Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Rabu, 10 Maret 2010

Mengambil Uang Baitul Mal Secara Paksa adalah Perampokan

Aqil bin Abi Thalib r.a mendatangi kakaknya, Ali bin Abi Thallib r.a, yang telah menjabat sebagai khalifah. Dengan mengiba, Aqil r.a meminta bantuan kepada kakaknya, "Wahai Ali, kau adalah saudaraku. Saat ini kau memiliki posisi tertinggi sebagai kepala negara. Aku membutuhkan uang dan aku harap kau bisa memberiku pinjaman demi hubungan baik kita sebagai saudara kandung."

Dengan berat hati Ali r.a menjawab, "Maaf, kali ini aku benar-benar tidak mempunyai uang. Memang aku yang memegang kunci Baitul Mal, perbendaharaan negara, tetapi uang itu milik rakyat, bukan milikku pribadi."

"Aku akan segera mengembalikan pinjaman tersebut. Ayolah!" desak Aqil r.a.

Lantaran Ali r.a. terus-menerus ditodong adiknya, akhirnya ia memanggil salah satu pegawainya sambil menitahkan, "Bawalah saudaraku ini ke pasar. Suruh ia mendobrak pintu semua kedai yang terdapat di sana. Biarkanlah ia mengambil harta sesukanya!"

Aqil r.a. terkejut mendengarnya. Mengambil harta sesukanya bukankah berarti merampok? Dengan wajah merah padam, ia berseru kepada Amirul Mukminin, Ali r.a, "Maksudmu kau menyuruh aku jadi perampok?"

Dengan tenang Ali r.a menjawab, "Ya, bukankah kau tadi memaksa aku untuk merampok uang Baitul Mal yang bukan hakmu?"

Emas dan Perak adalah Api Neraka bagi Kami

Qunbur, salah seorang keluarga Ali bin Abi Thalib r.a membawa kabar gembira untuk Ali r.a, "Wahai Amirul Mukminin, engkau tidak menyisakan apa-apa untuk keluargamu, padahal keluargamu memiliki hak atas harta dari Baitul Mal ini. Selama ini aku telah menyimpannya untukmu!"

"Apakah itu?" tanya Ali r.a.

"Ikutilah aku!" ajak Qunbur.

Mereka pun berjalan hingga tiba di sebuah rumah kecil tempat kediaman Ali r.a itu sendiri. Di dalamnya terdapat kantung besar teronggok di tepi tembok. Qunbur mempersilakan Ali r.a. untuk membukanya. Alangkah terkejutnya Ali r.a ketika didapati di dalamnya ada bejana-bejana dari emas dan perak.

Ia memandangi Qunbur dengan marah seraya berkata, "Demi Allah, kau ingin memasukkan api yang besar ke dalam rumahku?!"

Ali r.a segera membawa kantung beserta isinya keluar rumah dan membagi-bagikannya kepada orang-orang sambil berkata, "Hai si warna kuning (emas)! Hai si warna putih (perak)! Perdayailah selain aku! Ini silakan ambil ...! Ini silakan ambil ...!" Ia membagikannya hingga tidak ada yang tersisa.

Memangkas Uang Gaji

Setiap hari istri Umar bin Abdul Aziz menyediakan roti tawar yang keras untuk suaminya. la ingin sekali-kali menyediakan hidangan istimewa untuk menyenangkan hati suami tercintanya. la pun mulai menyisihkan uang sedikit demi sedikit dari uang belanjanya agar cukup dibelikan bahan makanan istimewa tersebut.

Dengan penuh rasa cinta dan membayangkan wajah bahagia suaminya, sang istri menyuguhkan roti gandum isi daging domba masakannya kepada sang suami. Umar terbelalak melihat hidangan lezat di hadapannya dan bertanya kepada sang istri, "Dari mana kau dapatkan makanan mewah ini?"

"Saya membuatnya sendiri, suamiku," jawab sang istri.

"Lantas, dari mana kau peroleh uang untuk membeli bahan-bahan makanan ini?"

"Saya menyisihkan uang belanja kita sedikit demi sedikit selama sebulan," jawab sang istri kembali.

"Berapa yang kau habiskan?" tanya Umar

"Sekitar tiga setengah dirham."

Umar mengangguk-angguk, kemudian berkata, "Tiga setengah dirham cukup untuk memberi makan dua orang selama dua hari."

Lalu, Umar memanggil Muzahim, salah seorang pembantunya seraya bertanya, "Apakah kau di sini bisa makan kenyang?"

Muzahim menjawab, "Kadang-kadang, malah terlalu kenyang, Tuanku."

"Cukup lezatkah makanan yang kau nikmati?"

Muzahim kembali menjawab, "Sangat lezat, Tuanku. Lebih lezat daripada makanan di rumahku."

Umar melanjutkan, "Jika demikian, aku akan mengurangi biaya untuk keluargaku karena dengan biaya sebelumnya bisa dihemat sebesar tiga setengah dirham sebulan."

Ia memotong roti yang dihidangkan istrinya di meja dan memakannya untuk menyenangkan hati sang istri. Sisanya ia bagikan kepada anak-anak yatim.

Segala Puji Hanya untuk Allah SWT

Seorang ibu mendatangi kediaman Umar bin Abdul Aziz r.a dan diterima oleh istri Amirul Mukminin. Tak berapa lama kemudian, Umar r.a keluar dari dalam rumah sambil membawa beberapa buah-buahan yang ranum.

la pun memilih buah-buahan terbaiknya dan diberikan kepada tamunya, sedangkan buah-buahan yang hampir busuk ia sisihkan untuk diri dan keluarganya.

Setiap kali ibu tersebut menerima buah dari Amirul Mukminin, ia berucap, "Alhamdulillah ...."

Tentu saja hal ini menyenangkan hati Amirul Mukminin yang kemudian menanyakan maksud kedatangannya. "Saya memiliki lima orang anak yang belum memiliki pekerjaan, bantulah kami, wahai Amirul Mukminin," pinta ibu tersebut.

Mendengar hal itu, berlinanglah air mata Umar r.a. Ia menyesali dirinya yang lalai terhadap rakyatnya sehingga masih ada yang tidak kebagian pekerjaan, sementara ada pula yang bertumpuk jabatannya.

Umar r.a mengambil kertas hendak mencatat siapa saja putra ibu tersebut yang membutuhkan pekerjaan.

"Sebutkan nama anak Ibu yang pertama," pinta Umar r.a.

Ibu itu menyebut namanya, kemudian dicatat oleh Umar r.a beserta jenis dan jumlah bantuan untuknya. Sang ibu mengucap, "Alhamdulillah."

Begitu pun ketika disebut anak kedua, ketiga, dan keempat, sang ibu selalu menyebut alhamdulillah. Akan tetapi, ketika disebut anak kelima dan sang ibu mengetahui Amirul Mukminin memberikan bantuan dalam jumlah cukup besar, ia pun berdiri dan membungkuk-bungkuk di hadapan Umar r.a seraya berkata, "Puji syukur untuk Tuan, puji syukur!"

Melihat hal itu, Umar r.a menyobek kertas kelima itu. Tentu saja hal itu membuat heran sang ibu. Akan tetapi, Amirul Mukminin lebih heran lagi dengan kelakuan ibu tersebut.

Umar r.a bertanya, "Awal mulanya aku melihatmu selalu mengucap 'alhamdulillah' ketika kau memperoleh nikmat karena memang Allah-lah yang berhak atas puji-pujian tersebut. Dialah yang memberi dan menarik rezeki dari kita. Begitu pula, ketika aku menuliskan bantuan untuk anak-anakmu, kau selalu mengucap hamdalah, tetapi mengapa untuk anak yang kelima kau mengucapkan hal lain kepadaku?"

"Itu karena Tuan sangat dermawan dan berhati mulia," jawab sang ibu.

"Maaf, ucapan itu tak pantas bagiku. Hanya untuk Allah segala puji-pujian. Siapakah diri saya sehingga layak dipuji? Bahkan, dalam pandangan Allah SWT bisa jadi ibu lebih baik daripadaku karena hisabku sangatlah berat. Oleh karena itu, saya hanya bisa memberi bantuan hingga anak keempat sebab hanya untuk mereka Ibu bersyukur kepada Dzat yang memang layak untuk dipuja. Namun, hendaklah bantuan tersebut dibagi rata kepada seluruh keluarga."

Uang Panas Milik Negara

Ketika Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz sedang menikmati kacang adas dan bawang, seorang wanita datang kepadanya. Wanita itu adalah bibinya. Umar yang telah mengetahui tabiat bibinya sudah bisa menebak maksud kedatangannya. Sang bibi akan meminta uang dari Baitul Mal karena kemenakannya adalah Amirul Mukminin.

Umar r.a mengambil sekantung uang perak yang sebelumnya telah dibakar di atas bara api hingga panas. Kemudian ia menyerahkannya kepada bibinya sambil berkata, "Inilah tambahan yang bibi minta!"

Betapa senangnya hati bibi Umar r.a memperoleh uang tambahan dari kemenakannya. Tatkala ia menerima kantung pemberian itu, sontak ia menjerit keras kepanasan.

Melihat hal itu Umar r.a langsung menasihati bibinya, "Kalau api dunia terasa begitu panas, bagaimana dengan api akhirat kelak yang akan membakarmu, begitu juga aku karena menyelewengkan harta kaum muslimin!"