Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Selasa, 09 Maret 2010

Larangan Mengkhianati Amanah

Di zaman Rasulullah saw hiduplah seorang penggembala. Melihat keluhuran budi pekerti Rasulullah saw dan keagungan akhlak beliau, akhirnya penggembala itu masuk Islam tanpa sepengetahuan majikannya. Setelah ia mengikrarkan keislamannya, ia pun mengajukan usul yang ia kira dapat menguntungkan umat Islam.

Saat itu permusuhan antara kaum musyrikin Quraisy di Mekah dan kaum muslimin di Medinah makin memuncak sehingga mengarah pada peperangan. Atas dasar itulah si penggembala hendak memberikan kontribusi pertamanya pada Islam.

la berkata kepada Rasulullah saw, "Saya adalah penggembala yang mengurus ratusan domba kepunyaan orang musyrik yang sangat membenci dan memusuhi risalahmu."

"Lalu?" Rasulullah saw. meminta penjelasan lebih lanjut.

"Saya yakin umat Islam kini sedang membutuhkan dana untuk persiapan peperangan," jelasnya lagi.

"Lalu?" tanya beliau lagi.

"Majikan saya belum tahu bahwa saya telah memeluk Islam. Aku berpikir bagaimana kalau domba yang ia percayakan kepadaku diberikan untuk kepentingan kaum muslimin sebagai tambahan modal untuk berperang melawan mereka?"

Rasulullah saw tersenyum mendengar usul tersebut. Sungguh kesyukuran atas nikmat iman Islam yang telah mengobarkan semangat juangnya. Akan tetapi, Rasulullah saw adalah orang mulia yang selalu menjunjung tinggi kejujuran dan amanah.

Oleh karena itu, beliau menolak usul itu dengan halus serta memberi nasihat kepada penggembala itu, "Seorang muslim haruslah bersikap amanah. Jadi, kau harus melaksanakan tugas yang diamanahkan kepadamu. Artinya, kau harus mengembalikan seluruh domba kepada pemiliknya dalam jumlah dan kondisi yang sama tidak kurang suatu apa pun."

Mengungkap Pengkhianat

Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bercerita tentang seorang Nabi Allah, bernama Yusya bin Nun a.s, yang hendak berperang. la berseru kepada kaumnya, "Tidak boleh ikut bersamaku dalam peperangan ini seorang laki-laki yang telah berkumpul bersama istrinya dan dari itu dia berharap anak dan belum mendapatkannya. Begitu pula, orang yang sedang membangun rumah, tetapi belum menyelesaikan atapnya serta orang yang telah membeli kambing atau unta bunting yang dia tunggu kelahiran anaknya!"

Kemudian Nabi Yusya bin Nun a.s bersama pasukannya berangkat jihad.

Ketika sampai pada daerah yang dituju, waktu menunjukkan saat Ashar atau menjelang Ashar. Nabi Yusya bin Nun a.s. berkata kepada matahari, "Hai Matahari! Engkau tunduk kepada perintah Allah dan aku pun demikian. Ya Allah, tahanlah matahari itu sejenak agar tidak terbenam!"

Allah pun menahan matahari sehingga panas tidak begitu terik sampai Nabi Yusya bin Nun a.s. bersama pasukannya berhasil menaklukkan tempat tersebut. Setelah itu, bala tentaranya mengumpulkan harta rampasan yang diperoleh, (pada masa sebelum Rasulullah saw, harta rampasan tidak dihalalkan untuk pasukan nabi).

Kemudian api menyambar harta rampasan tersebut meskipun tidak membakarnya. Artinya, ada barang rampasan yang disembunyikan dan belum dikumpulkan. Nabi a.s berseru, "Di antara kalian ada yang berkhianat dan masih menyimpan sebagian dari harta rampasan. Aku harap semua orang dari setiap kabilah bersumpah kepadaku!"

Kemudian satu per satu dari mereka bersumpah sambil menjabat tangan Nabi Yusya bin Nun a.s Tiba-tiba tangan Nabi Yusya bin Nun a.s lengket pada tangan dua atau tiga orang pasukannya, "Kalian telah berkhianat!" serunya kepada mereka.

Lalu, mereka mengeluarkan emas sebesar kepala sapi dan dikumpulkan bersama harta rampasan yang lain. Setelah itu, datanglah api menyambar dan membakar seluruh harta rampasan tersebut.

Meminta Jabatan

Suatu hari Abu Musa Al-Asy'ari r.a datang menghadap Rasulullah saw bersama kedua sepupunya. Salah seorang sepupu Abu Musa r.a berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, berilah kami jabatan untuk membantu tugas-tugasmu!"

Rasulullah saw menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan memberikan jabatan kepada orang yang memintanya."

Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Abu Hurairah r.a bercerita, "Ketika Rasulullah saw sedang berbicara di hadapan para sahabat, tiba-tiba datang seorang Arab Badui, lalu bertanya, 'Kapankah terjadi hari kiamat?' Namun, Rasulullah terus melanjutkan pembicaraan. Sebagian orang mengatakan bahwa Rasulullah mendengarnya, tetapi beliau membenci perkataannya itu. Sebagian orang mengatakan bahwa beliau tidak mendengarnya. Setelah selesai berbicara, Rasulullah berkata, 'Di mana si penanya tentang hari kiamat tadi?' Orang yang bertanya tadi berkata, 'Aku orangnya, wahai Rasulullah!' Rasulullah berkata, 'Jika amanah telah disia-siakan, tunggulah hari Kiamat.' Orang itu bertanya lagi, 'Bagaimanakah amanah disia-siakan?' Rasulullah berkata, 'Jika urusan ini telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah hari kiamat'! " (HR Bukhari)

Pada saat yang lain, Abu Dzar Al-Ghifari r.a pernah melakukan hal yang sama, yaitu meminta jabatan. Kemudian Rasulullah saw. menanggapi permohonannya, "Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah. Padahal, jabatan merupakan amanat yang pada hari kiamat nanti menjadi sumber penyesalan dan kehinaan. Hanya orang-orang yang dapat menunaikan hak dan kewajiban yang dapat selamat dari azab Allah SWT."

Sejak saat itu Abu Dzar r.a selalu menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan. Bahkan, tawaran menjadi pemimpin di Irak ia tolak dan berkata, "Demi Allah, tuan-tuan takkan dapat memancingku dengan dunia tuan-tuan itu untuk selama-lamanya!"

Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Rasulullah saw pernah menasihati sahabat bernama Abdurrahman bin Samurah r.a Beliau bersabda, "Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik pada kebenaran). Namun, jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)."

Pada suatu hari, Abbas r.a, paman Rasulullah saw mendatangi beliau dan memohon agar diberi jabatan, "Ya Rasulullah, apakah kamu tidak suka mengangkatku menjadi pejabat pemerintahan?" pintanya.

Abbas r.a tidak asal meminta jabatan karena ia adalah orang yang cerdas, berpengetahuan luas, dan memiliki sifat-sifat kepemimpinan. Namun, Rasulullah saw. tidak ingin membebaninya dengan tugas pemerintahan.

Kemudian beliau menjelaskan kepada sang paman bahwa akhirat lebih baik daripada jabatan di dunia. Beliau bersabda, "Wahai Paman, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik dan'pada menghitung-hitung jabatan pemerintahan."

Pernyataan itu menenangkan hati Abbas r.a. sehingga runtuhlah keinginannya untuk memiliki jabatan. Namun, Ali r.a yang melihat pada diri Abbas r.a terdapat sebuah potensi yang bermanfaat untuk kepentingan umat berkata kepadanya, "Kalau kau ditolak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut sedekah!"

Abbas r.a kembali menghadap Rasulullah saw dan mengikuti saran Ali r.a, yaitu meminta diangkat menjadi pemungut sedekah. Rasulullah tersenyum seraya berkata kepada pamannya, "Tidak mungkin aku mengangkatmu untuk mengurusi 'cucian dosa' orang."

Pada waktu yang lain, Abbas r.a kembali menemui kemenakannya. Namun, bukan dalam rangka meminta jabatan. Dengan segala kerendahan hati ia meminta petunjuk kepada Rasulullah saw agar dirinya berguna di sisi Allah SWT.

la berkata, "Aku ini pamanmu, usiaku sudah lanjut dan ajalku hampir tiba. Ajarilah aku sesuatu yang kiranya berguna bagiku di sisi Allah!"

Rasulullah saw. menjawab, "Abbas, engkau adalah pamanku dan aku tidak berdaya sedikit pun dalam masalah yang berkenaan di sisi Allah, tetapi mohonlah kepada Tuhanmu ampunan dan keselamatan!"

la pun menerima saran Rasulullah saw. Pada dasarnya, Abbas r.a hanya ingin sisa hidupnya bermanfaat bukan hanya untuk dirinya. Jika ia tidak bisa memanfaatkan potensinya melalui jabatan dan mengurus rakyat, ia ingin berguna di sisi Allah SWT.

Akan tetapi, Allah SWT tidak membutuhkan siapa pun atau apa pun untuk menjalankan Kerajaan-Nya. Allah SWT menciptakan malaikat dan mengutus para rasul bukan karena Allah SWT membutuhkan pertolongan, tetapi itulah cara Dia mengatur alam semesta beserta makhluk-Nya.

Sepeninggal Rasulullah saw, sang paman senantiasa meluruskan pemimpin yang khilaf dan hidup terhormat di tengah-tengah para Khulafaur Rasyidin.

Nabi Yusuf a.s dan Jabatan

Allah SWT mengisahkan ketika Nabi Yusuf a.s. ditawari sebuah jabatan oleh raja kafir: "Dan raja berkata, "Bawalah dia (Yusuf) kepadaku agar aku memilih dia (sebagai orang yang dekat) kepadaku." Ketika dia (raja) tetah bercakap-cakap dengan dia, dia (raja) berkata, "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan dipercaya." Dia (Yusuf) berkata, "Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan." (QS. Yusuf [12]: 54-55).

Syekh Abdurrahman As-Sa'di menjelaskan tentang ayat ini dalam tafsirnya Bahjatul Qulub Al-Abrar bahwa Nabi Yusuf a.s meminta posisi sebagai bendaharawan Mesir karena ia memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk melaksanakan tugas tersebut yang tidak mungkin dilakukan orang lain.

Yaitu, menjaga harta dengan sempurna, mengetahui segala sisi yang terkait dengan perbendaharaan tersebut, baik pengeluaran, pembelanjaan, maupun penegakan keadilan yang sempurna.

Kemudian ketika beliau melihat sang raja mendekatkan diri kepadanya (menjadikannya orang kepercayaan) dan mengutamakannya atas raja itu sendiri serta pada kedudukan yang tinggi, sudah menjadi kewajiban baginya untuk memberikan pengarahan yang sempurna bagi raja dan rakyat. Itu adalah suatu keharusan dalam tugasnya sebagai utusan Allah.

Ketika Nabi Yusuf melakukan tugas menjaga perbendaharaan Mesir, beliau berusaha untuk menguatkan pertanian sehingga tidak tersisa satu tempat pun dari tanah Mesir, dari ujung ke ujung yang lain, yang pantas untuk ditanami, melainkan beliau tanami selama tujuh tahun. Lalu, beliau bentengi dan jaga dengan penjagaan yang sangat ajaib.

Setelah itu, datanglah tahun-tahun paceklik. Manusia sangat membutuhkan pangan. Beliau pun berusaha menimbang dengan penuh keadilan sehingga melarang para pedagang untuk membeli makanan karena khawatir mendesak orang-orang yang butuh. Kemudian terwujudlah kebaikan dan keuntungan yang banyak serta manfaat yang tidak terhitung.

Perihal Nabi Yusuf a.s pernah menjadi perbincangan antara Umar bin Khaththab r.a dan Abu Hurairah r.a. Diriwayatkan oleh Muhammad bin Sirrin r.a bahwa Umar r.a menugaskan Abu Hurairah r.a sebagai gubernur di daerah Bahrain.

Lalu, Abu Hurairah r.a datang membawa uang 10.000 dirham. Umar r.a berkata kepadanya, "Apakah engkau peruntukkan harta ini untuk kepentingan pribadimu, wahai musuh Allah dan musuh kitab-Nya?!"

Abu Hurairah r.a menjawab, "Aku bukan musuh Allah maupun musuh kitab-Nya, tetapi justru musuh yang memusuhi keduanya."

Umar r.a menukas, "Lalu, dari mana hartamu ini?"

"Itu adalah kuda yang berkembang biak dan hasil pekerjaan budakku serta pemberian yang datang beberapa kali," jawab Abu Hurairah.

Mereka pun memeriksanya. Ternyata benar apa yang dikatakan Abu Hurairah.

Setelah hal itu berlalu, Umar r.a memanggil Abu Hurairah r.a untuk ditugaskan kembali, tetapi ia menolak. Kemudian Umar berkata, "Mengapa kamu tidak suka jabatan ini, padahal telah memintanya orang yang lebih baik darimu, Yusuf a.s.?"

Abu Hurairah menjawab," Yusuf adalah seorang nabi, putra seorang nabi, dan cucu seorang nabi. Sedangkan, saya, Abu Hurairah, putra seorang ibu yang kecil. Dan, aku khawatir tiga tambah dua (perkara)."

Umar r.a berkata, "Mengapa tidak kau katakan lima (perkara) saja?"

Abu Hurairah menjawab, "Saya khawatir berkata tanpa ilmu, memutuskan tanpa kesabaran dan pikir panjang, takut punggungku dicambuk, hartaku diambil, dan kehormatanku dicela."

Menolak Jabatan Hakim

Pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid hiduplah seorang tokoh penghafal Al-Qur'an, ahli ibadah, dan meriwayatkan banyak hadis yang dijadikan acuan para ulama.

Dia bernama Abdullah bin Idris Al-Kaudi Al-Kufi atau terkenal dengan nama Abdullah bin Idris. Dia memiliki kemuliaan melebih para raja, hidup dalam kesederhanaan, dan menjadi suri teladan bagi semua orang.

Suatu hari Harun Ar-Rasyid memanggilnya. la pun bertanya kepada Ibnu Idris, "Tahukah kamu mengapa aku memanggilmu?"

"Tidak," jawab Ibnu Idris singkat.

Harun menjelaskan, "Penduduk negeri ini memintamu menjadi hakim bagi mereka. Namamu disebut mereka di antara nama-nama lain. Setelah aku mempertimbangkannya, aku setuju untuk memercayakan jabatan itu kepadamu demi kemaslahatan umat. Bersumpahlah dan lakukan tugasmu sebagaimana mestinya!"

Ibnu Idris menolak tawaran tersebut dengan berkata, "Aku bukanlah orang yang cocok untuk jabatan tersebut."

Jawaban itu membuat Harun Ar-Rasyid kecewa dan marah. la pun berseru kepada Ibnu Idris, "Seandainya aku tidak memanggilmu!"

Ibnu Idris juga membalas, "Ya, seandainya aku tidak memenuhi panggilanmu!" katanya sambil meninggalkan Harun Ar-Rasyid di ruangannya.

Harun kaget melihat reaksi Ibnu Idris yang meninggalkannya begitu saja. Sebagai ungkapan penyesalan, ia segera memanggil pengawalnya agar menyusul Ibnu Idris untuk memberikan bekal perjalanan sebesar lima puluh ribu dirham.

Pengawal itu dengan sigap mengejar dia, lalu menyampaikan pesan raja kepadanya, "Amirul Mukminin menyampaikan salam kepadamu dan memberikan uang ini sebagai bekal perjalananmu!" Namun, Ibnu Idris menolaknya dengan tegas.

Mengetahui niat baiknya ditolak, Harun mengirim surat kepadanya yang isinya, "Semoga Allah memaafkan kita. Kami memintamu untuk masuk ke dalam amal kami, tetapi engkau tidak mau. Lalu, kami kirimkan sebagian uang kami kepadamu, tetapi engkau tidak menerimanya. Jika anakku yang bernama Al-Ma'mun datang kepadamu, ajarilah dia hadis, insya Allah."

Setelah membaca surat itu, Ibnu Idris berkata kepada pengawal Harun, "Jika dia datang kepada kami bersama-sama, akan saya riwayatkan hadis kepadanya, insya Allah."

Dengan kebesaran hati Ibnu Idris tersebut, selesailah pertikaian di antara mereka.

Banyak ulama yang menghindari kedudukan dan kekuasaan, antara lain sebagai berikut:
  1. Manshur bin Al-Mu'tamir As-Sulami menolak untuk diangkat sebagai seorang hakim. Dikirimlah serombongan pasukan untuk memaksanya. Kepada Yusuf bin Umar komandan pasukan tersebut dikatakan, "Walaupun engkau koyak kulit tubuhku, aku tidak akan mau untuk menerima tawaran tersebut." Kemudian Manshur pun ditinggalkan.
  2. Abu Qilabah Al-Jarmi, salah seorang tabiin, lari meninggalkan negerinya dari Bashrah hingga daerah Yamamah dan meninggal di sana. Beliau lari untuk menghindari tawaran menjadi seorang hakim. Ayyub As-Sikhtiyani pernah menemuinya dan bertanya tentang alasan beliau untuk lari menghindar. Abu Qilabah menjawab, "Aku tidak melihat sebuah perumpamaan yang tepat untuk seorang hakim, kecuali seseorang yang tercebur di dalam lautan yang luas, hingga kapan dia akan mampu berenang? Pasti dia akan tenggelam."
  3. Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyi ketika menolak untuk diangkat menjadi seorang hakim, beliau berkata kepada seseorang yang menanyakan sebab penolakannya, "Apakah engkau tidak mengerti bahwa para ulama akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama para nabi? Sementara itu, para hakim akan dikumpulkan bersama para penguasa."
  4. Al-Mughirah bin Abdillah Al-Yasykuri menolak permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menjadi seorang hakim. Beliau beralasan, "Sungguh demi Allah, wahai Amirul Mukminin, aku lebih memilih dicekik setan daripada harus memegang kedudukan sebagai hakim!" Ar-Rasyid, lalu berkata, "Tidak ada lagi keinginan selain itu." Kemudian Harun Ar-Rasyid pun mengabulkan permintaannya.
  5. Al-lmam Abdurrahman bin Mahdi berkata, "Amirul Mukminin memaksa Sufyan Ats-Tsauri untuk memegang kedudukan sebagai hakim. Sufyan pun berpura-pura menjadi orang bodoh agar terbebas. Setelah Amirul Mukminin mengetahui hal tersebut, Sufyan pun dibebaskan, lalu ia melarikan diri."