Seorang ibu mendatangi kediaman Umar bin Abdul Aziz r.a dan diterima oleh istri Amirul Mukminin. Tak berapa lama kemudian, Umar r.a keluar dari dalam rumah sambil membawa beberapa buah-buahan yang ranum.
la pun memilih buah-buahan terbaiknya dan diberikan kepada tamunya, sedangkan buah-buahan yang hampir busuk ia sisihkan untuk diri dan keluarganya.
Setiap kali ibu tersebut menerima buah dari Amirul Mukminin, ia berucap, "Alhamdulillah ...."
Tentu saja hal ini menyenangkan hati Amirul Mukminin yang kemudian menanyakan maksud kedatangannya. "Saya memiliki lima orang anak yang belum memiliki pekerjaan, bantulah kami, wahai Amirul Mukminin," pinta ibu tersebut.
Mendengar hal itu, berlinanglah air mata Umar r.a. Ia menyesali dirinya yang lalai terhadap rakyatnya sehingga masih ada yang tidak kebagian pekerjaan, sementara ada pula yang bertumpuk jabatannya.
Umar r.a mengambil kertas hendak mencatat siapa saja putra ibu tersebut yang membutuhkan pekerjaan.
"Sebutkan nama anak Ibu yang pertama," pinta Umar r.a.
Ibu itu menyebut namanya, kemudian dicatat oleh Umar r.a beserta jenis dan jumlah bantuan untuknya. Sang ibu mengucap, "Alhamdulillah."
Begitu pun ketika disebut anak kedua, ketiga, dan keempat, sang ibu selalu menyebut alhamdulillah. Akan tetapi, ketika disebut anak kelima dan sang ibu mengetahui Amirul Mukminin memberikan bantuan dalam jumlah cukup besar, ia pun berdiri dan membungkuk-bungkuk di hadapan Umar r.a seraya berkata, "Puji syukur untuk Tuan, puji syukur!"
Melihat hal itu, Umar r.a menyobek kertas kelima itu. Tentu saja hal itu membuat heran sang ibu. Akan tetapi, Amirul Mukminin lebih heran lagi dengan kelakuan ibu tersebut.
Umar r.a bertanya, "Awal mulanya aku melihatmu selalu mengucap 'alhamdulillah' ketika kau memperoleh nikmat karena memang Allah-lah yang berhak atas puji-pujian tersebut. Dialah yang memberi dan menarik rezeki dari kita. Begitu pula, ketika aku menuliskan bantuan untuk anak-anakmu, kau selalu mengucap hamdalah, tetapi mengapa untuk anak yang kelima kau mengucapkan hal lain kepadaku?"
"Itu karena Tuan sangat dermawan dan berhati mulia," jawab sang ibu.
"Maaf, ucapan itu tak pantas bagiku. Hanya untuk Allah segala puji-pujian. Siapakah diri saya sehingga layak dipuji? Bahkan, dalam pandangan Allah SWT bisa jadi ibu lebih baik daripadaku karena hisabku sangatlah berat. Oleh karena itu, saya hanya bisa memberi bantuan hingga anak keempat sebab hanya untuk mereka Ibu bersyukur kepada Dzat yang memang layak untuk dipuja. Namun, hendaklah bantuan tersebut dibagi rata kepada seluruh keluarga."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar