Umar bin Khaththab r.a mendapat pengaduan dari seorang penggembala unta dan anak pemilik kebun anggur ketika ia masih menjabat sebagai khalifah. Anak pemilik kebun tersebut menuntut si penggembala agar dihukum mati karena telah membunuh ayahnya. Umar r.a pun meminta si penggembala menceritakan peristiwa yang menyebabkan ia harus membunuh si pemilik kebun anggur tersebut.
Dia lalu bercerita. Ketika ia sedang menggembalakan unta-untanya, tanpa ia sadari hewan gembalaannya tersebut masuk ke dalam kebun anggur milik seseorang. la pun segera menghalau unta-untanya agar keluar dari lingkungan kebun.
Namun, pemilik kebun anggur tersebut keburu memergokinya. Saking marahnya, si pemilik anggur mengangkat bongkahan batu besar dan melemparnya ke arah seekor unta dan jatuh tepat di kepalanya. Unta itu menggelepar dan tidak lama kemudian mati.
Tentu saja kejadian itu membuat si penggembala panik. Bagaimana tidak, unta itu bukan miliknya. la hanya diberi upah untuk menggembalakan hewan ternak milik orang lain. Kepanikannya itu membuatnya hilang akal. Diambilnya bongkahan batu yang menyebabkan kematian unta gembalaanya, lalu ia lempar balik ke pemilik kebun hingga ia pun tewas seketika.
Anak pemilik kebun yang menyaksikan peristiwa kematian ayahnya itu segera melapor kepada Amirul Mukminin Umar r.a. Ia pun menceritakan kronologis kejadian dari awal sampai akhir. Tentu saja ia berharap si penggembala yang telah membunuh ayahnya itu dihukum mati.
Namun, Umar r.a ingin mendengar peristiwa itu dari si penggembala sendiri. Dengan wajah penuh penyesalan, ia pun membenarkan cerita anak pemilik kebun tersebut bahwa memang benar ia telah membunuh ayahnya.
Dalam hukum Islam, hukuman bagi pelaku pembunuhan ada dua. Yang pertama qishas, yaitu nyawa dibayar nyawa, artinya si pelaku harus dihukum mati. Sedangkan, yang kedua membayar diyat atau ganti rugi kepada ahli waris korban yang terbunuh.
Umar r.a pun memberikan kedua pilihan hukuman itu kepada anak pemilik kebun. Akan tetapi, ia memang tidak bisa memaafkan perbuatan si penggembala. la menginginkan agar pengembala itu dihukum mati saja. Umar r.a akhirnya memvonis hukuman mati bagi si penggembala.
Sebelum pelaksanaan hukuman mati, Umar r.a memberi kesempatan kepada si penggembala untuk mengungkapkan permohonan terakhir sebelum kematiannya. Umar r.a. berkata, "Adakah satu hal yang ingin kau sampaikan sebelum kamu dihukum mati?"
Si penggembala tampak gembira mendapat tawaran tersebut. Satu keinginannya adalah agar diberi kesempatan untuk mengembalikan harta anak-anak yatim yang dititipkan kepadanya. Dengan demikian, hukuman mati untuknya pun harus ditunda agar bisa menyelesaikan seluruh amanahnya.
la pun mengungkapkan keinginannya kepada Amirul Mukminin, "Wahai Amirul Mukminin. Selama ini aku dipercaya untuk mengelola harta anak yatim, terutama bagi anak yatim yang belum sanggup memegang harta. Harta mereka akan aku serahkan kelak saat mereka beranjak dewasa. Oleh karena itu, aku mohon agar aku bisa mengembalikan harta-harta itu kepada mereka dan mencari orang sebagai penggantiku. Jika kau tidak keberatan, aku mohon penundaan hukuman mati selama tiga hari agar aku dapat menyelesaikan segala urusanku. Jika aku tidak memiliki beban lagi, baru aku bisa mati dengan tenang," pinta si penggembala.
Tentu saja ahli waris pemilik kebun merasa keberatan. Bagaimana jika permohonan itu hanyalah taktik belaka agar ia bisa lari dan menghindari hukuman tersebut. Melihat keluarga korban yang keberatan, si penggembala memohon dengan bersumpah berkali-kali bahwa ia tidak akan mangkir dari hukuman mati tersebut.
Umar r.a menengahi kedua pihak yang berseteru tersebut dan berseru kepada orang yang ada di sana, "Adakah di antara kalian yang bersedia menjadi penjamin orang ini?"
Semua orang terdiam. Menjadi penjamin bagi orang yang hendak dihukum mati risikonya adalah dirinya sendiri yang akan dipenggal. Mana ada orang yang rela mati konyol dengan menukar posisinya dengan si penggembala unta tersebut.
Ketika harapan makin tipis, si penggembala lemas karena tidak memiliki harapan untuk mati tanpa beban, tiba-tiba seorang pemuda menyatakan kesediaannya, "Aku bersedia menjadi penjaminnya, wahai Amirul Mukminin! Aku adalah sahabatnya. Kami tinggal dan tumbuh besar di kampung yang sama. Aku mengenalnya sebagai orang yang jujur dan tak pernah ingkar janji. Aku yakin bahwa sahabatku ini memang benar-benar ingin menunaikan amanahnya dan aku akan membantunya dengan senang hati!"
Si penggembala langsung memeluk sahabatnya untuk berterima kasih dan berjanji bahwa ia akan kembali untuk melaksanakan hukuman matinya.
Tiga hari telah berlalu. Seluruh penduduk telah berkumpul untuk menyaksikan hukuman mati termasuk para ahli waris pemilik kebun.
Sahabat yang menjaminkan dirinya sudah berdiri di samping algojo dengan kilatan pedang yang tajam. la tampak tenang meskipun waktu sudah hampir habis dan si penggembala belum juga menampakkan batang hidungnya. Semua orang saling bertanya dan curiga, akankah si penggembala datang memenuhi panggilannya.
Ternyata dari kejauhan, terdengar suara derap kaki kuda diiringi debu yang membumbung di udara. Makin dekat makin jelas bahwa penunggang kuda tersebut adalah si penggembala yang akan dihukum mati. Ia mempercepat lari kudanya seolah tidak ragu untuk menyambut kematiannya. Padahal, sebenarnya ia tidak ingin sahabatnya yang baik hati mati karena dirinya.
Di depan sahabatnya, ia melompat dari kudanya yang masih berlari untuk segera bertukar posisi. Dengan nafas tersengal-sengal dan wajah lelah, ia segera meminta maaf kepada sang sahabat karena telah merisaukannya. Dia langsung mendekat ke arah algojo dan memberi tanda bahwa ia siap dihukum mati saat itu juga.
Tanpa terduga, seseorang berteriak kepada algojo, "Hentikan hukuman mati ini, kami telah memaafkannya!" Seluruh hadirin terperangah dan menoleh ke arah sumber suara. Ternyata yang berteriak itu adalah anak pemilik kebun yang dulu sangat dendam kepada si penggembala.
Ya, anak pemilik kebun itu telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketulusan hati si penggembala dalam menepati janji dan amanahnya. la menjadi yakin bahwa peristiwa pembunuhan ayahnya tersebut hanyalah sebuah kekhilafan belaka. Mengingat si penggembala menepati amanah dan janjinya serta berani bertanggung jawab meskipun nyawa taruhannya, ia pun memaafkan kekhilafan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar