sebelumnya."
Rasulullah melanjutkan, "Ketahuilah, sesungguhnya aku mengingatkan kalian akan adanya siksa yang sangat pedih!"
Mendengar hal itu, pamannya yang bernama Abu Lahab berdiri dan langsung meninggalkan beliau. Ketidakpedulian Abu Lahab terhadap ajakan Rasulullah saw diikuti oleh yang lainnya. Satu per satu dari mereka pergi meninggalkan beliau. Tidak ada yang tertarik dengan ajakannya.
Tradisi jahiliah begitu melekat dalam diri kaum Quraisy Mekah sehingga hampir mustahil untuk meninggalkan kebiasaan yang turun-menurun tersebut.
Meskipun demikian, Rasulullah saw tidak berhenti begitu saja. Pada suatu kesempatan, beliau bertemu dengan pamannya, Abu Jahal, di sebuah lorong kota Mekah. Pertemuan ini tidak disia-siakan oleh Rasulullah saw untuk mengajak pamannya menauhidkan Allah SWT. Beliau bersabda, "Wahai, Abu Hakam, marilah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku mengajakmu kepada Allah!"
Dengan ketus Abu Jahal menjawab, "Hai, Muhammad! Tidakkah kamu berhenti mencela tuhan-tuhan kami? Jika engkau melakukan ini agar kami bersaksi di hadapan Allah bahwa kamu adalah penyampai risalah, akan kami lakukan jika kamu memang benar! Karena itu, biarkanlah kami mengurus diri kami sendiri!"
Mendengar pernyataan Abu Jahal, Rasulullah saw berlalu meninggalkannya. Mughirah bin Shu'bah yang saat itu sedang bersama Abu Jahal bertanya tentang kerasulan Nabi Muhammad.
Abu Jahal menjawab, "Aku tahu bahwa dia adalah seorang nabi dan apa yang dikatakannya adalah kebenaran. Akan tetapi, kami bersaing dengan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah saw) di segala sesuatu. Mereka membanggakan diri karena menyediakan makanan dan minuman bagi para peziarah. Jika di antara mereka ada yang menjadi nabi, mereka pasti akan membangga-banggakannya di hadapan kami. Jika demikian, tentu saja kami tidak mampu menyainginya."
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abu Jahal pernah berkata, "Kami tidak pernah mendustakan engkau dan engkau bukanlah seorang pendusta. Namun, kami mendustakan apa yang engkau bawa."
Pengakuan Abu Jahal terhadap kerasulan Muhammad pun diungkapkan Abu Dzar Al-Ghifari. Saat itu Abu Dzar belum memeluk Islam dan ia pun menjadi sahabat dekat Abu Jahal. Keduanya dipersatukan dalam kerja sama perdagangan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Setiap kali Abu Dzar datang ke kota Mekah, ia selalu membawa barang-barang dagangan yang akan ia jual melalui perantaraan Abu Jahal.
Alkisah diceritakan bahwa terjadi sesuatu di luar kebiasaan. Suatu ketika Abu Dzar datang ke Mekah tanpa membawa barang dagangan satu pun, termasuk uang perniagaan. Hal ini tentu saja membuat Abu Jahal heran. la pun bertanya kepada Abu Dzar, "Apakah kau membawa barang dagangan, hai sahabatku?"
Abu Dzar menjawab, "Seperti yang kaulihat, aku tidak membawa apa pun."
"Apakah engkau membawa uang?" tanya Abu Jahal kembali.
"Tidak juga," jawab Abu Dzar singkat.
Melihat ada sesuatu yang tidak biasa pada sahabatnya, Abu Jahal kembali bertanya, "Ada apa denganmu? Apa yang membuatmu datang jauh-jauh ke Mekah tanpa membawa barang dagangan atau uang? Adakah tujuanmu yang lain?"
Melihat kerisauan sahabatnya, Abu Dzar mencoba menenangkannya dengan menjawab, "Sahabatku Abu Jahal, kali ini kedatanganku bukan untuk mengadu untung dalam perdagangan."
"Lantas untuk apa?" tanya Abu Jahal yang makin penasaran.
"Aku ingin bertemu dengan kemenakanmu."
Jawaban Abu Dzar makin membingungkan Abu Jahal. Abu Jahal pun kembali bertanya, "Kemenakanku? Siapakah yang kaumaksud?"
"Muhammad," jawab Abu Dzar singkat.
"Muhammad?" ulang Abu Jahal untuk meyakinkan apa yang baru saja ia dengar.
"Ya. Kudengar dari beberapa sahabatku bahwa Muhammad, kemenakanmu itu telah diangkat menjadi seorang rasul. Engkau harus bangga mempunyai kemenakan semulia itu, sahabatku!" jelas Abu Dzar panjang lebar. Ia tidak tahu bahwa sang paman tidak menyukai risalah yang dibawa kemenakannya, Muhammad.
Abu Jahal yang tidak ingin Islam memengaruhi sahabatnya segera mencegah Abu Dzar untuk bertemu Rasulullah saw dan berkata, "Sahabatku, dengarkanlah aku jika kau ingin selamat, jangan kautemui dia! Sekali-kali jangan pernah kau menemui kemenakanku itu!"
"Mengapa kau berkata seperti itu?" tanya Abu Dzar Al-Ghifari heran.
Abu Jahal menjelaskan, "Kautahu, Muhammad itu sangat menarik. Ia sangat memesona. Sekali berjumpa dengannya, aku jamin kaupasti akan benar-benar terpikat dengannya. Wajahnya bersih, perkataannya berisi mutiara indah dan selalu benar. Perilakunya sangat lembut dan sopan membacakan wahyu. Semua kalimatnya menyentuh jiwa."
Tentu saja jawaban Abu Jahal sangat berlawanan dengan sarannya untuk tidak menemui Rasulullah saw. Di satu sisi ia melarang Abu Dzar untuk bertemu kemenakannya, tetapi di sisi lain ia memberikan alasan yang baik-baik tentang Rasulullah saw.
Abu Dzar mengungkap keheranannya seraya berkata, "Aku tidak mengerti, tetapi apa itu berarti kau yakin dia seorang rasul?"
Abu Jahal langsung mengiyakan. Katanya, "Jelas. Mustahil rasanya jika ia bukan seorang rasul. Ia baik kepada semua orang tua dan muda, begitu pula budi pekerti dan akhlaknya sangat mulia. Satu hal lagi yang perlu kauketahui, ia sangat tabah menghadapi apa pun yang terjadi padanya. Ia mempunyai daya tarik yang hebat sekali."
"Aku tidak habis mengerti terhadapmu, Abu Jahal sahabatku," tandas Abu Dzar, "kaubilang bahwa kauyakin kemenakanmu itu adalah seorang rasul."
"Yakin betul. Aku tidak pernah meragukannya sedikit pun," tegas Abu Jahal.
"Apakah kaupercaya bahwa ia benar?" tanya Abu Dzar kembali.
"Lebih dari sekadar percaya," Jawab Abu Jahal.
"Tapi engkau melarangku untuk menemuinya ...," tanya Abu Dzar masih dengan keheranan.
Abu Jahal menjawab "Begitulah ...."
"Lalu, apakah engkau mengikuti ajaran agamanya?"
Abu Jahal tersentak dengan pertanyaan sang sahabat. "Ulangi sekali lagi pertanyaanmu ...," pinta Abu Jahal.
"Apakah engkau mengikuti agamanya menjadi pemeluk Islam?" Abu Dzar kembali mengulangi pertanyaannya seperti permintaan Abu Jahal.
Tidak bisa mengelak, Abu Jahal berkilah, "Sahabatku, sampai kapan pun aku tetap Abu Jahal. Aku bukanlah orang gila. Aku masih waras. Berapa pun kaubayar aku, aku tidak akan menjadi pengikut Muhammad!"
Abu Jahal melanjutkan, "Meskipun aku yakin bahwa Muhammad itu benar, aku tetap akan melawan Muhammad sampai kapan pun. Sampai titik darah penghabisanku."
"Apa sebabnya?" tanya Abu Dzar.
"Kautahu sahabatku, jika aku menjadi pengikut kemenakanku sendiri, kedudukan dan wibawaku akan hancur. Akan kuletakan di mana mukaku di hadapan bangsa Quraisy?"
Abu Dzar menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tidak percaya akan pemikiran sahabatnya, " Pendirianmu keliru, sahabatku."
"Aku tahu aku memang keliru," ujar Abu Jahal.
Abu Dzar mengingatkan sahabatnya, "Kelak, engkau akan dikalahkan oleh kekeliruanmu."
"Baik, biar saja aku kalah. Bahkan, aku tahu diakhirat kelak akan dimasukkan ke dalam neraka jahanam. Namun, aku tidak mau dikalahkan Muhammad di dunia walaupun di akhirat sana aku pasti dikalahkan," jawab Abu Jahal sambil berlalu meninggalkan Abu Dzar yang masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Abu Jahal tetap dalam pendiriannya. Ketika Perang Badar berlangsung, ia ditanya oleh Akhnas bin Syariq, "Hai, Abu Jahal! Di sini hanya kita berdua dan tidak ada orang lain, ceritakanlah tentang diri Muhammad, apakah benar dia itu orang yang jujur atau pendusta?"
"Demi Tuhan! Sesungguhnya Muhammad itu adalah orang yang benar dan tidak pernah berdusta!"
Pengakuan Utbah bin Rabi'ah
Dakwah Rasulullah saw makin gencar sehingga para pemimpin Quraisy berencana mencegah penyebaran Islam lebih luas lagi dengan mengirimkan Utbah bin Rabi'ah kepada Rasulullah saw. Misi Utbah adalah membujuk Rasulullah agar berhenti berdakwah.
Rasulullah saw menyambut kedatangan Utbah dengan sangat baik. Utbah membuka percakapan dengan bertanya kepada Rasulullah saw., "Siapakah yang lebih baik, wahai Muhammad? Kau atau ayahmu?"
Rasulullah diam. Mungkin beliau merasa tidak perlu menjawab pertanyaan seperti itu.
Utbah tidak menyerah dan melanjutkan, "Putra saudaraku, engkau adalah bagian dari diri kami sebab kami tahu persis silsilah keluargamu. Akan tetapi, engkau membawa kepada kaummu sesuatu yang sangat besar dan mencerai-beraikan mereka. Oleh karena itu, aku datang kepadamu untuk menawarkan beberapa hal yang bisa kau pertimbangkan untuk kau terima. Jika kau melakukan semua itu untuk harta, kami bersedia mengumpulkan seluruh harta kami untuk diberikan kepadamu agar kamu menjadi orang terkaya di antara kami. Jika engkau menginginkan kedudukan, kami siap mengangkatmu menjadi penguasa kami, dan kami tidak akan memutuskan perkara sebelum kamu memutuskannya. Seandainya engkau ingin menjadi raja, kami akan menobatkanmu menjadi raja. Jika kamu melakukan hal itu karena keyakinanmu dan tidak mudah kau hilangkan dari dirimu, kami akan memanggil seorang tabib berapa pun biayanya untuk menghilangkan keyakinanmu itu sampai kau terbebas darinya."
Rasulullah tetap diam. Utbah mulai kehabisan kata-kata karena tawarannya tidak ditanggapi Rasulullah. Akhirnya, Utbah pun ikut terdiam. Melihat Utbah yang tampak kebingungan, Rasulullah bertanya kepadanya, "Ada lagi yang hendak kau katakan?"
Utbah menjawab, "Tidak ada."
Kemudian Rasulullah saw membacakan Surat Fushshilat [41]: 13, "Jika mereka berpaling maka katakanlah, "Aku telah memperingatkan kamu akan (bencana) petir seperti petir yang menimpa kaum Ad dan kaum Tsamud."
Ayat tersebut seolah menyambar Utbah bagai petir yang sangat dahsyat. Seluruh tubuh Utbah gemetar karena ketakutan yang luar biasa. Ia tahu Rasulullah tidak pernah berbohong sehingga ia khawatir ayat tersebut akan menjadi kenyataan. Secepat kilat ia berbalik arah meninggalkan Rasulullah saw dan kembali ke rumahnya.
Sementara itu, para pemimpin Quraisy menanti dengan gelisah. Mereka memperoleh laporan bahwa Muhammad menyambut kedatangan Utbah dengan baik. Mereka khawatir Utbah tidak berhasil menghentikan dakwah Rasulullah, tetapi tertarik untuk menerima Islam.
Melihat kedatangan Utbah, Abu Jahal langsung menuduhnya dengan penuh kecurigaan, "Aku dengar Muhammad memperlakukanmu dengan baik dan menjamumu. Sebagai imbalannya kau percaya kepadanya. Orang-orang berkata demikian!"
Tidak suka diperlakukan seperti itu, Utbah menjawab pula dengan emosi, "Kautahu aku tidak butuh apa pun darinya. Aku lebih kaya daripada kalian semua. Namun, apa yang ia katakan mengejutkanku! Kata-kata tersebut bukanlah syair, sihir, atau mantra. Dia orang yang jujur. Saat aku dengar ia membacanya, aku takut apa yang terjadi pada kaum Ad dan Tsamud akan menimpa kita juga!"
Utbah menyadari bahwa peringatan azab dari Rasulullah bukanlah main-main. Tidak pernah sekalipun Rasulullah saw berdusta. Kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirnya adalah kalam Allah SWT yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
Tidak hanya sampai di situ, ketakutan Utbah terbawa hingga menjelang dimulainya Perang Badar. Utbah bin Rabi'ah membujuk kaumnya untuk meninggalkan peperangan dengan mengingatkan mereka akibat dan bahaya yang akan mereka hadapi.
Ia berkata, "Ketahuilah, sesungguhnya kaum muslimin itu akan berjuang mati-matian hingga titik darah penghabisan!" Akan tetapi, Abu Jahal menanggapinya dengan sinis.
Utbah melanjutkan alasannya, "Sesama saudara akan membunuh satu sama lain. Sungguh hal itu akan meninggalkan kepahitan yang tak pernah hilang selamanya!"
Abu Jahal langsung menuduhnya sebagai penakut. Tidak terima dengan tuduhan tersebut, ia langsung menantang saudara laki-laki dan putranya untuk bermain anggar melawan dirinya, satu lawan dua.
Ketika Utbah mengendarai unta merah, Rasulullah saw bersabda, "Jika ingin selamat, seharusnya mereka mengikuti perkataan si penunggang unta merah itu. Jika mereka mendengar perkataannya, niscaya mereka akan selamat."
Ahmad dalam Al-Fath Ar-Rabani menuturkan bahwa Allah SWT menciptakan perselisihan di antara pasukan musuh untuk melemahkan semangat mereka. Allah SWT juga menghendaki mereka tidak terpengaruh oleh bujukan Utbah. Mereka lebih mendukung Abu Jahal yang memiliki dendam kesumat kepada Rasulullah saw dan kaum muslimin.
Akhirnya, Utbah tewas di peperangan Badar. Mayatnya dilempar ke dalam sumur tua bersama mayat-mayat orang musyrik lainnya. Putra Utbah, Abu Hudzaifah, yang telah menjadi seorang muslim terlihat sedih ketika melihat ayahnya tewas dalam peperangan melawan kebenaran. Menyadari hal itu, Rasulullah saw yang sejak awal memerhatikan Abu Hudzaifah berkata, "Sepertinya, keadaan ayahmu telah mengusik hatimu."
Abu Hudzaifah mengelak, "Demi Allah, tidak, wahai Rasulullah! Aku tidak ragu dengan keadaan ayahku dan kematiannya. Akan tetapi, aku tahu betul bahwa ayahku sebenarnya mempunyai pandangan, cita-cita, dan keutamaan yang sangat kuharapkan dapat ia persembahkan kepada Islam. Melihat apa yang menimpa ayahku, mati dalam keadaan kafir, sementara harapanku padanya masih menggebu, tentu saja aku bersedih karenanya," tutur Abu Hudzaifah.
Kemudian Rasulullah saw mendoakan yang baik-baik untuk Utbah dan menasihatkan kebaikan kepada putra Utbah tersebut.
Rasulullah saw menyambut kedatangan Utbah dengan sangat baik. Utbah membuka percakapan dengan bertanya kepada Rasulullah saw., "Siapakah yang lebih baik, wahai Muhammad? Kau atau ayahmu?"
Rasulullah diam. Mungkin beliau merasa tidak perlu menjawab pertanyaan seperti itu.
Utbah tidak menyerah dan melanjutkan, "Putra saudaraku, engkau adalah bagian dari diri kami sebab kami tahu persis silsilah keluargamu. Akan tetapi, engkau membawa kepada kaummu sesuatu yang sangat besar dan mencerai-beraikan mereka. Oleh karena itu, aku datang kepadamu untuk menawarkan beberapa hal yang bisa kau pertimbangkan untuk kau terima. Jika kau melakukan semua itu untuk harta, kami bersedia mengumpulkan seluruh harta kami untuk diberikan kepadamu agar kamu menjadi orang terkaya di antara kami. Jika engkau menginginkan kedudukan, kami siap mengangkatmu menjadi penguasa kami, dan kami tidak akan memutuskan perkara sebelum kamu memutuskannya. Seandainya engkau ingin menjadi raja, kami akan menobatkanmu menjadi raja. Jika kamu melakukan hal itu karena keyakinanmu dan tidak mudah kau hilangkan dari dirimu, kami akan memanggil seorang tabib berapa pun biayanya untuk menghilangkan keyakinanmu itu sampai kau terbebas darinya."
Rasulullah tetap diam. Utbah mulai kehabisan kata-kata karena tawarannya tidak ditanggapi Rasulullah. Akhirnya, Utbah pun ikut terdiam. Melihat Utbah yang tampak kebingungan, Rasulullah bertanya kepadanya, "Ada lagi yang hendak kau katakan?"
Utbah menjawab, "Tidak ada."
Kemudian Rasulullah saw membacakan Surat Fushshilat [41]: 13, "Jika mereka berpaling maka katakanlah, "Aku telah memperingatkan kamu akan (bencana) petir seperti petir yang menimpa kaum Ad dan kaum Tsamud."
Ayat tersebut seolah menyambar Utbah bagai petir yang sangat dahsyat. Seluruh tubuh Utbah gemetar karena ketakutan yang luar biasa. Ia tahu Rasulullah tidak pernah berbohong sehingga ia khawatir ayat tersebut akan menjadi kenyataan. Secepat kilat ia berbalik arah meninggalkan Rasulullah saw dan kembali ke rumahnya.
Sementara itu, para pemimpin Quraisy menanti dengan gelisah. Mereka memperoleh laporan bahwa Muhammad menyambut kedatangan Utbah dengan baik. Mereka khawatir Utbah tidak berhasil menghentikan dakwah Rasulullah, tetapi tertarik untuk menerima Islam.
Melihat kedatangan Utbah, Abu Jahal langsung menuduhnya dengan penuh kecurigaan, "Aku dengar Muhammad memperlakukanmu dengan baik dan menjamumu. Sebagai imbalannya kau percaya kepadanya. Orang-orang berkata demikian!"
Tidak suka diperlakukan seperti itu, Utbah menjawab pula dengan emosi, "Kautahu aku tidak butuh apa pun darinya. Aku lebih kaya daripada kalian semua. Namun, apa yang ia katakan mengejutkanku! Kata-kata tersebut bukanlah syair, sihir, atau mantra. Dia orang yang jujur. Saat aku dengar ia membacanya, aku takut apa yang terjadi pada kaum Ad dan Tsamud akan menimpa kita juga!"
Utbah menyadari bahwa peringatan azab dari Rasulullah bukanlah main-main. Tidak pernah sekalipun Rasulullah saw berdusta. Kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirnya adalah kalam Allah SWT yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
Tidak hanya sampai di situ, ketakutan Utbah terbawa hingga menjelang dimulainya Perang Badar. Utbah bin Rabi'ah membujuk kaumnya untuk meninggalkan peperangan dengan mengingatkan mereka akibat dan bahaya yang akan mereka hadapi.
Ia berkata, "Ketahuilah, sesungguhnya kaum muslimin itu akan berjuang mati-matian hingga titik darah penghabisan!" Akan tetapi, Abu Jahal menanggapinya dengan sinis.
Utbah melanjutkan alasannya, "Sesama saudara akan membunuh satu sama lain. Sungguh hal itu akan meninggalkan kepahitan yang tak pernah hilang selamanya!"
Abu Jahal langsung menuduhnya sebagai penakut. Tidak terima dengan tuduhan tersebut, ia langsung menantang saudara laki-laki dan putranya untuk bermain anggar melawan dirinya, satu lawan dua.
Ketika Utbah mengendarai unta merah, Rasulullah saw bersabda, "Jika ingin selamat, seharusnya mereka mengikuti perkataan si penunggang unta merah itu. Jika mereka mendengar perkataannya, niscaya mereka akan selamat."
Ahmad dalam Al-Fath Ar-Rabani menuturkan bahwa Allah SWT menciptakan perselisihan di antara pasukan musuh untuk melemahkan semangat mereka. Allah SWT juga menghendaki mereka tidak terpengaruh oleh bujukan Utbah. Mereka lebih mendukung Abu Jahal yang memiliki dendam kesumat kepada Rasulullah saw dan kaum muslimin.
Akhirnya, Utbah tewas di peperangan Badar. Mayatnya dilempar ke dalam sumur tua bersama mayat-mayat orang musyrik lainnya. Putra Utbah, Abu Hudzaifah, yang telah menjadi seorang muslim terlihat sedih ketika melihat ayahnya tewas dalam peperangan melawan kebenaran. Menyadari hal itu, Rasulullah saw yang sejak awal memerhatikan Abu Hudzaifah berkata, "Sepertinya, keadaan ayahmu telah mengusik hatimu."
Abu Hudzaifah mengelak, "Demi Allah, tidak, wahai Rasulullah! Aku tidak ragu dengan keadaan ayahku dan kematiannya. Akan tetapi, aku tahu betul bahwa ayahku sebenarnya mempunyai pandangan, cita-cita, dan keutamaan yang sangat kuharapkan dapat ia persembahkan kepada Islam. Melihat apa yang menimpa ayahku, mati dalam keadaan kafir, sementara harapanku padanya masih menggebu, tentu saja aku bersedih karenanya," tutur Abu Hudzaifah.
Kemudian Rasulullah saw mendoakan yang baik-baik untuk Utbah dan menasihatkan kebaikan kepada putra Utbah tersebut.
Pengakuan Raja Heraclius
Pada masa Perjanjian Hudaibiyah atau gencatan senjata antara kaum muslimin dan musyrikin Quraisy, Rasulullah saw mengutus beberapa sahabat. Mereka dikirim kepada raja-raja bangsa Arab dan non-Arab untuk menyeru Al-Islam. Salah satu sahabat yang diutus adalah Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi. Ia ditugaskan untuk menyampaikan surat dakwah kepada Heraclius, Kaisar Romawi.
Dihyah pun diterima oleh Heraclius dengan sangat baik. Kemudian ia menyampaikan surat dakwah dari Rasulullah saw kepada sang Kaisar Romawi.
Setelah Heraclius membaca pesan Rasulullah saw, ia segera menyuruh pengawalnya untuk mencari orang-orang yang mengenal Muhammad. Saat itu Abu Sufyan berada di sana bersama serombongan kafilah dagang Quraisy.
Para pengawal kerajaan pun melaporkan keberadaan Abu Sufyan dan teman-temannya kepada sang kaisar. Kemudian dipanggillah Abu Sufyan yang masih membenci Islam bersama teman-temannya ke hadapan Kaisar Romawi tersebut.
Abu Sufyan dan teman-temannya datang menghadap Heraclius. Dengan didampingi seorang penerjemah, sang Kaisar mengawali pembicaraan dengan pertanyaan, "Siapa di antara kalian yang paling dekat garis keturunannya dengan orang yang mengaku sebagai nabi ini?"
Abu Sufyan menjawab, "Saya, Tuan!"
Kemudian terjadilah dialog di antara keduanya di hadapan para petinggi istana kekaisaran Romawi. Berikut ini dialog yang diceritakan langsung oleh Abu Sufyan dan diriwayatkan kembali oleh Bukhari.
Heraclius : "Bagaimana kedudukan keluarganya di antara kalian?"
Abu Sufyan : "Ia berasal dari keturunan bangsawan."
Heraclius : "Adakah di antara keluarganya mengaku Nabi?"
Abu Sufyan : "Tidak."
Heraclius : "Adakah di antara nenek moyangnya yang menjadi raja atau kaisar?"
Abu Sufyan : "Tidak ada."
Heraclius : "Apakah pengikut agamanya itu orang kaya ataukah orang kebanyakan?"
Abu Sufyan : "Pengikutnya adatah orang lemah, miskin, budak, dan wanita muda."
Heraclius : "Jumlah pengikutnya bertambah atau berkurang?"
Abu Sufyan : "Terus bertambah dari waktu ke waktu."
Heraclius : "Setelah menerima agamanya, apakah pengikutnya itu tetap setia kepadanya ataukah merasa kecewa, lalu meninggalkannya?"
Abu Sufyan : "Tidak ada yang meninggalkannya."
Heraclius : "Sebelum dia menjadi nabi, apakah dia suka berdusta?"
Abu Sufyan : "Tidak pernah."
Heraclius : "Pernahkah orang itu ingkar janji atau mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya?"
Abu Sufyan : "Tidak pernah. Kami baru saja melakukan perjanjian gencatan senjata dengannya dan menunggu apa yang akan diperbuatnya."
Heraclius : "Pernahkah engkau berperang dengannya?"
Abu Sufyan : "Pernah."
Heraclius : "Basaimana hasilnya?"
Abu Sufyan : "Kadang-kadang kami yang menang, kadang-kadang dia yang lebih baik daripada kami."
Heraclius : "Apa yang dia perintahkan kepadamu?"
Abu Sufyan : "Dia memerintahkan kami untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun, meninggalkan takhayul dan kepercayaan leluhur kami, mengerjakan shalat, membayar zakat dan berbuat baik kepada fakir miskin, bersikap jujur dan dapat dipercaya, memelihara apa yang dititipkan kepada kita dan mengembalikan dengan utuh, memelihara silaturrahim dengan semua orang, dan yang paling penting dengan keluarga sendiri."
Lalu, seperti dikisahkan oleh Abu Sufyan r.a, Heraclius memberikan tanggapan sebagai berikut melalui penerjemahnya.
Heraclius : "Aku bertanya kepadamu tentang silsilah keluarganya dan kau menjawab dia adalah keturunan bangsawan terhormat. Nabi-nabi terdahulu pun berasai dari keluarga terhormat di antara kaumnya.
Aku bertanya kepadamu apakah ada di antara keluarganya yang menjadi nabi, jawabannya tidak ada. Dari sini aku menyimpulkan bahwa orang ini memong tidak dipengaruhi oleh siapa pun dalam hal kenabian yang diikrarkannya, dan tidak meniru siapa pun dalam keluarganya.
Aku bertanya kepadamu apakah ada keluarganya yang menjadi raja atau kaisar. Jawabannya tidak ada. Jika ada leluhurnya yang menjadi penguasa, aku beranggapan dia sedang berusaha mendapatkan kembali kekuasaan leluhurnya.
Aku bertanya kepadamu apakah dia pernah berdusta dan ternyata menurutmu tidak pernah. Orang yang tidak pernah berdusta kepada sesamanya tentu tidak akan berdusta kepada Allah.
Aku bertanya kepadamu mengenai golongan orang-orang yang menjadi pengikutnya dan menurutmu pengikutnya adalah orang miskin dan hina. Demikian pula halnya dengan orang-orang terdahulu yang mendapat panggitan kenabian.
Aku bertanya kepadamu apakah jumlah pengikutnya bertambah atau berkurang. Jawabanmu, terus bertambah. Hal ini juga terjadi pada iman sampai keimanan itu lengkap.
Aku bertanya kepadamu apakah ada pengikutnya yang meninggalkannya setelah menerima agamanya dan menurutmu tidak ada. Itulah yang terjadi jika keimanan sejati telah mengisi hati seseorang.
Aku bertanya kepadamu apakah dia pernah ingkar janji dan menurutmu tidak pernah. Sifat dapat dipercaya adalah ciri kerasulan sejati.
Aku bertanya kepadamu apakah engkau pernah berperang dengannya dan bagaimana hasilnya. Menurutmu engkau berperang dengannya, kadang engkau yang menang dan kadang dia yang menang dalam urusan duniawi.
Para nabi tidak pernah selalu menang, tetapi mereka mampu mengatasi masa-masa sulit perjuangan, pengorbanan, dan kerugiannya sampai akhirnya mereka memperoleh kemenangan.
Aku bertanya kepadamu apa yang diperintahkannya, engkau menjawab dia memerintahkanmu untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya, serta melarangmu untuk menyembah berhala, dan dia menyuruhmu shalat, bicara jujur, serta penuh perhatian. Jika apa yang kaukatakan itu benar, dia akan segera berkuasa di tempat aku memijakkan kakiku saat ini.
Aku tahu bahwa orang ini akan lahir, tetapi aku tidak tahu bahwa dia akan lahir dari kaummu (orang Arab). Jika aku tahu aku bisa mendekatinya, aku akan pergi menemuinya. Jika dia ada di sini, aku akan membasuh kedua kakinya dan agamanya akan menguasa tempat dua telapak kakiku!"
Selanjutnya, Heraclius berkata kepada Dihyah Al-Kalbi, "Sungguh, aku tahu bahwa sahabatmu itu seorang nabi yang akan diutus, yang kami tunggu-tunggu dan kami ketahui berita kedatangannya dalam kitab kami. Namun, aku takut orang-orang Romawi akan melakukan sesuatu kepadaku. Kalau bukan karena itu, aku akan mengikutinya!"
Untuk membuktikan perkataannya tersebut, Heraclius memerintahkan orang-orangnya untuk mengumumkan, "Sesungguhnya kaisar telah mengikuti Muhammad dan meninggalkan agama Nasrani!" Seluruh pasukannya dengan persenjataan lengkap serentak menyerbu ke dalam ruangan tempat Kaisar berada, lalu mengepungnya.
Kemudian Kaisar Romawi itu berkata, "Engkau telah melihat sendiri bagaimana bangsaku. Sungguh, aku takut kepada rakyatku!"
Heraclius membubarkan pasukannyadengan menyuruh pengawalnya mengumumkan berita, "Sesungguhnya kaisar lebih senang bersama kalian. Tadi ia sedang menguji kalian untuk mengetahui kesabaran kalian dalam agama kalian. Sekarang pergilah!"
Mendengar pengumuman tersebut, bubarlah pasukan yang hendak menyerang Kaisar tadi. Sang Kaisar pun menulis surat untuk Rasulullah saw yang berisi, "Sesungguhnya aku telah masuk Islam." Kaisar juga menitipkan hadiah beberapa dinar kepada Rasulullah saw.
Ketika Dihyah menyampaikan pesan Raja Heraclius kepada Rasulullah saw, beliau berkata, "Musuh Allah itu dusta! Dia masih beragama Nasrani."
Rasulullah saw pun membagi-bagikan hadiah berupa uang dinar itu kepada kaum muslimin.
Dihyah pun diterima oleh Heraclius dengan sangat baik. Kemudian ia menyampaikan surat dakwah dari Rasulullah saw kepada sang Kaisar Romawi.
Setelah Heraclius membaca pesan Rasulullah saw, ia segera menyuruh pengawalnya untuk mencari orang-orang yang mengenal Muhammad. Saat itu Abu Sufyan berada di sana bersama serombongan kafilah dagang Quraisy.
Para pengawal kerajaan pun melaporkan keberadaan Abu Sufyan dan teman-temannya kepada sang kaisar. Kemudian dipanggillah Abu Sufyan yang masih membenci Islam bersama teman-temannya ke hadapan Kaisar Romawi tersebut.
Abu Sufyan dan teman-temannya datang menghadap Heraclius. Dengan didampingi seorang penerjemah, sang Kaisar mengawali pembicaraan dengan pertanyaan, "Siapa di antara kalian yang paling dekat garis keturunannya dengan orang yang mengaku sebagai nabi ini?"
Abu Sufyan menjawab, "Saya, Tuan!"
Kemudian terjadilah dialog di antara keduanya di hadapan para petinggi istana kekaisaran Romawi. Berikut ini dialog yang diceritakan langsung oleh Abu Sufyan dan diriwayatkan kembali oleh Bukhari.
Heraclius : "Bagaimana kedudukan keluarganya di antara kalian?"
Abu Sufyan : "Ia berasal dari keturunan bangsawan."
Heraclius : "Adakah di antara keluarganya mengaku Nabi?"
Abu Sufyan : "Tidak."
Heraclius : "Adakah di antara nenek moyangnya yang menjadi raja atau kaisar?"
Abu Sufyan : "Tidak ada."
Heraclius : "Apakah pengikut agamanya itu orang kaya ataukah orang kebanyakan?"
Abu Sufyan : "Pengikutnya adatah orang lemah, miskin, budak, dan wanita muda."
Heraclius : "Jumlah pengikutnya bertambah atau berkurang?"
Abu Sufyan : "Terus bertambah dari waktu ke waktu."
Heraclius : "Setelah menerima agamanya, apakah pengikutnya itu tetap setia kepadanya ataukah merasa kecewa, lalu meninggalkannya?"
Abu Sufyan : "Tidak ada yang meninggalkannya."
Heraclius : "Sebelum dia menjadi nabi, apakah dia suka berdusta?"
Abu Sufyan : "Tidak pernah."
Heraclius : "Pernahkah orang itu ingkar janji atau mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya?"
Abu Sufyan : "Tidak pernah. Kami baru saja melakukan perjanjian gencatan senjata dengannya dan menunggu apa yang akan diperbuatnya."
Heraclius : "Pernahkah engkau berperang dengannya?"
Abu Sufyan : "Pernah."
Heraclius : "Basaimana hasilnya?"
Abu Sufyan : "Kadang-kadang kami yang menang, kadang-kadang dia yang lebih baik daripada kami."
Heraclius : "Apa yang dia perintahkan kepadamu?"
Abu Sufyan : "Dia memerintahkan kami untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun, meninggalkan takhayul dan kepercayaan leluhur kami, mengerjakan shalat, membayar zakat dan berbuat baik kepada fakir miskin, bersikap jujur dan dapat dipercaya, memelihara apa yang dititipkan kepada kita dan mengembalikan dengan utuh, memelihara silaturrahim dengan semua orang, dan yang paling penting dengan keluarga sendiri."
Lalu, seperti dikisahkan oleh Abu Sufyan r.a, Heraclius memberikan tanggapan sebagai berikut melalui penerjemahnya.
Heraclius : "Aku bertanya kepadamu tentang silsilah keluarganya dan kau menjawab dia adalah keturunan bangsawan terhormat. Nabi-nabi terdahulu pun berasai dari keluarga terhormat di antara kaumnya.
Aku bertanya kepadamu apakah ada di antara keluarganya yang menjadi nabi, jawabannya tidak ada. Dari sini aku menyimpulkan bahwa orang ini memong tidak dipengaruhi oleh siapa pun dalam hal kenabian yang diikrarkannya, dan tidak meniru siapa pun dalam keluarganya.
Aku bertanya kepadamu apakah ada keluarganya yang menjadi raja atau kaisar. Jawabannya tidak ada. Jika ada leluhurnya yang menjadi penguasa, aku beranggapan dia sedang berusaha mendapatkan kembali kekuasaan leluhurnya.
Aku bertanya kepadamu apakah dia pernah berdusta dan ternyata menurutmu tidak pernah. Orang yang tidak pernah berdusta kepada sesamanya tentu tidak akan berdusta kepada Allah.
Aku bertanya kepadamu mengenai golongan orang-orang yang menjadi pengikutnya dan menurutmu pengikutnya adalah orang miskin dan hina. Demikian pula halnya dengan orang-orang terdahulu yang mendapat panggitan kenabian.
Aku bertanya kepadamu apakah jumlah pengikutnya bertambah atau berkurang. Jawabanmu, terus bertambah. Hal ini juga terjadi pada iman sampai keimanan itu lengkap.
Aku bertanya kepadamu apakah ada pengikutnya yang meninggalkannya setelah menerima agamanya dan menurutmu tidak ada. Itulah yang terjadi jika keimanan sejati telah mengisi hati seseorang.
Aku bertanya kepadamu apakah dia pernah ingkar janji dan menurutmu tidak pernah. Sifat dapat dipercaya adalah ciri kerasulan sejati.
Aku bertanya kepadamu apakah engkau pernah berperang dengannya dan bagaimana hasilnya. Menurutmu engkau berperang dengannya, kadang engkau yang menang dan kadang dia yang menang dalam urusan duniawi.
Para nabi tidak pernah selalu menang, tetapi mereka mampu mengatasi masa-masa sulit perjuangan, pengorbanan, dan kerugiannya sampai akhirnya mereka memperoleh kemenangan.
Aku bertanya kepadamu apa yang diperintahkannya, engkau menjawab dia memerintahkanmu untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya, serta melarangmu untuk menyembah berhala, dan dia menyuruhmu shalat, bicara jujur, serta penuh perhatian. Jika apa yang kaukatakan itu benar, dia akan segera berkuasa di tempat aku memijakkan kakiku saat ini.
Aku tahu bahwa orang ini akan lahir, tetapi aku tidak tahu bahwa dia akan lahir dari kaummu (orang Arab). Jika aku tahu aku bisa mendekatinya, aku akan pergi menemuinya. Jika dia ada di sini, aku akan membasuh kedua kakinya dan agamanya akan menguasa tempat dua telapak kakiku!"
Selanjutnya, Heraclius berkata kepada Dihyah Al-Kalbi, "Sungguh, aku tahu bahwa sahabatmu itu seorang nabi yang akan diutus, yang kami tunggu-tunggu dan kami ketahui berita kedatangannya dalam kitab kami. Namun, aku takut orang-orang Romawi akan melakukan sesuatu kepadaku. Kalau bukan karena itu, aku akan mengikutinya!"
Untuk membuktikan perkataannya tersebut, Heraclius memerintahkan orang-orangnya untuk mengumumkan, "Sesungguhnya kaisar telah mengikuti Muhammad dan meninggalkan agama Nasrani!" Seluruh pasukannya dengan persenjataan lengkap serentak menyerbu ke dalam ruangan tempat Kaisar berada, lalu mengepungnya.
Kemudian Kaisar Romawi itu berkata, "Engkau telah melihat sendiri bagaimana bangsaku. Sungguh, aku takut kepada rakyatku!"
Heraclius membubarkan pasukannyadengan menyuruh pengawalnya mengumumkan berita, "Sesungguhnya kaisar lebih senang bersama kalian. Tadi ia sedang menguji kalian untuk mengetahui kesabaran kalian dalam agama kalian. Sekarang pergilah!"
Mendengar pengumuman tersebut, bubarlah pasukan yang hendak menyerang Kaisar tadi. Sang Kaisar pun menulis surat untuk Rasulullah saw yang berisi, "Sesungguhnya aku telah masuk Islam." Kaisar juga menitipkan hadiah beberapa dinar kepada Rasulullah saw.
Ketika Dihyah menyampaikan pesan Raja Heraclius kepada Rasulullah saw, beliau berkata, "Musuh Allah itu dusta! Dia masih beragama Nasrani."
Rasulullah saw pun membagi-bagikan hadiah berupa uang dinar itu kepada kaum muslimin.
Pengakuan Abu Sufyan bin Harb kepada Sang Istri
Suatu hari Abu Sufyan bin Harb dan Hindun binti Utbah, istrinya, berjalan menuju tanah lapang. Anak Abu Sufyan yang masih bocah bernama Muawiyah berjalan di depan mereka sambil menunggang keledainya.
Tiba-tiba mereka mendengar kedatangan Rasulullah saw, kemudian Abu Sufyan segera menyuruh anaknya untuk turun dari keledai tunggangannya sambil berkata, "Turunlah, hai Muawiyah, supaya Muhammad bisa menaiki kendaraanmu!"
Kemudian Rasulullah saw menaiki keledai yang ditawarkan Abu Sufyan. Beliau pun berjalan di depan mereka.
Hanya selang beberapa waktu, Rasulullah saw menoleh ke belakang dan berkata kepada keluarga Abu Sufyan, "Wahai Abu Sufyan bin Harab dan Hindun binti 'Utbah! Demi Allah, kalian pasti akan mati dan akan dibangkitkan. Yang berbuat kebajikan pasti akan masuk surga dan yang berbuat keburukan pasti masuk neraka. Aku berkata kepada kalian dengan benar dan kalian adalah orang pertama yang aku beri peringatan!" Dibacakanlah Surat Fushshilat [41]: 1-11 kepada keduanya.
Selesai mendengarkan perkataan Rasulullah, Abu Sufyan berkata, "Apakah engkau sudah selesai, wahai Muhammad?"
Rasulullah menjawab, "Ya!"
Kemudian beliau turun dari keledai tunggangannya. Muawiyah pun naik kembali ke keledainya dan dibantu ibunya, Hindun. Sambil menaikkan Muawiyah ke atas keledainya, Hindun bertanya kepada Abu Sufyan, "Apakah karena tukang sihir ini kau turunkan anakku dari atas keledainya?"
Abu Sufyan menukasnya, "Tidak! Demi Allah, dia bukan tukang sihir dan bukan pembohong!"
Tiba-tiba mereka mendengar kedatangan Rasulullah saw, kemudian Abu Sufyan segera menyuruh anaknya untuk turun dari keledai tunggangannya sambil berkata, "Turunlah, hai Muawiyah, supaya Muhammad bisa menaiki kendaraanmu!"
Kemudian Rasulullah saw menaiki keledai yang ditawarkan Abu Sufyan. Beliau pun berjalan di depan mereka.
Hanya selang beberapa waktu, Rasulullah saw menoleh ke belakang dan berkata kepada keluarga Abu Sufyan, "Wahai Abu Sufyan bin Harab dan Hindun binti 'Utbah! Demi Allah, kalian pasti akan mati dan akan dibangkitkan. Yang berbuat kebajikan pasti akan masuk surga dan yang berbuat keburukan pasti masuk neraka. Aku berkata kepada kalian dengan benar dan kalian adalah orang pertama yang aku beri peringatan!" Dibacakanlah Surat Fushshilat [41]: 1-11 kepada keduanya.
Selesai mendengarkan perkataan Rasulullah, Abu Sufyan berkata, "Apakah engkau sudah selesai, wahai Muhammad?"
Rasulullah menjawab, "Ya!"
Kemudian beliau turun dari keledai tunggangannya. Muawiyah pun naik kembali ke keledainya dan dibantu ibunya, Hindun. Sambil menaikkan Muawiyah ke atas keledainya, Hindun bertanya kepada Abu Sufyan, "Apakah karena tukang sihir ini kau turunkan anakku dari atas keledainya?"
Abu Sufyan menukasnya, "Tidak! Demi Allah, dia bukan tukang sihir dan bukan pembohong!"
Langganan:
Postingan (Atom)