Bukhari dan Abu Daud menulis kisah Khabbab bin Arat r.a. Dia adalah salah seorang sahabat Nabi saw yang memeluk Islam pada awal penyebarannya. Dia juga seorang hamba sahaya dari seorang perempuan zalim bernama Ummu Anmar Al-Khuza'iyyah.
Khabab sering mengunjungi Rasulullah saw untuk menuntut ilmu agama. Akan tetapi, malang baginya, berbagai macam penderitaan dan siksaan ia terima dari majikannya setelah diketahui sering mengunjungi Rasulullah saw.
Khabab sering dijemur di atas pasir panas di bawah teriknya matahari dengan mengenakan pakaian besi. Bukan hanya itu, ia pernah diletakkan di tempat pemanggangan hingga punggungnya terbakar dan luka itu terus membekas di punggungnya.
Tidak tahan dengan siksaan keji itu, Khabbab r.a mengadu kepada Rasulullah saw dengan harapan beliau mau menolongnya. Khabab berkata kepada Rasulullah saw yang sedang berselimutkan kain beludru di bawah Kakbah, "Tidakkan Anda menolong kami dan berdoa untuk kami?"
Rasulullah saw menatapnya sambil berkata, "Demi Allah, umat-umat sebelum ini menahan siksa yang lebih berat daripada siksaan yang telah kau alami. Mereka pernah dibuatkan lubang, kemudian disekap di dalamnya. Setelah itu, seseorang mendatanginya dengan membawa gergaji, meletakkan di kepalanya, lalu dengan sergaji itu membelah kepalanya menjadi dua.
Namun, semua itu tak pernah membuatnya berniat untuk meningsalkan agamanya. Seorang dari mereka ada yang pernah disisir kulitnya dengan sisir besi hingga dagingnya terkelupas dari tulang dan jaringan sarafnya. Akan tetapi, hal itu tidak membuatnya berpikir untuk meninggalkan agamanya.
Allah akan menyempurnakan agama ini, tetapi engkau tidak bersabar. Suatu hari, kelak akan tiba saatnya perempuan zalim itu (majikan Khabbab) akan berjalan sendiri dari San'a ke Hadramaut tanpa takut apa pun selain binatang buas. Namun, mengapa engkau tidak sabar?"
Ternyata Rasulullah saw telah mengetahui azab yang akan Allah SWT timpakan terhadap majikan zalim tersebut dengan mengabarkan bahwa majikan zalim itu akan mati diterkam binatang buas. Khabab r.a memberikan kesaksiannya, "Demi Allah, apa yang dikabarkan oleh Rasulullah saw benar! Aku melihatnya sendiri!"
Kebenaran pernyataan Rasulullah saw tentang azab yang akan menimpa majikan yang zalim benar adanya. Bukti kebenaran itu disaksikan oleh Khabab, budak milik majikan zalim, secara langsung. Dia melihat majikannya mati diterkam binatang buas sesuai dengan apa yang dikatakan Rasulullah saw.
Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi
Kamis, 08 April 2010
Pengakuan Abu Jahal
Dalam penyebaran risalah Islam, Rasulullah banyak sekali menemui kendala sehingga untuk menghindari sikap orang-orang Quraisy yang menentang risalah Islam, Rasulullah melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Hal itu dilakukan Rasulullah dikarenakan belum ada petunjuk dari Allah untuk melaksanakan dakwah secara terang-terangan.
Akan tetapi, ketika turun perintah untuk dakwah secara terang-terangan, Rasulullah saw langsung keluar dari kediamannya dan mendaki bukit Shafa. Di atas sana, beliau berseru dengan lantang memanggil penduduk Mekah, "Wahai kaum Quraisy!" Seruan itu memancing masyarakat Mekah untuk berduyun-duyun mendekati beliau.
Setelah masyarakat Mekah berkumpul di bukit Shafa, Rasulullah bersabda, "Percayakah kalian jika kukabarkan kepada kalian bahwa seekor unta akan ketuar dari kaki gunung ini?"
Mereka menjawab, "Kami tidak pernah menemukan kebohongan darimu sebelumnya."
Rasulullah melanjutkan, "Ketahuilah, sesungguhnya aku mengingatkan kalian akan adanya siksa yang sangat pedih!"
Mendengar hal itu, pamannya yang bernama Abu Lahab berdiri dan langsung meninggalkan beliau. Ketidakpedulian Abu Lahab terhadap ajakan Rasulullah saw diikuti oleh yang lainnya. Satu per satu dari mereka pergi meninggalkan beliau. Tidak ada yang tertarik dengan ajakannya.
Tradisi jahiliah begitu melekat dalam diri kaum Quraisy Mekah sehingga hampir mustahil untuk meninggalkan kebiasaan yang turun-menurun tersebut.
Meskipun demikian, Rasulullah saw tidak berhenti begitu saja. Pada suatu kesempatan, beliau bertemu dengan pamannya, Abu Jahal, di sebuah lorong kota Mekah. Pertemuan ini tidak disia-siakan oleh Rasulullah saw untuk mengajak pamannya menauhidkan Allah SWT. Beliau bersabda, "Wahai, Abu Hakam, marilah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku mengajakmu kepada Allah!"
Dengan ketus Abu Jahal menjawab, "Hai, Muhammad! Tidakkah kamu berhenti mencela tuhan-tuhan kami? Jika engkau melakukan ini agar kami bersaksi di hadapan Allah bahwa kamu adalah penyampai risalah, akan kami lakukan jika kamu memang benar! Karena itu, biarkanlah kami mengurus diri kami sendiri!"
Mendengar pernyataan Abu Jahal, Rasulullah saw berlalu meninggalkannya. Mughirah bin Shu'bah yang saat itu sedang bersama Abu Jahal bertanya tentang kerasulan Nabi Muhammad.
Abu Jahal menjawab, "Aku tahu bahwa dia adalah seorang nabi dan apa yang dikatakannya adalah kebenaran. Akan tetapi, kami bersaing dengan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah saw) di segala sesuatu. Mereka membanggakan diri karena menyediakan makanan dan minuman bagi para peziarah. Jika di antara mereka ada yang menjadi nabi, mereka pasti akan membangga-banggakannya di hadapan kami. Jika demikian, tentu saja kami tidak mampu menyainginya."
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abu Jahal pernah berkata, "Kami tidak pernah mendustakan engkau dan engkau bukanlah seorang pendusta. Namun, kami mendustakan apa yang engkau bawa."
Pengakuan Abu Jahal terhadap kerasulan Muhammad pun diungkapkan Abu Dzar Al-Ghifari. Saat itu Abu Dzar belum memeluk Islam dan ia pun menjadi sahabat dekat Abu Jahal. Keduanya dipersatukan dalam kerja sama perdagangan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Setiap kali Abu Dzar datang ke kota Mekah, ia selalu membawa barang-barang dagangan yang akan ia jual melalui perantaraan Abu Jahal.
Alkisah diceritakan bahwa terjadi sesuatu di luar kebiasaan. Suatu ketika Abu Dzar datang ke Mekah tanpa membawa barang dagangan satu pun, termasuk uang perniagaan. Hal ini tentu saja membuat Abu Jahal heran. la pun bertanya kepada Abu Dzar, "Apakah kau membawa barang dagangan, hai sahabatku?"
Abu Dzar menjawab, "Seperti yang kaulihat, aku tidak membawa apa pun."
"Apakah engkau membawa uang?" tanya Abu Jahal kembali.
"Tidak juga," jawab Abu Dzar singkat.
Melihat ada sesuatu yang tidak biasa pada sahabatnya, Abu Jahal kembali bertanya, "Ada apa denganmu? Apa yang membuatmu datang jauh-jauh ke Mekah tanpa membawa barang dagangan atau uang? Adakah tujuanmu yang lain?"
Melihat kerisauan sahabatnya, Abu Dzar mencoba menenangkannya dengan menjawab, "Sahabatku Abu Jahal, kali ini kedatanganku bukan untuk mengadu untung dalam perdagangan."
"Lantas untuk apa?" tanya Abu Jahal yang makin penasaran.
"Aku ingin bertemu dengan kemenakanmu."
Jawaban Abu Dzar makin membingungkan Abu Jahal. Abu Jahal pun kembali bertanya, "Kemenakanku? Siapakah yang kaumaksud?"
"Muhammad," jawab Abu Dzar singkat.
"Muhammad?" ulang Abu Jahal untuk meyakinkan apa yang baru saja ia dengar.
"Ya. Kudengar dari beberapa sahabatku bahwa Muhammad, kemenakanmu itu telah diangkat menjadi seorang rasul. Engkau harus bangga mempunyai kemenakan semulia itu, sahabatku!" jelas Abu Dzar panjang lebar. Ia tidak tahu bahwa sang paman tidak menyukai risalah yang dibawa kemenakannya, Muhammad.
Abu Jahal yang tidak ingin Islam memengaruhi sahabatnya segera mencegah Abu Dzar untuk bertemu Rasulullah saw dan berkata, "Sahabatku, dengarkanlah aku jika kau ingin selamat, jangan kautemui dia! Sekali-kali jangan pernah kau menemui kemenakanku itu!"
"Mengapa kau berkata seperti itu?" tanya Abu Dzar Al-Ghifari heran.
Abu Jahal menjelaskan, "Kautahu, Muhammad itu sangat menarik. Ia sangat memesona. Sekali berjumpa dengannya, aku jamin kaupasti akan benar-benar terpikat dengannya. Wajahnya bersih, perkataannya berisi mutiara indah dan selalu benar. Perilakunya sangat lembut dan sopan membacakan wahyu. Semua kalimatnya menyentuh jiwa."
Tentu saja jawaban Abu Jahal sangat berlawanan dengan sarannya untuk tidak menemui Rasulullah saw. Di satu sisi ia melarang Abu Dzar untuk bertemu kemenakannya, tetapi di sisi lain ia memberikan alasan yang baik-baik tentang Rasulullah saw.
Abu Dzar mengungkap keheranannya seraya berkata, "Aku tidak mengerti, tetapi apa itu berarti kau yakin dia seorang rasul?"
Abu Jahal langsung mengiyakan. Katanya, "Jelas. Mustahil rasanya jika ia bukan seorang rasul. Ia baik kepada semua orang tua dan muda, begitu pula budi pekerti dan akhlaknya sangat mulia. Satu hal lagi yang perlu kauketahui, ia sangat tabah menghadapi apa pun yang terjadi padanya. Ia mempunyai daya tarik yang hebat sekali."
"Aku tidak habis mengerti terhadapmu, Abu Jahal sahabatku," tandas Abu Dzar, "kaubilang bahwa kauyakin kemenakanmu itu adalah seorang rasul."
"Yakin betul. Aku tidak pernah meragukannya sedikit pun," tegas Abu Jahal.
"Apakah kaupercaya bahwa ia benar?" tanya Abu Dzar kembali.
"Lebih dari sekadar percaya," Jawab Abu Jahal.
"Tapi engkau melarangku untuk menemuinya ...," tanya Abu Dzar masih dengan keheranan.
Abu Jahal menjawab "Begitulah ...."
"Lalu, apakah engkau mengikuti ajaran agamanya?"
Abu Jahal tersentak dengan pertanyaan sang sahabat. "Ulangi sekali lagi pertanyaanmu ...," pinta Abu Jahal.
"Apakah engkau mengikuti agamanya menjadi pemeluk Islam?" Abu Dzar kembali mengulangi pertanyaannya seperti permintaan Abu Jahal.
Tidak bisa mengelak, Abu Jahal berkilah, "Sahabatku, sampai kapan pun aku tetap Abu Jahal. Aku bukanlah orang gila. Aku masih waras. Berapa pun kaubayar aku, aku tidak akan menjadi pengikut Muhammad!"
Abu Jahal melanjutkan, "Meskipun aku yakin bahwa Muhammad itu benar, aku tetap akan melawan Muhammad sampai kapan pun. Sampai titik darah penghabisanku."
"Apa sebabnya?" tanya Abu Dzar.
"Kautahu sahabatku, jika aku menjadi pengikut kemenakanku sendiri, kedudukan dan wibawaku akan hancur. Akan kuletakan di mana mukaku di hadapan bangsa Quraisy?"
Abu Dzar menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tidak percaya akan pemikiran sahabatnya, " Pendirianmu keliru, sahabatku."
"Aku tahu aku memang keliru," ujar Abu Jahal.
Abu Dzar mengingatkan sahabatnya, "Kelak, engkau akan dikalahkan oleh kekeliruanmu."
"Baik, biar saja aku kalah. Bahkan, aku tahu diakhirat kelak akan dimasukkan ke dalam neraka jahanam. Namun, aku tidak mau dikalahkan Muhammad di dunia walaupun di akhirat sana aku pasti dikalahkan," jawab Abu Jahal sambil berlalu meninggalkan Abu Dzar yang masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Abu Jahal tetap dalam pendiriannya. Ketika Perang Badar berlangsung, ia ditanya oleh Akhnas bin Syariq, "Hai, Abu Jahal! Di sini hanya kita berdua dan tidak ada orang lain, ceritakanlah tentang diri Muhammad, apakah benar dia itu orang yang jujur atau pendusta?"
"Demi Tuhan! Sesungguhnya Muhammad itu adalah orang yang benar dan tidak pernah berdusta!"
Akan tetapi, ketika turun perintah untuk dakwah secara terang-terangan, Rasulullah saw langsung keluar dari kediamannya dan mendaki bukit Shafa. Di atas sana, beliau berseru dengan lantang memanggil penduduk Mekah, "Wahai kaum Quraisy!" Seruan itu memancing masyarakat Mekah untuk berduyun-duyun mendekati beliau.
Setelah masyarakat Mekah berkumpul di bukit Shafa, Rasulullah bersabda, "Percayakah kalian jika kukabarkan kepada kalian bahwa seekor unta akan ketuar dari kaki gunung ini?"
Mereka menjawab, "Kami tidak pernah menemukan kebohongan darimu sebelumnya."
Rasulullah melanjutkan, "Ketahuilah, sesungguhnya aku mengingatkan kalian akan adanya siksa yang sangat pedih!"
Mendengar hal itu, pamannya yang bernama Abu Lahab berdiri dan langsung meninggalkan beliau. Ketidakpedulian Abu Lahab terhadap ajakan Rasulullah saw diikuti oleh yang lainnya. Satu per satu dari mereka pergi meninggalkan beliau. Tidak ada yang tertarik dengan ajakannya.
Tradisi jahiliah begitu melekat dalam diri kaum Quraisy Mekah sehingga hampir mustahil untuk meninggalkan kebiasaan yang turun-menurun tersebut.
Meskipun demikian, Rasulullah saw tidak berhenti begitu saja. Pada suatu kesempatan, beliau bertemu dengan pamannya, Abu Jahal, di sebuah lorong kota Mekah. Pertemuan ini tidak disia-siakan oleh Rasulullah saw untuk mengajak pamannya menauhidkan Allah SWT. Beliau bersabda, "Wahai, Abu Hakam, marilah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku mengajakmu kepada Allah!"
Dengan ketus Abu Jahal menjawab, "Hai, Muhammad! Tidakkah kamu berhenti mencela tuhan-tuhan kami? Jika engkau melakukan ini agar kami bersaksi di hadapan Allah bahwa kamu adalah penyampai risalah, akan kami lakukan jika kamu memang benar! Karena itu, biarkanlah kami mengurus diri kami sendiri!"
Mendengar pernyataan Abu Jahal, Rasulullah saw berlalu meninggalkannya. Mughirah bin Shu'bah yang saat itu sedang bersama Abu Jahal bertanya tentang kerasulan Nabi Muhammad.
Abu Jahal menjawab, "Aku tahu bahwa dia adalah seorang nabi dan apa yang dikatakannya adalah kebenaran. Akan tetapi, kami bersaing dengan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah saw) di segala sesuatu. Mereka membanggakan diri karena menyediakan makanan dan minuman bagi para peziarah. Jika di antara mereka ada yang menjadi nabi, mereka pasti akan membangga-banggakannya di hadapan kami. Jika demikian, tentu saja kami tidak mampu menyainginya."
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abu Jahal pernah berkata, "Kami tidak pernah mendustakan engkau dan engkau bukanlah seorang pendusta. Namun, kami mendustakan apa yang engkau bawa."
Pengakuan Abu Jahal terhadap kerasulan Muhammad pun diungkapkan Abu Dzar Al-Ghifari. Saat itu Abu Dzar belum memeluk Islam dan ia pun menjadi sahabat dekat Abu Jahal. Keduanya dipersatukan dalam kerja sama perdagangan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Setiap kali Abu Dzar datang ke kota Mekah, ia selalu membawa barang-barang dagangan yang akan ia jual melalui perantaraan Abu Jahal.
Alkisah diceritakan bahwa terjadi sesuatu di luar kebiasaan. Suatu ketika Abu Dzar datang ke Mekah tanpa membawa barang dagangan satu pun, termasuk uang perniagaan. Hal ini tentu saja membuat Abu Jahal heran. la pun bertanya kepada Abu Dzar, "Apakah kau membawa barang dagangan, hai sahabatku?"
Abu Dzar menjawab, "Seperti yang kaulihat, aku tidak membawa apa pun."
"Apakah engkau membawa uang?" tanya Abu Jahal kembali.
"Tidak juga," jawab Abu Dzar singkat.
Melihat ada sesuatu yang tidak biasa pada sahabatnya, Abu Jahal kembali bertanya, "Ada apa denganmu? Apa yang membuatmu datang jauh-jauh ke Mekah tanpa membawa barang dagangan atau uang? Adakah tujuanmu yang lain?"
Melihat kerisauan sahabatnya, Abu Dzar mencoba menenangkannya dengan menjawab, "Sahabatku Abu Jahal, kali ini kedatanganku bukan untuk mengadu untung dalam perdagangan."
"Lantas untuk apa?" tanya Abu Jahal yang makin penasaran.
"Aku ingin bertemu dengan kemenakanmu."
Jawaban Abu Dzar makin membingungkan Abu Jahal. Abu Jahal pun kembali bertanya, "Kemenakanku? Siapakah yang kaumaksud?"
"Muhammad," jawab Abu Dzar singkat.
"Muhammad?" ulang Abu Jahal untuk meyakinkan apa yang baru saja ia dengar.
"Ya. Kudengar dari beberapa sahabatku bahwa Muhammad, kemenakanmu itu telah diangkat menjadi seorang rasul. Engkau harus bangga mempunyai kemenakan semulia itu, sahabatku!" jelas Abu Dzar panjang lebar. Ia tidak tahu bahwa sang paman tidak menyukai risalah yang dibawa kemenakannya, Muhammad.
Abu Jahal yang tidak ingin Islam memengaruhi sahabatnya segera mencegah Abu Dzar untuk bertemu Rasulullah saw dan berkata, "Sahabatku, dengarkanlah aku jika kau ingin selamat, jangan kautemui dia! Sekali-kali jangan pernah kau menemui kemenakanku itu!"
"Mengapa kau berkata seperti itu?" tanya Abu Dzar Al-Ghifari heran.
Abu Jahal menjelaskan, "Kautahu, Muhammad itu sangat menarik. Ia sangat memesona. Sekali berjumpa dengannya, aku jamin kaupasti akan benar-benar terpikat dengannya. Wajahnya bersih, perkataannya berisi mutiara indah dan selalu benar. Perilakunya sangat lembut dan sopan membacakan wahyu. Semua kalimatnya menyentuh jiwa."
Tentu saja jawaban Abu Jahal sangat berlawanan dengan sarannya untuk tidak menemui Rasulullah saw. Di satu sisi ia melarang Abu Dzar untuk bertemu kemenakannya, tetapi di sisi lain ia memberikan alasan yang baik-baik tentang Rasulullah saw.
Abu Dzar mengungkap keheranannya seraya berkata, "Aku tidak mengerti, tetapi apa itu berarti kau yakin dia seorang rasul?"
Abu Jahal langsung mengiyakan. Katanya, "Jelas. Mustahil rasanya jika ia bukan seorang rasul. Ia baik kepada semua orang tua dan muda, begitu pula budi pekerti dan akhlaknya sangat mulia. Satu hal lagi yang perlu kauketahui, ia sangat tabah menghadapi apa pun yang terjadi padanya. Ia mempunyai daya tarik yang hebat sekali."
"Aku tidak habis mengerti terhadapmu, Abu Jahal sahabatku," tandas Abu Dzar, "kaubilang bahwa kauyakin kemenakanmu itu adalah seorang rasul."
"Yakin betul. Aku tidak pernah meragukannya sedikit pun," tegas Abu Jahal.
"Apakah kaupercaya bahwa ia benar?" tanya Abu Dzar kembali.
"Lebih dari sekadar percaya," Jawab Abu Jahal.
"Tapi engkau melarangku untuk menemuinya ...," tanya Abu Dzar masih dengan keheranan.
Abu Jahal menjawab "Begitulah ...."
"Lalu, apakah engkau mengikuti ajaran agamanya?"
Abu Jahal tersentak dengan pertanyaan sang sahabat. "Ulangi sekali lagi pertanyaanmu ...," pinta Abu Jahal.
"Apakah engkau mengikuti agamanya menjadi pemeluk Islam?" Abu Dzar kembali mengulangi pertanyaannya seperti permintaan Abu Jahal.
Tidak bisa mengelak, Abu Jahal berkilah, "Sahabatku, sampai kapan pun aku tetap Abu Jahal. Aku bukanlah orang gila. Aku masih waras. Berapa pun kaubayar aku, aku tidak akan menjadi pengikut Muhammad!"
Abu Jahal melanjutkan, "Meskipun aku yakin bahwa Muhammad itu benar, aku tetap akan melawan Muhammad sampai kapan pun. Sampai titik darah penghabisanku."
"Apa sebabnya?" tanya Abu Dzar.
"Kautahu sahabatku, jika aku menjadi pengikut kemenakanku sendiri, kedudukan dan wibawaku akan hancur. Akan kuletakan di mana mukaku di hadapan bangsa Quraisy?"
Abu Dzar menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tidak percaya akan pemikiran sahabatnya, " Pendirianmu keliru, sahabatku."
"Aku tahu aku memang keliru," ujar Abu Jahal.
Abu Dzar mengingatkan sahabatnya, "Kelak, engkau akan dikalahkan oleh kekeliruanmu."
"Baik, biar saja aku kalah. Bahkan, aku tahu diakhirat kelak akan dimasukkan ke dalam neraka jahanam. Namun, aku tidak mau dikalahkan Muhammad di dunia walaupun di akhirat sana aku pasti dikalahkan," jawab Abu Jahal sambil berlalu meninggalkan Abu Dzar yang masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Abu Jahal tetap dalam pendiriannya. Ketika Perang Badar berlangsung, ia ditanya oleh Akhnas bin Syariq, "Hai, Abu Jahal! Di sini hanya kita berdua dan tidak ada orang lain, ceritakanlah tentang diri Muhammad, apakah benar dia itu orang yang jujur atau pendusta?"
"Demi Tuhan! Sesungguhnya Muhammad itu adalah orang yang benar dan tidak pernah berdusta!"
Pengakuan Utbah bin Rabi'ah
Dakwah Rasulullah saw makin gencar sehingga para pemimpin Quraisy berencana mencegah penyebaran Islam lebih luas lagi dengan mengirimkan Utbah bin Rabi'ah kepada Rasulullah saw. Misi Utbah adalah membujuk Rasulullah agar berhenti berdakwah.
Rasulullah saw menyambut kedatangan Utbah dengan sangat baik. Utbah membuka percakapan dengan bertanya kepada Rasulullah saw., "Siapakah yang lebih baik, wahai Muhammad? Kau atau ayahmu?"
Rasulullah diam. Mungkin beliau merasa tidak perlu menjawab pertanyaan seperti itu.
Utbah tidak menyerah dan melanjutkan, "Putra saudaraku, engkau adalah bagian dari diri kami sebab kami tahu persis silsilah keluargamu. Akan tetapi, engkau membawa kepada kaummu sesuatu yang sangat besar dan mencerai-beraikan mereka. Oleh karena itu, aku datang kepadamu untuk menawarkan beberapa hal yang bisa kau pertimbangkan untuk kau terima. Jika kau melakukan semua itu untuk harta, kami bersedia mengumpulkan seluruh harta kami untuk diberikan kepadamu agar kamu menjadi orang terkaya di antara kami. Jika engkau menginginkan kedudukan, kami siap mengangkatmu menjadi penguasa kami, dan kami tidak akan memutuskan perkara sebelum kamu memutuskannya. Seandainya engkau ingin menjadi raja, kami akan menobatkanmu menjadi raja. Jika kamu melakukan hal itu karena keyakinanmu dan tidak mudah kau hilangkan dari dirimu, kami akan memanggil seorang tabib berapa pun biayanya untuk menghilangkan keyakinanmu itu sampai kau terbebas darinya."
Rasulullah tetap diam. Utbah mulai kehabisan kata-kata karena tawarannya tidak ditanggapi Rasulullah. Akhirnya, Utbah pun ikut terdiam. Melihat Utbah yang tampak kebingungan, Rasulullah bertanya kepadanya, "Ada lagi yang hendak kau katakan?"
Utbah menjawab, "Tidak ada."
Kemudian Rasulullah saw membacakan Surat Fushshilat [41]: 13, "Jika mereka berpaling maka katakanlah, "Aku telah memperingatkan kamu akan (bencana) petir seperti petir yang menimpa kaum Ad dan kaum Tsamud."
Ayat tersebut seolah menyambar Utbah bagai petir yang sangat dahsyat. Seluruh tubuh Utbah gemetar karena ketakutan yang luar biasa. Ia tahu Rasulullah tidak pernah berbohong sehingga ia khawatir ayat tersebut akan menjadi kenyataan. Secepat kilat ia berbalik arah meninggalkan Rasulullah saw dan kembali ke rumahnya.
Sementara itu, para pemimpin Quraisy menanti dengan gelisah. Mereka memperoleh laporan bahwa Muhammad menyambut kedatangan Utbah dengan baik. Mereka khawatir Utbah tidak berhasil menghentikan dakwah Rasulullah, tetapi tertarik untuk menerima Islam.
Melihat kedatangan Utbah, Abu Jahal langsung menuduhnya dengan penuh kecurigaan, "Aku dengar Muhammad memperlakukanmu dengan baik dan menjamumu. Sebagai imbalannya kau percaya kepadanya. Orang-orang berkata demikian!"
Tidak suka diperlakukan seperti itu, Utbah menjawab pula dengan emosi, "Kautahu aku tidak butuh apa pun darinya. Aku lebih kaya daripada kalian semua. Namun, apa yang ia katakan mengejutkanku! Kata-kata tersebut bukanlah syair, sihir, atau mantra. Dia orang yang jujur. Saat aku dengar ia membacanya, aku takut apa yang terjadi pada kaum Ad dan Tsamud akan menimpa kita juga!"
Utbah menyadari bahwa peringatan azab dari Rasulullah bukanlah main-main. Tidak pernah sekalipun Rasulullah saw berdusta. Kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirnya adalah kalam Allah SWT yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
Tidak hanya sampai di situ, ketakutan Utbah terbawa hingga menjelang dimulainya Perang Badar. Utbah bin Rabi'ah membujuk kaumnya untuk meninggalkan peperangan dengan mengingatkan mereka akibat dan bahaya yang akan mereka hadapi.
Ia berkata, "Ketahuilah, sesungguhnya kaum muslimin itu akan berjuang mati-matian hingga titik darah penghabisan!" Akan tetapi, Abu Jahal menanggapinya dengan sinis.
Utbah melanjutkan alasannya, "Sesama saudara akan membunuh satu sama lain. Sungguh hal itu akan meninggalkan kepahitan yang tak pernah hilang selamanya!"
Abu Jahal langsung menuduhnya sebagai penakut. Tidak terima dengan tuduhan tersebut, ia langsung menantang saudara laki-laki dan putranya untuk bermain anggar melawan dirinya, satu lawan dua.
Ketika Utbah mengendarai unta merah, Rasulullah saw bersabda, "Jika ingin selamat, seharusnya mereka mengikuti perkataan si penunggang unta merah itu. Jika mereka mendengar perkataannya, niscaya mereka akan selamat."
Ahmad dalam Al-Fath Ar-Rabani menuturkan bahwa Allah SWT menciptakan perselisihan di antara pasukan musuh untuk melemahkan semangat mereka. Allah SWT juga menghendaki mereka tidak terpengaruh oleh bujukan Utbah. Mereka lebih mendukung Abu Jahal yang memiliki dendam kesumat kepada Rasulullah saw dan kaum muslimin.
Akhirnya, Utbah tewas di peperangan Badar. Mayatnya dilempar ke dalam sumur tua bersama mayat-mayat orang musyrik lainnya. Putra Utbah, Abu Hudzaifah, yang telah menjadi seorang muslim terlihat sedih ketika melihat ayahnya tewas dalam peperangan melawan kebenaran. Menyadari hal itu, Rasulullah saw yang sejak awal memerhatikan Abu Hudzaifah berkata, "Sepertinya, keadaan ayahmu telah mengusik hatimu."
Abu Hudzaifah mengelak, "Demi Allah, tidak, wahai Rasulullah! Aku tidak ragu dengan keadaan ayahku dan kematiannya. Akan tetapi, aku tahu betul bahwa ayahku sebenarnya mempunyai pandangan, cita-cita, dan keutamaan yang sangat kuharapkan dapat ia persembahkan kepada Islam. Melihat apa yang menimpa ayahku, mati dalam keadaan kafir, sementara harapanku padanya masih menggebu, tentu saja aku bersedih karenanya," tutur Abu Hudzaifah.
Kemudian Rasulullah saw mendoakan yang baik-baik untuk Utbah dan menasihatkan kebaikan kepada putra Utbah tersebut.
Rasulullah saw menyambut kedatangan Utbah dengan sangat baik. Utbah membuka percakapan dengan bertanya kepada Rasulullah saw., "Siapakah yang lebih baik, wahai Muhammad? Kau atau ayahmu?"
Rasulullah diam. Mungkin beliau merasa tidak perlu menjawab pertanyaan seperti itu.
Utbah tidak menyerah dan melanjutkan, "Putra saudaraku, engkau adalah bagian dari diri kami sebab kami tahu persis silsilah keluargamu. Akan tetapi, engkau membawa kepada kaummu sesuatu yang sangat besar dan mencerai-beraikan mereka. Oleh karena itu, aku datang kepadamu untuk menawarkan beberapa hal yang bisa kau pertimbangkan untuk kau terima. Jika kau melakukan semua itu untuk harta, kami bersedia mengumpulkan seluruh harta kami untuk diberikan kepadamu agar kamu menjadi orang terkaya di antara kami. Jika engkau menginginkan kedudukan, kami siap mengangkatmu menjadi penguasa kami, dan kami tidak akan memutuskan perkara sebelum kamu memutuskannya. Seandainya engkau ingin menjadi raja, kami akan menobatkanmu menjadi raja. Jika kamu melakukan hal itu karena keyakinanmu dan tidak mudah kau hilangkan dari dirimu, kami akan memanggil seorang tabib berapa pun biayanya untuk menghilangkan keyakinanmu itu sampai kau terbebas darinya."
Rasulullah tetap diam. Utbah mulai kehabisan kata-kata karena tawarannya tidak ditanggapi Rasulullah. Akhirnya, Utbah pun ikut terdiam. Melihat Utbah yang tampak kebingungan, Rasulullah bertanya kepadanya, "Ada lagi yang hendak kau katakan?"
Utbah menjawab, "Tidak ada."
Kemudian Rasulullah saw membacakan Surat Fushshilat [41]: 13, "Jika mereka berpaling maka katakanlah, "Aku telah memperingatkan kamu akan (bencana) petir seperti petir yang menimpa kaum Ad dan kaum Tsamud."
Ayat tersebut seolah menyambar Utbah bagai petir yang sangat dahsyat. Seluruh tubuh Utbah gemetar karena ketakutan yang luar biasa. Ia tahu Rasulullah tidak pernah berbohong sehingga ia khawatir ayat tersebut akan menjadi kenyataan. Secepat kilat ia berbalik arah meninggalkan Rasulullah saw dan kembali ke rumahnya.
Sementara itu, para pemimpin Quraisy menanti dengan gelisah. Mereka memperoleh laporan bahwa Muhammad menyambut kedatangan Utbah dengan baik. Mereka khawatir Utbah tidak berhasil menghentikan dakwah Rasulullah, tetapi tertarik untuk menerima Islam.
Melihat kedatangan Utbah, Abu Jahal langsung menuduhnya dengan penuh kecurigaan, "Aku dengar Muhammad memperlakukanmu dengan baik dan menjamumu. Sebagai imbalannya kau percaya kepadanya. Orang-orang berkata demikian!"
Tidak suka diperlakukan seperti itu, Utbah menjawab pula dengan emosi, "Kautahu aku tidak butuh apa pun darinya. Aku lebih kaya daripada kalian semua. Namun, apa yang ia katakan mengejutkanku! Kata-kata tersebut bukanlah syair, sihir, atau mantra. Dia orang yang jujur. Saat aku dengar ia membacanya, aku takut apa yang terjadi pada kaum Ad dan Tsamud akan menimpa kita juga!"
Utbah menyadari bahwa peringatan azab dari Rasulullah bukanlah main-main. Tidak pernah sekalipun Rasulullah saw berdusta. Kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirnya adalah kalam Allah SWT yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
Tidak hanya sampai di situ, ketakutan Utbah terbawa hingga menjelang dimulainya Perang Badar. Utbah bin Rabi'ah membujuk kaumnya untuk meninggalkan peperangan dengan mengingatkan mereka akibat dan bahaya yang akan mereka hadapi.
Ia berkata, "Ketahuilah, sesungguhnya kaum muslimin itu akan berjuang mati-matian hingga titik darah penghabisan!" Akan tetapi, Abu Jahal menanggapinya dengan sinis.
Utbah melanjutkan alasannya, "Sesama saudara akan membunuh satu sama lain. Sungguh hal itu akan meninggalkan kepahitan yang tak pernah hilang selamanya!"
Abu Jahal langsung menuduhnya sebagai penakut. Tidak terima dengan tuduhan tersebut, ia langsung menantang saudara laki-laki dan putranya untuk bermain anggar melawan dirinya, satu lawan dua.
Ketika Utbah mengendarai unta merah, Rasulullah saw bersabda, "Jika ingin selamat, seharusnya mereka mengikuti perkataan si penunggang unta merah itu. Jika mereka mendengar perkataannya, niscaya mereka akan selamat."
Ahmad dalam Al-Fath Ar-Rabani menuturkan bahwa Allah SWT menciptakan perselisihan di antara pasukan musuh untuk melemahkan semangat mereka. Allah SWT juga menghendaki mereka tidak terpengaruh oleh bujukan Utbah. Mereka lebih mendukung Abu Jahal yang memiliki dendam kesumat kepada Rasulullah saw dan kaum muslimin.
Akhirnya, Utbah tewas di peperangan Badar. Mayatnya dilempar ke dalam sumur tua bersama mayat-mayat orang musyrik lainnya. Putra Utbah, Abu Hudzaifah, yang telah menjadi seorang muslim terlihat sedih ketika melihat ayahnya tewas dalam peperangan melawan kebenaran. Menyadari hal itu, Rasulullah saw yang sejak awal memerhatikan Abu Hudzaifah berkata, "Sepertinya, keadaan ayahmu telah mengusik hatimu."
Abu Hudzaifah mengelak, "Demi Allah, tidak, wahai Rasulullah! Aku tidak ragu dengan keadaan ayahku dan kematiannya. Akan tetapi, aku tahu betul bahwa ayahku sebenarnya mempunyai pandangan, cita-cita, dan keutamaan yang sangat kuharapkan dapat ia persembahkan kepada Islam. Melihat apa yang menimpa ayahku, mati dalam keadaan kafir, sementara harapanku padanya masih menggebu, tentu saja aku bersedih karenanya," tutur Abu Hudzaifah.
Kemudian Rasulullah saw mendoakan yang baik-baik untuk Utbah dan menasihatkan kebaikan kepada putra Utbah tersebut.
Pengakuan Raja Heraclius
Pada masa Perjanjian Hudaibiyah atau gencatan senjata antara kaum muslimin dan musyrikin Quraisy, Rasulullah saw mengutus beberapa sahabat. Mereka dikirim kepada raja-raja bangsa Arab dan non-Arab untuk menyeru Al-Islam. Salah satu sahabat yang diutus adalah Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi. Ia ditugaskan untuk menyampaikan surat dakwah kepada Heraclius, Kaisar Romawi.
Dihyah pun diterima oleh Heraclius dengan sangat baik. Kemudian ia menyampaikan surat dakwah dari Rasulullah saw kepada sang Kaisar Romawi.
Setelah Heraclius membaca pesan Rasulullah saw, ia segera menyuruh pengawalnya untuk mencari orang-orang yang mengenal Muhammad. Saat itu Abu Sufyan berada di sana bersama serombongan kafilah dagang Quraisy.
Para pengawal kerajaan pun melaporkan keberadaan Abu Sufyan dan teman-temannya kepada sang kaisar. Kemudian dipanggillah Abu Sufyan yang masih membenci Islam bersama teman-temannya ke hadapan Kaisar Romawi tersebut.
Abu Sufyan dan teman-temannya datang menghadap Heraclius. Dengan didampingi seorang penerjemah, sang Kaisar mengawali pembicaraan dengan pertanyaan, "Siapa di antara kalian yang paling dekat garis keturunannya dengan orang yang mengaku sebagai nabi ini?"
Abu Sufyan menjawab, "Saya, Tuan!"
Kemudian terjadilah dialog di antara keduanya di hadapan para petinggi istana kekaisaran Romawi. Berikut ini dialog yang diceritakan langsung oleh Abu Sufyan dan diriwayatkan kembali oleh Bukhari.
Heraclius : "Bagaimana kedudukan keluarganya di antara kalian?"
Abu Sufyan : "Ia berasal dari keturunan bangsawan."
Heraclius : "Adakah di antara keluarganya mengaku Nabi?"
Abu Sufyan : "Tidak."
Heraclius : "Adakah di antara nenek moyangnya yang menjadi raja atau kaisar?"
Abu Sufyan : "Tidak ada."
Heraclius : "Apakah pengikut agamanya itu orang kaya ataukah orang kebanyakan?"
Abu Sufyan : "Pengikutnya adatah orang lemah, miskin, budak, dan wanita muda."
Heraclius : "Jumlah pengikutnya bertambah atau berkurang?"
Abu Sufyan : "Terus bertambah dari waktu ke waktu."
Heraclius : "Setelah menerima agamanya, apakah pengikutnya itu tetap setia kepadanya ataukah merasa kecewa, lalu meninggalkannya?"
Abu Sufyan : "Tidak ada yang meninggalkannya."
Heraclius : "Sebelum dia menjadi nabi, apakah dia suka berdusta?"
Abu Sufyan : "Tidak pernah."
Heraclius : "Pernahkah orang itu ingkar janji atau mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya?"
Abu Sufyan : "Tidak pernah. Kami baru saja melakukan perjanjian gencatan senjata dengannya dan menunggu apa yang akan diperbuatnya."
Heraclius : "Pernahkah engkau berperang dengannya?"
Abu Sufyan : "Pernah."
Heraclius : "Basaimana hasilnya?"
Abu Sufyan : "Kadang-kadang kami yang menang, kadang-kadang dia yang lebih baik daripada kami."
Heraclius : "Apa yang dia perintahkan kepadamu?"
Abu Sufyan : "Dia memerintahkan kami untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun, meninggalkan takhayul dan kepercayaan leluhur kami, mengerjakan shalat, membayar zakat dan berbuat baik kepada fakir miskin, bersikap jujur dan dapat dipercaya, memelihara apa yang dititipkan kepada kita dan mengembalikan dengan utuh, memelihara silaturrahim dengan semua orang, dan yang paling penting dengan keluarga sendiri."
Lalu, seperti dikisahkan oleh Abu Sufyan r.a, Heraclius memberikan tanggapan sebagai berikut melalui penerjemahnya.
Heraclius : "Aku bertanya kepadamu tentang silsilah keluarganya dan kau menjawab dia adalah keturunan bangsawan terhormat. Nabi-nabi terdahulu pun berasai dari keluarga terhormat di antara kaumnya.
Aku bertanya kepadamu apakah ada di antara keluarganya yang menjadi nabi, jawabannya tidak ada. Dari sini aku menyimpulkan bahwa orang ini memong tidak dipengaruhi oleh siapa pun dalam hal kenabian yang diikrarkannya, dan tidak meniru siapa pun dalam keluarganya.
Aku bertanya kepadamu apakah ada keluarganya yang menjadi raja atau kaisar. Jawabannya tidak ada. Jika ada leluhurnya yang menjadi penguasa, aku beranggapan dia sedang berusaha mendapatkan kembali kekuasaan leluhurnya.
Aku bertanya kepadamu apakah dia pernah berdusta dan ternyata menurutmu tidak pernah. Orang yang tidak pernah berdusta kepada sesamanya tentu tidak akan berdusta kepada Allah.
Aku bertanya kepadamu mengenai golongan orang-orang yang menjadi pengikutnya dan menurutmu pengikutnya adalah orang miskin dan hina. Demikian pula halnya dengan orang-orang terdahulu yang mendapat panggitan kenabian.
Aku bertanya kepadamu apakah jumlah pengikutnya bertambah atau berkurang. Jawabanmu, terus bertambah. Hal ini juga terjadi pada iman sampai keimanan itu lengkap.
Aku bertanya kepadamu apakah ada pengikutnya yang meninggalkannya setelah menerima agamanya dan menurutmu tidak ada. Itulah yang terjadi jika keimanan sejati telah mengisi hati seseorang.
Aku bertanya kepadamu apakah dia pernah ingkar janji dan menurutmu tidak pernah. Sifat dapat dipercaya adalah ciri kerasulan sejati.
Aku bertanya kepadamu apakah engkau pernah berperang dengannya dan bagaimana hasilnya. Menurutmu engkau berperang dengannya, kadang engkau yang menang dan kadang dia yang menang dalam urusan duniawi.
Para nabi tidak pernah selalu menang, tetapi mereka mampu mengatasi masa-masa sulit perjuangan, pengorbanan, dan kerugiannya sampai akhirnya mereka memperoleh kemenangan.
Aku bertanya kepadamu apa yang diperintahkannya, engkau menjawab dia memerintahkanmu untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya, serta melarangmu untuk menyembah berhala, dan dia menyuruhmu shalat, bicara jujur, serta penuh perhatian. Jika apa yang kaukatakan itu benar, dia akan segera berkuasa di tempat aku memijakkan kakiku saat ini.
Aku tahu bahwa orang ini akan lahir, tetapi aku tidak tahu bahwa dia akan lahir dari kaummu (orang Arab). Jika aku tahu aku bisa mendekatinya, aku akan pergi menemuinya. Jika dia ada di sini, aku akan membasuh kedua kakinya dan agamanya akan menguasa tempat dua telapak kakiku!"
Selanjutnya, Heraclius berkata kepada Dihyah Al-Kalbi, "Sungguh, aku tahu bahwa sahabatmu itu seorang nabi yang akan diutus, yang kami tunggu-tunggu dan kami ketahui berita kedatangannya dalam kitab kami. Namun, aku takut orang-orang Romawi akan melakukan sesuatu kepadaku. Kalau bukan karena itu, aku akan mengikutinya!"
Untuk membuktikan perkataannya tersebut, Heraclius memerintahkan orang-orangnya untuk mengumumkan, "Sesungguhnya kaisar telah mengikuti Muhammad dan meninggalkan agama Nasrani!" Seluruh pasukannya dengan persenjataan lengkap serentak menyerbu ke dalam ruangan tempat Kaisar berada, lalu mengepungnya.
Kemudian Kaisar Romawi itu berkata, "Engkau telah melihat sendiri bagaimana bangsaku. Sungguh, aku takut kepada rakyatku!"
Heraclius membubarkan pasukannyadengan menyuruh pengawalnya mengumumkan berita, "Sesungguhnya kaisar lebih senang bersama kalian. Tadi ia sedang menguji kalian untuk mengetahui kesabaran kalian dalam agama kalian. Sekarang pergilah!"
Mendengar pengumuman tersebut, bubarlah pasukan yang hendak menyerang Kaisar tadi. Sang Kaisar pun menulis surat untuk Rasulullah saw yang berisi, "Sesungguhnya aku telah masuk Islam." Kaisar juga menitipkan hadiah beberapa dinar kepada Rasulullah saw.
Ketika Dihyah menyampaikan pesan Raja Heraclius kepada Rasulullah saw, beliau berkata, "Musuh Allah itu dusta! Dia masih beragama Nasrani."
Rasulullah saw pun membagi-bagikan hadiah berupa uang dinar itu kepada kaum muslimin.
Dihyah pun diterima oleh Heraclius dengan sangat baik. Kemudian ia menyampaikan surat dakwah dari Rasulullah saw kepada sang Kaisar Romawi.
Setelah Heraclius membaca pesan Rasulullah saw, ia segera menyuruh pengawalnya untuk mencari orang-orang yang mengenal Muhammad. Saat itu Abu Sufyan berada di sana bersama serombongan kafilah dagang Quraisy.
Para pengawal kerajaan pun melaporkan keberadaan Abu Sufyan dan teman-temannya kepada sang kaisar. Kemudian dipanggillah Abu Sufyan yang masih membenci Islam bersama teman-temannya ke hadapan Kaisar Romawi tersebut.
Abu Sufyan dan teman-temannya datang menghadap Heraclius. Dengan didampingi seorang penerjemah, sang Kaisar mengawali pembicaraan dengan pertanyaan, "Siapa di antara kalian yang paling dekat garis keturunannya dengan orang yang mengaku sebagai nabi ini?"
Abu Sufyan menjawab, "Saya, Tuan!"
Kemudian terjadilah dialog di antara keduanya di hadapan para petinggi istana kekaisaran Romawi. Berikut ini dialog yang diceritakan langsung oleh Abu Sufyan dan diriwayatkan kembali oleh Bukhari.
Heraclius : "Bagaimana kedudukan keluarganya di antara kalian?"
Abu Sufyan : "Ia berasal dari keturunan bangsawan."
Heraclius : "Adakah di antara keluarganya mengaku Nabi?"
Abu Sufyan : "Tidak."
Heraclius : "Adakah di antara nenek moyangnya yang menjadi raja atau kaisar?"
Abu Sufyan : "Tidak ada."
Heraclius : "Apakah pengikut agamanya itu orang kaya ataukah orang kebanyakan?"
Abu Sufyan : "Pengikutnya adatah orang lemah, miskin, budak, dan wanita muda."
Heraclius : "Jumlah pengikutnya bertambah atau berkurang?"
Abu Sufyan : "Terus bertambah dari waktu ke waktu."
Heraclius : "Setelah menerima agamanya, apakah pengikutnya itu tetap setia kepadanya ataukah merasa kecewa, lalu meninggalkannya?"
Abu Sufyan : "Tidak ada yang meninggalkannya."
Heraclius : "Sebelum dia menjadi nabi, apakah dia suka berdusta?"
Abu Sufyan : "Tidak pernah."
Heraclius : "Pernahkah orang itu ingkar janji atau mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya?"
Abu Sufyan : "Tidak pernah. Kami baru saja melakukan perjanjian gencatan senjata dengannya dan menunggu apa yang akan diperbuatnya."
Heraclius : "Pernahkah engkau berperang dengannya?"
Abu Sufyan : "Pernah."
Heraclius : "Basaimana hasilnya?"
Abu Sufyan : "Kadang-kadang kami yang menang, kadang-kadang dia yang lebih baik daripada kami."
Heraclius : "Apa yang dia perintahkan kepadamu?"
Abu Sufyan : "Dia memerintahkan kami untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun, meninggalkan takhayul dan kepercayaan leluhur kami, mengerjakan shalat, membayar zakat dan berbuat baik kepada fakir miskin, bersikap jujur dan dapat dipercaya, memelihara apa yang dititipkan kepada kita dan mengembalikan dengan utuh, memelihara silaturrahim dengan semua orang, dan yang paling penting dengan keluarga sendiri."
Lalu, seperti dikisahkan oleh Abu Sufyan r.a, Heraclius memberikan tanggapan sebagai berikut melalui penerjemahnya.
Heraclius : "Aku bertanya kepadamu tentang silsilah keluarganya dan kau menjawab dia adalah keturunan bangsawan terhormat. Nabi-nabi terdahulu pun berasai dari keluarga terhormat di antara kaumnya.
Aku bertanya kepadamu apakah ada di antara keluarganya yang menjadi nabi, jawabannya tidak ada. Dari sini aku menyimpulkan bahwa orang ini memong tidak dipengaruhi oleh siapa pun dalam hal kenabian yang diikrarkannya, dan tidak meniru siapa pun dalam keluarganya.
Aku bertanya kepadamu apakah ada keluarganya yang menjadi raja atau kaisar. Jawabannya tidak ada. Jika ada leluhurnya yang menjadi penguasa, aku beranggapan dia sedang berusaha mendapatkan kembali kekuasaan leluhurnya.
Aku bertanya kepadamu apakah dia pernah berdusta dan ternyata menurutmu tidak pernah. Orang yang tidak pernah berdusta kepada sesamanya tentu tidak akan berdusta kepada Allah.
Aku bertanya kepadamu mengenai golongan orang-orang yang menjadi pengikutnya dan menurutmu pengikutnya adalah orang miskin dan hina. Demikian pula halnya dengan orang-orang terdahulu yang mendapat panggitan kenabian.
Aku bertanya kepadamu apakah jumlah pengikutnya bertambah atau berkurang. Jawabanmu, terus bertambah. Hal ini juga terjadi pada iman sampai keimanan itu lengkap.
Aku bertanya kepadamu apakah ada pengikutnya yang meninggalkannya setelah menerima agamanya dan menurutmu tidak ada. Itulah yang terjadi jika keimanan sejati telah mengisi hati seseorang.
Aku bertanya kepadamu apakah dia pernah ingkar janji dan menurutmu tidak pernah. Sifat dapat dipercaya adalah ciri kerasulan sejati.
Aku bertanya kepadamu apakah engkau pernah berperang dengannya dan bagaimana hasilnya. Menurutmu engkau berperang dengannya, kadang engkau yang menang dan kadang dia yang menang dalam urusan duniawi.
Para nabi tidak pernah selalu menang, tetapi mereka mampu mengatasi masa-masa sulit perjuangan, pengorbanan, dan kerugiannya sampai akhirnya mereka memperoleh kemenangan.
Aku bertanya kepadamu apa yang diperintahkannya, engkau menjawab dia memerintahkanmu untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya, serta melarangmu untuk menyembah berhala, dan dia menyuruhmu shalat, bicara jujur, serta penuh perhatian. Jika apa yang kaukatakan itu benar, dia akan segera berkuasa di tempat aku memijakkan kakiku saat ini.
Aku tahu bahwa orang ini akan lahir, tetapi aku tidak tahu bahwa dia akan lahir dari kaummu (orang Arab). Jika aku tahu aku bisa mendekatinya, aku akan pergi menemuinya. Jika dia ada di sini, aku akan membasuh kedua kakinya dan agamanya akan menguasa tempat dua telapak kakiku!"
Selanjutnya, Heraclius berkata kepada Dihyah Al-Kalbi, "Sungguh, aku tahu bahwa sahabatmu itu seorang nabi yang akan diutus, yang kami tunggu-tunggu dan kami ketahui berita kedatangannya dalam kitab kami. Namun, aku takut orang-orang Romawi akan melakukan sesuatu kepadaku. Kalau bukan karena itu, aku akan mengikutinya!"
Untuk membuktikan perkataannya tersebut, Heraclius memerintahkan orang-orangnya untuk mengumumkan, "Sesungguhnya kaisar telah mengikuti Muhammad dan meninggalkan agama Nasrani!" Seluruh pasukannya dengan persenjataan lengkap serentak menyerbu ke dalam ruangan tempat Kaisar berada, lalu mengepungnya.
Kemudian Kaisar Romawi itu berkata, "Engkau telah melihat sendiri bagaimana bangsaku. Sungguh, aku takut kepada rakyatku!"
Heraclius membubarkan pasukannyadengan menyuruh pengawalnya mengumumkan berita, "Sesungguhnya kaisar lebih senang bersama kalian. Tadi ia sedang menguji kalian untuk mengetahui kesabaran kalian dalam agama kalian. Sekarang pergilah!"
Mendengar pengumuman tersebut, bubarlah pasukan yang hendak menyerang Kaisar tadi. Sang Kaisar pun menulis surat untuk Rasulullah saw yang berisi, "Sesungguhnya aku telah masuk Islam." Kaisar juga menitipkan hadiah beberapa dinar kepada Rasulullah saw.
Ketika Dihyah menyampaikan pesan Raja Heraclius kepada Rasulullah saw, beliau berkata, "Musuh Allah itu dusta! Dia masih beragama Nasrani."
Rasulullah saw pun membagi-bagikan hadiah berupa uang dinar itu kepada kaum muslimin.
Pengakuan Abu Sufyan bin Harb kepada Sang Istri
Suatu hari Abu Sufyan bin Harb dan Hindun binti Utbah, istrinya, berjalan menuju tanah lapang. Anak Abu Sufyan yang masih bocah bernama Muawiyah berjalan di depan mereka sambil menunggang keledainya.
Tiba-tiba mereka mendengar kedatangan Rasulullah saw, kemudian Abu Sufyan segera menyuruh anaknya untuk turun dari keledai tunggangannya sambil berkata, "Turunlah, hai Muawiyah, supaya Muhammad bisa menaiki kendaraanmu!"
Kemudian Rasulullah saw menaiki keledai yang ditawarkan Abu Sufyan. Beliau pun berjalan di depan mereka.
Hanya selang beberapa waktu, Rasulullah saw menoleh ke belakang dan berkata kepada keluarga Abu Sufyan, "Wahai Abu Sufyan bin Harab dan Hindun binti 'Utbah! Demi Allah, kalian pasti akan mati dan akan dibangkitkan. Yang berbuat kebajikan pasti akan masuk surga dan yang berbuat keburukan pasti masuk neraka. Aku berkata kepada kalian dengan benar dan kalian adalah orang pertama yang aku beri peringatan!" Dibacakanlah Surat Fushshilat [41]: 1-11 kepada keduanya.
Selesai mendengarkan perkataan Rasulullah, Abu Sufyan berkata, "Apakah engkau sudah selesai, wahai Muhammad?"
Rasulullah menjawab, "Ya!"
Kemudian beliau turun dari keledai tunggangannya. Muawiyah pun naik kembali ke keledainya dan dibantu ibunya, Hindun. Sambil menaikkan Muawiyah ke atas keledainya, Hindun bertanya kepada Abu Sufyan, "Apakah karena tukang sihir ini kau turunkan anakku dari atas keledainya?"
Abu Sufyan menukasnya, "Tidak! Demi Allah, dia bukan tukang sihir dan bukan pembohong!"
Tiba-tiba mereka mendengar kedatangan Rasulullah saw, kemudian Abu Sufyan segera menyuruh anaknya untuk turun dari keledai tunggangannya sambil berkata, "Turunlah, hai Muawiyah, supaya Muhammad bisa menaiki kendaraanmu!"
Kemudian Rasulullah saw menaiki keledai yang ditawarkan Abu Sufyan. Beliau pun berjalan di depan mereka.
Hanya selang beberapa waktu, Rasulullah saw menoleh ke belakang dan berkata kepada keluarga Abu Sufyan, "Wahai Abu Sufyan bin Harab dan Hindun binti 'Utbah! Demi Allah, kalian pasti akan mati dan akan dibangkitkan. Yang berbuat kebajikan pasti akan masuk surga dan yang berbuat keburukan pasti masuk neraka. Aku berkata kepada kalian dengan benar dan kalian adalah orang pertama yang aku beri peringatan!" Dibacakanlah Surat Fushshilat [41]: 1-11 kepada keduanya.
Selesai mendengarkan perkataan Rasulullah, Abu Sufyan berkata, "Apakah engkau sudah selesai, wahai Muhammad?"
Rasulullah menjawab, "Ya!"
Kemudian beliau turun dari keledai tunggangannya. Muawiyah pun naik kembali ke keledainya dan dibantu ibunya, Hindun. Sambil menaikkan Muawiyah ke atas keledainya, Hindun bertanya kepada Abu Sufyan, "Apakah karena tukang sihir ini kau turunkan anakku dari atas keledainya?"
Abu Sufyan menukasnya, "Tidak! Demi Allah, dia bukan tukang sihir dan bukan pembohong!"
Kesaksian Nadhr bin Harits
Para petinggi Quraisy makin geram melihat segala upaya yang mereka lancarkan untuk membuat Muhammad bungkam dari dakwahnya tidak pernah berhasil. Hal inilah yang menimbulkan Abu Jahal mengusulkan untuk membunuh Muhammad agar mereka terbebas dari gangguannya. Menurutnya tanpa kehadiran Muhammad, Islam sangat mudah dibasmi hingga ke akar-akarnya.
Di luar dugaan, ternyata sebagian yang lain menentang pendapat ini. Hal ini disebabkan Muhammad masih mendapat dukungan dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Mereka adalah kabilah yang sangat berpengaruh di kota Mekah.
Membunuh Muhammad berarti menyulut api peperangan antara kabilah-kabilah Quraisy. Yang mereka takutkan lagi bahwa mereka tidak akan sanggup menghadapinya. Akhirnya, simpulan terakhir adalah lebih baik bersabar sambil terus membujuk Muhammad daripada terjadi pertumpahan darah.
Nadhr bin Harits adalah pendukung kelompok ini. Ia mengingatkan kaumnya bahwa Muhammad pernah menjadi orang yang paling mereka puji. Ia berkata, "Wahai kaum Quraisy, kalian berhadapan dengan masalah yang sulit untuk dicarikan jalan keluarnya. Muhammad pernah menjadi pemuda yang paling kalian sukai karena kejujuran dan integritasnya.
Kemudian ia datang membawa agamanya dan kalian katakan ia tukang sihir. Tidak! Demi Allah, ia bukan tukang sihir. Kita tahu bagaimana tingkah laku tukang sihir. Lalu, kalian katakan ia peramal. Tidak! Demi Allah, ia bukan peramal. Kita tahu bagaimana para peramal mengalami kerasukan dan membaca mantra.
Kalian juga katakan ia penyair. Tidak! Demi Allah, ia bukan penyair. Kita tahu semua jenis syair. Apa yang dikatakannya bukanlah syair indah, tetapi lebih dari itu. Lalu, kalian katakan ia gila. Tidak! Ia tidak gila! Kita tahu ciri-ciri orang gila dan ia sama sekali tidak memiliki ciri-ciri itu. Jadi, pertimbangkanlah masak-masak persoalan ini. Demi Allah, ini bukan persoalan yang bisa dianggap remeh!"
Segala upaya mereka lakukan untuk menghentikan dakwah Muhammad. Akhirnya, dibuatlah berita bohong tentang Muhammad dan mereka sebar ke seluruh penjuru JazirahArab dan tak lupa juga ke Habsyah. Berita bohong yang mereka sebarkan adalah Muhammad pembohong, orang gila, dan tukang sihir.
Meskipun demikian, Allah memiliki rencana lain atas tersiarnya berita bohong tersebut. Orang-orang yang berdatangan pada musim haji ramai-ramai membicarakan Muhammad.
Tentu saja hal ini menimbulkan rasa penasaran mereka untuk mengenal lebih jauh tentang Muhammad. Akhirnya, banyak dari mereka yang memeluk Islam setelah mendengar secara langsung dakwah yang Rasulullah saw sampaikan.
Di luar dugaan, ternyata sebagian yang lain menentang pendapat ini. Hal ini disebabkan Muhammad masih mendapat dukungan dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Mereka adalah kabilah yang sangat berpengaruh di kota Mekah.
Membunuh Muhammad berarti menyulut api peperangan antara kabilah-kabilah Quraisy. Yang mereka takutkan lagi bahwa mereka tidak akan sanggup menghadapinya. Akhirnya, simpulan terakhir adalah lebih baik bersabar sambil terus membujuk Muhammad daripada terjadi pertumpahan darah.
Nadhr bin Harits adalah pendukung kelompok ini. Ia mengingatkan kaumnya bahwa Muhammad pernah menjadi orang yang paling mereka puji. Ia berkata, "Wahai kaum Quraisy, kalian berhadapan dengan masalah yang sulit untuk dicarikan jalan keluarnya. Muhammad pernah menjadi pemuda yang paling kalian sukai karena kejujuran dan integritasnya.
Kemudian ia datang membawa agamanya dan kalian katakan ia tukang sihir. Tidak! Demi Allah, ia bukan tukang sihir. Kita tahu bagaimana tingkah laku tukang sihir. Lalu, kalian katakan ia peramal. Tidak! Demi Allah, ia bukan peramal. Kita tahu bagaimana para peramal mengalami kerasukan dan membaca mantra.
Kalian juga katakan ia penyair. Tidak! Demi Allah, ia bukan penyair. Kita tahu semua jenis syair. Apa yang dikatakannya bukanlah syair indah, tetapi lebih dari itu. Lalu, kalian katakan ia gila. Tidak! Ia tidak gila! Kita tahu ciri-ciri orang gila dan ia sama sekali tidak memiliki ciri-ciri itu. Jadi, pertimbangkanlah masak-masak persoalan ini. Demi Allah, ini bukan persoalan yang bisa dianggap remeh!"
Segala upaya mereka lakukan untuk menghentikan dakwah Muhammad. Akhirnya, dibuatlah berita bohong tentang Muhammad dan mereka sebar ke seluruh penjuru JazirahArab dan tak lupa juga ke Habsyah. Berita bohong yang mereka sebarkan adalah Muhammad pembohong, orang gila, dan tukang sihir.
Meskipun demikian, Allah memiliki rencana lain atas tersiarnya berita bohong tersebut. Orang-orang yang berdatangan pada musim haji ramai-ramai membicarakan Muhammad.
Tentu saja hal ini menimbulkan rasa penasaran mereka untuk mengenal lebih jauh tentang Muhammad. Akhirnya, banyak dari mereka yang memeluk Islam setelah mendengar secara langsung dakwah yang Rasulullah saw sampaikan.
Pengakuan Ubay bin Khallaf
Kekalahan kaum musyrikin Ouraisy menimbulkan dendam yang luar biasa di dada para musuh Islam. Apalagi melihat keluarganya, ayahnya, anak laki-lakinya bersimbah darah dibunuh oleh pasukan Islam. Kebencian yang makin membara dirasakan oleh Ubay bin Khallaf. Di depan Rasulullah saw. ia bersumpah, "Aku akan membunuhmu!"
Tidak ada rasa takut sedikit pun terlintas dalam diri Rasulullah saw. Beliau menjawab ancaman Ubay, "Akulah yang akan membunuhmu! Insya Allah!"
Tibalah waktunya saat peperangan kembali berkobar di Uhud sebagai ajang balas dendam kaum musyrikin Quraisy kepada kaum muslimin atas kekalahan mereka terdahulu.
Kesempatan ini digunakan Ubay bin Khallaf untuk memburu Rasulullah saw. Ketika dilihatnya Rasulullah saw berada di tengah-tengah peperangan, ia berseru, "Engkau, Rasulullah! Engkau tidak akan selamat meskipun berusaha menyelamatkan diri!"
Kaum muslimin yang mendengarnya segera melindungi Rasulullah saw. Salah seorang dari mereka berkata, "Wahai Rasulullah. Izinkan salah satu dari kami membereskannya!"
Namun, Rasulullah saw menolak dengan menjawab, "Tidak perlu."
Ubay melihat peluang emas untuk menebaskan pedangnya ke leher Rasulullah saw. Ia mendekat. Akan tetapi, Rasulullah saw dengan tangkas menyambar belati Harits bin Shimah dan mengarahkannya ke leher Ubay.
Luka yang diderita Ubay bin Khallaf tidak terlalu serius karena ia berhasil mengelak. Namun, kejadiannya sungguh aneh, Ubay bin Khallaf tampak ketakutan sambil memegangi lehernya seolah-olah ia mendapat luka yang sangat parah dan akan membunuhnya.
Teman-teman Ubay mencoba menenangkannya, "Apa yang terjadi padamu?"
"Demi Tuhan, Muhammad telah menyerang dan melukaiku!" teriak Ubay sambil terengah-engah.
Teman-temannya makin heran karena melihat luka di leher Ubay hanyalah luka kecil biasa.
"Hai, Ubay! Tenanglah itu hanya luka biasa!"
Ubay tidak peduli perkataan teman-temannya, ia tetap kalap dan berkata, "Muhammad pernah berkata akan membunuhku! Demi Tuhan, bahkan jika dia meludahiku, aku bisa mati karenanya!"
Dikarenakan rasa takutnya yang berlebihan tersebut, akhirnya Ubay bin Khallaf mati karena sangat ketakutan dengan perkataan yang pernah Rasulullah ucapkan.
Tidak ada rasa takut sedikit pun terlintas dalam diri Rasulullah saw. Beliau menjawab ancaman Ubay, "Akulah yang akan membunuhmu! Insya Allah!"
Tibalah waktunya saat peperangan kembali berkobar di Uhud sebagai ajang balas dendam kaum musyrikin Quraisy kepada kaum muslimin atas kekalahan mereka terdahulu.
Kesempatan ini digunakan Ubay bin Khallaf untuk memburu Rasulullah saw. Ketika dilihatnya Rasulullah saw berada di tengah-tengah peperangan, ia berseru, "Engkau, Rasulullah! Engkau tidak akan selamat meskipun berusaha menyelamatkan diri!"
Kaum muslimin yang mendengarnya segera melindungi Rasulullah saw. Salah seorang dari mereka berkata, "Wahai Rasulullah. Izinkan salah satu dari kami membereskannya!"
Namun, Rasulullah saw menolak dengan menjawab, "Tidak perlu."
Ubay melihat peluang emas untuk menebaskan pedangnya ke leher Rasulullah saw. Ia mendekat. Akan tetapi, Rasulullah saw dengan tangkas menyambar belati Harits bin Shimah dan mengarahkannya ke leher Ubay.
Luka yang diderita Ubay bin Khallaf tidak terlalu serius karena ia berhasil mengelak. Namun, kejadiannya sungguh aneh, Ubay bin Khallaf tampak ketakutan sambil memegangi lehernya seolah-olah ia mendapat luka yang sangat parah dan akan membunuhnya.
Teman-teman Ubay mencoba menenangkannya, "Apa yang terjadi padamu?"
"Demi Tuhan, Muhammad telah menyerang dan melukaiku!" teriak Ubay sambil terengah-engah.
Teman-temannya makin heran karena melihat luka di leher Ubay hanyalah luka kecil biasa.
"Hai, Ubay! Tenanglah itu hanya luka biasa!"
Ubay tidak peduli perkataan teman-temannya, ia tetap kalap dan berkata, "Muhammad pernah berkata akan membunuhku! Demi Tuhan, bahkan jika dia meludahiku, aku bisa mati karenanya!"
Dikarenakan rasa takutnya yang berlebihan tersebut, akhirnya Ubay bin Khallaf mati karena sangat ketakutan dengan perkataan yang pernah Rasulullah ucapkan.
Rabu, 07 April 2010
Dipercaya Menjadi Pemimpin Kafilah Dagang
Khadijah adalah seorang saudagar wanita yang kaya-raya di kota Mekah. Dia hendak mengirim kafilah dagangnya ke negeri Syam sehingga dia membutuhkan seseorang yang dapat dipercaya untuk membimbing dan mengawasi rombongan dagang tersebut.
Tersiarlah kabar bahwa di Mekah ada seorang pemuda yang terkenal akan kejujurannya. Keluhuran budi pekerti dan kepribadiannya terpelihara dengan baik, padahal kebanyakan pemuda saat itu senang berfoya-foya.
Namun, pemuda yang satu ini sama sekali tidak terpengaruh oleh kebiasaan jahiliah masyarakat kotanya karena perlindungan Allah SWT. Siapakah dia? Dialah Muhammad bin Abdillah keturunan Bani Hasyim yang terpandang.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kabar tentang kejujuran Muhammad sampai ke telinga Khadijah. Ia tahu Muhammad selalu menemani pamannya berdagang ke Syam.
Akan tetapi, sanggupkah Muhammad memimpin rombongan kafilah dagang yang begitu besar ini? Padahal, Muhammad belum pernah sekali-kali pun memimpin rombongan dagang ke luar kota, apalagi ke luar negeri.
Tentu saja hal ini bukanlah hal yang mudah untuk mengemban tugas itu bagi seseorang yang belum memiliki pengalaman memimpin, mengatur, membimbing, dan mengawasi kafilah dagang ke negeri lain.
Meskipun demikian, sebagai seorang pedagang andal, Khadijah tidak memedulikan pengalaman Muhammad dalam berdagang. Sebagai seseorang yang mengetahui seluk-beluk perdagangan, Khadijah meyakini bahwa kejujuranlah modal penting dalam berdagang. Sifat itu ada pada diri Muhammad. Kemudian ia segera menyuruh pelayannya untuk memanggil Muhammad.
Setelah Muhammad datang, Khadijah berusaha untuk menggali lebih jauh pemahaman dagang pemuda jujur tersebut. Khadijah melontarkan beberapa pertanyaan kepada Muhammad dalam perbincangan yang serius.
Muhammad begitu tenang dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sang saudagar. Ia tampak sangat cerdas, wawasan ilmunya luas, dan memiliki wibawa.
Dalam berbicara, Muhammad mendengarkan lawan bicaranya dengan saksama meskipun pandangannya tertunduk. Seingat Khadijah, hanya sekali Muhammad mengangkat wajahnya, yaitu ketika Khadijah menawarkan posisi menjadi orang kepercayaannya untuk memimpin kafilah dagang ke negeri Syam. Muhammad mengangkat wajahnya sedikit, mengucapkan terima kasih sambil tersenyum, lalu kembali menunduk.
Dari sikap Muhammad yang bersahaja inilah, akhirnya Khadijah memantapkan pilihannya kepada Muhammad. Dengan senang hati pula Muhammad menerimanya.
Setelah dirasa cukup, akhirnya Muhammad diperkenankan untuk pulang. Muhammad segera pulang dan tawaran kerja ini langsung diberitakan kepada pamannya, Abu Thalib. Betapa gembiranya sang paman. la yakin keponakannya mampu menjalani tugas besar tersebut. Abu Thalib berkata, "Ini adalah rezeki yang Allah berikan kepadamu".
Tibalah saatnya rombongan kafilah dagang berangkat menuju Syam. Bersama Maysarah - salah seorang utusan Khadijah untuk membantu Muhammad - mereka bertolak ke negeri Syam. Sudah menjadi tradisi penduduk Mekah untuk beramai-ramai mengantar rombongan dagang hingga ke perbatasan kota, termasuk sang paman, Abu Thalib.
Setibanya di Syam, bersama pedagang lain, Muhammad menawarkan dagangannya dengan gesit kepada para calon pembeli. Ia tidak menutupi cacat pada barang dagangannya. Jika barang tersebut bagus, akan ia katakan bagus, sebaliknya jika barang tersebut jelek atau cacat, ia pun tidak menutupinya dari pembeli.
Dalam menetapkan harga ia menggunakan standar harga yang berlaku di masyarakat. Tidak pernah ia menambah-nambahkan harga. Tawar-menawar ia lakukan suka sama suka dengan pembeli. Kejujurannya tidak pernah mengecewakan.
Hal ini menarik banyak pembeli untuk membeli dagangannya karena pedagang lain terbiasa meninggikan harga barang dagangannya demi mencapai keuntungan sebesar-besarnya.
Urusan perdagangan di Syam berjalan sangat lancar. Muhammad memperoleh keuntungan dagang yang besar. Seluruh barang dagangan habis terjual. Sebelum pulang, kafilah dagang ini membeli barang-barang lain untuk dijual kembali di Mekah.
Kepulangan mereka disambut antusias penduduk Mekah. Barang yang mereka bawa dari Syam pun berhasil dijual hingga habis di Mekah. Keuntungan makin berlipat ganda. Tentu saja hal ini membuat gembira Khadijah yang memilih Muhammad karena reputasi kejujurannya.
Tersiarlah kabar bahwa di Mekah ada seorang pemuda yang terkenal akan kejujurannya. Keluhuran budi pekerti dan kepribadiannya terpelihara dengan baik, padahal kebanyakan pemuda saat itu senang berfoya-foya.
Namun, pemuda yang satu ini sama sekali tidak terpengaruh oleh kebiasaan jahiliah masyarakat kotanya karena perlindungan Allah SWT. Siapakah dia? Dialah Muhammad bin Abdillah keturunan Bani Hasyim yang terpandang.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kabar tentang kejujuran Muhammad sampai ke telinga Khadijah. Ia tahu Muhammad selalu menemani pamannya berdagang ke Syam.
Akan tetapi, sanggupkah Muhammad memimpin rombongan kafilah dagang yang begitu besar ini? Padahal, Muhammad belum pernah sekali-kali pun memimpin rombongan dagang ke luar kota, apalagi ke luar negeri.
Tentu saja hal ini bukanlah hal yang mudah untuk mengemban tugas itu bagi seseorang yang belum memiliki pengalaman memimpin, mengatur, membimbing, dan mengawasi kafilah dagang ke negeri lain.
Meskipun demikian, sebagai seorang pedagang andal, Khadijah tidak memedulikan pengalaman Muhammad dalam berdagang. Sebagai seseorang yang mengetahui seluk-beluk perdagangan, Khadijah meyakini bahwa kejujuranlah modal penting dalam berdagang. Sifat itu ada pada diri Muhammad. Kemudian ia segera menyuruh pelayannya untuk memanggil Muhammad.
Setelah Muhammad datang, Khadijah berusaha untuk menggali lebih jauh pemahaman dagang pemuda jujur tersebut. Khadijah melontarkan beberapa pertanyaan kepada Muhammad dalam perbincangan yang serius.
Muhammad begitu tenang dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sang saudagar. Ia tampak sangat cerdas, wawasan ilmunya luas, dan memiliki wibawa.
Dalam berbicara, Muhammad mendengarkan lawan bicaranya dengan saksama meskipun pandangannya tertunduk. Seingat Khadijah, hanya sekali Muhammad mengangkat wajahnya, yaitu ketika Khadijah menawarkan posisi menjadi orang kepercayaannya untuk memimpin kafilah dagang ke negeri Syam. Muhammad mengangkat wajahnya sedikit, mengucapkan terima kasih sambil tersenyum, lalu kembali menunduk.
Dari sikap Muhammad yang bersahaja inilah, akhirnya Khadijah memantapkan pilihannya kepada Muhammad. Dengan senang hati pula Muhammad menerimanya.
Setelah dirasa cukup, akhirnya Muhammad diperkenankan untuk pulang. Muhammad segera pulang dan tawaran kerja ini langsung diberitakan kepada pamannya, Abu Thalib. Betapa gembiranya sang paman. la yakin keponakannya mampu menjalani tugas besar tersebut. Abu Thalib berkata, "Ini adalah rezeki yang Allah berikan kepadamu".
Tibalah saatnya rombongan kafilah dagang berangkat menuju Syam. Bersama Maysarah - salah seorang utusan Khadijah untuk membantu Muhammad - mereka bertolak ke negeri Syam. Sudah menjadi tradisi penduduk Mekah untuk beramai-ramai mengantar rombongan dagang hingga ke perbatasan kota, termasuk sang paman, Abu Thalib.
Setibanya di Syam, bersama pedagang lain, Muhammad menawarkan dagangannya dengan gesit kepada para calon pembeli. Ia tidak menutupi cacat pada barang dagangannya. Jika barang tersebut bagus, akan ia katakan bagus, sebaliknya jika barang tersebut jelek atau cacat, ia pun tidak menutupinya dari pembeli.
Dalam menetapkan harga ia menggunakan standar harga yang berlaku di masyarakat. Tidak pernah ia menambah-nambahkan harga. Tawar-menawar ia lakukan suka sama suka dengan pembeli. Kejujurannya tidak pernah mengecewakan.
Hal ini menarik banyak pembeli untuk membeli dagangannya karena pedagang lain terbiasa meninggikan harga barang dagangannya demi mencapai keuntungan sebesar-besarnya.
Urusan perdagangan di Syam berjalan sangat lancar. Muhammad memperoleh keuntungan dagang yang besar. Seluruh barang dagangan habis terjual. Sebelum pulang, kafilah dagang ini membeli barang-barang lain untuk dijual kembali di Mekah.
Kepulangan mereka disambut antusias penduduk Mekah. Barang yang mereka bawa dari Syam pun berhasil dijual hingga habis di Mekah. Keuntungan makin berlipat ganda. Tentu saja hal ini membuat gembira Khadijah yang memilih Muhammad karena reputasi kejujurannya.
Kisah Abdullah bin Rawahah
Abdullah bin Rawahah memiliki nama lengkap Abdullah bin Rawahah bin Tsa'labah Al-Anshari Al-Khazraji. Ia termasuk orang Anshar yang mengikrarkan keislamannya pada Baiatul Aqobah kedua. Semasa hidupnya, ia menerima tanggung jawab dari Rasulullah saw untuk menghitung hasil pertanian kaum Yahudi di Khaibar.
Suatu hari ketika ia hendak melaksanakan tugasnya, orang-orang Yahudi mengumpulkan perhiasan istri-istrinya agar pemeriksaan yang dilakukan oleh Abdullah bin Rawahah tidak menghambat perdagangan mereka.
Apalagi pertikaian antara umat Yahudi dan umat Islam kerap terjadi. Mereka khawatir dendam tersebut masih ada sehingga Abdullah bin Rawahah tidak bersikap adil kepada mereka.
Diberikanlah seluruh perhiasan tersebut kepada Abdullah bin Rawahah seraya berkata, "Semua ini kami serahkan untukmu dan berikanlah kami keringanan dan permudahlah dalam menaksir!"
Melihat cara mereka memperlakukannya, Abdullah berkata, "Hai orang-orang Yahudi! Demi Allah. Kamu semuanya adalah makhluk Allah yang aku benci! Meskipun demikian, aku tidak akan mencurangi kalian. Kalian menawarkan kepadaku barang suap, sedangkan barang suap itu haram. Dan kami membenci memakan barang suap!"
Mendengar penolakan Abdullah, orang-orang Yahudi itu berkata, "Dengan sifat itu, langit dan bumi tegak berdiri."
Suatu hari ketika ia hendak melaksanakan tugasnya, orang-orang Yahudi mengumpulkan perhiasan istri-istrinya agar pemeriksaan yang dilakukan oleh Abdullah bin Rawahah tidak menghambat perdagangan mereka.
Apalagi pertikaian antara umat Yahudi dan umat Islam kerap terjadi. Mereka khawatir dendam tersebut masih ada sehingga Abdullah bin Rawahah tidak bersikap adil kepada mereka.
Diberikanlah seluruh perhiasan tersebut kepada Abdullah bin Rawahah seraya berkata, "Semua ini kami serahkan untukmu dan berikanlah kami keringanan dan permudahlah dalam menaksir!"
Melihat cara mereka memperlakukannya, Abdullah berkata, "Hai orang-orang Yahudi! Demi Allah. Kamu semuanya adalah makhluk Allah yang aku benci! Meskipun demikian, aku tidak akan mencurangi kalian. Kalian menawarkan kepadaku barang suap, sedangkan barang suap itu haram. Dan kami membenci memakan barang suap!"
Mendengar penolakan Abdullah, orang-orang Yahudi itu berkata, "Dengan sifat itu, langit dan bumi tegak berdiri."
Kisah Penjual Susu
Di malam yang pekat dan angin dingin semilir menusuk, Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab sedang menelusuri kota Medinah melalui lorong demi lorong. Di saat seluruh penduduk kota terlelap, sang khalifah tetap terjaga mendatangi satu demi satu rumah untuk mengetahui kondisi rakyatnya.
Ia sadar bahwa kepemimpinannya kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, ia tidak ingin ada seorang pun dari rakyatnya yang terzalimi.
Malam makin larut hingga tibalah fajar menyingsing. Ketika hendak beranjak ke masjid, langkahnya tertahan di depan sebuah gubuk reot. Dari dalam gubuk itu terdengar percakapan lirih antara seorang ibu dan putrinya. Dari percakapan itu ternyata mereka adalah penjual susu kambing yang akan menjual hasil perahannya di pasar pagi itu.
"Nak, campurlah susu itu dengan air," pinta sang ibu kepada putrinya. Sang ibu berharap agar ia memperoleh keuntungan lebih banyak dari hasil penjualan susu oplosannya (campuran).
Putrinya menjawab, "Maaf, Bu, tidak mungkin aku melakukannya. Amirul Mukminin tidak membolehkan untuk mencampur susu dengan air, kemudian menjualnya," tolak putrinya dengan halus.
Sang ibu tetap bersikukuh, "Itu suatu hal yang lumrah, Nak. Semua orang melakukannya. Lagi pula Amirul Mukminin tidak akan mengetahuinya," bujuk sang ibu lagi.
"Bu, boleh jadi Amirul Mukminin tidak mengetahui apa yang kita lakukan sekarang, tetapi Allah SWT Maha Melihat dan Mengetahui!" jawab sang putri salehah.
Haru dan bahagia membuncah di dada Amirul Mukminin. Betapa ia kagum akan kejujuran dan keteguhan hati sang gadis miskin tersebut. Mungkin gadis tersebut miskin harta, tetapi begitu kaya hatinya. Amirul Mukminin teringat akan tujuannya semula dan bergegas menuju masjid untuk shalat Fajar bersama para sahabat.
Usai melaksanakan shalat di masjid, Umar bin Khaththab segera memangil putranya yang bernama 'Ashim. Beliau segera memerintahkan 'Ashim untuk melamar putri penjual susu yang jujur tersebut karena memang sudah saatnya 'Ashim untuk berumah tangga. Tidak lupa Amirul Mukminin menceritakan keluhuran hati gadis penghuni gubuk reot tersebut kepada putranya.
"Aku melihat dia akan membawa berkah untukmu kelak jika kamu mempersuntingnya menjadi istrimu. Pergilah dan temui mereka, lamarlah dia untuk menjadi pendampingmu. Semoga kalian dapat melahirkan keturunan yang akan menjadi pemimpin umat kelak!" ujar Umar bin Khaththab kepada putranya, 'Ashim.
Akhirnya, 'Ashim menikahi gadis berhati suci itu dan lahirlah seorang putri bernama Laila. Ia tumbuh menjadi gadis yang taat beribadah dan cerdas. Saat dewasa, Laila dipersunting oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dari pernikahan keduanya lahirlah Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin besar yang disegani. Dia mewarisi keagungan akhlak neneknya dan kepemimpinan buyutnya, Umar bin Khaththab.
Ia sadar bahwa kepemimpinannya kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, ia tidak ingin ada seorang pun dari rakyatnya yang terzalimi.
Malam makin larut hingga tibalah fajar menyingsing. Ketika hendak beranjak ke masjid, langkahnya tertahan di depan sebuah gubuk reot. Dari dalam gubuk itu terdengar percakapan lirih antara seorang ibu dan putrinya. Dari percakapan itu ternyata mereka adalah penjual susu kambing yang akan menjual hasil perahannya di pasar pagi itu.
"Nak, campurlah susu itu dengan air," pinta sang ibu kepada putrinya. Sang ibu berharap agar ia memperoleh keuntungan lebih banyak dari hasil penjualan susu oplosannya (campuran).
Putrinya menjawab, "Maaf, Bu, tidak mungkin aku melakukannya. Amirul Mukminin tidak membolehkan untuk mencampur susu dengan air, kemudian menjualnya," tolak putrinya dengan halus.
Sang ibu tetap bersikukuh, "Itu suatu hal yang lumrah, Nak. Semua orang melakukannya. Lagi pula Amirul Mukminin tidak akan mengetahuinya," bujuk sang ibu lagi.
"Bu, boleh jadi Amirul Mukminin tidak mengetahui apa yang kita lakukan sekarang, tetapi Allah SWT Maha Melihat dan Mengetahui!" jawab sang putri salehah.
Haru dan bahagia membuncah di dada Amirul Mukminin. Betapa ia kagum akan kejujuran dan keteguhan hati sang gadis miskin tersebut. Mungkin gadis tersebut miskin harta, tetapi begitu kaya hatinya. Amirul Mukminin teringat akan tujuannya semula dan bergegas menuju masjid untuk shalat Fajar bersama para sahabat.
Usai melaksanakan shalat di masjid, Umar bin Khaththab segera memangil putranya yang bernama 'Ashim. Beliau segera memerintahkan 'Ashim untuk melamar putri penjual susu yang jujur tersebut karena memang sudah saatnya 'Ashim untuk berumah tangga. Tidak lupa Amirul Mukminin menceritakan keluhuran hati gadis penghuni gubuk reot tersebut kepada putranya.
"Aku melihat dia akan membawa berkah untukmu kelak jika kamu mempersuntingnya menjadi istrimu. Pergilah dan temui mereka, lamarlah dia untuk menjadi pendampingmu. Semoga kalian dapat melahirkan keturunan yang akan menjadi pemimpin umat kelak!" ujar Umar bin Khaththab kepada putranya, 'Ashim.
Akhirnya, 'Ashim menikahi gadis berhati suci itu dan lahirlah seorang putri bernama Laila. Ia tumbuh menjadi gadis yang taat beribadah dan cerdas. Saat dewasa, Laila dipersunting oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dari pernikahan keduanya lahirlah Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin besar yang disegani. Dia mewarisi keagungan akhlak neneknya dan kepemimpinan buyutnya, Umar bin Khaththab.
Kisah Watshilah bin Asqa'
Hiruk-pikuk pedagang dan pembeli mewarnai pasar ternak kala itu. Watshilah bin Asqa' salah seorang sahabat Rasulullah - melihat dua orang yang saling menawar harga seekor unta. Harga pun disepakati. Sang pembeli membayar 300 dirham untuk unta yang ia beli.
Ketika sang pembeli menggiring untanya, Watshilah melihat ada yang tidak beres dengan kaki unta tersebut. Ia bergegas memanggil si pembeli seraya bertanya, "Apakah kau membeli unta itu untuk disembelih atau untuk dijadikan kendaraan?"
Si pembeli menjawab, "Unta ini untuk kendaraan."
Watshilah memberitahukan kondisi kaki unta yang cacat kepada si pembeli dengan berkata, "Lihatlah, di kakinya terdapat lubang karena cacat!"
Menyadari hal itu, si pembeli kembali menemui si penjual untuk menggugatnya. Akhirnya, si penjual mengembalikan 100 dirham sebagai kesepakatan harga unta yang baru.
Setelah penjual mengetahui bahwa Watshilah-lah yang telah membongkar cacat hewan jualannya, si penjual berkata, "Semoga engkau dikasihi Allah karena telah merusak jual beliku!"
Watshilah membalas, "Kami telah berbaiat kepada Rasulullah saw untuk berlaku jujur terhadap setiap muslim, sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Tiada halal bagi siapa pun untuk menjual barangnya, kecuali dengan menjelaskan cacatnya, dan tiada halal pula bagi orang yang mengetahui hal itu kecuali menjelaskannya." (HR Hakim dan Baihaqi)
Ketika sang pembeli menggiring untanya, Watshilah melihat ada yang tidak beres dengan kaki unta tersebut. Ia bergegas memanggil si pembeli seraya bertanya, "Apakah kau membeli unta itu untuk disembelih atau untuk dijadikan kendaraan?"
Si pembeli menjawab, "Unta ini untuk kendaraan."
Watshilah memberitahukan kondisi kaki unta yang cacat kepada si pembeli dengan berkata, "Lihatlah, di kakinya terdapat lubang karena cacat!"
Menyadari hal itu, si pembeli kembali menemui si penjual untuk menggugatnya. Akhirnya, si penjual mengembalikan 100 dirham sebagai kesepakatan harga unta yang baru.
Setelah penjual mengetahui bahwa Watshilah-lah yang telah membongkar cacat hewan jualannya, si penjual berkata, "Semoga engkau dikasihi Allah karena telah merusak jual beliku!"
Watshilah membalas, "Kami telah berbaiat kepada Rasulullah saw untuk berlaku jujur terhadap setiap muslim, sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Tiada halal bagi siapa pun untuk menjual barangnya, kecuali dengan menjelaskan cacatnya, dan tiada halal pula bagi orang yang mengetahui hal itu kecuali menjelaskannya." (HR Hakim dan Baihaqi)
Kisah Penjaga Kebun Buah-buahan
Alkisah ada seorang penjaga kebun buah-buahan bernama Mubarok. Dia adalah orang jujur dan amanah. Sudah bertahun-tahun ia bekerja di kebun tersebut.
Suatu hari majikannya, sang pemiliki kebun, datang mengunjungi kebunnya. Ia sedang mengalami masalah yang pelik dan sulit untuk dicarikan jalan keluarnya. Putrinya yang sudah beranjak dewasa tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan banyak pria yang ingin mempersuntingnya.
Yang menjadi permasalahan baginya adalah semua laki-laki yang ingin mempersunting putrinya adalah kerabat dan teman dekatnya. Ia harus memilih salah satu dari mereka, tetapi ia khawatir jika menyinggung bagi kerabat yang tidak terpilih.
Sambil beristirahat dan menenangkan pikiran, ia mencoba mencicipi hasil kebunnya. Dipanggillah Mubarok, penjaga kebun itu.
"Hai Mubarok, kemarilah! Tolong ambilkan saya buah yang manis!" perintahnya.
Dengan sigap Mubarok segera memetik buah-buahan yang diminta, kemudian diberikan kepada majikannya.
Ketika buah tersebut dimakan sang majikan, ternyata rasanya masam sekali. Majikan Mubarok berkata, "Wahai Mubarok! Buah ini masam sekali! Berikan saya buah yang manis!" pinta sang majikan lagi.
Untuk kedua kalinya, buah yang diberikan Mubarok masih terasa masam. Sang majikan terheran-heran, sudah sekian lama ia mempekerjakan Mubarok, tetapi mengapa si penjaga kebun ini tidak mampu membedakan antara buah masam dan manis? Ah, mungkin dia lupa, pikir sang majikan. Dimintanya Mubarok untuk memetikkan kembali buah yang manis. Hasilnya sama saja, buah ketiga masih terasa masam.
Rasa penasaran timbul dari sang majikan. Dipanggillah Mubarok, "Bukankah kau sudah lama bekerja di sini? Mengapa kamu tidak tahu buah yang manis dan masam?" tanya sang majikan.
Mubarok menjawab, "Maaf Tuan, saya tidak tahu bagaimana rasa buah-buahan yang tumbuh di kebun ini karena saya tidak pernah mencicipinya!"
"Aneh, bukankah amat mudah bagimu untuk memetik buah-buahan di sini, mengapa tidak ada satu pun yang kaumakan?" tanya majikannya.
"Saya tidak akan memakan sesuatu yang belum jelas kehalalannya bagiku. Buah-buahan itu bukan milikku, jadi aku tidak berhak untuk memakannya sebelum memperoleh izin dari pemiliknya," jelas Mubarok.
Sang majikan terkejut dengan penjelasan penjaga kebunnya tersebut. Dia tidak lagi memandang Mubarok sebatas tukang kebun, melainkan sebagai seseorang yang jujur dan tinggi kedudukannya di mata Allah SWT. Ia berpikir mungkin Mubarok bisa mencarikan jalan keluar atas permasalahan rumit yang tengah dihadapinya.
Mulailah sang majikan bercerita tentang lamaran kerabat dan teman-teman dekatnya kepada putrinya. Ia mengakhiri ceritanya dengan bertanya kepada Mubarok, "Menurutmu, siapakah yang pantas menjadi pendamping putriku?"
Mubarok menjawab, "Dulu orang-orang jahiliah mencarikan calon suami untuk putri-putri mereka berdasarkan keturunan. Orang Yahudi menikahkan putrinya berdasarkan harta, sementara orang Nasrani menikahkan putrinya berdasarkan keelokan fisik semata. Namun, Rasulullah mengajarkan sebaik-baiknya umat adalah yang menikahkan karena agamanya."
Sang majikan langsung tersadar akan kekhilafannya. Mubarok benar, mengapa tidak terpikirkan untuk kembali pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Islamlah solusi atas semua problematika umat manusia.
Ia pulang dan memberitakan seluruh kejadian tadi kepada istrinya. "Menurutku Mobaroklah yang pantas menjadi pendamping putri kita," usulnya kepada sang istri. Tanpa perdebatan panjang, sang istri langsung menyetujuinya.
Pernikahan bahagia dilangsungkan. Dari keduanya lahirlah seorang anak bernama Abdullah bin Mubarok. Ia adalah seorang ulama, ahli hadis, dan mujahid. Ya, pernikahan yang dirahmati Allah SWT dari dua insan yang taat beribadah, insya Allah, akan diberi keturunan yang mulia.
Suatu hari majikannya, sang pemiliki kebun, datang mengunjungi kebunnya. Ia sedang mengalami masalah yang pelik dan sulit untuk dicarikan jalan keluarnya. Putrinya yang sudah beranjak dewasa tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan banyak pria yang ingin mempersuntingnya.
Yang menjadi permasalahan baginya adalah semua laki-laki yang ingin mempersunting putrinya adalah kerabat dan teman dekatnya. Ia harus memilih salah satu dari mereka, tetapi ia khawatir jika menyinggung bagi kerabat yang tidak terpilih.
Sambil beristirahat dan menenangkan pikiran, ia mencoba mencicipi hasil kebunnya. Dipanggillah Mubarok, penjaga kebun itu.
"Hai Mubarok, kemarilah! Tolong ambilkan saya buah yang manis!" perintahnya.
Dengan sigap Mubarok segera memetik buah-buahan yang diminta, kemudian diberikan kepada majikannya.
Ketika buah tersebut dimakan sang majikan, ternyata rasanya masam sekali. Majikan Mubarok berkata, "Wahai Mubarok! Buah ini masam sekali! Berikan saya buah yang manis!" pinta sang majikan lagi.
Untuk kedua kalinya, buah yang diberikan Mubarok masih terasa masam. Sang majikan terheran-heran, sudah sekian lama ia mempekerjakan Mubarok, tetapi mengapa si penjaga kebun ini tidak mampu membedakan antara buah masam dan manis? Ah, mungkin dia lupa, pikir sang majikan. Dimintanya Mubarok untuk memetikkan kembali buah yang manis. Hasilnya sama saja, buah ketiga masih terasa masam.
Rasa penasaran timbul dari sang majikan. Dipanggillah Mubarok, "Bukankah kau sudah lama bekerja di sini? Mengapa kamu tidak tahu buah yang manis dan masam?" tanya sang majikan.
Mubarok menjawab, "Maaf Tuan, saya tidak tahu bagaimana rasa buah-buahan yang tumbuh di kebun ini karena saya tidak pernah mencicipinya!"
"Aneh, bukankah amat mudah bagimu untuk memetik buah-buahan di sini, mengapa tidak ada satu pun yang kaumakan?" tanya majikannya.
"Saya tidak akan memakan sesuatu yang belum jelas kehalalannya bagiku. Buah-buahan itu bukan milikku, jadi aku tidak berhak untuk memakannya sebelum memperoleh izin dari pemiliknya," jelas Mubarok.
Sang majikan terkejut dengan penjelasan penjaga kebunnya tersebut. Dia tidak lagi memandang Mubarok sebatas tukang kebun, melainkan sebagai seseorang yang jujur dan tinggi kedudukannya di mata Allah SWT. Ia berpikir mungkin Mubarok bisa mencarikan jalan keluar atas permasalahan rumit yang tengah dihadapinya.
Mulailah sang majikan bercerita tentang lamaran kerabat dan teman-teman dekatnya kepada putrinya. Ia mengakhiri ceritanya dengan bertanya kepada Mubarok, "Menurutmu, siapakah yang pantas menjadi pendamping putriku?"
Mubarok menjawab, "Dulu orang-orang jahiliah mencarikan calon suami untuk putri-putri mereka berdasarkan keturunan. Orang Yahudi menikahkan putrinya berdasarkan harta, sementara orang Nasrani menikahkan putrinya berdasarkan keelokan fisik semata. Namun, Rasulullah mengajarkan sebaik-baiknya umat adalah yang menikahkan karena agamanya."
Sang majikan langsung tersadar akan kekhilafannya. Mubarok benar, mengapa tidak terpikirkan untuk kembali pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Islamlah solusi atas semua problematika umat manusia.
Ia pulang dan memberitakan seluruh kejadian tadi kepada istrinya. "Menurutku Mobaroklah yang pantas menjadi pendamping putri kita," usulnya kepada sang istri. Tanpa perdebatan panjang, sang istri langsung menyetujuinya.
Pernikahan bahagia dilangsungkan. Dari keduanya lahirlah seorang anak bernama Abdullah bin Mubarok. Ia adalah seorang ulama, ahli hadis, dan mujahid. Ya, pernikahan yang dirahmati Allah SWT dari dua insan yang taat beribadah, insya Allah, akan diberi keturunan yang mulia.
Kisah Penggembala Domba
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab r.a mendengar ada seorang penggembala cilik yang jujur. Beliau pun tertarik untuk membuktikan kejujuran anak itu.
Suatu hari Amirul Mukminin menjumpainya ketika penggembala tersebut sedang menggiring domba-dombanya. Umar segera menegurnya, "Hai anak kecil! Kamu menggembalakan dombamu dengan sangat baik. Aku ingin membeli sebagian dari domba-dombamu yang sehat ini dengan harga dua kali lipat!"
Sang anak tidak mengetahui bahwa yang menegurnya itu adalah Amirul Mukminin karena pakaiannya sangat sederhana dan merakyat. Ia menjawab, "Maaf, Tuan, domba-domba ini bukan milikku! Aku tidak bisa menjualnya!"
Ternyata anak itu tidak tergiur dengan tingginya harga yang Umar tawarkan. Umar kembali membujuk, "Ia tidak akan tahu jika beberapa dombanya aku beli karena domba-domba peliharaannya begitu banyak!"
Dengan sifat kejujurannya itu, si penggembala cilik tidak bergeming. Ia berkata, "Tidak, ia akan tahu jika domba yang ia titipkan padaku berkurang jumlahnya!"
Umar tidak putus asa untuk menawarkan ide lain, "Katakan saja kepada majikanmu bahwa dombanya dimakan serigala!"
Sang penggembala cilik terdiam. Umar merasa bahwa kali ini ia berhasil meruntuhkan kejujuran sang penggembala cilik. Tiba-tiba anak itu berkata, "Mungkin majikanku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada domba-dombanya. Akan tetapi, Allah Maha tahu!" jawab penggembala cilik singkat.
Subhanallah, Umar begitu terharu melihat kejujuran seorang anak kecil penggembala domba tersebut. Amirul Mukminin segera menemui majikan anak itu dan membayar sejumlah uang untuk membebaskan penggembala jujur itu dari perbudakannya. Sang Amirul Mukminin pun melepasnya sebagai seorang hamba Allah yang merdeka.
Suatu hari Amirul Mukminin menjumpainya ketika penggembala tersebut sedang menggiring domba-dombanya. Umar segera menegurnya, "Hai anak kecil! Kamu menggembalakan dombamu dengan sangat baik. Aku ingin membeli sebagian dari domba-dombamu yang sehat ini dengan harga dua kali lipat!"
Sang anak tidak mengetahui bahwa yang menegurnya itu adalah Amirul Mukminin karena pakaiannya sangat sederhana dan merakyat. Ia menjawab, "Maaf, Tuan, domba-domba ini bukan milikku! Aku tidak bisa menjualnya!"
Ternyata anak itu tidak tergiur dengan tingginya harga yang Umar tawarkan. Umar kembali membujuk, "Ia tidak akan tahu jika beberapa dombanya aku beli karena domba-domba peliharaannya begitu banyak!"
Dengan sifat kejujurannya itu, si penggembala cilik tidak bergeming. Ia berkata, "Tidak, ia akan tahu jika domba yang ia titipkan padaku berkurang jumlahnya!"
Umar tidak putus asa untuk menawarkan ide lain, "Katakan saja kepada majikanmu bahwa dombanya dimakan serigala!"
Sang penggembala cilik terdiam. Umar merasa bahwa kali ini ia berhasil meruntuhkan kejujuran sang penggembala cilik. Tiba-tiba anak itu berkata, "Mungkin majikanku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada domba-dombanya. Akan tetapi, Allah Maha tahu!" jawab penggembala cilik singkat.
Subhanallah, Umar begitu terharu melihat kejujuran seorang anak kecil penggembala domba tersebut. Amirul Mukminin segera menemui majikan anak itu dan membayar sejumlah uang untuk membebaskan penggembala jujur itu dari perbudakannya. Sang Amirul Mukminin pun melepasnya sebagai seorang hamba Allah yang merdeka.
Kisah Saudagar Perhiasan
Seorang tabiin bernama Yunus bin Ubaid adalah pedagang yang jujur. Ketika hendak menunaikan shalat berjamaah di masjid, ia menitipkan tokonya kepada saudaranya. Kemudian datanglah seorang Badui hendak membeli perhiasan di toko tersebut.
Ia mencari sebuah permata seharga 400 dirham. Saudara Yunus menunjukkan batu permata yang harganya hanya 200 dirham. Orang Badui tersebut langsung membelinya dengan harga 400 dirham tanpa menawar lagi.
Di tengah jalan, dia berpapasan dengan Yunus bin Ubaid. Yunus mengetahui bahwa orang Badui tersebut baru mampir ke tokonya. Ia kemudian bertanya barang apa yang sudah ia beli dari tokonya. Orang Badui itu mengatakan bahwa ia telah membeli permata seharga 400 dirham sambil menunjukkan permata seharga 200 dirham tadi.
Mengetahui hal itu, Yunus berkata, "Maaf, harga sebenarnya cuma 200 dirham. Mari ke toko saya supaya saya dapat mengembalikan uang selebihnya kepada Anda."
Orang Badui itu menolak, "Biarlah, tidak perlu. Aku merasa senang dan beruntung dengan harga 400 dirham itu sebab di kampungku harga barang ini paling murah 500 dirham."
Akan tetapi, saudagar Yunus tidak mau membolehkan orang Badui itu pergi. Ia pun mendesak orang Badui itu agar mau ke tokonya dan ia akan mengembalikan kelebihan uang tersebut. Akhirnya, orang Badui tersebut menerimanya.
Setelah orang Badui itu pergi, berkatalah Yunus kepada saudaranya, "Apakah kamu tidak merasa malu dan takut kepada Allah atas perbuatanmu menjual barang tadi dengan harga dua kali lipat?"
"Tetapi dia sendiri yang mau membelinya dengan harga 400 dirham," saudara Yunus mencoba membela diri bahwa dialah yang benar.
Yunus berkata, "Ya, tapi di atas kita terpikul satu amanah untuk memperlakukan saudara kita seperti memperlakukan terhadap diri kita sendiri."
Ia mencari sebuah permata seharga 400 dirham. Saudara Yunus menunjukkan batu permata yang harganya hanya 200 dirham. Orang Badui tersebut langsung membelinya dengan harga 400 dirham tanpa menawar lagi.
Di tengah jalan, dia berpapasan dengan Yunus bin Ubaid. Yunus mengetahui bahwa orang Badui tersebut baru mampir ke tokonya. Ia kemudian bertanya barang apa yang sudah ia beli dari tokonya. Orang Badui itu mengatakan bahwa ia telah membeli permata seharga 400 dirham sambil menunjukkan permata seharga 200 dirham tadi.
Mengetahui hal itu, Yunus berkata, "Maaf, harga sebenarnya cuma 200 dirham. Mari ke toko saya supaya saya dapat mengembalikan uang selebihnya kepada Anda."
Orang Badui itu menolak, "Biarlah, tidak perlu. Aku merasa senang dan beruntung dengan harga 400 dirham itu sebab di kampungku harga barang ini paling murah 500 dirham."
Akan tetapi, saudagar Yunus tidak mau membolehkan orang Badui itu pergi. Ia pun mendesak orang Badui itu agar mau ke tokonya dan ia akan mengembalikan kelebihan uang tersebut. Akhirnya, orang Badui tersebut menerimanya.
Setelah orang Badui itu pergi, berkatalah Yunus kepada saudaranya, "Apakah kamu tidak merasa malu dan takut kepada Allah atas perbuatanmu menjual barang tadi dengan harga dua kali lipat?"
"Tetapi dia sendiri yang mau membelinya dengan harga 400 dirham," saudara Yunus mencoba membela diri bahwa dialah yang benar.
Yunus berkata, "Ya, tapi di atas kita terpikul satu amanah untuk memperlakukan saudara kita seperti memperlakukan terhadap diri kita sendiri."
Kisah Pencuri Saleh
Seorang pemuda lugu menuntut ilmu kepada seorang guru fara'idh (ilmu hitung harta waris). Kehidupan ekonomi sang guru sangat pas-pasan. Dalam suatu kesempatan, sang guru berkata kepada murid-muridnya, "Kalian tidak boleh menjadi beban orang lain. Sesungguhnya orang alim yang menengadahkan tangannya kepada orang-orang yang berharta tidak ada kebaikan pada dirinya. Pergilah kalian semua dan bekerjalah seperti pekerjaan ayah kalian masing-masing. Bawalah selalu kejujuran dan ketakwaan kepada Allah dalam menjalankan pekerjaan tersebut!"
Pemuda itu tidak tahu tentang pekerjaan ayahnya yang telah meninggal. Ia pun segera pulang ke rumah untuk menanyakan hal tersebut kepada sang ibu.
Setibanya di rumah, pemuda itu menemui ibunya, lalu berkata, "Bu, tolong beri tahu kepadaku apa pekerjaan sepeninggal ayah dahulu?"
Sang ibu heran dengan pertanyaan anaknya yang tiba-tiba itu. Ia pun balik bertanya, "Apa urusanmu hingga ingin mengetahui pekerjaan ayahmu?" Ungkapan sang ibu itu menunjukkan bahwa ia enggan menjawab pertanyaan anaknya.
Pemuda itu terus-menerus memaksa ibunya agar mengungkapkan pekerjaan ayahnya. Lama-kelamaan sang ibu tidak tahan menanggapi desakan anaknya. Dengan nada tinggi, sang ibu berkata, "Ketahuilah bahwa ayahmu dulu adalah seorang pencuri!"
Bukan kecewa yang dirasakan pemuda itu ketika mengetahui ayahnya adalah pencuri, melainkan hasrat yang menggebu-gebu untuk mengikuti jejak ayahnya sesuai dengan anjuran yang disampaikan oleh gurunya.
Pemuda itu menjelaskan kepada ibunya, "Aku diperintahkan oleh guruku untuk bekerja seperti pekerjaan ayahku tanpa meninggalkan kejujuran dan ketakwaan kepada Allah dalam bekerja."
"Hai, Anakku! Apakah dalam mencuri ada ketakwaan?" sela ibunya.
Anaknya menjawab dengan keluguannya, "Ya, begitulah kata guruku."
Ia pun belajar bagaimana menjalankan profesi sebagai pencuri. Ketika ilmu teknik mencuri yang didalaminya sudah cukup. Ia pun memutuskan untuk beraksi melaksanakan perintah sang guru.
Seusai shalat Isya' dan semua orang tertidur lelap, ia pun keluar rumah untuk menjalankan aksi perdananya. Ia selalu ingat pesan gurunya untuk membawa kejujuran dan ketakwaan saat bekerja.
Rumah yang diincar pertama kali adalah yang terdekat dengan rumahnya, yaitu rumah tetangganya sendiri. Namun, ia ingat bahwa mengganggu tetangga bukanlah pekerjaan takwa. Kemudian ia urungkan niatnya untuk mencuri di rumah tetangganya.
Begitu pula, ketika hendak mencuri di rumah anak yatim, ia berpikir, "Allah memperingatkan untuk tidak memakan harta anak yatim." Ia pun pergi mencari rumah berikutnya.
Sambil berjalan, ia merenung, ternyata tidak mudah untuk menjadi pencuri yang bertakwa. Bagaimana pun juga mengambil harta orang lain tidak diperbolehkan agama. Akan tetapi, perintah sang guru harus dilaksanakan. Tidak boleh berputus asa!
Langkahnya terhenti di sebuah rumah besar nan megah. Konon pemilik rumah itu terkenal memiliki harta berlimpah melebihi kebutuhannya. Dengan keterbatasan ilmunya, ia beranggapan bahwa tidak mengapa jika mengambil zakat dari kekayaan orang tersebut. Toh, bagian zakat itu bukan hak si empunya kekayaan, tetapi hak orang miskin.
Tekad yang bulat mendorongnya untuk masuk ke dalam rumah besar yang tidak berpenjaga tersebut. Satu per satu kamar ia selidiki untuk menemukan tempat penyimpanan harta.
Akhirnya, ia sampai di sebuah kamar besar dan didapatinya sebuah kotak besar berisi emas, perak, dan uang tunai. Ia kumpulkan buku-buku catatan yang berisi laporan keuangan si pedagang kaya tersebut. Dengan lentera kecil yang dibawanya, ia mulai menghitung zakat yang harus dikeluarkan oleh orang kaya itu.
Keahlian dalam hal keuangan, pembukuan, dan pembagian harta ia kerahkan di sana. Dikarenakan begitu banyaknya perhitungan yang harus diselesaikan, ia pun lupa waktu. Fajar sudah menyingsing pertanda tiba waktu shalat Subuh.
Sang tuan rumah pun telah bangun dari lelapnya untuk melaksanakan shalat Subuh. Alangkah terkejutnya ketika kamar tempat penyimpanan hartanya telah terbuka. Apalagi ia mendapati seseorang tengah asyik dengan buku-buku catatannya di bawah cahaya lentera kecil.
Dengan lantang, si tuan rumah menghardik pemuda tersebut, "Hai! Siapa kau!"
Sang pemuda terkesiap mendengar teguran tersebut. Saat disadarinya hari sudah hampir terang, ia bergegas untuk melaksanakan shalat. Ia berkata kepada si pemilik rumah, "Maaf, akan saya jelaskan nanti. Tapi, izinkan saya untuk shalat Subuh terlebih dahulu."
Akhirnya, mereka berdua pun shalat Subuh berjemaah dengan si tuan rumah sebagai imamnya. Usai shalat, pemuda itu mengaku kepada tuan rumah, "Saya pencuri."
Si tuan rumah makin bertambah keheranannya, "Lantas apa yang kau lakukan dengan buku-buku catatanku?" tanya tuan rumah.
"Aku sedang menghitung zakat yang belum kau keluarkan selama enam tahun. Ini hasilnya," jawab pemuda itu sambil menyodorkan hasil perhitungannya.
Ia pun menasihati si tuan rumah tentang keutamaan zakat. Tiada kemarahan terlihat di wajah si tuan rumah. Ia malah terkagum-kagum akan kejujuran serta kepandaian dan ketepatan si pencuri dalam berhitung. Selain itu, ia jadi mengetahui tentang pentingnya mengeluarkan zakat.
Akhirnya, si tuan rumah mengangkatnya menjadi sekretaris dan juru hitung pribadinya. Ia pun menikahkan sang pemuda dengan putrinya. Ibu si pemuda tinggal bersama mereka. Berkat kejujuran dan ketakwaan yang dibawa sang pemuda dalam perbuatannya, kebahagiaan mendatangi dirinya dan orang lain.
Pemuda itu tidak tahu tentang pekerjaan ayahnya yang telah meninggal. Ia pun segera pulang ke rumah untuk menanyakan hal tersebut kepada sang ibu.
Setibanya di rumah, pemuda itu menemui ibunya, lalu berkata, "Bu, tolong beri tahu kepadaku apa pekerjaan sepeninggal ayah dahulu?"
Sang ibu heran dengan pertanyaan anaknya yang tiba-tiba itu. Ia pun balik bertanya, "Apa urusanmu hingga ingin mengetahui pekerjaan ayahmu?" Ungkapan sang ibu itu menunjukkan bahwa ia enggan menjawab pertanyaan anaknya.
Pemuda itu terus-menerus memaksa ibunya agar mengungkapkan pekerjaan ayahnya. Lama-kelamaan sang ibu tidak tahan menanggapi desakan anaknya. Dengan nada tinggi, sang ibu berkata, "Ketahuilah bahwa ayahmu dulu adalah seorang pencuri!"
Bukan kecewa yang dirasakan pemuda itu ketika mengetahui ayahnya adalah pencuri, melainkan hasrat yang menggebu-gebu untuk mengikuti jejak ayahnya sesuai dengan anjuran yang disampaikan oleh gurunya.
Pemuda itu menjelaskan kepada ibunya, "Aku diperintahkan oleh guruku untuk bekerja seperti pekerjaan ayahku tanpa meninggalkan kejujuran dan ketakwaan kepada Allah dalam bekerja."
"Hai, Anakku! Apakah dalam mencuri ada ketakwaan?" sela ibunya.
Anaknya menjawab dengan keluguannya, "Ya, begitulah kata guruku."
Ia pun belajar bagaimana menjalankan profesi sebagai pencuri. Ketika ilmu teknik mencuri yang didalaminya sudah cukup. Ia pun memutuskan untuk beraksi melaksanakan perintah sang guru.
Seusai shalat Isya' dan semua orang tertidur lelap, ia pun keluar rumah untuk menjalankan aksi perdananya. Ia selalu ingat pesan gurunya untuk membawa kejujuran dan ketakwaan saat bekerja.
Rumah yang diincar pertama kali adalah yang terdekat dengan rumahnya, yaitu rumah tetangganya sendiri. Namun, ia ingat bahwa mengganggu tetangga bukanlah pekerjaan takwa. Kemudian ia urungkan niatnya untuk mencuri di rumah tetangganya.
Begitu pula, ketika hendak mencuri di rumah anak yatim, ia berpikir, "Allah memperingatkan untuk tidak memakan harta anak yatim." Ia pun pergi mencari rumah berikutnya.
Sambil berjalan, ia merenung, ternyata tidak mudah untuk menjadi pencuri yang bertakwa. Bagaimana pun juga mengambil harta orang lain tidak diperbolehkan agama. Akan tetapi, perintah sang guru harus dilaksanakan. Tidak boleh berputus asa!
Langkahnya terhenti di sebuah rumah besar nan megah. Konon pemilik rumah itu terkenal memiliki harta berlimpah melebihi kebutuhannya. Dengan keterbatasan ilmunya, ia beranggapan bahwa tidak mengapa jika mengambil zakat dari kekayaan orang tersebut. Toh, bagian zakat itu bukan hak si empunya kekayaan, tetapi hak orang miskin.
Tekad yang bulat mendorongnya untuk masuk ke dalam rumah besar yang tidak berpenjaga tersebut. Satu per satu kamar ia selidiki untuk menemukan tempat penyimpanan harta.
Akhirnya, ia sampai di sebuah kamar besar dan didapatinya sebuah kotak besar berisi emas, perak, dan uang tunai. Ia kumpulkan buku-buku catatan yang berisi laporan keuangan si pedagang kaya tersebut. Dengan lentera kecil yang dibawanya, ia mulai menghitung zakat yang harus dikeluarkan oleh orang kaya itu.
Keahlian dalam hal keuangan, pembukuan, dan pembagian harta ia kerahkan di sana. Dikarenakan begitu banyaknya perhitungan yang harus diselesaikan, ia pun lupa waktu. Fajar sudah menyingsing pertanda tiba waktu shalat Subuh.
Sang tuan rumah pun telah bangun dari lelapnya untuk melaksanakan shalat Subuh. Alangkah terkejutnya ketika kamar tempat penyimpanan hartanya telah terbuka. Apalagi ia mendapati seseorang tengah asyik dengan buku-buku catatannya di bawah cahaya lentera kecil.
Dengan lantang, si tuan rumah menghardik pemuda tersebut, "Hai! Siapa kau!"
Sang pemuda terkesiap mendengar teguran tersebut. Saat disadarinya hari sudah hampir terang, ia bergegas untuk melaksanakan shalat. Ia berkata kepada si pemilik rumah, "Maaf, akan saya jelaskan nanti. Tapi, izinkan saya untuk shalat Subuh terlebih dahulu."
Akhirnya, mereka berdua pun shalat Subuh berjemaah dengan si tuan rumah sebagai imamnya. Usai shalat, pemuda itu mengaku kepada tuan rumah, "Saya pencuri."
Si tuan rumah makin bertambah keheranannya, "Lantas apa yang kau lakukan dengan buku-buku catatanku?" tanya tuan rumah.
"Aku sedang menghitung zakat yang belum kau keluarkan selama enam tahun. Ini hasilnya," jawab pemuda itu sambil menyodorkan hasil perhitungannya.
Ia pun menasihati si tuan rumah tentang keutamaan zakat. Tiada kemarahan terlihat di wajah si tuan rumah. Ia malah terkagum-kagum akan kejujuran serta kepandaian dan ketepatan si pencuri dalam berhitung. Selain itu, ia jadi mengetahui tentang pentingnya mengeluarkan zakat.
Akhirnya, si tuan rumah mengangkatnya menjadi sekretaris dan juru hitung pribadinya. Ia pun menikahkan sang pemuda dengan putrinya. Ibu si pemuda tinggal bersama mereka. Berkat kejujuran dan ketakwaan yang dibawa sang pemuda dalam perbuatannya, kebahagiaan mendatangi dirinya dan orang lain.
Kejujuran Seorang Khalifah
Kota Andalusia, Spanyol, dikuasai oleh seorang khalifah yang jujur dan adil bernama Al-Manshur bin Abi Amir Al-Hajib. Dia memiliki rencana besar untuk membangun sebuah jembatan sebagai penghubung dua kota yang dipisahkan sebuah sungai.
Proyek itu dianggarkan empat puluh ribu dinar emas. Meskipun menelan biaya besar, khalifah melihat sisi manfaatnya yang lebih besar bagi kelancaran transportasi dan kegiatan perekonomian masyarakatnya.
Diharapkan proyek itu dapat terealisasi. Oleh karena itu, penguasa harus membeli sepetak tanah milik orang tua yang miskin karena pada tanah itulah akan dibangun fondasi untuk jembatan tersebut. Khalifah menyuruh petugas proyek untuk membeli tanah tersebut dengan harga 100 dinar.
Petugas proyek pun melaksanakan perintah tersebut. Ia menemui si pemilik tanah dan bertanya kepadanya, "Berapa akan kaujual tanahmu ini?"
Orang tua miskin itu menjawab, "Lima dinar!"
Melihat tawaran orang tua miskin yang sangat rendah tersebut, petugas proyek berpikir untuk membeli tanah tersebut di bawah harga yang ditetapkan oleh sang khalifah. Artinya, ia telah menghemat pengeluaran negara.
Akhirnya, petugas tersebut menawar tanah yang dimaksud dengan harga 10 dinar, yang berarti dua kali lipat dari harga yang diminta pemilik tanah.
Tentu saja orang tua itu bahagia bukan kepalang. Baginya uang sepuluh dinar sangat besar. Ia bisa membeli tanah baru dan menabung sisanya.
Sementara itu, petugas proyek merasa telah menyelesaikan tugasnya dengan baik, bahkan menganggap dirinya telah berjasa menghemat pengeluaran negara. Ia pun menceritakan tawar-menawar yang terjadi dan berharap sang khalifah akan memuji idenya.
Mendengar hal tersebut raut wajah sang khalifah menunjukkan kekecewaan yang mendalam kepada petugasnya. Ia pun memerintahkan untuk memanggil lelaki tua miskin itu ke hadapannya.
Perintah pun dilaksanakan. Tidak lama kemudian, lelaki tua itu datang menghadap dengan seribu tanda tanya di kepalanya, "Apakah khalifah akan memarahiku karena telah menjual tanah dengan harga mahal?" pikirnya.
Di luar dugaan, ternyata Khalifah Manshur menyambutnya dengan wajah ceria seraya berkata, "Wahai Bapak Tua, benarkah engkau rela menjual tanahmu dengan harga sepuluh dinar?"
"Benar, Tuan. Aku telah ikhlas menjualnya," jawab lelaki tua itu.
Khalifah Manshur kembali berkata, "Bapak Tua, tanah itu akan digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, aku sampaikan terima kasih kepadamu atas kesediaan menjual tanah dengan harga murah. Namun, sebelumnya kami telah menetapkan untuk membeli tanahmu seharga seratus dinar. Jadi, terimalah sisa pembayaran yang harus kauterima!"
Lelaki tua itu terperanjat atas keputusan sang khalifah. Sama sekali ia tidak menyangka hak-haknya akan dihargai sedemikian rupa oleh penguasa. Ia pun berdoa semoga keberkahan senantiasa dicurahkan kepada pemimpin yang adil dan mengutamakan hak-hak rakyatnya.
Proyek itu dianggarkan empat puluh ribu dinar emas. Meskipun menelan biaya besar, khalifah melihat sisi manfaatnya yang lebih besar bagi kelancaran transportasi dan kegiatan perekonomian masyarakatnya.
Diharapkan proyek itu dapat terealisasi. Oleh karena itu, penguasa harus membeli sepetak tanah milik orang tua yang miskin karena pada tanah itulah akan dibangun fondasi untuk jembatan tersebut. Khalifah menyuruh petugas proyek untuk membeli tanah tersebut dengan harga 100 dinar.
Petugas proyek pun melaksanakan perintah tersebut. Ia menemui si pemilik tanah dan bertanya kepadanya, "Berapa akan kaujual tanahmu ini?"
Orang tua miskin itu menjawab, "Lima dinar!"
Melihat tawaran orang tua miskin yang sangat rendah tersebut, petugas proyek berpikir untuk membeli tanah tersebut di bawah harga yang ditetapkan oleh sang khalifah. Artinya, ia telah menghemat pengeluaran negara.
Akhirnya, petugas tersebut menawar tanah yang dimaksud dengan harga 10 dinar, yang berarti dua kali lipat dari harga yang diminta pemilik tanah.
Tentu saja orang tua itu bahagia bukan kepalang. Baginya uang sepuluh dinar sangat besar. Ia bisa membeli tanah baru dan menabung sisanya.
Sementara itu, petugas proyek merasa telah menyelesaikan tugasnya dengan baik, bahkan menganggap dirinya telah berjasa menghemat pengeluaran negara. Ia pun menceritakan tawar-menawar yang terjadi dan berharap sang khalifah akan memuji idenya.
Mendengar hal tersebut raut wajah sang khalifah menunjukkan kekecewaan yang mendalam kepada petugasnya. Ia pun memerintahkan untuk memanggil lelaki tua miskin itu ke hadapannya.
Perintah pun dilaksanakan. Tidak lama kemudian, lelaki tua itu datang menghadap dengan seribu tanda tanya di kepalanya, "Apakah khalifah akan memarahiku karena telah menjual tanah dengan harga mahal?" pikirnya.
Di luar dugaan, ternyata Khalifah Manshur menyambutnya dengan wajah ceria seraya berkata, "Wahai Bapak Tua, benarkah engkau rela menjual tanahmu dengan harga sepuluh dinar?"
"Benar, Tuan. Aku telah ikhlas menjualnya," jawab lelaki tua itu.
Khalifah Manshur kembali berkata, "Bapak Tua, tanah itu akan digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, aku sampaikan terima kasih kepadamu atas kesediaan menjual tanah dengan harga murah. Namun, sebelumnya kami telah menetapkan untuk membeli tanahmu seharga seratus dinar. Jadi, terimalah sisa pembayaran yang harus kauterima!"
Lelaki tua itu terperanjat atas keputusan sang khalifah. Sama sekali ia tidak menyangka hak-haknya akan dihargai sedemikian rupa oleh penguasa. Ia pun berdoa semoga keberkahan senantiasa dicurahkan kepada pemimpin yang adil dan mengutamakan hak-hak rakyatnya.
Menawar agar Lebih Mahal
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah sedang duduk di masjid bersama para sahabatnya. Beliau bersabda, "Sebentar lagi seorang lelaki dengan wajah bercahaya akan datang. Dia adalah salah seorang dari orang-orang terbaik dari Yaman, dan ada tanda malaikat di dahinya."
Tak lama kemudian, orang tersebut datang kepada Rasulullah saw dan menyatakan keislamannya. Ia adalah Jarir bin Abdullah Al-Bajali. (HR Muslim)
Tanda-tanda kemuliaan sahabat nabi, Jarir bin Abdullah Al-Bajali, telah diberitakan oleh Allah SWT ketika ia hendak menyatakan keislamannya. Ia adalah sosok sahabat yang menjunjung tinggi kejujuran dan selalu menepati janji.
Pernah suatu hari ia menyuruh budaknya untuk mencarikannya kuda terbaik. Akhirnya, budak itu menemukan kuda yang diinginkan majikannya. Ia pun bertanya kepada si penjual, "Berapa harga kuda ini?"
"Empat ratus dirham," jawab pedagang itu.
"Baiklah, akan aku beri tahukan kepada majikanku agar ia membelinya," kata budak tersebut. Ia pun menuntun kuda tawarannya untuk diperlihatkan kepada sang majikan.
Melihat kuda yang gagah tersebut, sang majikan menaksirnya dengan harga 800 dirham berdasarkan harga pasar. Ia pun menanyakan harga yang ditawarkan si penjual pada budaknya.
"Ia ingin menjual kudanya seharga 400 dirham," jawab si budak.
Mendengar harga tersebut, Al-Bajali langsung pergi menemui penjual kuda itu. Ia berkata kepada si penjual, "Kau katakan kepada budakku harga kuda ini adalah 400 dirham. Maukah engkau menjualnya seharga 500 dirham?"
Pedagang kuda itu merasa heran, "Apakah saya tidak salah dengar?' pikirnya.
Melihat si penjual terdiam, Al-Bajali menawar lagi, "Bagaimana jika 600 dirham?"
Tentu saja keheranannya makin bertambah. Sungguh ia tidak tahu harus berkata apa saat itu.
Melihat penjual itu masih diam, Al-Bajali menaikkan lagi tawarannya, "Kalau begitu, juallah dengan harga 700 atau 800 dirham!"
Al-Bajali melanjutkan, "Wahai penjual, aku sudah berjanji kepada Rasulullah saw untuk bersikap jujur kepada setiap muslim. Kudamu itu harganya sekitar 800 dirham. Jika aku membeli dengan harga kurang dari itu, aku khawatir akan mengkhianati janjiku kepada Rasulullah saw."
Tak lama kemudian, orang tersebut datang kepada Rasulullah saw dan menyatakan keislamannya. Ia adalah Jarir bin Abdullah Al-Bajali. (HR Muslim)
Tanda-tanda kemuliaan sahabat nabi, Jarir bin Abdullah Al-Bajali, telah diberitakan oleh Allah SWT ketika ia hendak menyatakan keislamannya. Ia adalah sosok sahabat yang menjunjung tinggi kejujuran dan selalu menepati janji.
Pernah suatu hari ia menyuruh budaknya untuk mencarikannya kuda terbaik. Akhirnya, budak itu menemukan kuda yang diinginkan majikannya. Ia pun bertanya kepada si penjual, "Berapa harga kuda ini?"
"Empat ratus dirham," jawab pedagang itu.
"Baiklah, akan aku beri tahukan kepada majikanku agar ia membelinya," kata budak tersebut. Ia pun menuntun kuda tawarannya untuk diperlihatkan kepada sang majikan.
Melihat kuda yang gagah tersebut, sang majikan menaksirnya dengan harga 800 dirham berdasarkan harga pasar. Ia pun menanyakan harga yang ditawarkan si penjual pada budaknya.
"Ia ingin menjual kudanya seharga 400 dirham," jawab si budak.
Mendengar harga tersebut, Al-Bajali langsung pergi menemui penjual kuda itu. Ia berkata kepada si penjual, "Kau katakan kepada budakku harga kuda ini adalah 400 dirham. Maukah engkau menjualnya seharga 500 dirham?"
Pedagang kuda itu merasa heran, "Apakah saya tidak salah dengar?' pikirnya.
Melihat si penjual terdiam, Al-Bajali menawar lagi, "Bagaimana jika 600 dirham?"
Tentu saja keheranannya makin bertambah. Sungguh ia tidak tahu harus berkata apa saat itu.
Melihat penjual itu masih diam, Al-Bajali menaikkan lagi tawarannya, "Kalau begitu, juallah dengan harga 700 atau 800 dirham!"
Al-Bajali melanjutkan, "Wahai penjual, aku sudah berjanji kepada Rasulullah saw untuk bersikap jujur kepada setiap muslim. Kudamu itu harganya sekitar 800 dirham. Jika aku membeli dengan harga kurang dari itu, aku khawatir akan mengkhianati janjiku kepada Rasulullah saw."
Maha Melihat
Konon, semasa muda, Hasan Al-Basri adalah pemuda yang tampan dan kaya. Sayangnya ia suka menghambur-hamburkan waktunya untuk berfoya-foya. Suatu hari ia melihat kain sutra hijau yang sangat indah. Ia pun tertarik untuk membelinya sebagai hadiah bagi seorang gadis idamannya.
Kemudian dihampirinya pelayan toko kain tersebut dan bertanya, "Saya ingin membeli kain sutra hijau itu. Berapa harganya?"
Tak disangka, pelayan tersebut menjawab, "Saya tidak berani menjualnya!"
Tentu saja jawaban pelayan itu membuat Hasan Al-Basri keheranan, lalu ia berkata, "Jika kau tak ingin menjualnya, lantas untuk apa kaupajang kain itu?"
"Saya bukan pemilik toko ini. Saya hanya seorang pelayan yang dipercaya majikan untuk menjaga dagangannya," jelas pelayan tersebut.
Sambil bersungut, Hasan Al-Basri bertanya kembali, "Kapan majikanmu datang?"
Pelayan itu menjawab, "Saya tidak tahu. Mungkin petang nanti. Ada anggota keluarga yang sakit."
"Sudahlah, jual saja sepotong. Toh, majikanmu tidak akan tahu karena masih bersisa banyak," bujuknya lagi.
Pelayan itu menghela nafas panjang. Ia menimpali, "Memang majikan saya tidak akan tahu. Tapi, bagaimana dengan Penguasa majikan saya? Apakah tuan menjamin Dia tidak akan tahu?"
Sambil tersenyum sinis, Hasan Al-Basri menantang, "Memangnya siapa penguasa majikanmu?"
"Allah 'Azza wa Jalla" tandas pelayan itu.
Kemudian dihampirinya pelayan toko kain tersebut dan bertanya, "Saya ingin membeli kain sutra hijau itu. Berapa harganya?"
Tak disangka, pelayan tersebut menjawab, "Saya tidak berani menjualnya!"
Tentu saja jawaban pelayan itu membuat Hasan Al-Basri keheranan, lalu ia berkata, "Jika kau tak ingin menjualnya, lantas untuk apa kaupajang kain itu?"
"Saya bukan pemilik toko ini. Saya hanya seorang pelayan yang dipercaya majikan untuk menjaga dagangannya," jelas pelayan tersebut.
Sambil bersungut, Hasan Al-Basri bertanya kembali, "Kapan majikanmu datang?"
Pelayan itu menjawab, "Saya tidak tahu. Mungkin petang nanti. Ada anggota keluarga yang sakit."
"Sudahlah, jual saja sepotong. Toh, majikanmu tidak akan tahu karena masih bersisa banyak," bujuknya lagi.
Pelayan itu menghela nafas panjang. Ia menimpali, "Memang majikan saya tidak akan tahu. Tapi, bagaimana dengan Penguasa majikan saya? Apakah tuan menjamin Dia tidak akan tahu?"
Sambil tersenyum sinis, Hasan Al-Basri menantang, "Memangnya siapa penguasa majikanmu?"
"Allah 'Azza wa Jalla" tandas pelayan itu.
Barang Cacat yang Terjual
Syaqiq Al-Bakhli bercerita bahwa suatu ketika seorang pedagang jujur bernama Bisyr berdagang ke negeri Mesir dengan membawa 80 potong kain sutra. Barang dagangannya itu adalah titipan Abu Hanifah.
Sebelum keberangkatannya, Abu Hanifah memberi tahu bahwa ada satu potong kain yang cacat. Ia pun menunjukkan kain cacat itu dan berpesan agar hal ini diberitahukan kepada calon pembeli.
Bisyr pun beraksi menjualkan barang dagangannya. Begitu asyiknya melayani pembeli yang sangat banyak untuk membeli dagangannya, ia lupa memberitahukan cacat sepotong kain pada pembeli yang menawarnya. Akhirnya, seluruh barang terjual habis termasuk sepotong kain yang cacat tersebut.
Akhirnya, dia pulang dan memberikan semua hasil dagangan tersebut. Abu Hanifah pun menerimanya dengan sangat senang karena keuntungan yang didapatkan sangat besar di hari itu. Tidak lupa pula ia menanyakan perihal kain yang cacat kepada sahabatnya.
Bisyr baru teringat akan amanah dari Abu Hanifah tersebut, "Astagfirullah, maafkan saya karena telah lupa untuk mengatakannya kepada para pembeli," aku Bisyr.
Abu Hanifah menyesali kejadian itu. Ia khawatir keuntungan yang diterimanya tidak seratus persen halal. Untuk membersihkan keuntungannya itu, Abu Hanifah membagi-bagikan uang seribu dinar hasil penjualan tersebut kepada fakir miskin. Dia berharap agar rezekinya yang halal tidak tercampur dengan rezeki yang bukan haknya.
Sebelum keberangkatannya, Abu Hanifah memberi tahu bahwa ada satu potong kain yang cacat. Ia pun menunjukkan kain cacat itu dan berpesan agar hal ini diberitahukan kepada calon pembeli.
Bisyr pun beraksi menjualkan barang dagangannya. Begitu asyiknya melayani pembeli yang sangat banyak untuk membeli dagangannya, ia lupa memberitahukan cacat sepotong kain pada pembeli yang menawarnya. Akhirnya, seluruh barang terjual habis termasuk sepotong kain yang cacat tersebut.
Akhirnya, dia pulang dan memberikan semua hasil dagangan tersebut. Abu Hanifah pun menerimanya dengan sangat senang karena keuntungan yang didapatkan sangat besar di hari itu. Tidak lupa pula ia menanyakan perihal kain yang cacat kepada sahabatnya.
Bisyr baru teringat akan amanah dari Abu Hanifah tersebut, "Astagfirullah, maafkan saya karena telah lupa untuk mengatakannya kepada para pembeli," aku Bisyr.
Abu Hanifah menyesali kejadian itu. Ia khawatir keuntungan yang diterimanya tidak seratus persen halal. Untuk membersihkan keuntungannya itu, Abu Hanifah membagi-bagikan uang seribu dinar hasil penjualan tersebut kepada fakir miskin. Dia berharap agar rezekinya yang halal tidak tercampur dengan rezeki yang bukan haknya.
Selasa, 06 April 2010
Gelar Ash-Shiddiq untuk Abu Bakar r.a.
Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. adalah sahabat setia Rasulullah saw yang senantiasa mendampingi beliau pada masa-masa pelik penyiaran Islam. la memiliki nama lengkap Abdullah bin Utsman bin Amir bin Ka'ab At-Taimi Al-Quraisy.
Sebelum memeluk Islam, ia bernama Abdul Kakbah dan ketika besar mendapat nama lain, yaitu Atiq, berasal dari nama lain Kakbah yang berarti Purba. Ada juga yang mengatakan Al-Atiq adalah gelar yang diberikan Rasulullah yang berarti 'yang dibebaskan'.
Alasannya pun beragam. Ada yang berpendapat karena Rasulullah pernah mengatakan kepadanya, "Anda adalah orang yang dibebaskan Allah dari api neraka!" Ada pula yang berpendapat bahwa gelar itu diberikan karena ketampanan wajahnya atau karena banyaknya hamba sahaya yang dimerdekakan olehnya.
Setelah memeluk Islam, Rasulullah saw memberi nama Abdullah. Kemudian menjadi Abu Bakar karena kepeloporannya sebagai orang yang pertama kali memeluk Islam, selain Khadijah r.a.
Penamaan Bakar ini karena mempunyai arti dini atau awal, sebagaimana sabda Rasulullah saw tentang keislamannya, "Tidak kuajak seorang pun masuk Islam melainkan ia ragu dan bimbang, kecuali Abu Bakar. la tidak ragu dan bimbang ketika kusampaikan kepodanya." (HR Bukhari)
Suatu ketika Rasulullah saw tengah dilanda kesedihan yang mendalam. Dua orang yang sangat dicintainya telah dipanggil ke rahmatullah. Mereka adalah Abu Thalib, pamannya, dan Khadijah r.a, istri yang sangat dicintainya.
Perjuangan menegakkan risalah bukanlah hal yang mudah. Pada saat Rasulullah saw bingung dan kesulitan, merekalah orang pertama yang selalu siap melindungi dan menghiburnya. Tentu saja kepergian mereka di dunia ini memberikan duka yang mendalam bagi sang pembawa risalah.
Dalam tahun duka tersebut, Allah SWT hendak menghibur kekasih-Nya dengan perjalanan yang luar biasa menakjubkan. Perjalanan itu terkenal dengan peristiwa Isra' Mi'raj. Sungguh anugerah nikmat yang luar biasa bagi Rasulullah saw. karena peristiwa itu tidak pernah dialami nabi-nabi sebelumnya.
Malam 27 Rajab itu dimulainya perjalanan spektakuler. Rasulullah saw. melakukan Isra' dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa.
Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur'an, "Maha suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang teiah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat." (QS Al-lsra' [17]: 1)
Perjalanan dilanjutkan dengan Mi'raj ke Sidratul Muntaha. Di sanalah Rasulullah saw menerima perintah shalat lima waktu.
Kemudian dia mendekat (pada Muhammad), lalu bertambah dekat sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu disompoikannya wahyu kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah diwahyukan Allah. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentong apa yang diiihatnya itu? Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (puia) melampauinya. Sungguh, dia telah meiihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar. (QS An-Najm [53]: 8-18)
Sungguh besar kekuasaan Allah SWT yang telah memperjalankan hamba-Nya dalam waktu semalam ke berbagai macam tempat yang saling berjauhan. Allahu Akbar! Perjalanan ini makin mengukuhkan keyakinan Rasulullah saw dalam menghadapi segala rintangan yang akan menghalangi dakwahnya.
Keesokan harinya, peristiwa Isra' menjadi kabar besar di kota Mekah. Kaum musyrikin Quraisy mencibir cerita Rasulullah yang telah melakukan perjalanan pulang pergi dari Mekah ke Yerussalem dan kembali ke Mekah hanya dalam waktu semalam.
Keheranan mereka berdasarkan pada pengalaman mereka. Menurut mereka, perjalanan pulang pergi Mekah - Yerussalem yang memakan waktu sampai 2 bulan, tidak mungkin bisa dipersingkat waktunya hanya semalam. Hal itu sungguh mustahil.
Bahkan, mereka menganggap bahwa cerita yang dibawa Muhammad itu adalah rekayasa atau khayalan yang tinggi dari mulutnya. Mereka tidak mengakui akan bukti kebenaran yang telah dibawa Rasulullah saw.
Segala sesuatu dianggap mustahil bagi mereka yang tidak mengimani kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Selain menjadi bahan olok-olokan kaum musyrikin Ouraisy, peristiwa besar tersebut membuat beberapa orang muslim yang belum kuat imannya menjadi murtad.
Peristiwa itu juga membuat Muth'in bin Adi - penolong Rasulullah saw. sepulangnya dari Thaif dan pelindung beliau dari kekejaman paman-pamannya yang musyrik - ikut menyangsikan perjalanan tersebut.
Ia berkata, "Apa yang engkau katakan sebelum ini adalah persoalan yang masuk akal. Namun, tidak kali ini. Aku bersaksi bahwa engkau berdusta! Kami membutuhkan waktu sebulan untuk pergi ke Yerusalem dan sebulan lagi untuk pulang. Lalu, engkau berkata bahwa kau tempuh jarak itu hanya dalam waktu semalam? Demi Lata dan Uzza, aku tidak percaya kepadamu."
Beberapa orang yang telah mendengar berita tersebut bercerita kepada Abu Bakar r.a. Akan tetapi, tidak ada keraguan sedikit pun pada diri Abu Bakar r.a tentang peristiwa yang dianggap mustahil bagi kebanyakan orang tersebut.
Ia katakan kepada orang-orang yang meragukan cerita Rasulullah saw, "Demi Allah, apa pun yang dikatakan oleh Rasulullah saw pasti benar. Mengapa kalian merasa heran dengan cerita itu? Demi Allah, sekalipun beliau mengabarkan kepadaku bahwa berita telah datang kepadanya dari langit ke bumi dalam sesaat, baik pada waktu siang maupun malam, niscaya aku akan membenarkannya. Padahal, kalian percaya bahwa beliau menerima wahyu dari langit. Bukankah itu lebih mengherankan daripada apa yang kalian dengar saat ini?"
Abu Bakar r.a. segera menyusul Rasulullah dan mendengarkan beliau bercerita tentang ciri-ciri Masjidil Aqsa. Setiap Rasulullah saw selesai menceritakan bagian per bagian Masjidil Aqsa, Abu Bakar r.a selalu berkata, "Engkau benar".
"Aku bersaksi bahwa engkau utusan Allah." Begitu seterusnya hingga akhir cerita. Abu Bakar sangat yakin peristiwa Isra' benar-benar terjadi karena ia pernah mengunjungi Masjidil Aqsa sebelumnya. Rasulullah menggambarkan Masjidil Aqsa sampai ke hal-hal yang paling detail. Abu Bakar pun berkali-kali membenarkannya.
Melihat kesungguhan Abu Bakar r.a. dalam membenarkan ceritanya, Rasulullah berkata kepadanya, "Dan engkau, wahai Abu Bakar adalah ash-shiddiq, yang benar dan dapat dipercaya." Sejak saat itulah gelar Ash-Shiddiq sangat terkenal yang disematkan oleh Rasulullah kepada Abu Bakar. Jadilah namanya Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Pernah suatu ketika terjadi selisih paham antara Abu Bakar r.a dan Umar bin Khaththab r.a. Abu Bakar yang berada di pihak salah berusaha meminta maaf kepada Umar bin Khaththab, tetapi Umar menolaknya. Ketika Rasulullah mengetahuinya, beliau bersabda, "Allah selalu mengampunimu, Abu Bakar."
Umar menyesal karena telah menolak permohonan maaf Abu Bakar. Ia pun segera mencari Abu Bakar yang pada saat itu sedang bersama Rasulullah saw. Melihat kedatangan Umar, wajah ceria Rasulullah berubah menjadi marah.
Situasi ini membuat Abu Bakar menjadi cemas seandainya Rasulullah saw marah terhadap Umar bin Khaththab, padahal itu adalah salahnya. Ia pun berkata, "Wahai Rasulullah! Demi Allah! Akulah yang berbuat zalim!" Abu Bakar menegaskan itu hingga dua kali.
Akan tetapi, Rasulullah saw tetap menegur Umar hingga dua kali juga dengan berkata, "Sesungguhnya aku telah diutus kepada kalian, tetapi kalian hanya mengatakan, 'Engkau telah berbohong!' Sementara, Abu Bakar telah berkata 'benar', juga teiah melindungiku dengan jiwa dan hartanya. Apakah kalian akan menyerahkan sahabatku ini kepadaku (untuk dihukum)?" (HR Bukhari)
Saat itu Rasulullah saw hendak menunjukkan kedudukan Abu Bakar yang mulia di antara para sahabat. Hal ini dikarenakan memang tidak ada alasan bagi Umar bin Khaththab r.a untuk tidak memaafkan Abu Bakar r.a yang sudah meminta maaf, di samping kemuliaan kedudukan Abu Bakar di hadapan Allah dan Rasul-Nya.
Dalam kisah yang lain, Ali bin Abi Thalib pun membuat pernyataan tentang Abu BakarAsh-Shiddiq, "Semoga Allah mengasihimu, wahai Abu Bakar. Anda adalah teman akrab Rasulullah, sahabat setianya, tempat curahan hatinya, tempat menyimpan rahasianya, dan sahabatnya yang diajak bermusyawarah. Anda adalah laki-laki pertama yang masuk Islam, orang yang paling tulus imannya, orang yang paling baik yang menemani Rasulullah, yang paling banyak kebaikannya, yang paling mulia di masa lalu, yang paling mulia kedudukannya, yang paling tinggi derajatnya, dan yang paling mirip dengan Rasul dalam hal petunjuk dan jalannya".
Allah menamaimu dalam kitab-Nya dengan nama shiddiq (yang membenarkan). Allah berfirman, "Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka itutah orang yang bertakwa." (QS Az-Zumar [39]: 33).
Orang yang membawa kebenaran ialah Muhammad dan yang membenarkan ialah Abu Bakar.
"Anda adalah orang yang paling dermawan di kala orang lain bersifat kikir. Anda telah menemani Nabi saw menghadapi berbagai kesulitan di kala orang lain berdiam diri. Anda telah menemani Nabi saw. dengan setia di masa-masa kritis dan menggantikan beliau menjadi khalifah dengan baik dan menjalankan khilafah dengan baik." Pernyataan ini diungkapkan Ali bin Abi Thalib tatkala Abu Bakar r.a meninggal.
Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a adalah salah satu sahabat yang dijamin masuk surga. Bahkan, Allah SWT memberikan keistimewaan khusus kepadanya dengan membukakan semua pintu surga untuknya dan ia boleh memasuki surga dari pintu mana pun. Subhanallah.
Sebelum memeluk Islam, ia bernama Abdul Kakbah dan ketika besar mendapat nama lain, yaitu Atiq, berasal dari nama lain Kakbah yang berarti Purba. Ada juga yang mengatakan Al-Atiq adalah gelar yang diberikan Rasulullah yang berarti 'yang dibebaskan'.
Alasannya pun beragam. Ada yang berpendapat karena Rasulullah pernah mengatakan kepadanya, "Anda adalah orang yang dibebaskan Allah dari api neraka!" Ada pula yang berpendapat bahwa gelar itu diberikan karena ketampanan wajahnya atau karena banyaknya hamba sahaya yang dimerdekakan olehnya.
Setelah memeluk Islam, Rasulullah saw memberi nama Abdullah. Kemudian menjadi Abu Bakar karena kepeloporannya sebagai orang yang pertama kali memeluk Islam, selain Khadijah r.a.
Penamaan Bakar ini karena mempunyai arti dini atau awal, sebagaimana sabda Rasulullah saw tentang keislamannya, "Tidak kuajak seorang pun masuk Islam melainkan ia ragu dan bimbang, kecuali Abu Bakar. la tidak ragu dan bimbang ketika kusampaikan kepodanya." (HR Bukhari)
Suatu ketika Rasulullah saw tengah dilanda kesedihan yang mendalam. Dua orang yang sangat dicintainya telah dipanggil ke rahmatullah. Mereka adalah Abu Thalib, pamannya, dan Khadijah r.a, istri yang sangat dicintainya.
Perjuangan menegakkan risalah bukanlah hal yang mudah. Pada saat Rasulullah saw bingung dan kesulitan, merekalah orang pertama yang selalu siap melindungi dan menghiburnya. Tentu saja kepergian mereka di dunia ini memberikan duka yang mendalam bagi sang pembawa risalah.
Dalam tahun duka tersebut, Allah SWT hendak menghibur kekasih-Nya dengan perjalanan yang luar biasa menakjubkan. Perjalanan itu terkenal dengan peristiwa Isra' Mi'raj. Sungguh anugerah nikmat yang luar biasa bagi Rasulullah saw. karena peristiwa itu tidak pernah dialami nabi-nabi sebelumnya.
Malam 27 Rajab itu dimulainya perjalanan spektakuler. Rasulullah saw. melakukan Isra' dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa.
Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur'an, "Maha suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang teiah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat." (QS Al-lsra' [17]: 1)
Perjalanan dilanjutkan dengan Mi'raj ke Sidratul Muntaha. Di sanalah Rasulullah saw menerima perintah shalat lima waktu.
Kemudian dia mendekat (pada Muhammad), lalu bertambah dekat sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu disompoikannya wahyu kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah diwahyukan Allah. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentong apa yang diiihatnya itu? Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (puia) melampauinya. Sungguh, dia telah meiihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar. (QS An-Najm [53]: 8-18)
Sungguh besar kekuasaan Allah SWT yang telah memperjalankan hamba-Nya dalam waktu semalam ke berbagai macam tempat yang saling berjauhan. Allahu Akbar! Perjalanan ini makin mengukuhkan keyakinan Rasulullah saw dalam menghadapi segala rintangan yang akan menghalangi dakwahnya.
Keesokan harinya, peristiwa Isra' menjadi kabar besar di kota Mekah. Kaum musyrikin Quraisy mencibir cerita Rasulullah yang telah melakukan perjalanan pulang pergi dari Mekah ke Yerussalem dan kembali ke Mekah hanya dalam waktu semalam.
Keheranan mereka berdasarkan pada pengalaman mereka. Menurut mereka, perjalanan pulang pergi Mekah - Yerussalem yang memakan waktu sampai 2 bulan, tidak mungkin bisa dipersingkat waktunya hanya semalam. Hal itu sungguh mustahil.
Bahkan, mereka menganggap bahwa cerita yang dibawa Muhammad itu adalah rekayasa atau khayalan yang tinggi dari mulutnya. Mereka tidak mengakui akan bukti kebenaran yang telah dibawa Rasulullah saw.
Segala sesuatu dianggap mustahil bagi mereka yang tidak mengimani kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Selain menjadi bahan olok-olokan kaum musyrikin Ouraisy, peristiwa besar tersebut membuat beberapa orang muslim yang belum kuat imannya menjadi murtad.
Peristiwa itu juga membuat Muth'in bin Adi - penolong Rasulullah saw. sepulangnya dari Thaif dan pelindung beliau dari kekejaman paman-pamannya yang musyrik - ikut menyangsikan perjalanan tersebut.
Ia berkata, "Apa yang engkau katakan sebelum ini adalah persoalan yang masuk akal. Namun, tidak kali ini. Aku bersaksi bahwa engkau berdusta! Kami membutuhkan waktu sebulan untuk pergi ke Yerusalem dan sebulan lagi untuk pulang. Lalu, engkau berkata bahwa kau tempuh jarak itu hanya dalam waktu semalam? Demi Lata dan Uzza, aku tidak percaya kepadamu."
Beberapa orang yang telah mendengar berita tersebut bercerita kepada Abu Bakar r.a. Akan tetapi, tidak ada keraguan sedikit pun pada diri Abu Bakar r.a tentang peristiwa yang dianggap mustahil bagi kebanyakan orang tersebut.
Ia katakan kepada orang-orang yang meragukan cerita Rasulullah saw, "Demi Allah, apa pun yang dikatakan oleh Rasulullah saw pasti benar. Mengapa kalian merasa heran dengan cerita itu? Demi Allah, sekalipun beliau mengabarkan kepadaku bahwa berita telah datang kepadanya dari langit ke bumi dalam sesaat, baik pada waktu siang maupun malam, niscaya aku akan membenarkannya. Padahal, kalian percaya bahwa beliau menerima wahyu dari langit. Bukankah itu lebih mengherankan daripada apa yang kalian dengar saat ini?"
Abu Bakar r.a. segera menyusul Rasulullah dan mendengarkan beliau bercerita tentang ciri-ciri Masjidil Aqsa. Setiap Rasulullah saw selesai menceritakan bagian per bagian Masjidil Aqsa, Abu Bakar r.a selalu berkata, "Engkau benar".
"Aku bersaksi bahwa engkau utusan Allah." Begitu seterusnya hingga akhir cerita. Abu Bakar sangat yakin peristiwa Isra' benar-benar terjadi karena ia pernah mengunjungi Masjidil Aqsa sebelumnya. Rasulullah menggambarkan Masjidil Aqsa sampai ke hal-hal yang paling detail. Abu Bakar pun berkali-kali membenarkannya.
Melihat kesungguhan Abu Bakar r.a. dalam membenarkan ceritanya, Rasulullah berkata kepadanya, "Dan engkau, wahai Abu Bakar adalah ash-shiddiq, yang benar dan dapat dipercaya." Sejak saat itulah gelar Ash-Shiddiq sangat terkenal yang disematkan oleh Rasulullah kepada Abu Bakar. Jadilah namanya Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Pernah suatu ketika terjadi selisih paham antara Abu Bakar r.a dan Umar bin Khaththab r.a. Abu Bakar yang berada di pihak salah berusaha meminta maaf kepada Umar bin Khaththab, tetapi Umar menolaknya. Ketika Rasulullah mengetahuinya, beliau bersabda, "Allah selalu mengampunimu, Abu Bakar."
Umar menyesal karena telah menolak permohonan maaf Abu Bakar. Ia pun segera mencari Abu Bakar yang pada saat itu sedang bersama Rasulullah saw. Melihat kedatangan Umar, wajah ceria Rasulullah berubah menjadi marah.
Situasi ini membuat Abu Bakar menjadi cemas seandainya Rasulullah saw marah terhadap Umar bin Khaththab, padahal itu adalah salahnya. Ia pun berkata, "Wahai Rasulullah! Demi Allah! Akulah yang berbuat zalim!" Abu Bakar menegaskan itu hingga dua kali.
Akan tetapi, Rasulullah saw tetap menegur Umar hingga dua kali juga dengan berkata, "Sesungguhnya aku telah diutus kepada kalian, tetapi kalian hanya mengatakan, 'Engkau telah berbohong!' Sementara, Abu Bakar telah berkata 'benar', juga teiah melindungiku dengan jiwa dan hartanya. Apakah kalian akan menyerahkan sahabatku ini kepadaku (untuk dihukum)?" (HR Bukhari)
Saat itu Rasulullah saw hendak menunjukkan kedudukan Abu Bakar yang mulia di antara para sahabat. Hal ini dikarenakan memang tidak ada alasan bagi Umar bin Khaththab r.a untuk tidak memaafkan Abu Bakar r.a yang sudah meminta maaf, di samping kemuliaan kedudukan Abu Bakar di hadapan Allah dan Rasul-Nya.
Dalam kisah yang lain, Ali bin Abi Thalib pun membuat pernyataan tentang Abu BakarAsh-Shiddiq, "Semoga Allah mengasihimu, wahai Abu Bakar. Anda adalah teman akrab Rasulullah, sahabat setianya, tempat curahan hatinya, tempat menyimpan rahasianya, dan sahabatnya yang diajak bermusyawarah. Anda adalah laki-laki pertama yang masuk Islam, orang yang paling tulus imannya, orang yang paling baik yang menemani Rasulullah, yang paling banyak kebaikannya, yang paling mulia di masa lalu, yang paling mulia kedudukannya, yang paling tinggi derajatnya, dan yang paling mirip dengan Rasul dalam hal petunjuk dan jalannya".
Allah menamaimu dalam kitab-Nya dengan nama shiddiq (yang membenarkan). Allah berfirman, "Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka itutah orang yang bertakwa." (QS Az-Zumar [39]: 33).
Orang yang membawa kebenaran ialah Muhammad dan yang membenarkan ialah Abu Bakar.
"Anda adalah orang yang paling dermawan di kala orang lain bersifat kikir. Anda telah menemani Nabi saw menghadapi berbagai kesulitan di kala orang lain berdiam diri. Anda telah menemani Nabi saw. dengan setia di masa-masa kritis dan menggantikan beliau menjadi khalifah dengan baik dan menjalankan khilafah dengan baik." Pernyataan ini diungkapkan Ali bin Abi Thalib tatkala Abu Bakar r.a meninggal.
Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a adalah salah satu sahabat yang dijamin masuk surga. Bahkan, Allah SWT memberikan keistimewaan khusus kepadanya dengan membukakan semua pintu surga untuknya dan ia boleh memasuki surga dari pintu mana pun. Subhanallah.
Dipercaya karena Jujur
Shuhaib bin Sinan bin Malik lebih dikenal dengan nama Shuhaib Ar-Rumi. la turut hijrah bersama Rasulullah saw dan Abu Bakar r.a ke Medinah. Mereka berhijrah secara diam-diam karena orang-orang Quraisy tidak akan membiarkan Muhammad dan kaum muslimin meninggalkan kota Mekah.
Meskipun demikian, ternyata rencana mereka telah diketahui oleh para musuh Allah. Mereka pun mengatur sebuah perangkap untuk mencegah perjalanan ketiga orang mulia tersebut.
Atas izin Allah SWT, Rasulullah saw dan Abu Bakar r.a berhasil lolos dari jebakan mereka. Namun, tidak bagi Shuhaib. Ia tidak berhasil meloloskan diri dari kepungan orang-orang jahiliah tersebut.
Ketika orang-orang musyrik yang mengepungnya lengah, ia segera memacu untanya agar berlari kencang. Pemburu-pemburu Quraisy segera mengejarnya dan berhasil menghentikan Shuhaib di tengah-tengah padang pasir yang luas.
Pemburu-pemburu Ouraisy menatap Shuhaib dengan beringas seperti tidak sabar ingin membunuhnya. Shuhaib sendiri ingin segera menyusul Rasulullah saw dan Abu Bakar r.a untuk hijrah ke Medinah. Mereka sudah siap dengan senjatanya masing-masing, termasuk shuhaib yang telah memasang anak panah di busurnya.
Dalam situasi yang tegang itu Shuhaib menggertak mereka, "Hai orang-orang kafir Quraisy! Kalian sudah mengetahui bahwa aku adalah ahli panah yang mahir. Demi Allah! Kalian semua akan mati oleh anak panah dalam kantong ini sebelum kalian berhasil mendekatiku. Setelah itu pedang ini akan kugunakan untuk menebas kalian! Sampai semua senjata di tanganku habis!"
Nyali para pemburu beringas itu ciut mendengar ancaman Shuhaib. Namun, mereka tidak mengurungkan niatnya untuk membunuh Shuhaib.
Akhirnya, Shuhaib mengajukan penawaran kepada mereka, "Kalau kalian setuju, akan saya tunjukkan tempat penyimpanan hartaku. Kalian boleh memilikinya asalkan aku dibiarkan berhijrah ke Yastrib (Medinah)!"
Tawaran itu menarik hati para pemburu Quraisy. Mereka berkata, "Dulu kamu hanyalah seorang yang miskin dan papa. Sekarang hartamu banyak dan melimpah ruah. Tunjukkanlah di mana hartamu disimpan?"
Shuhaib pun menunjukkan tempat harta bendanya disembunyikan. Para pemburu Quraisy langsung bertolak kembali ke Mekah dan menguras harta simpanan Shuhaib. Mereka membiarkan Shuhaib berhijrah ke Medinah.
Shuhaib bin Sinan melanjutkan perjalanannya ke Yastrib. Setelah melalui padang pasir yang luas dan gersang, akhirnya Allah SWT memperkenankan dirinya bertemu dengan kekasih tercinta, Rasulullah saw, di Quba.
Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah saw dan para sahabat yang mengelilingi beliau. Melihat Shuhaib bin Sinan datang, Rasulullah saw. menyambutnya dengan ceria. Beliau bersabda kepadanya, "Beruntunglah perniagaanmu, hai Abu Yahya!"
Shuhaib bersyukur dengan doa Rasulullah saw tersebut meskipun ia heran dikatakan beruntung karena hasil jerih payah perdagangannya sudah habis diberikan kepada musyrikin Quraisy. Yang tinggal pada dirinya hanya iman dan kecintaannya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Pengorbanan Shuhaib mendapat pujian dari Allah SWT sehingga turunlah ayat sebagai berikut, "Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya." (QS Al-Baqarah [2]: 207)
Meskipun demikian, ternyata rencana mereka telah diketahui oleh para musuh Allah. Mereka pun mengatur sebuah perangkap untuk mencegah perjalanan ketiga orang mulia tersebut.
Atas izin Allah SWT, Rasulullah saw dan Abu Bakar r.a berhasil lolos dari jebakan mereka. Namun, tidak bagi Shuhaib. Ia tidak berhasil meloloskan diri dari kepungan orang-orang jahiliah tersebut.
Ketika orang-orang musyrik yang mengepungnya lengah, ia segera memacu untanya agar berlari kencang. Pemburu-pemburu Quraisy segera mengejarnya dan berhasil menghentikan Shuhaib di tengah-tengah padang pasir yang luas.
Pemburu-pemburu Ouraisy menatap Shuhaib dengan beringas seperti tidak sabar ingin membunuhnya. Shuhaib sendiri ingin segera menyusul Rasulullah saw dan Abu Bakar r.a untuk hijrah ke Medinah. Mereka sudah siap dengan senjatanya masing-masing, termasuk shuhaib yang telah memasang anak panah di busurnya.
Dalam situasi yang tegang itu Shuhaib menggertak mereka, "Hai orang-orang kafir Quraisy! Kalian sudah mengetahui bahwa aku adalah ahli panah yang mahir. Demi Allah! Kalian semua akan mati oleh anak panah dalam kantong ini sebelum kalian berhasil mendekatiku. Setelah itu pedang ini akan kugunakan untuk menebas kalian! Sampai semua senjata di tanganku habis!"
Nyali para pemburu beringas itu ciut mendengar ancaman Shuhaib. Namun, mereka tidak mengurungkan niatnya untuk membunuh Shuhaib.
Akhirnya, Shuhaib mengajukan penawaran kepada mereka, "Kalau kalian setuju, akan saya tunjukkan tempat penyimpanan hartaku. Kalian boleh memilikinya asalkan aku dibiarkan berhijrah ke Yastrib (Medinah)!"
Tawaran itu menarik hati para pemburu Quraisy. Mereka berkata, "Dulu kamu hanyalah seorang yang miskin dan papa. Sekarang hartamu banyak dan melimpah ruah. Tunjukkanlah di mana hartamu disimpan?"
Shuhaib pun menunjukkan tempat harta bendanya disembunyikan. Para pemburu Quraisy langsung bertolak kembali ke Mekah dan menguras harta simpanan Shuhaib. Mereka membiarkan Shuhaib berhijrah ke Medinah.
Shuhaib bin Sinan melanjutkan perjalanannya ke Yastrib. Setelah melalui padang pasir yang luas dan gersang, akhirnya Allah SWT memperkenankan dirinya bertemu dengan kekasih tercinta, Rasulullah saw, di Quba.
Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah saw dan para sahabat yang mengelilingi beliau. Melihat Shuhaib bin Sinan datang, Rasulullah saw. menyambutnya dengan ceria. Beliau bersabda kepadanya, "Beruntunglah perniagaanmu, hai Abu Yahya!"
Shuhaib bersyukur dengan doa Rasulullah saw tersebut meskipun ia heran dikatakan beruntung karena hasil jerih payah perdagangannya sudah habis diberikan kepada musyrikin Quraisy. Yang tinggal pada dirinya hanya iman dan kecintaannya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Pengorbanan Shuhaib mendapat pujian dari Allah SWT sehingga turunlah ayat sebagai berikut, "Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya." (QS Al-Baqarah [2]: 207)
membunuh
Preman Masuk Islam
Luqman Hakim meriwayatkan bahwa suatu ketika seorang preman yang suka mencuri, berjudi, dan meminum minuman keras datang menemui Rasulullah saw. Ia bermaksud untuk bertobat sehingga Rasulullah mengajaknya pada Al-Islam.
Setelah ia mengucapkan dua kalimat syahadat, ia mengadu kepada Rasulullah saw, "Wahai Rasulullah, saya adalah orang yang banyak melakukan dosa. Bagaimanakah caranya agar aku bisa meninggalkan kebiasaan burukku?"
Rasulullah menjawab, "Berjanjilah untuk tidak berbohong!"
Syarat yang mudah, pikir preman tersebut, ia pun menyanggupinya.
Dalam perjalanan pulang, setiap kali ia hendak berbuat jahat selalu teringat pesan Rasulullah untuk tidak berbohong.
"Apa jawabanku jika Rasulullah bertanya tentang apa yang aku lakukan hari ini? Sanggupkah aku berbohong kepadanya?"
Pada kesempatan lain, godaan untuk berbuat jahat muncul kembali. Ia kembali teringat pesan Rasulullah. Ia bergumam, "Kalau aku berbohong kepada Rasulullah, berarti aku mengkhianati janjiku kepadanya. Jika aku berkata benar bahwa aku telah melakukan kejahatan, aku harus menerima hukuman sesuai dengan aturan Islam."
Ia pun mengurungkan niat jahatnya. Demikianlah setiap ada keinginan untuk mabuk, mencuri, dan berjudi, ia selalu teringat pesan Rasulullah tersebut hingga ia selalu mengurungkan niatnya untuk berbuat dosa.
"Ya Allah, ternyata dalam pesan Rasulullah itu terkandung hikmah yang sangat berharga," pikirnya.
Ia pun berhasil meninggalkan kebiasaan buruknya dan menjadi mukmin saleh dan mulia.
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw bersabda, "Wahai anakku, jika kau mampu menyambut pagi dan soremu dengan hati yang bersih dari niat curang kepada orang lain maka lakukanlah!"
Kemudian Rasulullah saw melanjutkan ucapannya, "Hal tersebut merupakan sunnahku. Barangsiapa yang menghidupkannya maka itulah bukti kecintaannya kepadaku dan barangsiapa mencintaiku maka ia akan bersamaku di surga." (HR Turmudzi)
Setelah ia mengucapkan dua kalimat syahadat, ia mengadu kepada Rasulullah saw, "Wahai Rasulullah, saya adalah orang yang banyak melakukan dosa. Bagaimanakah caranya agar aku bisa meninggalkan kebiasaan burukku?"
Rasulullah menjawab, "Berjanjilah untuk tidak berbohong!"
Syarat yang mudah, pikir preman tersebut, ia pun menyanggupinya.
Dalam perjalanan pulang, setiap kali ia hendak berbuat jahat selalu teringat pesan Rasulullah untuk tidak berbohong.
"Apa jawabanku jika Rasulullah bertanya tentang apa yang aku lakukan hari ini? Sanggupkah aku berbohong kepadanya?"
Pada kesempatan lain, godaan untuk berbuat jahat muncul kembali. Ia kembali teringat pesan Rasulullah. Ia bergumam, "Kalau aku berbohong kepada Rasulullah, berarti aku mengkhianati janjiku kepadanya. Jika aku berkata benar bahwa aku telah melakukan kejahatan, aku harus menerima hukuman sesuai dengan aturan Islam."
Ia pun mengurungkan niat jahatnya. Demikianlah setiap ada keinginan untuk mabuk, mencuri, dan berjudi, ia selalu teringat pesan Rasulullah tersebut hingga ia selalu mengurungkan niatnya untuk berbuat dosa.
"Ya Allah, ternyata dalam pesan Rasulullah itu terkandung hikmah yang sangat berharga," pikirnya.
Ia pun berhasil meninggalkan kebiasaan buruknya dan menjadi mukmin saleh dan mulia.
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw bersabda, "Wahai anakku, jika kau mampu menyambut pagi dan soremu dengan hati yang bersih dari niat curang kepada orang lain maka lakukanlah!"
Kemudian Rasulullah saw melanjutkan ucapannya, "Hal tersebut merupakan sunnahku. Barangsiapa yang menghidupkannya maka itulah bukti kecintaannya kepadaku dan barangsiapa mencintaiku maka ia akan bersamaku di surga." (HR Turmudzi)
Minggu, 04 April 2010
Keistimewaan Ja'far Ath-Thayyar
Nama lengkapnya adalah Ja'far bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Ia memiliki gelar Abu Al-Masakin yang artinya bapak orang-orang miskin karena ia senang berdialog dengan mereka. Juga gelar Dzu Al-Janahain yang berarti pemilik dua sayap serta Ja'far Ath-Thayyar yang artinya orang yang dapat terbang.
Ia ikut hijrah ke Habsyi dan kemampuan berdiplomasinya ia gunakan untuk menangkal hasutan kaum musyrikin kepada Raja Habsyi yang bernama Negus.
Suatu saat, Rasulullah saw diberi tahu oleh Malaikat Jibril bahwa kelak ketika Ja'far berperang dan syahid, Allah telah menyediakan baginya dua sayap hijau yang terbungkus dengan intan dan yaqut untuknya di surga. Dia terbang dengan kedua sayapnya bersama malaikat.
Rasulullah saw bahagia mengetahuinya. Beliau pun bertanya kepada Ja'far, "Wahai Ja'far, putra Abu Thalib. Amalan apa yang kaulakukan sehingga Allah memuliakanmu?"
Ja'far menjawab, "Wahai Rasulullah. Aku tidak tahu pasti amalan apa yang telah aku kerjakan. Hanya saja ketika aku kafir dan setelah masuk Islam sampai saat ini, aku senantiasa menghindari diri dari berkata bohong, berzina, dan mabuk-mabukkan."
Rasulullah saw bertanya kembali, "Memang ketiga perkara itu diharamkan oleh Islam. Lalu, bagaimana engkau menahan diri dari ketiga sifat itu ketika kafir? Bukankah tidak ada larangan untuk itu?"
Ja'far menjelaskan, "Aku berpendapat bahwa orang yang berbohong dalam ucapannya akan selalu dicurigai oleh orang lain. Dan apabila kebohongannya diketahui oleh orang, tentu akan malu sekali. Oleh karena itulah, aku tidak mau berbohong.
Sedangkan, untuk perbuatan zina, aku tidak ingin ada orang lain yang berzina dengan istri atau anakku. Sungguh orang tersebut akan tercela dalam pandanganku. Karena itulah aku membenci perbuatan zina.
Lalu, aku menghindari mabuk-mabukkan karena aku ingin akalku terus berkembang dan melampaui pemikiran orang lain. Mabuk-mabukan akan menghilangkan akal sehingga ia akan mengeluarkan kata-kata tidak bermanfaat dan tertawa-tawa tanpa alasan. Karena itulah aku mencegah diriku dari minuman yang memabukkan,"
Malaikat Jibril datang dan berkata, "Ja'far berkata benar. Allah menjadikan dua sayap untuknya disebabkan karena menahan diri dari ketiga perkara tersebut sehingga pantas jika Ja'far dekat dengan Allah!"
Akhirnya, benarlah kisah itu ketika Ja'far syahid dalam Perang Muktah, Rasulullah saw memberitakan, "Aku masuk ke dalam surga dan aku lihat Ja'far terbang bersama para malaikat, sedangkan kedua sayapnya penuh dengan lumuran darah."
Kemudian Rasulullah saw mengatakan bahwa Allah SWT mengganti sayap tersebut dengan sayap yang baru sehingga ia dapat terbang dengan sayap itu ke surga. Karena itulah ia dijuluki Ja'far Ath-Thayyar.
Ia ikut hijrah ke Habsyi dan kemampuan berdiplomasinya ia gunakan untuk menangkal hasutan kaum musyrikin kepada Raja Habsyi yang bernama Negus.
Suatu saat, Rasulullah saw diberi tahu oleh Malaikat Jibril bahwa kelak ketika Ja'far berperang dan syahid, Allah telah menyediakan baginya dua sayap hijau yang terbungkus dengan intan dan yaqut untuknya di surga. Dia terbang dengan kedua sayapnya bersama malaikat.
Rasulullah saw bahagia mengetahuinya. Beliau pun bertanya kepada Ja'far, "Wahai Ja'far, putra Abu Thalib. Amalan apa yang kaulakukan sehingga Allah memuliakanmu?"
Ja'far menjawab, "Wahai Rasulullah. Aku tidak tahu pasti amalan apa yang telah aku kerjakan. Hanya saja ketika aku kafir dan setelah masuk Islam sampai saat ini, aku senantiasa menghindari diri dari berkata bohong, berzina, dan mabuk-mabukkan."
Rasulullah saw bertanya kembali, "Memang ketiga perkara itu diharamkan oleh Islam. Lalu, bagaimana engkau menahan diri dari ketiga sifat itu ketika kafir? Bukankah tidak ada larangan untuk itu?"
Ja'far menjelaskan, "Aku berpendapat bahwa orang yang berbohong dalam ucapannya akan selalu dicurigai oleh orang lain. Dan apabila kebohongannya diketahui oleh orang, tentu akan malu sekali. Oleh karena itulah, aku tidak mau berbohong.
Sedangkan, untuk perbuatan zina, aku tidak ingin ada orang lain yang berzina dengan istri atau anakku. Sungguh orang tersebut akan tercela dalam pandanganku. Karena itulah aku membenci perbuatan zina.
Lalu, aku menghindari mabuk-mabukkan karena aku ingin akalku terus berkembang dan melampaui pemikiran orang lain. Mabuk-mabukan akan menghilangkan akal sehingga ia akan mengeluarkan kata-kata tidak bermanfaat dan tertawa-tawa tanpa alasan. Karena itulah aku mencegah diriku dari minuman yang memabukkan,"
Malaikat Jibril datang dan berkata, "Ja'far berkata benar. Allah menjadikan dua sayap untuknya disebabkan karena menahan diri dari ketiga perkara tersebut sehingga pantas jika Ja'far dekat dengan Allah!"
Akhirnya, benarlah kisah itu ketika Ja'far syahid dalam Perang Muktah, Rasulullah saw memberitakan, "Aku masuk ke dalam surga dan aku lihat Ja'far terbang bersama para malaikat, sedangkan kedua sayapnya penuh dengan lumuran darah."
Kemudian Rasulullah saw mengatakan bahwa Allah SWT mengganti sayap tersebut dengan sayap yang baru sehingga ia dapat terbang dengan sayap itu ke surga. Karena itulah ia dijuluki Ja'far Ath-Thayyar.
Bukti Kejujuran
Lukman Al-Hakim adalah seorang sahabat berkulit hitam yang jujur. la adalah seorang penggembala yang selalu benar dalam berkata-kata, menunaikan amanat, dan meninggalkan sesuatu yang tidak berguna.
Suatu ketika Lukman disuruh tuannya untuk memanen hasil kebun bersama budak lainnya. Namun, para budak itu melakukan perbuatan yang sangat tidak terpuji. Mereka tergiur untuk memakan semua hasil panen buah-buahan segar tersebut.
Ketika para budaknya kembali dengan tangan kosong, sang majikan berang dan menanyakan siapa yang telah menghabiskan hasil panennya itu. Para budak menuduh bahwa Lukmanlah pelakunya.
Mendengar tuduhan itu, Lukman berkata, "Sesungguhnya orang munafik itu tidak amanah di sisi Allah. Saya bisa membuktikan siapa sesungguhnya yang memakan buah-buahan itu."
Ia pun mengambil air putih dan menyodorkan kepada para budak seraya berkata, "Mari kita minum air putih ini agar bisa memuntahkan makanan yang baru kita makan." Para budak tidak berani mengelak karena tuannya pun mendukung usul Lukman.
Ketika semua memuntahkan isi perutnya, terlihat bahwa Lukman hanya memuntahkan air bersih, sedangkan yang lainnya memuntahkan buah-buahan. Jadi, terbuktilah bahwa Lukman adalah orang jujur dan tidak bersalah.
Suatu ketika Lukman disuruh tuannya untuk memanen hasil kebun bersama budak lainnya. Namun, para budak itu melakukan perbuatan yang sangat tidak terpuji. Mereka tergiur untuk memakan semua hasil panen buah-buahan segar tersebut.
Ketika para budaknya kembali dengan tangan kosong, sang majikan berang dan menanyakan siapa yang telah menghabiskan hasil panennya itu. Para budak menuduh bahwa Lukmanlah pelakunya.
Mendengar tuduhan itu, Lukman berkata, "Sesungguhnya orang munafik itu tidak amanah di sisi Allah. Saya bisa membuktikan siapa sesungguhnya yang memakan buah-buahan itu."
Ia pun mengambil air putih dan menyodorkan kepada para budak seraya berkata, "Mari kita minum air putih ini agar bisa memuntahkan makanan yang baru kita makan." Para budak tidak berani mengelak karena tuannya pun mendukung usul Lukman.
Ketika semua memuntahkan isi perutnya, terlihat bahwa Lukman hanya memuntahkan air bersih, sedangkan yang lainnya memuntahkan buah-buahan. Jadi, terbuktilah bahwa Lukman adalah orang jujur dan tidak bersalah.
Islamnya Keluarga Yasir
Ammar hendak pergi menemui Rasulullah saw. Kemudian ayahnya, yang bernama Yasir dan saat itu belum memeluk Islam, menanyakan tentang kepergian anaknya itu. Anaknya pun menjawab akan menemui Rasulullah saw.
Setelah diketahui bahwa anaknya akan menemui Rasulullah, ia berkata, "Muhammad adalah orang yang dapat dipercaya. Seluruh penduduk Mekah mengakuinya. Jika dia menyatakan kenabiannya, tentulah ia berkata benar sebab tidak ada seorang pun yang pernah mendengarnya berbohong."
Hari demi hari, akhirnya keluarga Yasir pun menjadi pengikut Islam. Begitu pedih cobaan yang mereka hadapi. Setiap hari kedua orang tua Ammar disiksa tanpa rasa peri kemanusiaan oleh kaum musyrikin Quraisy.
Mereka berdua menjadi syuhada karena gugur dalam mempertahankan agamanya. Sang Ibu, Sumayyah, adalah wanita pertama yang mati syahid di jalan Allah SWT.
Setelah diketahui bahwa anaknya akan menemui Rasulullah, ia berkata, "Muhammad adalah orang yang dapat dipercaya. Seluruh penduduk Mekah mengakuinya. Jika dia menyatakan kenabiannya, tentulah ia berkata benar sebab tidak ada seorang pun yang pernah mendengarnya berbohong."
Hari demi hari, akhirnya keluarga Yasir pun menjadi pengikut Islam. Begitu pedih cobaan yang mereka hadapi. Setiap hari kedua orang tua Ammar disiksa tanpa rasa peri kemanusiaan oleh kaum musyrikin Quraisy.
Mereka berdua menjadi syuhada karena gugur dalam mempertahankan agamanya. Sang Ibu, Sumayyah, adalah wanita pertama yang mati syahid di jalan Allah SWT.
Islamnya Orang Yahudi
Abdullah bin Salam adalah seorang Yahudi yang tinggal di Medinah. Dia pernah berkata, "Ketika Rasulullah saw memasuki kota Medinah Al-Munawwarah, aku mengamati wajahnya dengan sungguh-sungguh dan setelah itu aku langsung mengucapkan syahadat. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasullah."
Orang-orang Yahudi bertanya kepadaku, "Apa yang mendorongmu menyatakan ke-lslam-anmu itu, wahai Bin Salam?"
Aku menjawab kepada mereka, "Demi Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia, sungguh wajah itu bukan wajah seorang pendusta."
Orang-orang Yahudi bertanya kepadaku, "Apa yang mendorongmu menyatakan ke-lslam-anmu itu, wahai Bin Salam?"
Aku menjawab kepada mereka, "Demi Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia, sungguh wajah itu bukan wajah seorang pendusta."
Firasat Orang Shiddiq
Seorang pemuda Yahudi yang sangat tampan masuk ke dalam masjid dengan sikapnya yang sangat hormat. Pemuda itu berpakaian indah, memakai wangi-wangian yang harum, budi dan tutur katanya pun sopan. Semua orang yang berada di masjid mengira ia adalah orang Islam, padahal sebenarnya ia Yahudi yang belum memeluk Islam.
Syekh Ibrahim Al-Khawwash yang sedang berada di dalam masjid berkata kepada sahabat-sahabatnya, "Pemuda itu adalah seorang Yahudi."
Para sahabat kurang setuju dengan perkataan Syekh Ibrahim. Mereka menganggap pemuda itu adalah jemaah masjid yang hendak shalat. Pemuda itu mengetahui bahwa mereka sedang membicarakannya.
Seusai shalat, pemuda itu menunggu Syekh Ibrahim hingga pulang keluar dari masjid. Ketika dilihatnya Syekh Ibrahim telah keluar dari pintu masjid, pemuda Yahudi itu pun mendekati para sahabat Syekh Ibrahim dan bertanya, "Apa kata Syekh Ibrahim tentang diriku?"
Mendengar pertanyaan itu, para sahabat Syekh Ibrahim enggan menjawabnya. Mereka diam seribu bahasa. Namun, pemuda itu mendesak mereka, "Tak perlu takut, aku hanya ingin tahu apa yang diucapkan Syekh Ibrahim tadi?"
Akhirnya, salah satu dari jemaah angkat bicara, "Syekh mengatakan bahwa kau seorang Yahudi. Apakah benar?"
Pernyataan Syekh Ibrahim itu mengejutkan pemuda Yahudi. Ia bergegas menyusul Syekh Ibrahim yang sedang berjalan pulang ke rumahnya. Pemuda itu langsung mencium tangan Syekh Ibrahim dan menyatakan dirinya masuk Islam.
Syekh yang keheranan bertanya, "Apa yang mendorongmu untuk segera memeluk Islam?"
Pemuda itu menceritakan isi kitab yang diyakininya, "Dalam kitabku dikatakan, firasat seseorang yang memiliki sifat shiddiq tidak pernah meleset. Saya menguji kaum muslim dengan menyamar sebagai jemaah masjid. Orang shiddiq pasti berada di antara kelompok muslim. Ternyata dugaanku memang benar. Syekh Ibrahim bisa mengenaliku dengan tepat. Berarti Anda adalah orang yang shiddiq dan karena itulah aku masuk Islam!"
Syekh Ibrahim Al-Khawwash yang sedang berada di dalam masjid berkata kepada sahabat-sahabatnya, "Pemuda itu adalah seorang Yahudi."
Para sahabat kurang setuju dengan perkataan Syekh Ibrahim. Mereka menganggap pemuda itu adalah jemaah masjid yang hendak shalat. Pemuda itu mengetahui bahwa mereka sedang membicarakannya.
Seusai shalat, pemuda itu menunggu Syekh Ibrahim hingga pulang keluar dari masjid. Ketika dilihatnya Syekh Ibrahim telah keluar dari pintu masjid, pemuda Yahudi itu pun mendekati para sahabat Syekh Ibrahim dan bertanya, "Apa kata Syekh Ibrahim tentang diriku?"
Mendengar pertanyaan itu, para sahabat Syekh Ibrahim enggan menjawabnya. Mereka diam seribu bahasa. Namun, pemuda itu mendesak mereka, "Tak perlu takut, aku hanya ingin tahu apa yang diucapkan Syekh Ibrahim tadi?"
Akhirnya, salah satu dari jemaah angkat bicara, "Syekh mengatakan bahwa kau seorang Yahudi. Apakah benar?"
Pernyataan Syekh Ibrahim itu mengejutkan pemuda Yahudi. Ia bergegas menyusul Syekh Ibrahim yang sedang berjalan pulang ke rumahnya. Pemuda itu langsung mencium tangan Syekh Ibrahim dan menyatakan dirinya masuk Islam.
Syekh yang keheranan bertanya, "Apa yang mendorongmu untuk segera memeluk Islam?"
Pemuda itu menceritakan isi kitab yang diyakininya, "Dalam kitabku dikatakan, firasat seseorang yang memiliki sifat shiddiq tidak pernah meleset. Saya menguji kaum muslim dengan menyamar sebagai jemaah masjid. Orang shiddiq pasti berada di antara kelompok muslim. Ternyata dugaanku memang benar. Syekh Ibrahim bisa mengenaliku dengan tepat. Berarti Anda adalah orang yang shiddiq dan karena itulah aku masuk Islam!"
Tidak Takut Dikatakan Bodoh
Imam Malik adalah sosok alim ulama yang rendah hati. Meskipun ia selalu belajar dan menimba ilmu dari 900 orang guru, ia tidak pernah merasa dirinya paling pintar. Imam Malik berkata, "Sering kali aku tidak tidur semalam suntuk untuk memikirkan jawaban atas permasalahan yang diajukan kepadaku."
Suatu hari salah seorang muridnya datang dari suatu daerah yang jauh. Masyarakat tempat ia tinggal memiliki masalah penting yang belum terselesaikan. Sang murid bermaksud untuk menanyakan hal tersebut kepada gurunya, Imam Malik.
Akan tetapi, Imam Malik tidak bisa memberikan jawaban kepadanya karena memang beliau tidak tahu jawaban atas permasalahan tersebut. Dengan sejujurnya, beliau berkata, "Aku tidak tahu."
Tentu saja sang murid menjadi kecewa. Lalu, ia berkata, "Apakah aku harus mengatakan kepada orang-orang bahwa Imam Malik tidak tahu?"
"Ya!" Jawab Imam Malik, "Katakanlah kepada kaummu bahwa aku tidak tahu!"
Pernyataan Imam Malik ini mungkin bagi sebagian orang pintar merasa bisa menjatuhkan harga dirinya karena akan dianggap bodoh. Bahkan, untuk menghindari agar tidak disebut orang bodoh, ia akan berusaha untuk mengada-adakan jawaban tanpa memedulikannya, apakah bisa dipertanggungjawabkan atau tidak.
Hal itu tidak berlaku bagi Imam Malik. Jika memang tidak memiliki jawaban atas pertanyaan itu, beliau lebih memilih mengatakan sejujurnya bahwa tidak mengetahui jawaban daripada harus mengatakan bahwa ia tahu semua tanpa ilmu.
Ia mewarisi sifat jujur Nabi saw ketika menetapkan suatu jawaban atas permasalahan. Jika Rasulullah saw menanti wahyu untuk mengetahui jawabannya, Imam Malik akan belajar dan belajar lagi hingga menemukan ilmu yang benar untuk menjawab permasalahan di atas.
Suatu hari salah seorang muridnya datang dari suatu daerah yang jauh. Masyarakat tempat ia tinggal memiliki masalah penting yang belum terselesaikan. Sang murid bermaksud untuk menanyakan hal tersebut kepada gurunya, Imam Malik.
Akan tetapi, Imam Malik tidak bisa memberikan jawaban kepadanya karena memang beliau tidak tahu jawaban atas permasalahan tersebut. Dengan sejujurnya, beliau berkata, "Aku tidak tahu."
Tentu saja sang murid menjadi kecewa. Lalu, ia berkata, "Apakah aku harus mengatakan kepada orang-orang bahwa Imam Malik tidak tahu?"
"Ya!" Jawab Imam Malik, "Katakanlah kepada kaummu bahwa aku tidak tahu!"
Pernyataan Imam Malik ini mungkin bagi sebagian orang pintar merasa bisa menjatuhkan harga dirinya karena akan dianggap bodoh. Bahkan, untuk menghindari agar tidak disebut orang bodoh, ia akan berusaha untuk mengada-adakan jawaban tanpa memedulikannya, apakah bisa dipertanggungjawabkan atau tidak.
Hal itu tidak berlaku bagi Imam Malik. Jika memang tidak memiliki jawaban atas pertanyaan itu, beliau lebih memilih mengatakan sejujurnya bahwa tidak mengetahui jawaban daripada harus mengatakan bahwa ia tahu semua tanpa ilmu.
Ia mewarisi sifat jujur Nabi saw ketika menetapkan suatu jawaban atas permasalahan. Jika Rasulullah saw menanti wahyu untuk mengetahui jawabannya, Imam Malik akan belajar dan belajar lagi hingga menemukan ilmu yang benar untuk menjawab permasalahan di atas.
Sabtu, 03 April 2010
Kisah Tsabit bin Ibrahim
Tersebutlah seorang lelaki saleh bernama Tsabit bin Ibrahim. Ketika itu ia sedang melakukan perjalanan di pinggiran kota Kufah. Matahari bersinar sangat terik. Cuaca panas membuat kerongkongan kering sehingga haus pun menyerang.
Tanpa sengaja ia melihat sebuah apel ranum berwarna merah menyala tergeletak di hadapannya. Tanpa pikir panjang, ia segera mengambil dan menikmati buah merah tersebut untuk menghalau dahaganya.
Belum habis buah itu di tangannya, ia segera tersadar bahwa apel itu bukan miliknya, "Astasfirullah, aku memakan yang bukan hakku. Siapakah pemilik apel ini?" gumam Tsabit.
Perasaan gelisah menghantuinya. Dicarinya pohon apel yang tumbuh di sekitar. Ia sangat berharap agar si pemilik apel mau merelakan apel yang ada di tangannya itu untuk dimakan.
Setelah menelusuri jalanan itu, akhirnya tidak jauh dari tempatnya sederet pohon apel dengan buahnya yang merekah kukuh berdiri di sebuah kebun yang luas. Tsabit melihat seorang lelaki di dalam kebun tersebut, "Mungkin dia pemilik apel ini," pikir Tsabit.
Ia pun menghampirinya dan mengucapkan salam, lalu bertanya, "Apakah engkau pemilik kebun ini? Saya telah memakan apel Anda, untuk itu saya mohon maaf. Sudilah kiranya engkau merelakan apel ini agar halal untuk kumakan," pinta Tsabit.
Lelaki tersebut berkata, "Aku bukan pemilik apel itu. Saya hanyalah seorang penjaga kebun di sini."
"Baiklah, jika demikian di manakah rumah majikanmu?"
"Butuh waktu sehari semalam tiba di sana. Perjalanannya pun tidak mudah. Mengapa tidak kaumakan saja apel itu? Toh, ia tidak akan memedulikan sebuah apel itu karena hasil kebunnya begitu melimpah ruah!" usul si penjaga kebun.
"Sejauh apa pun rumahnya, aku harus tiba di sana meskipun harus melalui berbagai rintangan. Sebagian apel ini sudah aku telan, artinya di dalam tubuh ini terdapat makanan yang tidak halal bagiku karena belum meminta izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah saw. bersabda, 'Setiap daging yang tumbuh dari makanan haram maka api nerakalah yang layak baginya' " tukas Tsabit tegas.
Melihat keteguhan hati Tsabit, si penjaga kebun akhirnya memberi tahu arah perjalanan menuju rumah majikannya. Tsabit berterima kasih atas kesediaan penjaga kebun memberi tahu alamat majikannya. Tanpa buang waktu, Tsabit segera beranjak menuju rumah pemilik apel.
Perjalanan mendaki dan berbatu ia lalui, sungai pun ia seberangi agar ia dapat bertemu dengan pemilik apel. Begitu risaunya ia akan peringatan dari Rasulullah saw.
Setelah menempuh perjalanan berliku, tibalah ia di depan rumah pemilik apel. Ia mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan salam. Seorang lelaki tua membukakan pintu untuknya.
"Wa'aiaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, ada apa anak muda?" tanyanya. Rupanya dialah pemilik kebun itu.
"Wahai Tuan, kedatangan saya ke sini untuk meminta keikhlasanmu atas buah apel yang terlanjur aku makan. Semoga engkau memaafkanku," Tsabit menjelaskan apa yang merisaukannya kepada si pemilik kebun.
Pemilik kebun menyimak dengan saksama. Lalu ia berkata, "Aku tidak akan menghalalkannya kecuali dengan satu syarat!"
"Apakah itu, Tuan?"
"Kamu harus menikahi putriku dan aku akan menghalalkan apel itu untukmu."
Tentu saja Tsabit terkejut dengan syarat itu. Haruskah ia menebus kesalahannya dengan pernikahan? Belum habis keterkejutan Tsabit, lelaki tua pemilik apel itu melanjutkan, "Putriku bisu, tuli, buta, dan lumpuh. Bagaimana? Apakah kamu menyanggupinya?"
Tsabit makin terkejut. Ia harus menikahi perempuan cacat yang akan mendampinginya seumur hidup. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain. Jika jalan ini dapat membuka pintu ampunan Allah SWT, ia harus menjalaninya dengan ikhlas. Tsabit pun menyanggupinya.
Pernikahan pun diselenggarakan. Mempelai wanita menanti di dalam rumah saat akad nikah berlangsung. Selesai dilakukan akad nikah, Tsabit dipersilakan oleh sang mertua untuk menemui putrinya yang kini telah sah menjadi istri Tsabit.
Ia mengetuk kamar yang ditunjuk sambil mengucapkan salam. Ketika Tsabit hendak membuka pintu kamar, terdengar suara wanita menjawab salamnya. Ia urung masuk ke dalam kamar itu karena yang ia tahu istrinya bisu, tuli, dan buta, "Oh, maaf, aku salah kamar!" ujar Tsabit.
"Kau tidak salah. Aku istrimu yang sah!" kata wanita di dalam kamar itu, "silakan masuk, wahai suamiku!"
Tsabit benar-benar dibuat bingung dengan semua kejadian yang belakangan ini ia hadapi. Rasanya mustahil jika sang pemilik kebun berdusta tentang putrinya. Apa untungnya bagi dia?
Ketika Tsabit masih berdiri tertegun di depan kamar, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Yang membuka adalah seorang wanita cantik yang sehat wal afiat tanpa cacat seperti yang dikatakan mertuanya. Ia makin yakin bahwa ini bukanlah istrinya.
Tsabit bertanya kepada wanita yang berdiri di hadapannya itu, "Jika kau benar istriku, ayahmu berkata bahwa kau buta. Tetapi, mengapa kamu bisa melihat?"
"Ayahku benar, mataku buta karena tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah," jawab putri pemilik kebun buah itu.
"Lalu, mengapa ayahmu mengatakan kamu tuli? Padahal, kau dapat mendengar salamku!" tanya Tsabit kembali.
"Itu juga benar, beliau tahu bahwa aku tidak pernah mau mendengar berita atau cerita yang tidak diridai Allah SWT," jelas sang istri.
"Kau pun tidak bisu seperti yang dikatakan ayahmu? Apa artinya?"
"Aku bisu karena tidak pernah mengatakan dusta dan segala sesuatu yang tercela. Aku banyak menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah."
"Terakhir, apa maksud ayahmu mengatakan kau lumpuh?" tanya Tsabit lagi.
"Itu karena aku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang dibenci Allah."
Betapa bahagianya Tsabit bahwa yang ia nikahi adalah sosok wanita salehah yang sempurna fisiknya dan cantik bak purnama di kegelapan malam. Dari hasil pernikahan mereka lahirlah ulama yang menjadi imam terbesar bagi umat Islam, yaitu Imam Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit.
Dalam hal ini, Rasulullah saw pernah berpesan dalam sabdanya, "Berjanjilah kepadaku enam hal dan aku akan menjanjikan engkau surga. Bicaralah jujur (benar), tepati janjimu, penuhi kepercayaanmu, jaga kesucianmu, jangan melihat yang haram, dan hindarilah apa yang dilarang." (HR Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
Tanpa sengaja ia melihat sebuah apel ranum berwarna merah menyala tergeletak di hadapannya. Tanpa pikir panjang, ia segera mengambil dan menikmati buah merah tersebut untuk menghalau dahaganya.
Belum habis buah itu di tangannya, ia segera tersadar bahwa apel itu bukan miliknya, "Astasfirullah, aku memakan yang bukan hakku. Siapakah pemilik apel ini?" gumam Tsabit.
Perasaan gelisah menghantuinya. Dicarinya pohon apel yang tumbuh di sekitar. Ia sangat berharap agar si pemilik apel mau merelakan apel yang ada di tangannya itu untuk dimakan.
Setelah menelusuri jalanan itu, akhirnya tidak jauh dari tempatnya sederet pohon apel dengan buahnya yang merekah kukuh berdiri di sebuah kebun yang luas. Tsabit melihat seorang lelaki di dalam kebun tersebut, "Mungkin dia pemilik apel ini," pikir Tsabit.
Ia pun menghampirinya dan mengucapkan salam, lalu bertanya, "Apakah engkau pemilik kebun ini? Saya telah memakan apel Anda, untuk itu saya mohon maaf. Sudilah kiranya engkau merelakan apel ini agar halal untuk kumakan," pinta Tsabit.
Lelaki tersebut berkata, "Aku bukan pemilik apel itu. Saya hanyalah seorang penjaga kebun di sini."
"Baiklah, jika demikian di manakah rumah majikanmu?"
"Butuh waktu sehari semalam tiba di sana. Perjalanannya pun tidak mudah. Mengapa tidak kaumakan saja apel itu? Toh, ia tidak akan memedulikan sebuah apel itu karena hasil kebunnya begitu melimpah ruah!" usul si penjaga kebun.
"Sejauh apa pun rumahnya, aku harus tiba di sana meskipun harus melalui berbagai rintangan. Sebagian apel ini sudah aku telan, artinya di dalam tubuh ini terdapat makanan yang tidak halal bagiku karena belum meminta izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah saw. bersabda, 'Setiap daging yang tumbuh dari makanan haram maka api nerakalah yang layak baginya' " tukas Tsabit tegas.
Melihat keteguhan hati Tsabit, si penjaga kebun akhirnya memberi tahu arah perjalanan menuju rumah majikannya. Tsabit berterima kasih atas kesediaan penjaga kebun memberi tahu alamat majikannya. Tanpa buang waktu, Tsabit segera beranjak menuju rumah pemilik apel.
Perjalanan mendaki dan berbatu ia lalui, sungai pun ia seberangi agar ia dapat bertemu dengan pemilik apel. Begitu risaunya ia akan peringatan dari Rasulullah saw.
Setelah menempuh perjalanan berliku, tibalah ia di depan rumah pemilik apel. Ia mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan salam. Seorang lelaki tua membukakan pintu untuknya.
"Wa'aiaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, ada apa anak muda?" tanyanya. Rupanya dialah pemilik kebun itu.
"Wahai Tuan, kedatangan saya ke sini untuk meminta keikhlasanmu atas buah apel yang terlanjur aku makan. Semoga engkau memaafkanku," Tsabit menjelaskan apa yang merisaukannya kepada si pemilik kebun.
Pemilik kebun menyimak dengan saksama. Lalu ia berkata, "Aku tidak akan menghalalkannya kecuali dengan satu syarat!"
"Apakah itu, Tuan?"
"Kamu harus menikahi putriku dan aku akan menghalalkan apel itu untukmu."
Tentu saja Tsabit terkejut dengan syarat itu. Haruskah ia menebus kesalahannya dengan pernikahan? Belum habis keterkejutan Tsabit, lelaki tua pemilik apel itu melanjutkan, "Putriku bisu, tuli, buta, dan lumpuh. Bagaimana? Apakah kamu menyanggupinya?"
Tsabit makin terkejut. Ia harus menikahi perempuan cacat yang akan mendampinginya seumur hidup. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain. Jika jalan ini dapat membuka pintu ampunan Allah SWT, ia harus menjalaninya dengan ikhlas. Tsabit pun menyanggupinya.
Pernikahan pun diselenggarakan. Mempelai wanita menanti di dalam rumah saat akad nikah berlangsung. Selesai dilakukan akad nikah, Tsabit dipersilakan oleh sang mertua untuk menemui putrinya yang kini telah sah menjadi istri Tsabit.
Ia mengetuk kamar yang ditunjuk sambil mengucapkan salam. Ketika Tsabit hendak membuka pintu kamar, terdengar suara wanita menjawab salamnya. Ia urung masuk ke dalam kamar itu karena yang ia tahu istrinya bisu, tuli, dan buta, "Oh, maaf, aku salah kamar!" ujar Tsabit.
"Kau tidak salah. Aku istrimu yang sah!" kata wanita di dalam kamar itu, "silakan masuk, wahai suamiku!"
Tsabit benar-benar dibuat bingung dengan semua kejadian yang belakangan ini ia hadapi. Rasanya mustahil jika sang pemilik kebun berdusta tentang putrinya. Apa untungnya bagi dia?
Ketika Tsabit masih berdiri tertegun di depan kamar, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Yang membuka adalah seorang wanita cantik yang sehat wal afiat tanpa cacat seperti yang dikatakan mertuanya. Ia makin yakin bahwa ini bukanlah istrinya.
Tsabit bertanya kepada wanita yang berdiri di hadapannya itu, "Jika kau benar istriku, ayahmu berkata bahwa kau buta. Tetapi, mengapa kamu bisa melihat?"
"Ayahku benar, mataku buta karena tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah," jawab putri pemilik kebun buah itu.
"Lalu, mengapa ayahmu mengatakan kamu tuli? Padahal, kau dapat mendengar salamku!" tanya Tsabit kembali.
"Itu juga benar, beliau tahu bahwa aku tidak pernah mau mendengar berita atau cerita yang tidak diridai Allah SWT," jelas sang istri.
"Kau pun tidak bisu seperti yang dikatakan ayahmu? Apa artinya?"
"Aku bisu karena tidak pernah mengatakan dusta dan segala sesuatu yang tercela. Aku banyak menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah."
"Terakhir, apa maksud ayahmu mengatakan kau lumpuh?" tanya Tsabit lagi.
"Itu karena aku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang dibenci Allah."
Betapa bahagianya Tsabit bahwa yang ia nikahi adalah sosok wanita salehah yang sempurna fisiknya dan cantik bak purnama di kegelapan malam. Dari hasil pernikahan mereka lahirlah ulama yang menjadi imam terbesar bagi umat Islam, yaitu Imam Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit.
Dalam hal ini, Rasulullah saw pernah berpesan dalam sabdanya, "Berjanjilah kepadaku enam hal dan aku akan menjanjikan engkau surga. Bicaralah jujur (benar), tepati janjimu, penuhi kepercayaanmu, jaga kesucianmu, jangan melihat yang haram, dan hindarilah apa yang dilarang." (HR Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
Langganan:
Postingan (Atom)