Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Rabu, 07 April 2010

Kisah Penjaga Kebun Buah-buahan

Alkisah ada seorang penjaga kebun buah-buahan bernama Mubarok. Dia adalah orang jujur dan amanah. Sudah bertahun-tahun ia bekerja di kebun tersebut.

Suatu hari majikannya, sang pemiliki kebun, datang mengunjungi kebunnya. Ia sedang mengalami masalah yang pelik dan sulit untuk dicarikan jalan keluarnya. Putrinya yang sudah beranjak dewasa tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan banyak pria yang ingin mempersuntingnya.

Yang menjadi permasalahan baginya adalah semua laki-laki yang ingin mempersunting putrinya adalah kerabat dan teman dekatnya. Ia harus memilih salah satu dari mereka, tetapi ia khawatir jika menyinggung bagi kerabat yang tidak terpilih.

Sambil beristirahat dan menenangkan pikiran, ia mencoba mencicipi hasil kebunnya. Dipanggillah Mubarok, penjaga kebun itu.

"Hai Mubarok, kemarilah! Tolong ambilkan saya buah yang manis!" perintahnya.

Dengan sigap Mubarok segera memetik buah-buahan yang diminta, kemudian diberikan kepada majikannya.

Ketika buah tersebut dimakan sang majikan, ternyata rasanya masam sekali. Majikan Mubarok berkata, "Wahai Mubarok! Buah ini masam sekali! Berikan saya buah yang manis!" pinta sang majikan lagi.

Untuk kedua kalinya, buah yang diberikan Mubarok masih terasa masam. Sang majikan terheran-heran, sudah sekian lama ia mempekerjakan Mubarok, tetapi mengapa si penjaga kebun ini tidak mampu membedakan antara buah masam dan manis? Ah, mungkin dia lupa, pikir sang majikan. Dimintanya Mubarok untuk memetikkan kembali buah yang manis. Hasilnya sama saja, buah ketiga masih terasa masam.

Rasa penasaran timbul dari sang majikan. Dipanggillah Mubarok, "Bukankah kau sudah lama bekerja di sini? Mengapa kamu tidak tahu buah yang manis dan masam?" tanya sang majikan.

Mubarok menjawab, "Maaf Tuan, saya tidak tahu bagaimana rasa buah-buahan yang tumbuh di kebun ini karena saya tidak pernah mencicipinya!"

"Aneh, bukankah amat mudah bagimu untuk memetik buah-buahan di sini, mengapa tidak ada satu pun yang kaumakan?" tanya majikannya.

"Saya tidak akan memakan sesuatu yang belum jelas kehalalannya bagiku. Buah-buahan itu bukan milikku, jadi aku tidak berhak untuk memakannya sebelum memperoleh izin dari pemiliknya," jelas Mubarok.

Sang majikan terkejut dengan penjelasan penjaga kebunnya tersebut. Dia tidak lagi memandang Mubarok sebatas tukang kebun, melainkan sebagai seseorang yang jujur dan tinggi kedudukannya di mata Allah SWT. Ia berpikir mungkin Mubarok bisa mencarikan jalan keluar atas permasalahan rumit yang tengah dihadapinya.

Mulailah sang majikan bercerita tentang lamaran kerabat dan teman-teman dekatnya kepada putrinya. Ia mengakhiri ceritanya dengan bertanya kepada Mubarok, "Menurutmu, siapakah yang pantas menjadi pendamping putriku?"

Mubarok menjawab, "Dulu orang-orang jahiliah mencarikan calon suami untuk putri-putri mereka berdasarkan keturunan. Orang Yahudi menikahkan putrinya berdasarkan harta, sementara orang Nasrani menikahkan putrinya berdasarkan keelokan fisik semata. Namun, Rasulullah mengajarkan sebaik-baiknya umat adalah yang menikahkan karena agamanya."

Sang majikan langsung tersadar akan kekhilafannya. Mubarok benar, mengapa tidak terpikirkan untuk kembali pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Islamlah solusi atas semua problematika umat manusia.

Ia pulang dan memberitakan seluruh kejadian tadi kepada istrinya. "Menurutku Mobaroklah yang pantas menjadi pendamping putri kita," usulnya kepada sang istri. Tanpa perdebatan panjang, sang istri langsung menyetujuinya.

Pernikahan bahagia dilangsungkan. Dari keduanya lahirlah seorang anak bernama Abdullah bin Mubarok. Ia adalah seorang ulama, ahli hadis, dan mujahid. Ya, pernikahan yang dirahmati Allah SWT dari dua insan yang taat beribadah, insya Allah, akan diberi keturunan yang mulia.

Kisah Penggembala Domba

Amirul Mukminin Umar bin Khaththab r.a mendengar ada seorang penggembala cilik yang jujur. Beliau pun tertarik untuk membuktikan kejujuran anak itu.

Suatu hari Amirul Mukminin menjumpainya ketika penggembala tersebut sedang menggiring domba-dombanya. Umar segera menegurnya, "Hai anak kecil! Kamu menggembalakan dombamu dengan sangat baik. Aku ingin membeli sebagian dari domba-dombamu yang sehat ini dengan harga dua kali lipat!"

Sang anak tidak mengetahui bahwa yang menegurnya itu adalah Amirul Mukminin karena pakaiannya sangat sederhana dan merakyat. Ia menjawab, "Maaf, Tuan, domba-domba ini bukan milikku! Aku tidak bisa menjualnya!"

Ternyata anak itu tidak tergiur dengan tingginya harga yang Umar tawarkan. Umar kembali membujuk, "Ia tidak akan tahu jika beberapa dombanya aku beli karena domba-domba peliharaannya begitu banyak!"

Dengan sifat kejujurannya itu, si penggembala cilik tidak bergeming. Ia berkata, "Tidak, ia akan tahu jika domba yang ia titipkan padaku berkurang jumlahnya!"

Umar tidak putus asa untuk menawarkan ide lain, "Katakan saja kepada majikanmu bahwa dombanya dimakan serigala!"

Sang penggembala cilik terdiam. Umar merasa bahwa kali ini ia berhasil meruntuhkan kejujuran sang penggembala cilik. Tiba-tiba anak itu berkata, "Mungkin majikanku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada domba-dombanya. Akan tetapi, Allah Maha tahu!" jawab penggembala cilik singkat.

Subhanallah, Umar begitu terharu melihat kejujuran seorang anak kecil penggembala domba tersebut. Amirul Mukminin segera menemui majikan anak itu dan membayar sejumlah uang untuk membebaskan penggembala jujur itu dari perbudakannya. Sang Amirul Mukminin pun melepasnya sebagai seorang hamba Allah yang merdeka.

Kisah Saudagar Perhiasan

Seorang tabiin bernama Yunus bin Ubaid adalah pedagang yang jujur. Ketika hendak menunaikan shalat berjamaah di masjid, ia menitipkan tokonya kepada saudaranya. Kemudian datanglah seorang Badui hendak membeli perhiasan di toko tersebut.

Ia mencari sebuah permata seharga 400 dirham. Saudara Yunus menunjukkan batu permata yang harganya hanya 200 dirham. Orang Badui tersebut langsung membelinya dengan harga 400 dirham tanpa menawar lagi.

Di tengah jalan, dia berpapasan dengan Yunus bin Ubaid. Yunus mengetahui bahwa orang Badui tersebut baru mampir ke tokonya. Ia kemudian bertanya barang apa yang sudah ia beli dari tokonya. Orang Badui itu mengatakan bahwa ia telah membeli permata seharga 400 dirham sambil menunjukkan permata seharga 200 dirham tadi.

Mengetahui hal itu, Yunus berkata, "Maaf, harga sebenarnya cuma 200 dirham. Mari ke toko saya supaya saya dapat mengembalikan uang selebihnya kepada Anda."

Orang Badui itu menolak, "Biarlah, tidak perlu. Aku merasa senang dan beruntung dengan harga 400 dirham itu sebab di kampungku harga barang ini paling murah 500 dirham."

Akan tetapi, saudagar Yunus tidak mau membolehkan orang Badui itu pergi. Ia pun mendesak orang Badui itu agar mau ke tokonya dan ia akan mengembalikan kelebihan uang tersebut. Akhirnya, orang Badui tersebut menerimanya.

Setelah orang Badui itu pergi, berkatalah Yunus kepada saudaranya, "Apakah kamu tidak merasa malu dan takut kepada Allah atas perbuatanmu menjual barang tadi dengan harga dua kali lipat?"

"Tetapi dia sendiri yang mau membelinya dengan harga 400 dirham," saudara Yunus mencoba membela diri bahwa dialah yang benar.

Yunus berkata, "Ya, tapi di atas kita terpikul satu amanah untuk memperlakukan saudara kita seperti memperlakukan terhadap diri kita sendiri."

Kisah Pencuri Saleh

Seorang pemuda lugu menuntut ilmu kepada seorang guru fara'idh (ilmu hitung harta waris). Kehidupan ekonomi sang guru sangat pas-pasan. Dalam suatu kesempatan, sang guru berkata kepada murid-muridnya, "Kalian tidak boleh menjadi beban orang lain. Sesungguhnya orang alim yang menengadahkan tangannya kepada orang-orang yang berharta tidak ada kebaikan pada dirinya. Pergilah kalian semua dan bekerjalah seperti pekerjaan ayah kalian masing-masing. Bawalah selalu kejujuran dan ketakwaan kepada Allah dalam menjalankan pekerjaan tersebut!"

Pemuda itu tidak tahu tentang pekerjaan ayahnya yang telah meninggal. Ia pun segera pulang ke rumah untuk menanyakan hal tersebut kepada sang ibu.

Setibanya di rumah, pemuda itu menemui ibunya, lalu berkata, "Bu, tolong beri tahu kepadaku apa pekerjaan sepeninggal ayah dahulu?"

Sang ibu heran dengan pertanyaan anaknya yang tiba-tiba itu. Ia pun balik bertanya, "Apa urusanmu hingga ingin mengetahui pekerjaan ayahmu?" Ungkapan sang ibu itu menunjukkan bahwa ia enggan menjawab pertanyaan anaknya.

Pemuda itu terus-menerus memaksa ibunya agar mengungkapkan pekerjaan ayahnya. Lama-kelamaan sang ibu tidak tahan menanggapi desakan anaknya. Dengan nada tinggi, sang ibu berkata, "Ketahuilah bahwa ayahmu dulu adalah seorang pencuri!"

Bukan kecewa yang dirasakan pemuda itu ketika mengetahui ayahnya adalah pencuri, melainkan hasrat yang menggebu-gebu untuk mengikuti jejak ayahnya sesuai dengan anjuran yang disampaikan oleh gurunya.

Pemuda itu menjelaskan kepada ibunya, "Aku diperintahkan oleh guruku untuk bekerja seperti pekerjaan ayahku tanpa meninggalkan kejujuran dan ketakwaan kepada Allah dalam bekerja."

"Hai, Anakku! Apakah dalam mencuri ada ketakwaan?" sela ibunya.

Anaknya menjawab dengan keluguannya, "Ya, begitulah kata guruku."

Ia pun belajar bagaimana menjalankan profesi sebagai pencuri. Ketika ilmu teknik mencuri yang didalaminya sudah cukup. Ia pun memutuskan untuk beraksi melaksanakan perintah sang guru.

Seusai shalat Isya' dan semua orang tertidur lelap, ia pun keluar rumah untuk menjalankan aksi perdananya. Ia selalu ingat pesan gurunya untuk membawa kejujuran dan ketakwaan saat bekerja.

Rumah yang diincar pertama kali adalah yang terdekat dengan rumahnya, yaitu rumah tetangganya sendiri. Namun, ia ingat bahwa mengganggu tetangga bukanlah pekerjaan takwa. Kemudian ia urungkan niatnya untuk mencuri di rumah tetangganya.

Begitu pula, ketika hendak mencuri di rumah anak yatim, ia berpikir, "Allah memperingatkan untuk tidak memakan harta anak yatim." Ia pun pergi mencari rumah berikutnya.

Sambil berjalan, ia merenung, ternyata tidak mudah untuk menjadi pencuri yang bertakwa. Bagaimana pun juga mengambil harta orang lain tidak diperbolehkan agama. Akan tetapi, perintah sang guru harus dilaksanakan. Tidak boleh berputus asa!

Langkahnya terhenti di sebuah rumah besar nan megah. Konon pemilik rumah itu terkenal memiliki harta berlimpah melebihi kebutuhannya. Dengan keterbatasan ilmunya, ia beranggapan bahwa tidak mengapa jika mengambil zakat dari kekayaan orang tersebut. Toh, bagian zakat itu bukan hak si empunya kekayaan, tetapi hak orang miskin.

Tekad yang bulat mendorongnya untuk masuk ke dalam rumah besar yang tidak berpenjaga tersebut. Satu per satu kamar ia selidiki untuk menemukan tempat penyimpanan harta.

Akhirnya, ia sampai di sebuah kamar besar dan didapatinya sebuah kotak besar berisi emas, perak, dan uang tunai. Ia kumpulkan buku-buku catatan yang berisi laporan keuangan si pedagang kaya tersebut. Dengan lentera kecil yang dibawanya, ia mulai menghitung zakat yang harus dikeluarkan oleh orang kaya itu.

Keahlian dalam hal keuangan, pembukuan, dan pembagian harta ia kerahkan di sana. Dikarenakan begitu banyaknya perhitungan yang harus diselesaikan, ia pun lupa waktu. Fajar sudah menyingsing pertanda tiba waktu shalat Subuh.

Sang tuan rumah pun telah bangun dari lelapnya untuk melaksanakan shalat Subuh. Alangkah terkejutnya ketika kamar tempat penyimpanan hartanya telah terbuka. Apalagi ia mendapati seseorang tengah asyik dengan buku-buku catatannya di bawah cahaya lentera kecil.

Dengan lantang, si tuan rumah menghardik pemuda tersebut, "Hai! Siapa kau!"

Sang pemuda terkesiap mendengar teguran tersebut. Saat disadarinya hari sudah hampir terang, ia bergegas untuk melaksanakan shalat. Ia berkata kepada si pemilik rumah, "Maaf, akan saya jelaskan nanti. Tapi, izinkan saya untuk shalat Subuh terlebih dahulu."

Akhirnya, mereka berdua pun shalat Subuh berjemaah dengan si tuan rumah sebagai imamnya. Usai shalat, pemuda itu mengaku kepada tuan rumah, "Saya pencuri."

Si tuan rumah makin bertambah keheranannya, "Lantas apa yang kau lakukan dengan buku-buku catatanku?" tanya tuan rumah.

"Aku sedang menghitung zakat yang belum kau keluarkan selama enam tahun. Ini hasilnya," jawab pemuda itu sambil menyodorkan hasil perhitungannya.

Ia pun menasihati si tuan rumah tentang keutamaan zakat. Tiada kemarahan terlihat di wajah si tuan rumah. Ia malah terkagum-kagum akan kejujuran serta kepandaian dan ketepatan si pencuri dalam berhitung. Selain itu, ia jadi mengetahui tentang pentingnya mengeluarkan zakat.

Akhirnya, si tuan rumah mengangkatnya menjadi sekretaris dan juru hitung pribadinya. Ia pun menikahkan sang pemuda dengan putrinya. Ibu si pemuda tinggal bersama mereka. Berkat kejujuran dan ketakwaan yang dibawa sang pemuda dalam perbuatannya, kebahagiaan mendatangi dirinya dan orang lain.

Kejujuran Seorang Khalifah

Kota Andalusia, Spanyol, dikuasai oleh seorang khalifah yang jujur dan adil bernama Al-Manshur bin Abi Amir Al-Hajib. Dia memiliki rencana besar untuk membangun sebuah jembatan sebagai penghubung dua kota yang dipisahkan sebuah sungai.

Proyek itu dianggarkan empat puluh ribu dinar emas. Meskipun menelan biaya besar, khalifah melihat sisi manfaatnya yang lebih besar bagi kelancaran transportasi dan kegiatan perekonomian masyarakatnya.

Diharapkan proyek itu dapat terealisasi. Oleh karena itu, penguasa harus membeli sepetak tanah milik orang tua yang miskin karena pada tanah itulah akan dibangun fondasi untuk jembatan tersebut. Khalifah menyuruh petugas proyek untuk membeli tanah tersebut dengan harga 100 dinar.

Petugas proyek pun melaksanakan perintah tersebut. Ia menemui si pemilik tanah dan bertanya kepadanya, "Berapa akan kaujual tanahmu ini?"

Orang tua miskin itu menjawab, "Lima dinar!"

Melihat tawaran orang tua miskin yang sangat rendah tersebut, petugas proyek berpikir untuk membeli tanah tersebut di bawah harga yang ditetapkan oleh sang khalifah. Artinya, ia telah menghemat pengeluaran negara.

Akhirnya, petugas tersebut menawar tanah yang dimaksud dengan harga 10 dinar, yang berarti dua kali lipat dari harga yang diminta pemilik tanah.
Tentu saja orang tua itu bahagia bukan kepalang. Baginya uang sepuluh dinar sangat besar. Ia bisa membeli tanah baru dan menabung sisanya.

Sementara itu, petugas proyek merasa telah menyelesaikan tugasnya dengan baik, bahkan menganggap dirinya telah berjasa menghemat pengeluaran negara. Ia pun menceritakan tawar-menawar yang terjadi dan berharap sang khalifah akan memuji idenya.

Mendengar hal tersebut raut wajah sang khalifah menunjukkan kekecewaan yang mendalam kepada petugasnya. Ia pun memerintahkan untuk memanggil lelaki tua miskin itu ke hadapannya.

Perintah pun dilaksanakan. Tidak lama kemudian, lelaki tua itu datang menghadap dengan seribu tanda tanya di kepalanya, "Apakah khalifah akan memarahiku karena telah menjual tanah dengan harga mahal?" pikirnya.

Di luar dugaan, ternyata Khalifah Manshur menyambutnya dengan wajah ceria seraya berkata, "Wahai Bapak Tua, benarkah engkau rela menjual tanahmu dengan harga sepuluh dinar?"

"Benar, Tuan. Aku telah ikhlas menjualnya," jawab lelaki tua itu.

Khalifah Manshur kembali berkata, "Bapak Tua, tanah itu akan digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, aku sampaikan terima kasih kepadamu atas kesediaan menjual tanah dengan harga murah. Namun, sebelumnya kami telah menetapkan untuk membeli tanahmu seharga seratus dinar. Jadi, terimalah sisa pembayaran yang harus kauterima!"

Lelaki tua itu terperanjat atas keputusan sang khalifah. Sama sekali ia tidak menyangka hak-haknya akan dihargai sedemikian rupa oleh penguasa. Ia pun berdoa semoga keberkahan senantiasa dicurahkan kepada pemimpin yang adil dan mengutamakan hak-hak rakyatnya.