Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Jumat, 20 Maret 2020

Ayat Ayat Al Qur’an : Tentang Subjek Pendidikan


Ayat Ayat Al Qur’an
Tentang Subjek Pendidikan
Oleh : Ali Mujib, M. Hafidul Ilmi, Rosita Fatimah

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Prodi Pendidikan Islam
Fakultas Agama Islam
Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum
Jombang






--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
A.  Pendahuluan
Pendidikan adalah kebutuhan setiap manusia, pendidikan bisa diperoleh lewat pendidikan formal, non formal, dan in formal. Dalam prosesnya, pendidikan melibatkan semua unsur dianataranya adalah pendidik, peserta didik, kurikulum, metode dan evaluasi [1], untuk menggali berbagai pengetahuan. Namun sebagai seorang muslim, kita meyakini bahwa Al-Qur’an yang diturunkan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW merupakan sumber pengetahuan yang tidak terbatas, sebagai pedoman bagi kehidupan manusia (way of life) mengandung beberapa aspek yang terkait dengan pandangan hidup yang dapat membawa manusia ke jalan yang benar dan menuju kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dari beberapa aspek tersebut, secara global terkandung materi tentang kegiatan belajar-mengajar atau pendidikan yang tentunya membutuhkan komponen-komponen pendidikan, diantaranya yaitu pendidik dan peserta didik.
Al Quran merupakan sumber pengetahuan yang tidak terbatas, yang dimana di dalam Al-Qur’an tersebut terkandung ayat-ayat Al-Quran yang membahas berbagai macam hal dan salah satunya membahas tentang ayat-ayat subjek pendidikan. Oleh karena itu melalui makalah ini penulis dari kelompok lima, ingin mencoba menganalisa tentang makna yang terkandung dari ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas mengenai subjek  pendidikan. Diantara ayat Al Qur’an yang menjelaskan subjek  pendidikan adalah surat Al Baqarah Ayat 201-202, Surat Yunus Ayat 76, dan Surat Thaha Ayat 114.
Subjek pendidikan yang dipahami kebanyakan para ahli pendidikan adalah Orang tua, guru-guru di institusi formal (disekolah) maupun non formal dan lingkungan masyarakat. Pendidik (guru) adalah subjek yang melaksanakan pendidikan.[2]  Guru adalah subjek pendidikan, menurut Sanusi et al di dalam buku Model-model pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru karya Rusman disebutkan bahwa subjek  pendidikan adalah manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi, dan perasaan dan dapat dikembangkan sesuai dengan potensinya; sementara itu pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai martabat manusia[3]. Sedangkan pendidikan pertama (tarbiyatul awwal) yang kita pahami selama ini adalah rumah tangga (orang tua).
Menjadi subjek berarti manusia mengambil peran dalam suatu proses. Keberadaannya tidak menunggu atau menerima sesuatu dari suatu proses. Dalam konteks ini maka manusia bersifat aktif. Aktif dalam menentukan dan mengembangkan diri. Aktif mengambil hal-hal yang dibutuhkan dalam kehidupan. Sifat aktif menjadikan manusia tidak boleh mengikut atas sesuatu. Sesuatu itu harus dikritisi dan diyakini dalam pengalamannya. Sifat aktif juga menuntut manusia untuk memanfaatkan sesuatu yang diterima ke dalam perilaku sehari-hari. Tanpa memanfaatkan dan mengamalkannya menjadikan hal-hal yang diterima menjadi sesuatu yang tidak bermakna.[4]
Sebagai seorang muslim kita harus menyatakan bahwa pendidik pertama manusia adalah Allah dan yang kedua adalah Rasulullah[5]. Sebagai mana yang dimuat dalam Al-qur’an Q.S Al-alaq ayat 4-5.
يَعْلَمْ لَمْ مَا الْإِنسَانَ عَلَّمَ . بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الَّذِي
“yang mengajar( manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.

Dari penjelasan diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa subjek pendidikan adalah siapa saja yang mewariskan atau mengajarkan ilmunya kepada kita. Seorang pendidik bisa saja masyarakat, kakak, dan kedua orang tua dalam lingkup yang sederhana. Kita dapat memporoleh ilmu dari mana saja, bisa saja dari lingkungan, masyarakat, alam dan semua ciptaan Allah SWT.[6]



B.  Ayat Ayat Tentang Subjek Pendidikan
Diantara ayat Al Qur’an yang menjelaskan subjek  pendidikan adalah surat Al Baqarah Ayat 201-202, Surat Yunus Ayat 76, dan Surat Thaha Ayat 114.

1.      Surat Yunus Ayat 76 Ayat
 فَلَمَّا جَاءَهُمُ الْحَقُّ مِنْ عِندِنَا قَالُوا إِنَّ هَذَا لَسِحْرٌ مُّبِينٌ
“Dan tatkala telah datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata: "Sesungguhnya ini adalah sihir yang nyata"
2.      Surat Thaha ayat 114
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Alquran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (Q.S. Thaha: 114)

3.    Surat Al-Baqarah Ayat 201 dan 202

وِمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Dan di antara mereka ada yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari azab neraka”.

أُولَـئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِّمَّا كَسَبُواْ وَاللّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
C.  Pembahasan Ayat Tentang Subjek Pendidikan
Karena keterbatasan kami, maka pada bagian ini kami tidak membahas satu persatu dari keempat ayat tersebut, tetapi kami memilih untuk membahas Surat Thaha Ayat 114 untuk mewakili ayat yang lainnya, karena memiliki substansi yang sama yaitu subjek pendidikan.
1.   Surat Thaha Ayat 114
 فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۗ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَىٰ إِلَيْكَ وَحْيُهُ ۖ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan".
2.      Tafsir Mufradat
فَتَعَالَى اللَّهُ
Allah maha bersih, tinggi dan suci dari semua kekurangan.
الْمَلِكُ الْحَقُّ
Dia Raja Yang kekuasaa Nya mengalahkan semua penguasa dan tirani, Yang mengendalikan segala sesuatu, Yang Maha benar, janji Nya benar, ancaman Nya benar, dan tiap-tiap sesuatu dari Nya adalah kebenaran.
وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَىٰ إِلَيْكَ وَحْيُهُ
Dan janganlah kamu teegesa-gesa (wahai Rasul) untuk mendahului Jibril dalam menerima Al-Qur’an sebelum dia tuntas darinya.
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Dan katakanlah, “Wahai Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu disamping ilmu yang telah Engkau ajarkan kepadaku.”

Pada bagian akhir surat Thaha ayat 144 tersebut terdapat kata رَبِّ, Dan dalam bahasa Arab, kata رَبِّ berarti “yang memiliki”,[7] “yang menguasai”,[8] “yang menjaga”, “yang memelihara”, “yang membimbing”, “yang mendidik”, “yang merubah”. Karim Al Batsani dkk mengartikan رَبِّ  bermakna tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah, mengumpulkan, dan memperindah.[9] Maka dari kata رَبِّ  tersebut dalam dunia pendidikan kita mengenal istilah المُرَبِّي dan التربيۃ , karena memang dalam leksikologi Al Quran tidak ditemukan istilah المُرَبِّي dan التربيۃ  melainkan kata tersebut identik dengan kata رَبِّ  . Pendidikan agama Islam sendiri mempunyai konsep pendidik yang bermacam- macam.
Diantaranya adalah melalui kata رَبَّ, yang biasa diterjemahkan dengan “Tuhan” dan mengandung pengertian sebagai Tarbiyah. Yang mempunyai arti menumbuh-kembangkan sesuatu secara bertahap sampai sempurna,  dan pihak yang mendidik disebut dengan istilah Murabbi.[10] Menurut Kamus Al-Miftah, B.A-B.M-B.I, terbitan Al-Azhar Media[11], Mendidik, mengasuh = رَبَّى : رَبَّ , Murabbi perkataan asalnya مُرَبٍّ kemudian المُرَبِّي , Pendidik;guru =مُرَبٍّ - المُرَبِّي : مُثَقِّفٌ  , Yang dididik, yang diasuh = مُرَبٍّى: رُبِّيَ  , Yang terdidik;yang berkelakuan baik =مُرَبٍّى: مُهَذَّب : مُؤَدِّب , Edukator, guru, pendidik والمُرَبِّي[12].
Arti lebih luas المُرَبِّي memiliki makna yaitu orang yang mampu mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.[13] Makna المُرَبِّي dalam dunia pendidikan Islam membawa maksud yang luas melebihi tingkat mu`allim. Konsep المُرَبِّي mengacu kepada pendidik yang tidak hanya mengajarkan sesuatu ilmu tetapi dalam waktu yang sama mencoba mendidik rohani, jasmani, fisik, dan mental anak didiknya untuk menghayati dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajari. Justru, المُرَبِّي lebih berkonsentrasi penghayatan sesuatu ilmu, sekaligus membentuk kepribadian, sikap dan kebiasaan anak didiknya. Jadi, tugas "Muallim" banyak melayang di "akal" namun tugas المُرَبِّي melayang di "hati".[14]

D.    Analisis Kritis Isi Kandungan Ayat
Menurut Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia, Setelah Allah menyebutkan hukum jaza’i (pembalasan) nya terhadap hamba-hamba-Nya, hukum syar’i-Nya yang ada dalam kitab-Nya, di mana hal ini termasuk kerajaan-Nya, Dia berfirman, “Maka Maha Tinggi, Allah Raja yang sebenar-benarnya.” Yakni dari apa yang dikatakan orang-orang musyrik atau dari segala kekurangan. Di mana kerajaan adalah sifat-Nya, semua makhluk adalah milik-Nya, hukum-hukum kerajaan, baik yang qadari (terhadap alam semesta) maupun yang syar’i berlaku pada mereka. Wujud-Nya hak (benar), kerajaan-Nya hak dan kesempurnaan-Nya hak. Sifat-sifat kesempurnaan tidak ada yang hakiki kecuali bagi Allah Yang Memiliki Keagungan. Contohnya adalah kerajaan, meskipun di antara makhluk-Nya ada yang menjadi raja pada sebagian waktu dan terhadap orang-orang tertentu, namun kerajaannya terbatas dan akan sirna, adapun Allah, maka Dia senantiasa sebagai Raja, Mahahidup, Maha Berdiri Sendiri lagi Maha Mulia. Maksudnya, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dilarang Allah menirukan bacaan Jibril ‘alaihis salam kalimat demi kalimat, sebelum Jibril ‘alaihis salam selesai membacakannya, karena Allah menjamin untuk mengumpulkan Al Qur’an di dalam dadanya dan membacakannya.
Oleh karena tergesa-gesanya Beliau untuk segera menghapal wahyu itu menunjukkan kecintaan yang sempurna kepada ilmu, maka Allah memerintahkan kepadanya agar meminta kepada Allah tambahan ilmu, karena ilmu adalah kebaikan, dan banyaknya kebaikan perlu dicari, dan hal itu berasal dari Allah. Tentunya, cara untuk memperolehnya adalah dengan bersungguh-sungguh, rindu kepada ilmu, memintanya kepada Allah, meminta pertolongan-Nya serta butuh kepadanya di setiap waktu. Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan tentang adab mencari ilmu, yaitu bahwa orang yang mendengarkan ilmu sepatutnya bersabar tidak langsung mencatat sampai pengajar atau pengimla’ (pendikte) menyelesaikan kata-katanya yang masih berkaitan. Jika telah selesai, ia boleh bertanya jika ia memiliki pertanyaan dan tidak segera bertanya dan memotong pembicaraan guru, karena hal itu merupakan sebab terhalangnya ilmu. Demikian pula orang yang ditanya, sebaiknya meminta dijabarkan pertanyaan dan mengetahui maksudnya terlebih dahulu sebelum menjawab, karena hal itu merupakan sebab agar menjawab benar. Dengan Al Qur’an. Oleh karena itu, setiap kali diturunkan ayat Al Qur’an, maka bertambahlah ilmu Beliau. Dalam buku Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I  هداية الإنسان بتفسير القران 114.[15] Dengan semua sifat itu, maka sesungguhnya Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Dan karena itu, janganlah kamu, wahai nabi Muhammad, tergesa-gesa membaca Al-Qur'an sebelum disempurnakan pewahyuannya kepadamu agar kamu tidak salah memahami dan mengajarkannya, dan katakanlah, 'ya tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan yang bermanfaat, karena jika nabi Muhammad tergesa gesa maka ayat berikutnya yang akan menggambarkan akibatnya, dimana ada peristiwa yang terjadi pada Adam dan pembangkangan iblis terhadap perintah Allah. Kisah ini diawali dengan peringatan Allah atas tipu daya iblis. Dan sesungguhnya telah kami perintahkan kepada adam dahulu untuk menjauhi iblis yang selalu berusaha menyesatkannya. Tetapi karena iblis pandai merayu maka dia lupa akan perintah itu. Dia lalu mengikuti ajakan iblis dan terjerumus sehingga melanggar larangan Allah. Dan saat itu tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat untuk menolak rayuan iblis. '. Tafsir Ringkas Kemenag — Kementerian Agama RI.[16] Dari penjabaran tersebut dapat ditambahkan, secara tekstual ayat tersebut sebelum rabb (murabbi) dalam ayat tersebut didahuli dengan sifat sifat allah yang maha Rabb yang berarti mendidik,  maka seorang pendidik (Murabbi) harus memiliki sifat عالى , الملكdan  الحق karena secara logika seorang pendidik harus lebih menguasai materi daripada peserta didik, karena peserta didik mengharapkan ilmu dari seorang pendidik.
1.      عالى adalah maha tinggi maha tinggi dzat nya maha tinggi perbuatannya dan kebijakannya, maha tinggi asma’ nya, dan maha tinggi sifat sifat nya.[17] Allah maha bersih, tinggi dan suci dari semua kekurangan. Guru ketika berada di dalam kelas diibiratkan sebagai seorang pedagang yang sedang menjual barang dagangannya. Calon pembelinya adalah siswa-siswinya. Barang dagangannya adalah ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Layaknya seorang pedagang yang akan melakukan promosi apa saja untuk membuat dagangannya laku terjual, gurupun juga demikian. Guru akan melakukan apa saja untuk membuat para siswa-siswinya tertarik pada materi yang diajarkan.Maka dengan segala pengetahuan guru mampu membuat seorang murid berkata Sami’na Wa Ato’na.
2.      الملك  adalah Dia Raja Yang kekuasaa Nya mengalahkan semua penguasa dan tirani, Yang mengendalikan segala sesuatu. Dari Asma’ ini dapat diambil hikmah bahwa guru harus memiliki power, memiliki kekuatan, memiliki kekuasaan yaitu menguasai materi, mungasai peserta didik atau mampu mengelola situasi dan kondisi kelas. Tujuan pengelolaan kelas adalah agar setiap siswa di kelas dapat mengikuti pembelajaran dengan tertib dan disiplin sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Pengelolaan kelas bertujuan untuk mengantisipasi kondisi kelas yang ricuh atau kacau. Kekacauan dalam kelas dapat mengganggu proses belajar mengajar, biasanya hal tersebut terjadi karena hal-hal yang kecil. Jika kekacauan yang dianggap kecil tersebut berubah menjadfi kekacauan yang besar maka guru akan sulit mengembalikannya dalam keadaan normal. Oleh karena itu guru harus bisa mengkondisikan kelas secara baik. Seorang guru harus mampu menguasai situasi dan kondisi jangan kebanyakan alasan alasan. Setidaknya ada delapan langkah yang harus dilakukan guru agar mampu menguasai dan mengelola kelas dengan baik, yaitu:
1.      Persiapan yang cermat
2.      Tetap menjaga dan terus mengembangkan rutinitas
3.      Bersikap tenang dan penuh percaya diri
4.      Bertindak dan bersikap profesional
5.      Mampu mengenali perilaku yang tidak tepat
6.      Menghindari langkah mundur
7.      Berkomunikasi dengan orang tua siswa secara efektif
8.      Menjaga kemungkinan munculnya masalah
3.      الحق adalah Yang Maha benar, janji Nya benar, ancaman Nya benar, dan tiap-tiap sesuatu dari Nya adalah kebenaran. Memang seorang guru bukan bukan seorang yang selalu benar pasti seorang guru pernah salah atau keliru menyampaikan ilmunya karena keterbatasan seorang guru tersebut, namun yang paling penting dalam dunia pendidikan seorang guru tidak boleh berbohong. Dalam satu kisah sahabat Abu Dzar Rodhiyallahu anhu diberikan beberapa wejangan oleh Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam, diantara isi wejangannya adalah :
قُلِ الْحَقَّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا
“Katakan kebenaran, sekalipun itu pahit”.[18] Jangan sampai karena tidak mampu menjawab pertanyaan seorang murid sehingga seorang guru dengan sengaja menjawab dengan ngawur dan juga angan sampai hanya untuk mencapai tujuan-tujuan yang mungkin jangka pendek: agar banyak penggemarnya, banyak yang murid yang menyukai karena guru ini serba tau semua atau karena memang jengkel pada seorang murid lantas berkata bohong tentang ilmu atau bahkan untuk mencapai keuntungan-keuntungan tertentu misalnya seorang guru mempunyai produk jualan baik buku atau lainnya, kemudian memanipulasi data/fakta apalagi mengada-adakan fakta yang sebetulnya tidak ada alias hoaks. Jika suatu saat kebohongannya itu ketahuan orang lain, maka kerugiannya tidak terbayangkan besarnya. Seorang guru yang berbohong itu akan malu, dan bahkan akan kehilangan sesuatu yang amat mahal, ialah kepercayaan dari orang lain.
E.     KESIMPULAN
1.      Subjek pendidikan  adalah orang ataupun kelompok yang bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan, sehingga materi yang diajarkan atau yang disampaikan dapat dipahami oleh objek pendidikan. Subjek pendidikan yang dipahami kebanyakan para ahli pendidikan adalah Orang tua, guru-guru di institusi formal (di sekolah) maupun non formal dan lingkungan masyarakat, sedangkan pendidikan pertama (tarbiyatul awwal) yang kita pahami selama ini adalah rumah tangga (orang tua). Sebagai seorang muslim kita harus menyatakan bahwa pendidik pertama manusia adalah Allah yang kedua adalah Rasulullah.
2.      Pada bagian akhir surat Thaha ayat 144 tersebut terdapat kata رَبِّ  , namun dunia pendidikan lebih mengenal istilah المُرَبِّي dan التربيۃ , karena memang dalam leksikologi Al Quran tidak ditemukan istilah المُرَبِّي dan التربيۃ  melainkan kata tersebut identik dengan kata رَبِّ  yang memiliki makna yaitu orang yang mampu mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.
3.      Dalam tekstual ayat tersebut, kata رَبِّ  didahuli dengan sifat sifat allah yang maha Rabb yang berarti mendidik,  maka seorang pendidik (Murabbi) harus memiliki sifat عالى , الملك dan  الحق karena secara logika seorang pendidik lebih menguasai materi pendidikan dari pada peserta didik, karena peserta didik mengharapkan ilmu dari seorang pendidik.
4.      Seorang harus memiliki integritas tinggi, yaitu dapat diartikan sebagai sebuah usaha yang utuh dan lengkap yang didasari dengan kualitas, kejujuran, serta konsistensi karakter seseorang. Integritas yaitu konsistensi atau keteguhan yang tidak bisa tergoyahkan dalam menjunjung nilai-nilai keyakinan dan prinsip.



REFERENSI
Abu Yahya Marwan bin Musa, هداية الإنسان بتفسير القران Tafsir Al Qur'an Hidayatul Insan : -(Download : tafsirweb.com)
Amrullah Aziz, Pendidik Profesional Yang Berjiwa Islami,  Jurnal Studi Islam, Volume 10, No. 1 Desember 2015 (Muhaimin 2004. Mengembangan kurikulum PAI di Sekolah Hingga Perguruan Tinggi. Jakarta : Rajawali Press, Raja Grafindo)
Edi P, Bambang, Manusia Sebagai Subjek Dalam Pendidikan Kebhinekaan Humans as Subjects in Diversity Education., JURNAL EDUKASI 2018, V(I): 32-34
Kholilah, Muzakki Akh, Ilmu Pendidikan Islam,(Surabaya : Kopertais IV Press, 2010)
Luis Ma’luf, al-Munjid fī al-Lughah wa al-A’lām, (Beirut: al-Maktabah al-Syarqiyyah, 2007), hlm. 243. https://www.academia.edu/4132992/Semantik_dari_kata_Rabb_dan_Ilah
Ramadhana Al Banjari, Rachnat, Quantum Asma’il HusnaMenyikap Tabir Agung Nama Nama Allah & Meraih Manfaat Ajaibnya Bagi Kehidupan kita. 2013: Safirah- Jogjakarta
Rusman, Model-model pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru.(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 20 (Lihat Ahmad Sanusi, 1991, Studi Penagembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan, (Bandung: IKIP Bandung), h. 23)
Sahiron Syamsuddin, Metode Intratekstualitas Muhammad Shahrur dalam Penafsiran al-Qur’an, dalam Studi al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya (Anggota IKAPI), 2002), cet. I, hlm. 145. https://www.academia.edu/4132992/Semantik_dari_kata_Rabb_dan_Ilah
Yayuli,  Istilah-Istilah Pendidikan Dalam Perspektif Al Quran Dan Hadis Nabi Muhammad Saw : SUHUF, Vol. 29, No. 1, Mei 2017 : 15-37
http://pandidikan .blogspot.com/2010/04/ayat-tentang-subjek-pendidikan.html?m=1



[1] Kholilah, Muzakki Akh, Ilmu Pendidikan Islam,(Surabaya : Kopertais IV Press, 2010)
[2] Kholilah, Muzakki Akh, Ilmu Pendidikan Islam,(Surabaya : Kopertais IV Press, 2010)
[3] Rusman, Model-model pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru.(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 20 (Lihat Ahmad Sanusi, 1991, Studi Penagembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan, (Bandung: IKIP Bandung), h. 23)
[4] Manusia Sebagai Subjek Dalam Pendidikan Kebhinekaan Humans as Subjects in Diversity EducationBambang Edi P., JURNAL EDUKASI 2018, V(I): 32-34
[6] http://pandidikan .blogspot.com/2010/04/ayat-tentang-subjek-pendidikan.html?m=1

[7] Luis Ma’luf, al-Munjid fī al-Lughah wa al-A’lām, (Beirut: al-Maktabah al-Syarqiyyah, 2007), hlm. 243. https://www.academia.edu/4132992/Semantik_dari_kata_Rabb_dan_Ilah
[8] Sahiron Syamsuddin, Metode Intratekstualitas Muhammad Shahrur dalam Penafsiran al-Qur’an, dalam Studi al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya (Anggota IKAPI), 2002), cet. I, hlm. 145. https://www.academia.edu/4132992/Semantik_dari_kata_Rabb_dan_Ilah
[9] Kholilah, Muzakki Akh, Ilmu Pendidikan Islam,(Surabaya : Kopertais IV Press, 2010)
[10] Yayuli,  Istilah-Istilah Pendidikan Dalam Perspektif Al Quran Dan Hadis Nabi Muhammad Saw : SUHUF, Vol. 29, No. 1, Mei 2017 : 15-37
[13] Amrullah Aziz, Pendidik Profesional Yang Berjiwa Islami,  Jurnal Studi Islam, Volume 10, No. 1 Desember 2015 (Muhaimin 2004. Mengembangan kurikulum PAI di Sekolah Hingga Perguruan Tinggi. Jakarta : Rajawali Press, Raja Grafindo)
[15] Abu Yahya Marwan bin Musa, هداية الإنسان بتفسير القران Tafsir Al Qur'an Hidayatul Insan : -(Download : tafsirweb.com)
[16] Referensi: https://tafsirweb.com/5356-surat-thaha-ayat-114.html
[17] Ramadhana Al Banjari, Rachnat, Quantum Asma’il HusnaMenyikap Tabir Agung Nama Nama Allah & Meraih Manfaat Ajaibnya Bagi Kehidupan kita. 2013: Safirah- Jogjakarta

Peacefull Generation : Antara Santri dan Toleransi Dalam Ajaran Pesantren




Negara kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara yang berani bersatu diatas berbagai keberagamannya, baik beragam dalam suku bangsa, bahasa, agama, dan budaya. Keberagaman di nusantara harus kita makanai sebagai sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa dan yang harus dijaga dan dipertahankan dalam wadah NKRI, keberagaman yang saling melengkapi, bukan untuk menunjukkan mana yang terbaik. Sebelum lahirnya Indonesia, pendahulu jauh diatas kita telah menyadari dan menghargai keberagaman di bumi nusantara ini,  keberagaman di nusantara ini dikenal dengan semboyannya Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan yang membuktikan bahwa Indonesia bersatu atas keberagaman. Namun tidak dapat dipungkiri ruh dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika mulai luntur. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai kejadian yang menunjukkan intoleransi keberagaman, yaitu intoleransi kepercayaan, intoleransi, budaya dan kebudayan, intoleransi suku bangsa dan intoleransi lainnya. Untuk mengantisipasi tindakan intoleransi dan menjaga toleransi, kita membutuhkan lembaga pendidikan dan materi pendidikan yang porposional untuk hal tersebut. Saya rasa salah satu lembaga pendidikan yang porposional dan cocok adalah pesantren.
Pesantren adalah sebuah pendidikan tradisional yang peserta didiknya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap peserta didiknya. Istilah pesantren tersebut identik dengan istilah santri, santri adalah panggilan untuk seseorang yang sedang menimba ilmu pendidikan agama Islam selama kurun waktu tertentu dengan jalan menetap di sebuah pondok pesantren. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Pertama masuk pondok pesantren seorang santri akan dihadapkan dengan perbedaan baik suku ras ataupun budaya, dan pasti sebagian dari mereka akan merasa tidak nyaman dengan suatu keadaan belum pernah mereka alami seblumnya. Yang mana, sebelum masuk kedalam kehidupan pesatren mereka hanya berinteraksi dengan sebuah kehidpuan dari mereka kecil. Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia telah mencatatkan begitu besarnya peran santri dalam perjuangan kemerdekaan, dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam kehidupan pesatren para santri diajarkan beberapa konsep interaksi sosial, diantaranya Konsep interaksi sosial adalah PertamaAl Ukhuwwah Al Islamiyyah yang berarti persaudaraan sesama muslim, Ukhuwah Islamiyah adalah keterikatan hati dan jiwa satu sama lain dengan ikatan aqidahbagai tali tasbih yang tidak terputus, dengan tujuan utama mensyukuri Nikmat Allah. Ukhuwah Islamiyah bersifat abadi dan universal karena berdasarkan aqidah dan syariat Islam. KeduaAl Ukhuwwah Basyariyah yang berarti persaudaraan sesama manusia. Dan yang ketiga Al Ukhuwwah Wathoniyyah yang bermakna persaudaraan sebangsa dan Negara. Pada konsep ukhuwah Islam Al Ukhuwwah Al Islamiyyah  iyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena sama-sama memeluk agama Islam. Umat Islam yang dimaksudkan bisa berada di belahan dunia mana pun. Dalam konsep ukhuwah wathaniyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari bangsa yang satu, misalnya bangsa Indonesia. Ukhuwah model ini tidak dibatasi oleh sekat-sekat primordial seperti agama, suku, jenis kelamin, dan sebagainya. Adapun, dalam konsep ukhuwah basyariyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari umat manusia yang satu yang menyebar di berbagai penjuru dunia. Dalam konteks ini, semua umat manusia sama-sama merupakan makhluk ciptaan Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Purwoko, Dwi., dkk. Hubungan Karakteristik Santri Dengan Persepsi Mereka Tentang Kemandirian Di Pondok Pesantren Relationship Between Santri Characteristics With Their Perception Of Self Independency. Jurnal Penyuluhan Issn: 1858-2664 September 2007, Vol. 3 No. 2
Syukur, Abdul. 2008. Perekat Bangsa. Tangerang: PT Intimedia Ciptanusantara.

Rabu, 27 Juli 2011

Mendoakan Orang Lain

Seperti biasa, pada sepertiga malam terakhir, Sayyidah Fathimah — putri kesayangan Rasulullah saw senantiasa melaksanakan shalat tahajud di rumahnya. Terkadang, ia menghabiskan malam-malamnya dengan qiamu lail dan doa. Hasan bin Ali, putranya, sering mendengar munajat sang bunda.

Suatu pagi, ketika Sayyidah Fathimah selesai berdoa, Hasan kecil bertanya, "Ya Ummi, dari tadi, aku mendengarkan doamu, tetapi tak satu pun doa yang kau panjatkan untuk dirimu sendiri?"

Fathimah menjawab dengan lembut, "Nak, doakan dulu tetanggamu karena ketika para malaikat mendengarkanmu mendoakan tetanggamu, niscaya mereka akan mendoakanmu. Adakah yang lebih baik daripada doa para malaikat yang dekat dengan Allah, Tuhan kita?"

Apabila salah seorang mendoakan saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui oleh yang didoakan, para malaikat berkata, "Amin, semoga engkau memperoleh pula sebagaimana yang engkau doakan itu." (HR Muslim dan Abu Dawud)

Minggu, 17 Juli 2011

Tertundanya Kematian

Suatu ketika, Nabi Daud a.s. duduk di suatu tempat. Di sampingnya, ada seorang pemuda saleh yang duduk dengan tenang tanpa banyak bicara. Tiba-tiba, datang Malaikat Maut yang mengucapkan salam kepada Nabi Daud. Anehnya, Malaikat Maut terus memandang pemuda itu dengan serius.

Nabi Daud berkata kepadanya, "Mengapa engkau memandangi dia?"

Malaikat Maut menjawab, "Aku diperintahkan untuk mencabut nyawanya tujuh hari lagi di tempat ini!"

Nabi Daud pun merasa iba dan kasihan kepada pemuda itu. Beliau pun berkata kepadanya, "Wahai Anak Muda, apakah engkau mempunyai istri?"

"Tidak, saya belum pernah menikah," jawabnya.

"Datanglah engkau kepada Fulan - seseorang yang sangat dihormati di kalangan Bani Israil - dan katakan kepadanya, 'Daud menyuruhmu untuk mengawinkan anakmu denganku.' Lalu, kau bawa perempuan itu malam ini juga. Bawalah bekal yang engkau perlukan dan tinggallah bersamanya. Setelah tujuh hari, temuilah aku di tempat ini."

Pemuda itu pergi dan melakukan apa yang dinasihatkan Nabi Daud kepadanya. Dia pun dinikahkan oleh orang tua si Gadis. Dia tinggal bersama istrinya selama tujuh hari. Pada hari kedelapan pernikahannya, dia menepati janjinya untukbertemu dengan Daud.

"Wahai Pemuda, bagaimana engkau melihat peristiwa itu?"

"Seumur hidupku, aku belum pernah merasakan kenikmatan dan kebahagiaan seperti yang kualami beberapa hari ini," jawabnya.

Kemudian, Nabi Daud memerintahkan pemuda itu untuk duduk di sampingnya guna menunggu kedatangan malaikat yang hendak menjemput kematiannya. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Nabi Daud berkata, "Pulanglah kepada keluargamu dan kembalilah ke sini untuk menemuiku di tempat ini delapan hari setelah ini."

Pemuda itu pun pergi meninggalkan tempat itu menuju rumahnya. Pada hari kedelapan, dia menemui Nabi Daud di tempat tersebut dan duduk di sampingnya. Kemudian, kembali lagi pada minggu berikutnya, dan begitu seterusnya. Setelah sekian lama, datanglah Malaikat Maut kepada Nabi Daud.

"Bukankah engkau pernah mengatakan kepadaku bahwa engkau akan mencabut nyawa anak pemuda ini dalam waktu tujuh hari ke depan?"

Malaikat itu menjawab, "Ya."

Nabi Daud berkata lagi, "Telah berlalu delapan hari, delapan hari lagi, delapan hari lagi, dan engkau belum juga mencabut nyawanya."

"Wahai Daud, sesungguhnya Allah swt merasa iba kepadanya lalu dia menunda ajalnya sampai tiga puluh tahun yang akan datang."

Pemuda dalam kisah ini adalah seseorang yang taat beribadah, ahli munajat, gemar berbuat kebaikan, dan sangat penyayang kepada keluarganya. Boleh jadi, karena amal saleh dan doa-doanyalah, Allah Swt. berkenan menunda kematian sang Pemuda hingga tiga puluh tahun lamanya.

Sungguh, suatu kaum akan ditimpa azab oleh Allah sebagai suatu ketetapan yang pasti. Namun, kemudian seorang anak di antara mereka membaca, "Alhamdulillahi Rabbil Alamin." Ucapan itu didengar Allah dan Dia mengangkat azab-Nya dari mereka karena bacaan itu selama 40 tahun. (Fakhruddin Ar Razi)

Jamu Prabayar

Suatu malam, seorang penjual jamu yang telah lima tahun menjanda karena ditinggal mati suaminya didatangi oleh anak perempuannya yang sulung. Anak ini menyampaikan bahwa besok adalah hari terakhir pembayaran uang bangunan dan SPP.

Jika sampai besok tunggakan uang bangunan dan uang sekolah tidak dilunasi, dia akan dikeluarkan dari sekolah. Ibu penjual jamu ini terkejut mendengarnya. Sesaat, seolah dunia menjadi gelap. Dia kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa. Ketika keterkejutan mulai mereda, dia diempaskan lagi oleh gelombang kekagetan berikutnya ketika si anak menyebutkan sejumlah angka sebagai total tunggakannya.

Napas sang Ibu segera saja menderu, keringat dingin mulai meleleh di keningnya, tangannya gemetar, dan suaranya menjadi lirih terputus-putus. Yang dapat dia ucapkan hanya mengulang nilai uang yang sudah disebutkan anaknya.

Tanpa bisa memberikan janji muluk-muluk kepada anak-nya, wanita penjual jamu itu beranjak ke tempat tidur untuk beristirahat sejenak. Akan tetapi, alih-alih dapat tidur dengan nyenyak, semakin dia mencoba memejamkan mata, semakin gelisah pula dia dibuatnya.

Ketika matanya rapat menutup, silih berganti bayangan yang menakutkan dan lintasan kejadian pada masa depan yang suram tergambar di benaknya bak sebuah film horor yang terus-menerus menghantui.

Dia pun berusaha menenangkan diri dengan membetulkan posisi tubuhnya dan berkali-kali dia menarik napas dalam dan mengembuskannya panjang-panjang. Sedikit demi sedikit otak-nya mulai dapat diajak berpikir.

Malangnya, setiap kali otaknya mengalkulasi, setiap kali itu pula dia merasa kepalanya dibenturkan ke sebuah dinding baja. Dengan segala macam tunggakan, utang di warung sebelah, bahan baku jamu yang belum terbayar semuanya, ketercukupan kebutuhan pangan hanya untuk sehari saja, dan beban harus membayar uang sekolah anaknya seolah melengkapi seluruh penderitaannya.

Hampir semalaman, dia takdapat memicingkan matanya, kasur yang tipis terasa semakin tipis. Kamar yang pengap kini terasa semakin membekap. Memang, dunia tak pernah memberikan ampun kepada mereka-mereka yang kalah.

Sepertiga malam yang penghujung pun terlalui. Rasa letih pun pada akhirnya mengalahkan semuanya. Setelah gelombang kekalutannya beranjak surut, akhirnya dia sampai pada sebuah kesadaran bahwa kepasrahan adalah satu-satunya jalan untuk meringankan beban perasaan.

Apa sih, yang bisa dilakukan seorang wanita lemah semacam dirinya. Dia tidak punya apa-apa selain keinginan untuk keluar dari permasalahan tersebut. Dia pun sadar, hanya Allahlah satu-satunya yang dapat menolong. Ketika jajan sudah buntu, ke kiri jurang ke kanan jurang, tidak ada lagi yang bisa dimintai pertolongan selain Zat yang mengatur segalanya.

Pada saat tetesan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya, dia bergumam lirih, "Duh Gusti, hamba minta tolong dari segala kesulitan ini. Tidak ada yang bisa menjadi tempat bergantung selain pada-Mu."

Dibelainya kepala sang Anak yang tertidur di sampingnya perlahan. Damai terasa menyergap bersama dinginnya malam yang gelap. Dalam lelah, si Ibu tertidur setengah bertelekan di tepian ranjang kayu. Tidur yang teramat singkat, tiga puluh menit saja mungkin lamanya.

Ketika azan shubuh dari mushala sebelah berkumandang, sang Ibu merasa lebih segar. Pukul enam pagi, dia sudah berkemas dan siap untuk memulai berjualan dengan berjalan kaki. Telombong segera dipondong, botol-botol yang semula kosong kini telah kembali tampil kinclong.

Dia telah membulatkan tekad untuk menawarkan sebuah opsi kepada seorang pelanggan setianya. Dia akan mengajukan sebuah proposal, suplai jamu terusan dengan setengah pembayaran di muka, tentu saja untuk membayar uang sekolah anaknya.

Singkat kata, dengan tutur kata yang halus, disampaikanlah maksudnya. Sayang, rencana manusia terkadang berjalan takseirama dengan orkestrasi semula. Maksudnya itu dipahami, tetapi sang pelanggan tidak dapat membantunya. Lunglailah badan si Ibu penjual jamu itu.

Tak bersemangat lagi dia untuk menghadapi hari itu yang baginya terasa semakin mirip dengan neraka dunia. Rasa putus asa itu memang menghancurkan. Dia mengubah warna dari semula yang bak bianglala menjadi hegemoni tunggal hitam belaka.

Namun, dengan sisa tenaga yang ada, dia terus mencoba, dan akhirnya pada rumah kelima, proposalnya diterima. Tepat pukul dua, dia sudah duduk di depan meja petugas tata usaha sekolah anaknya. Enam lembar uang lima puluh ribuan pun berpindah tangan dan segera bertukar dengan selembar kertas kuitansi. Selembar kertas kumal yang baginya tampak seindah Pulau Bali.

Barang siapa hatinya dihadirkan oleh Allah kala berdoa, niscaya doa itu tidak akan ditolak. (Yahya bin Mu'adz Ar Razi)