Bilal r.a. adalah sahabat kepercayaan Rasulullah saw yang bertugas mengurus keuangannya. Apabila datang seseorang kepada beliau dalam keadaan lapar, beliau akan menyuruh Bilal r.a untuk melayani keperluan orang tersebut karena Rasulullah saw tidak pernah menyimpan sesuatu untuk diberikan. Selanjutnya, Bilal r.a akan mencari pinjaman demi melaksanakan tugas Rasulullah tersebut.
Suatu hari seorang musyrik mendatangi Bilal r.a. Ia mengetahui bahwa Bilal r.a selalu mencari pinjaman untuk memenuhi perintah Rasulullah saw. Kemudian ia menyusun tipu daya agar Bilal r.a tunduk menjadi budaknya.
Ia pun menawarkan bantuan yang sebenarnya adalah tipu muslihatnya kepada Bilal r.a, "Ketahuilah bahwa aku adalah orang yang paling banyak harta bendanya. Jika kamu menghendaki pinjaman, datanglah kepadaku. Dengan senang hati, aku akan membantumu."
Mengingat bahwa tidak semua orang senang diutangi, Bilal r.a pun menerima tawaran tersebut seraya berkata, "Ini adalah tawaran terbaik yang pernah saya terima." Sejak saat itu, Bilal r.a. selalu meminjam uang kepada orang musyrik tersebut untuk memenuhi keperluan orang-orang yang Rasulullah saw kehendaki.
Menjelang jatuh tempo, orang musyrik itu bersama centeng-centengnya mendatangi Bilal r.a. yang sedang berwudu sebelum mengumandangkan azan di masjid.
Orang itu menghardiknya, "Hai Habsyi! Waktumu tinggal empat hari lagi! Jika kamu belum melunasi pinjamanmu kepadaku hingga akhir bulan ini, kamu akan kembali menjadi hamba sahaya yang menggembalakan kambing-kambingku!" ancamnya.
Tawaran yang menyenangkan dahulu menjadi ancaman yang menakutkan bagi Bilal r.a. Ia khawatir kebebasan menjalani ibadah kepada Allah SWT akan kembali terpasung.
Kemudian seusai shalat Bilal r.a mengemukakan permasalahannya kepada Rasulullah saw, "Wahai Rasulullah. Kita memiliki pinjaman yang akan jatuh tempo empat hari lagi. Jika aku tidak sanggup membayarnya, ia akan menjadikanku sebagai budaknya. Padahal, engkau dan aku tidak memiliki apa pun untuk membayarnya. Oleh karena itu, izinkan aku untuk mencari pengganti utang-utang tersebut."
Setelah berkata demikian, Bilal r.a pun pulang ke rumah dan mempersiapkan pedang, perisai, sepatu, dan perbekalan. Ia belum tahu akan ke mana kakinya membawa pergi.
Menjelang keberangkatannya, seorang utusan Rasulullah saw datang berlari menemuinya. Ia berkata, "Hai Bilal! Cepatlah datang menemui Rasulullah!"
Dengan segera, Bilal r.a pun mendatangi Rasulullah saw. Bilal r.a bahagia dengan apa yang dilihatnya. Empat ekor unta bersama muatannya duduk di hadapan Rasulullah saw.
Melihat kedatangan Bilal r.a, Rasulullah saw bersabda, "Wahai Bilal! Berita gembira datang untukmu. Allah telah memberikan ini semua untuk melunasi utang-utangmu. Barang-barang ini telah dikirim sebagai hadiah dari ketua kaum Fida' (penjamin utang)!"
Alhamdulillah, Bilal r.a mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas pertolongan-Nya, akhirnya ia terbebas dari utang.
Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi
Jumat, 12 Maret 2010
Mengembalikan Pajak Nonmuslim
Selama kekhalifahan Umar bin Khaththab r.a, Abu Ubaidah r.a dipercaya sebagai kepala tentara muslim di Syria. Di tempat itu seluruh rakyat nonmuslim diwajibkan membayar pajak perlindungan kepada Abu Ubaidah r.a.
Suatu ketika Kaisar Byzantium, Romawi, hendak merebut Syria dari tangan kaum muslimin. Tentu saja penduduk nonmuslim, seperti Kristen dan Yahudi menyambut gembira rencana Romawi. Mereka tidak perlu bersusah payah membayar pajak kepada orang Islam jika Romawi berhasil merebut kembali Syria dari tangan kaum muslimin.
Abu Ubaidah r.a khawatir penduduk nonmuslim di Syria akan membelot membela Romawi. Belum lagi jumlah tentara Islam lebih sedikit jika dibandingkan tentara Romawi. Tentu saja hal ini akan menyusahkan pasukan Islam.
Abu Ubaidah r.a mengusulkan kepada para perwira prajurit muslim untuk mengosongkan kota Syria dan mengasingkan penduduknya agar tidak mengganggu peperangan mereka. Namun, seorang perwira menolak usulan tersebut. Ia berkata, "Mengasingkan mereka adalah hal yang tidak mungkin. Kita telah berjanji kepada mereka untuk melindungi harta dan jiwa mereka. Janji itu harus kita tepati!"
"Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya Abu Ubaidah r.a.
"Lebih baik kita yang meninggalkan kota ini daripada harus mengasingkan penduduk aslinya. Selanjutnya, kita harus mengembalikan uang pajak mereka karena mereka tidak dalam perlindungan kita lagi!"
Abu Ubaidah r.a menanggapi usul tersebut, "Jika kita meninggalkan kota yang kuat ini, besar kemungkinan kita akan menderita kekalahan. Kota ini memiliki benteng kuat di sekelilingnya sehingga bisa melindungi kita dari serangan pasukan Romawi."
"Mungkin kita akan kalah, tetapi pantang bagi orang Islam untuk ingkar janji dan mengkhianati amanah!" tambah perwira muda itu lugas.
Akhirnya, Abu Ubaidah r.a mengumpulkan penduduk nonmuslim dan mengumumkan, "Kami menarik pajak perlindungan dari kalian dan karena itu kami akan melindungi kalian. Namun, hari ini kami akan keluar dari kota ini untuk menghadapi tentara Romawi. Oleh karena itu, ambillah pajak yang telah kalian berikan kepada kami!"
Penduduk nonmuslim dibuat kagum dengan kepemimpinan umat muslim yang adil dan bertanggung jawab. Kepercayaan mereka kepada kaum muslimin makin bertambah.
Kemudian para pendeta Kristen dan rabi-rabi Yahudi berkumpul di gereja dan sinagog untuk mendoakan tentara kaum muslimin supaya menang melawan kekaisaran Romawi tersebut. Tampaknya mereka lebih memilih dipimpin oleh seorang pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab daripada berdasarkan kesamaan agama semata.
Suatu ketika Kaisar Byzantium, Romawi, hendak merebut Syria dari tangan kaum muslimin. Tentu saja penduduk nonmuslim, seperti Kristen dan Yahudi menyambut gembira rencana Romawi. Mereka tidak perlu bersusah payah membayar pajak kepada orang Islam jika Romawi berhasil merebut kembali Syria dari tangan kaum muslimin.
Abu Ubaidah r.a khawatir penduduk nonmuslim di Syria akan membelot membela Romawi. Belum lagi jumlah tentara Islam lebih sedikit jika dibandingkan tentara Romawi. Tentu saja hal ini akan menyusahkan pasukan Islam.
Abu Ubaidah r.a mengusulkan kepada para perwira prajurit muslim untuk mengosongkan kota Syria dan mengasingkan penduduknya agar tidak mengganggu peperangan mereka. Namun, seorang perwira menolak usulan tersebut. Ia berkata, "Mengasingkan mereka adalah hal yang tidak mungkin. Kita telah berjanji kepada mereka untuk melindungi harta dan jiwa mereka. Janji itu harus kita tepati!"
"Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya Abu Ubaidah r.a.
"Lebih baik kita yang meninggalkan kota ini daripada harus mengasingkan penduduk aslinya. Selanjutnya, kita harus mengembalikan uang pajak mereka karena mereka tidak dalam perlindungan kita lagi!"
Abu Ubaidah r.a menanggapi usul tersebut, "Jika kita meninggalkan kota yang kuat ini, besar kemungkinan kita akan menderita kekalahan. Kota ini memiliki benteng kuat di sekelilingnya sehingga bisa melindungi kita dari serangan pasukan Romawi."
"Mungkin kita akan kalah, tetapi pantang bagi orang Islam untuk ingkar janji dan mengkhianati amanah!" tambah perwira muda itu lugas.
Akhirnya, Abu Ubaidah r.a mengumpulkan penduduk nonmuslim dan mengumumkan, "Kami menarik pajak perlindungan dari kalian dan karena itu kami akan melindungi kalian. Namun, hari ini kami akan keluar dari kota ini untuk menghadapi tentara Romawi. Oleh karena itu, ambillah pajak yang telah kalian berikan kepada kami!"
Penduduk nonmuslim dibuat kagum dengan kepemimpinan umat muslim yang adil dan bertanggung jawab. Kepercayaan mereka kepada kaum muslimin makin bertambah.
Kemudian para pendeta Kristen dan rabi-rabi Yahudi berkumpul di gereja dan sinagog untuk mendoakan tentara kaum muslimin supaya menang melawan kekaisaran Romawi tersebut. Tampaknya mereka lebih memilih dipimpin oleh seorang pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab daripada berdasarkan kesamaan agama semata.
Melebihkan Pembayaran
Zaid bin San'an r.a mengisahkan bahwa sebelum ia memeluk Islam, Rasulullah pernah meminjam sejumlah uang kepadanya. Kemudian dia menemui Rasulullah untuk menagih utang sebelum jatuh tempo sambil menghina beliau dan berkata, "Hai cucu Abdul Muthalib, kamu enggan membayar utangmu, ya?!"
Umar r.a yang pada saat itu berada di antara mereka marah dan berteriak, "Hai musuh Allah! Kalau saja tidak ada perjanjian antara kami dan umat Yahudi, aku akan memenggal kepalamu! Bicaralah yang sopan kepada Rasulullah!"
Di luar dugaan, ternyata Rasulullah tersenyum kepadanya dan berkata kepada Umar r.a, "Bayarlah dan tambahkan 20 galon karena engkau telah menakutinya."
Kemudian kisah ini dilanjutkan oleh Umar r.a. Setelah itu kami pergi bersama-sama. Di tengah perjalanan, Zaid secara tak terduga berkata, "Umar, kamu marah kepadaku. Namun, aku temukan dalam dirinya semua ciri nabi terakhir yang dicatat dalam Taurat dan Perjanjian Lama. Kitab itu memuat ayat, 'kelembutannya melebihi kemarahannya. Kelancangan yang songat atas dirinya justru menambah kelembutan dan kesabarannya.' Aku sengaja hendak menguji kesabarannya. Sekarang aku yakin bahwa dia adalah nabi yang kedatangannya diramalkan dalam Taurat. Jadi, aku percaya dan bersaksi bahwa dia adalah nabi terakhir."
Umar r.a yang pada saat itu berada di antara mereka marah dan berteriak, "Hai musuh Allah! Kalau saja tidak ada perjanjian antara kami dan umat Yahudi, aku akan memenggal kepalamu! Bicaralah yang sopan kepada Rasulullah!"
Di luar dugaan, ternyata Rasulullah tersenyum kepadanya dan berkata kepada Umar r.a, "Bayarlah dan tambahkan 20 galon karena engkau telah menakutinya."
Kemudian kisah ini dilanjutkan oleh Umar r.a. Setelah itu kami pergi bersama-sama. Di tengah perjalanan, Zaid secara tak terduga berkata, "Umar, kamu marah kepadaku. Namun, aku temukan dalam dirinya semua ciri nabi terakhir yang dicatat dalam Taurat dan Perjanjian Lama. Kitab itu memuat ayat, 'kelembutannya melebihi kemarahannya. Kelancangan yang songat atas dirinya justru menambah kelembutan dan kesabarannya.' Aku sengaja hendak menguji kesabarannya. Sekarang aku yakin bahwa dia adalah nabi yang kedatangannya diramalkan dalam Taurat. Jadi, aku percaya dan bersaksi bahwa dia adalah nabi terakhir."
Kamis, 11 Maret 2010
Pidato Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.
Wafatnya Rasululullah saw meninggalkan duka yang sangat dalam di hati para sahabat. Meskipun demikian, bukan berarti perjuangan berhenti begitu saja. Tampuk kepemimpinan harus terus bergulir untuk menjaga dan mengurus umat, terutama dalam menyiarkan syariat Islam yang telah sempurna.
Masyarakat pun sepakat bahwa tampuk pimpinan diberikan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Namun, baginya, jabatan sebagai khalifah bukanlah pekerjaan yang didamba-dambakan. Terdapat tanggung jawab yang besar kepada Allah SWT dan rakyatnya. Dirinya merasa belum layak menjadi pemimpin. Hal ini tergambar dalam pidatonya ketika menerima jabatan sebagai khalifah pertama.
"Hadirin sekalian, sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pemimpin atas kalian, bukan berarti aku yang terbaik di antara kalian. Oleh karena itu, jika aku berbuat kebaikan, bantulah aku. Dan, jika aku bertindak keliru, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhianatan.
Orang yang lemah di antara kalian sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya, insya Allah. Sebaliknya, siapa yang kuat di antara kalian, dialah yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya.
Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, kecuali Allah akan timpakan kepada mereka suatu kehinaan. Dan, tidaklah suatu kekejian terbesar di tengah suatu kaum, kecuali azab Allah akan ditimpakan kepada seluruh kaum tersebut.
Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika aku tidak mematuhi keduanya, tiada kewajiban atas kalian taat terhadapku. Sekarang berdirilah kalian untuk melaksanakan shalat! Semoga Allah merahmati kalian!"
Masyarakat pun sepakat bahwa tampuk pimpinan diberikan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Namun, baginya, jabatan sebagai khalifah bukanlah pekerjaan yang didamba-dambakan. Terdapat tanggung jawab yang besar kepada Allah SWT dan rakyatnya. Dirinya merasa belum layak menjadi pemimpin. Hal ini tergambar dalam pidatonya ketika menerima jabatan sebagai khalifah pertama.
"Hadirin sekalian, sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pemimpin atas kalian, bukan berarti aku yang terbaik di antara kalian. Oleh karena itu, jika aku berbuat kebaikan, bantulah aku. Dan, jika aku bertindak keliru, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhianatan.
Orang yang lemah di antara kalian sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya, insya Allah. Sebaliknya, siapa yang kuat di antara kalian, dialah yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya.
Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, kecuali Allah akan timpakan kepada mereka suatu kehinaan. Dan, tidaklah suatu kekejian terbesar di tengah suatu kaum, kecuali azab Allah akan ditimpakan kepada seluruh kaum tersebut.
Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika aku tidak mematuhi keduanya, tiada kewajiban atas kalian taat terhadapku. Sekarang berdirilah kalian untuk melaksanakan shalat! Semoga Allah merahmati kalian!"
Rabu, 10 Maret 2010
Khalifah yang Tetap Merakyat
Setelah pembaiatannya menjadi khalifah, Abu Bakar r.a. mendengar seorang wanita berkata, "Sekarang ia (Abu Bakar r.a) tidak akan memerahkan susu kambing kami lagi!"
Sebuah prasangka yang wajar jika wanita itu mengira bahwa Abu Bakar r.a yang kini menduduki jabatan tertinggi di negaranya akan lupa kepadanya, apalagi melakukan pekerjaan rakyat kecil.
Perkataan wanita itu benar-benar mengusik hati sang Khalifah. Abu Bakar r.a sangat mengenali suara itu, suara wanita tua pemilik kambing yang sering ia bantu untuk memerah susu kambingnya. Ia pun mendatangi kediaman wanita tua tersebut.
Sebuah kunjungan yang tak terduga bagi wanita tua tersebut ketika seorang khalifah agung berdiri di depan rumahnya. Dengan bahagia, wanita tua itu berkata, "Aku pikir engkau akan melupakan kami."
Senyum khalifah yang begitu damai seolah menepis pendapat tersebut.
"Tidak demikian, demi Allah. Sesungguhnya aku berharap apa yang aku terima ini tidak mengubah akhlakku yang dulu," jawab Abu Bakar r.a. santun.
Tanpa sungkan, Abu Bakar r.a lantas memerah susu kambing untuk keluarga wanita tua tersebut.
Sebuah prasangka yang wajar jika wanita itu mengira bahwa Abu Bakar r.a yang kini menduduki jabatan tertinggi di negaranya akan lupa kepadanya, apalagi melakukan pekerjaan rakyat kecil.
Perkataan wanita itu benar-benar mengusik hati sang Khalifah. Abu Bakar r.a sangat mengenali suara itu, suara wanita tua pemilik kambing yang sering ia bantu untuk memerah susu kambingnya. Ia pun mendatangi kediaman wanita tua tersebut.
Sebuah kunjungan yang tak terduga bagi wanita tua tersebut ketika seorang khalifah agung berdiri di depan rumahnya. Dengan bahagia, wanita tua itu berkata, "Aku pikir engkau akan melupakan kami."
Senyum khalifah yang begitu damai seolah menepis pendapat tersebut.
"Tidak demikian, demi Allah. Sesungguhnya aku berharap apa yang aku terima ini tidak mengubah akhlakku yang dulu," jawab Abu Bakar r.a. santun.
Tanpa sungkan, Abu Bakar r.a lantas memerah susu kambing untuk keluarga wanita tua tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)