Coba KLIK !!!! Rasakan yang Akan terjadi

Sabtu, 20 Maret 2010

Pengorbanan Seorang Nabiyullah

Nabi Ibrahim a.s adalah seorang utusan Allah SWT yang taat dan hanif. Berkali-kali ia diuji oleh Allah SWT dengan cobaan yang tiada seorang pun sanggup melaluinya. Namun, ia membuktikan bahwa kecintaannya kepada Allah SWT di atas segalanya hingga dia berhasil menjalani ujian demi ujian dengan gemilang.

Ujian berat pertama yang harus dilalui Ibrahim a.s adalah ketika anak yang sudah lama ia dambakan harus berpisah dengannya. Bayi mungil itu bernama Ismail. Ia lahir dari istri Ibrahim a.s yang bernama Siti Hajar r.a.

Belum lama Ibrahim a.s menikmati status barunya sebagai ayah, ia menerima perintah dari Allah SWT untuk membawa putranya yang masih merah bersama Siti Hajar ke sebuah tempat yang sama sekali belum diketahuinya.

Padahal, saat itu ia sedang merasakan masa-masa bahagia menimang Ismail mungil. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain bagi Ibrahim a.s selain menaati perintah-Nya. Diajaklah Siti Hajar r.a dan Ismail dalam buaiannya menuju tempat yang diperintahkan. Sebuah awan besar mengiringi perjalalanan mereka.

Awan besar itu berhenti di sebuah tempat yang gersang dan tandus. Hanya sebatang pohon besar yang menaungi mereka. Di sanalah Nabi Ibrahim harus meninggalkan istri dan anak tercintanya. Bayangkan bagaimana perasaan seorang ayah ketika harus meninggalkan keluarganya di tempat yang tak berpenghuni seperti itu.

Ibrahim a.s. meminta agar sang istri bersama Ismail mungil tetap di tempat itu dan tidak mengikuti kepergiannya. Ibrahim a.s. membekali mereka dengan segantang kurma dan sekantung wadah berisi air. Ketika Ibrahim a.s beranjak hendak meninggalkan mereka berdua, Hajar r.a menarik pakaian suaminya agar tidak pergi seraya berkata, "Suamiku, ke mana kau hendak pergi? Apakah kau hendak meninggalkan kami di tempat yang tidak ada sesuatu pun di sini?"

Ibrahim a.s diam membisu dan melepas pegangan sang istri sambil berlalu. Ia terus melangkah meninggalkan sang istri dan putra yang sangat dicintainya.

Siti Hajar r.a kembali memanggil dan bertanya, "Ayahanda Ismail, apakah kau hendak meninggalkan kami di tempat yang tidak ada sesuatu pun di sini?"

Panggilan kedua sang istri tercinta tetap tidak menyurutkan langkah Ibrahim a.s. Padahal, maksud Hajar memanggil dengan perkataan 'Ayahanda Ismail' adalah untuk mengingatkan bahwa yang akan Ibrahim a.s tinggalkan adalah anak semata wayangnya, Ismail, yang masih merah dan lemah dan sangat dinantikan kelahirannya. Namun, sang ayah tetap tidak bergeming.

Ketiga kalinya sang istri memanggil dengan agak keras, "Ibrahim! Apakah kau tega meninggalkan kami di tempat yang tidak ada sesuatu pun di sini?"
Kesabaran Hajar r.a mungkin sudah sampai pada puncaknya ketika melihat sikap suaminya yang terus membisu dan tidak memedulikan mereka berdua hingga ia memanggil sang suami dengan menyebut namanya.

Ia betul-betul mengharap suatu jawaban mengapa suami yang sangat pengasih terhadap keluarganya kini tega meninggalkan ia dan putranya yang tak berdaya di sebuah daerah tak berpenghuni. Namun, apa yang diharapkan tidak terjadi, jangankan Ibrahim a.s berhenti, menoleh pun tidak.

Melihat sang suami tidak menggubris panggilannya, Siti Hajar r.a langsung memahami bahwa suaminya tidak akan mungkin berbuat demikian kecuali atas perintah Allah SWT.

Siti Hajar r.a kembali melunakkan suaranya dan memanggil, " Nabiyullah, apakah ini perintah Allah?"

Pertanyaan tersebut membuat Ibrahim a.s berhenti sejenak, kemudian mengangguk tanda mengiyakan dugaan istrinya. Mengetahui hal itu, Siti Hajar r.a langsung berseru, "Suamiku, jika ini perintah Allah maka pergilah! Kami tidak akan tersia-siakan selagi Allah bersama kami!"

Ibrahim a.s pun kembali melanjutkan perjalanannya dengan perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Sebagai seseorang yang lembut dan pengasih, pasti tidak mudah meninggalkan dua manusia lemah yang masih membutuhkan perlindungan dan kasih sayangnya di sebuah padang yang gersang.

Jika bukan karena keimanan yang kuat kepada Allah SWT dalam melaksanakan amanah yang diturunkan kepadanya, ia tidak akan sanggup melakukannya.

Lalu, Ibrahim a.s. mengangkat kedua tangannya seraya berdoa kepada Allah SWT untuk keselamatan istri dan anaknya tercinta, sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur'an, "Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka metoksanakan shalat maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur." (QS. Ibrahim [14]: 37)

Dua hari berlalu dan perbekalan habis, begitu juga air susu sang bunda telah mengering untuk sang bayi. la sendiri merasa kehausan di tengah padang tandus yang terik. Bayi Ismail berteriak menangis keras agar sang bunda mau melepas dahaganya. Namun, apa daya karena air susu telah kering dan sang bunda pun didera rasa haus yang sangat.

Siti Hajar melihat Bukit Shafa tinggi menjulang. Mungkin dari sana, barangkali ada mata air yang bisa diambil untuk melepas dahaga atau seseorang yang dapat dimintai pertolongan.

Akhirnya, Hajar r.a membaringkan Ismail yang terus menangis untuk mencari setetes air. Ia kuatkan hatinya dan berlari kecil menaiki Bukit Shafa. Di puncak Bukit Shafa, terik matahari makin garang menerpa wajah lelahnya. Ia lindungi matanya dengan tangan agar tidak silau dan lebih jelas melihat sekelilingnya.

Namun, sejauh mata memandang, ia tidak melihat sumber air, kafilah, atau apa pun yang dapat membantunya. Yang ia lihat hanya sang jabang bayi yang terus menangis dari kejauhan. Ia segera menuruni Bukit Shafa.

Namun, di lembah antara dua bukit tersebut, Hajar r.a tidak bisa memantau putranya. Kemudian ia segera naik ke atas Bukit Marwah yang bersebelahan dengan Bukit Shafa. Selanjutnya, ia kembali mengamati sekitarnya. Tidak ada apa-apa yang terlihat kecuali hanya bayi mungil dan semilir angin yang membawa debu kering menyapu padang tandus yang sepi dan gersang.

Khawatir dengan sang jabang bayi, Hajar r.a turun dari Bukit Marwah untuk menengok keadaan buah hatinya. Ismail masih menangis. Dengan terus berharap, sang bunda kembali naik ke Bukit Shafa. Sama seperti semula, tidak ada hal baru yang dapat menolongnya.

Ia kembali menuruni Bukit Shafa dan kembali naik ke Bukit Marwah. Dari atas sana, hanya kesunyian yang membentang di hadapannya. Namun, ia tetap yakin akan pertolongan Allah, lalu ia melakukan hal yang serupa, yaitu menaiki dan menuruni Bukit Shafa dan Marwah.

Setelah tujuh kali Hajar r.a berlari menaiki dan menuruni kedua bukit tersebut, ia kembali menengok Ismail yang makin melemah. Kemudian ia terduduk lelah di sisi sang buah hati. Sungguh tak tega mendengar suara tangisan bayinya yang makin lemas dan serak menahan haus. Saat itulah rahmat Allah SWT tercurah kepada mereka. Sebuah mata air menyembur deras tepat di tempat Ismail menghentakkan kakinya.

Rasa syukur dan bahagia yang luar biasa membuncah ketika melihat percikan air di bawah kaki putra tercintanya. Kemudian ia segera menciduk air tersebut dengan tangannya dan meneteskan ke dalam mulut Ismail. la juga meraup air penuh berkah tersebut untuk diminumnya.

Subhanallah, sungguh kenikmatan yang luar biasa. Dahaga dan lelah musnah sudah ketika air bening yang segar mengalir melalui kerongkongannya yang telah lama kering.

Ujian dari Allah SWT berakhir indah. Sumber air tersebut menjadi tempat persinggahan kafilah-kafilah yang sedang melakukan perjalanan. Lama-kelamaan terbentuklah perkampungan di sekitar mata air tersebut. Sumber air itu terkenal dengan nama 'zamzam' hingga kini.

Ketaatan Anak Saleh

Ismail a.s tumbuh menjadi remaja yang tampan. Di usianya yang masih belia, tampak kelembutan hati dan kebijaksanaan terpancar dari wajahnya. Saat-saat bahagia ia rasakan ketika Allah SWT mempertemukan kembali dengan ayahnya yang telah terpisah selama bertahun-tahun.

Meskipun sebenarnya hal itu bukan kehendak sang ayah untuk meninggalkan Ismail bayi dan sang istri di sebuah padang gersang dan tandus di masa lampau. Justru pada saat itu hati Ibrahim a.s sedang terpaut cinta yang dalam kepada putra semata wayangnya tersebut.

Kini ayah dan anak dipersatukan kembali oleh Allah. Ismail a.s merasakan kembali curahan cinta dan kasih sayang seorang ayah. Akan tetapi, belum lama mereka melepas rindu dan kasih sayang, Allah SWT menurunkan perintah selanjutnya.

Ibrahim a.s bermimpi menyembelih putra semata wayangnya yang begitu ia cintai. Tentu saja mimpi itu membuatnya bimbang karena ayah mana yang tega membunuh putra tercintanya. Benarkah mimpi itu datang dari Allah SWT atau hanyalah tipu daya setan terkutuk?

Ketika Allah SWT meyakinkan bahwa mimpi itu benar dan itu adalah perintah yang harus dijalankan, tanpa bertanya lagi Ibrahim a.s langsung mematuhinya. Ibrahim a.s menyampaikan perintah Allah SWT ini kepada putranya, Ismail.

Dialog antara mereka berdua ini diabadikan dalam Al-Qur'an, "Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, "Wahai anakku! Sesungsuhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!" Dia (Ismail) menjawab, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar." (QS Ash-Shaffat [37]: 102)

Subhanallah, kecintaan mereka kepada Allah SWT melahirkan ketaatan yang tulus dan murni. Ismail a.s tanpa ragu siap mempertaruhkan nyawanya jika memang itu yang dikehendaki Allah SWT.

Keduanya beranjak ke sebuah tempat untuk melaksanakan perintah Allah SWT itu. Ibrahim a.s menatap putranya untuk terakhir kali. Ismail merebahkan tubuhnya dengan wajah menghadap ke tanah. Dalam posisi tersebut, sang ayah tidak akan melihat wajah anaknya yang kesakitan, sedangkan bagi Ismail, ia tidak akan melihat prosesi penyembelihan dirinya.

Tatkala pisau akan ditebaskan di leher Ismail, Allah SWT memiliki rencana lain. Atas kehendak-Nya, Ismail diganti dengan seekor domba yang besar. Kesabaran mereka sungguh sangat teruji. Mereka benar-benar bisa melaksanakan perintah Allah dengan penuh kesabaran.

Selanjutnya Allah SWT mengabarkan kisah mereka dalam Al-Qur'an, "Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, "Wahai Ibrahim! sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu." Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, "Selamat sejahtera bagj Ibrahim." Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS Ash-Shaffat [37]: 103-110)

Jumat, 19 Maret 2010

Sebuah Penantian yang Panjang

Sebelum Muhammad diutus menjadi rasul, beliau mengadakan transaksi dengan seseorang yang bernama Abdullah bin Abi Khansa. Pada transaksi itu ternyata ada sisa barang yang harus Abdullah kembalikan kepada Muhammad. Akhirnya, mereka menyepakati untuk bertemu di sebuah tempat pada waktu yang telah ditentukan.

Malang bagi Muhammad, ternyata Abdullah lupa akan janji tersebut. Ia baru ingat keesokan harinya dan ia merasa tidak perlu bertemu Muhammad saat itu karena pikirnya, Muhammad pasti sudah kembali pulang.

Ia berpikir akan langsung ke rumah Muhammad untuk mengantar barang sekaligus meminta maaf akan kekhilafannya. Ia pun berencana pergi keesokan harinya.

Dua hari berlalu dari hari yang telah disepakati, Abdullah berangkat dari rumahnya menuju kediaman Muhammad. Untuk mencapai rumah Muhammad, ia melewati jalan yang dijadikan tempat pertemuan antara dia dan Muhammad dua hari yang lalu.

Alangkah kagetnya ketika ia melihat Muhammad berada di tempat itu. Muhammad tampak sedang menunggu seseorang. "Apakah ia masih menungguku? Ah, tidak mungkin. Janji itu sudah lewat dua hari yang lalu. Mungkin dia sedang menunggu orang lain," pikir Abdullah.

Ia pun segera mendekati Muhammad untuk menyelesaikan urusannya. Muhammad menyambutnya dengan senyum lebar sambil berkata, "Wahai pemuda, kau telah menyusahkan aku. Ketahuilah, aku telah berada di sini selama tiga hari menunggumu!"

Betapa terkejutnya Abdullah mendengar penjelasan Muhammad. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa Muhammad akan menunggunya selama tiga hari demi menepati janji. Jika ia tahu, tentunya ia akan langsung ke tempat itu tanpa mengulur-ulur waktu lebih lama saat ia sadar akan kekhilafannya.

Penjaga Malam

Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. hendak bermalam di sebuah tempat sepulangnya dari peperangan. Beliau dan pasukannya mendirikan perkemahan di sana. Ammar bin Yasir r.a dari kaum Muhajirin dan Abbad bin Bashir r.a dari golongan Anshar menawarkan diri untuk menjaga kemah Rasulullah saw.

Mereka pun berjaga di puncak bukit yang kemungkinan akan dilalui oleh musuh. Abbad r.a berkata kepada Ammar r.a, "Bagaimana kalau kita berjaga secara bergiliran? Sekarang aku yang berjaga dan kamu boleh tidur. Berikutnya giliran kamu yang berjaga dan aku yang tidur."

Ammar r.a menyetujuinya, lalu merebahkan diri dan langsung terlelap dengan nyenyaknya. Sambil berjaga, Abbad r.a melaksanakan shalat. Tiba-tiba sebatang anak panah musuh menancap di tubuhnya. Disusul dengan dua anak panah berikutnya.

Ia pun segera menyelesaikan shalatnya, lalu mencabut ketiga anak panah tersebut. Setelah itu, ia membangunkan sahabatnya yang tertidur, "Hai, Ammar! Bangunlah, ada musuh!"

Mereka berdua pun menembus kegelapan malam mencari musuh penembak anak panah tersebut. Namun, mereka kalah cepat. Musuh telah lebih dahulu kabur.

Situasi pun aman kembali. Ammar r.a terkejut ketika menyadari bahwa tubuh Abbad r.a sudah berlumuran darah. Ia pun bertanya kepada Abbad r.a, "Subhanallah, mengapa kamu tidak membangunkanku?"

Abbad r.a menjelaskan peristiwa yang menimpanya, "Ketika aku berjaga, aku melaksanakan shalat dan tengah membaca Surat Al-Kahfi. Aku tidak akan ruku' sebelum menyelesaikan bacaan surat itu. Namun, ketika aku merasa anak panah ketiga menembus tubuhku, aku khawatir dengan keselamatan Rasulullah saw. Lalu, aku segera menyelesaikan shalatku dan membangunkanmu. Jika tidak, sudah pasti aku akan menamatkan bacaan surat tersebut sebelum ruku' meskipun aku akan mati tertancap panah musuh."

Kehormatan Menunaikan Amanah

Pada masa jahiliah hiduplah seorang penyair bernama Umru'ul Qais keturunan kerajaan Kindah yang memiliki julukan Penyair Emas. Syair-syairnya sangat tajam mengkritik pemerintahan baru Kerajaan Kindah yang zalim. Ia pun berencana pergi ke Romawi untuk meminta bantuan dan perlindungan dari kezaliman Raja Kindah.

Sebelum berangkat, ia menitipkan tameng, persenjataan, dan barang-barang berharga lain yang nilainya sangat besar kepada Samuel sesama penyair. Qais berpesan agar jika terjadi sesuatu padanya, barang-barang tersebut hanya boleh diserahkan kepada ahli warisnya.

Konon dalam perjalanannya, Qais dibunuh oleh utusan Raja Kindah dengan cara diracun hingga nyawanya pun berakhir. Kemudian Raja Kindah menyuruh pengawalnya untuk mengambil barang-barang milik Qais dari tangan Samuel.

Akan tetapi, Samuel tidak mengizinkannya karena sudah mendapat amanah dari Qais. Segala upaya digencarkan para pengawal Raja Kindah agar barang-barang milik Qais diserahkan, mulai dari membujuk, menjanjikan imbalan, sampai mengancam. Namun, upaya tersebut tidak membuat Samuel melanggar janji dan mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadanya.

Perilaku Samuel membuat Raja Kindah sangat geram. la pun menggunakan cara paling keras dengan mengirim tentara-tentaranya untuk menyerang Samuel dan putranya. Akan tetapi, Samuel tidak gentar. Untuk menghindari serangan tentara-tentara tersebut, Samuel berlindung di dalam benteng yang kukuh. Sementara itu, putranya melindungi ayahnya di depan benteng.

Raja zalim itu tidak kehabisan akal. Ditangkaplah putra Samuel yang melawan puluhan tentara seorang diri untuk dijadikan tawanan. Kemudian Raja memanggil Samuel untuk melihat putranya terakhir kali.

Samuel segera menuju ke atas benteng dan menyaksikan anaknya diseret dalam keadaan terikat. Raja mengancam Samuel jika masih bersikukuh tidak mau memberi barang-barang yang ia minta, anaknya akan dibunuh di hadapannya.

Ayah mana yang rela melihat anaknya menderita, apalagi jika harus mati dengan cara mengenaskan seperti itu. Akan tetapi, Samuel dengan lantang berkata, "Aku tidak akan pernah mengkhianati janji dan melanggar sumpah. Apa pun yang akan kaulakukan, tidak akan mengubah pendirianku!"

Setelah berkata demikian, putranya dibunuh di depan matanya sendiri. Bayangkan apa yang ia rasakan kini. Tiada lagi putra kesayangan yang menemani hidupnya. Semua ia lakukan demi mempertahankan amanah hingga ia harus mengorbankan putranya sendiri.

Misi penyerangan akhirnya gagal dan kali ini raja zalim itu benar-benar kehabisan akal. Mereka pun pulang meninggalkan benteng tanpa membawa hasil yang mereka inginkan.

Suatu hari anak-anak Umru'ul Qais selaku ahli waris mendatangi Samuel. la pun menyerahkan semua barang titipan Qais kepada mereka. Tidak ada dendam atau tuntutan dari Samuel atas pengorbanan yang telah ia lakukan demi menjaga warisan ayahnya. Semua ia lakukan dengan tulus. la pun menggubah syair tentang dirinya:

Kupenuhi janji
Meski getir kuhadapi
Kezaliman raja nan dengki
Meskipun orang mengkhianati
Aku tetap menepati
Sebab, kehormatan lebih aku hormati

Mewakafkan Kebun karena Lalai

Di dalam kebun yang rindang, Abu Thalhah r.a menundukkan dirinya dalam kekhusyu'an shalat kepada Allah SWT. Tanpa ia sadari, kekhusyu'annya terusik oleh seekor burung indah yang bermain di antara rerimbunan pepohonan.

Matanya mengikuti gerakan burung tersebut yang melompat-lompat dari satu ranting ke ranting lainnya. Akhirnya, ia pun lupa akan jumlah rakaat shalat yang telah dijalaninya.

Penyesalan luar biasa menyergap dirinya. Setelah menyelesaikan shalat, Abu Thalhah r.a bergegas menemui Rasulullah saw dan menyatakan penyesalannya, "Wahai Rasulullah, aku telah tertimpa musibah karena kebunku ini. Oleh karena itu, kebun ini kuserahkan kepada Allah. Atau, jika kau menghendaki, gunakanlah sesuai keinginanmu"

Majikan Zubair r.a.

Ketika Zubair r.a hendak bergabung dalam suatu peperangan, ia memanggil anaknya yang bernama Abdullah r.a. Ia berwasiat kepada putranya bahwa jika terjadi sesuatu padanya, hendaknya semua utangnya dilunasi oleh putranya itu.

Zubair r.a. berkata kepada Abdullah, putranya, "Wahai Anakku. Jika aku tidak kembali dari peperangan ini, selesaikanlah utang-utangku. Jika kau menemui kesulitan dalam melunasinya, mohonlah kepada majikanku agar melepasmu dari kesukaran."

"Siapakah majikan yang kaumaksud, Ayah?" tanya Abdullah r.a.

"Allah SWT," jawab sang ayah.

Sepeninggal ayahnya yang telah menjadi syuhada, Abdullah bin Zubair r.a. memeriksa buku keuangan ayahnya. Di dalamnya terdapat utang sebanyak dua juta dirham yang harus dilunasi. Hari demi hari berlalu, akhirnya semua utang ayahnya lunas sudah.

Abdullah r.a selalu mengingat pesan ayahandanya, yaitu ketika ia menemukan kesukaran, ia akan mengadu kepada Sang Majikan - Allah SWT - untuk memohon pertolongan. Dengan demikian, semua kesukaran yang menghadang akan lenyap.

Suatu ketika Abdullah bin Zubair r.a sedang berdagang bersama saudaranya, Ibnu Ja'far r.a Ia berkata kepada saudaranya tersebut, "Aku mendapatkan dalam catatan ayahku bahwa kau berutang kepada ayahku satu juta dirham."

Ibnu Ja'far r.a mengiyakan utang tersebut, seraya berkata, "Baiklah, engkau dapat mengambil uang tersebut kapan pun kausuka."

Namun, ketika Abdullah r.a memeriksa kembali catatan ayahnya, ternyata ayahnyalah yang berutang kepada Ibnu Ja'far r.a. Kemudian ia pun segera menemui Ibnu Ja'far r.a untuk meralat tagihannya. Abdullah r.a meluruskan kesalahannya, "Wahai saudaraku, maafkan aku karena sesungguhnya aku telah melakukan kekeliruan kepadamu. Ternyata ayahku yang memiliki utang kepadamu."

Tidak ada kemarahan atau cemoohan dari Ibnu Ja'far r.a, bahkan ia merelakan utang ayah saudaranya tersebut, "Jika memang demikian, aku telah menghalalkan utang ayahmu kepadaku," ujarnya.

Tawaran tersebut ditolak dengan halus oleh Abdullah r.a seraya berkata, "Tidak, wahai saudaraku. Aku akan membayarnya."

Ibnu Ja'far r.a kembali menawarkan keringanan dalam membayar utang saudaranya, "Baiklah, kau boleh membayar semampumu."

Tawaran itu disambut baik oleh Abdullah r.a, "Sebagai ganti utang ayahku, maukah kauterima sebidang tanah yang kecil?" tawarnya.

"Ya, jika engkau tidak keberatan," ujar Ibnu Ja'far r.a.

Ketika dilihatnya tanah untuk membayar utang tersebut tandus dan kering, Ibnu Ja'far r.a menggelar sajadah dan mendirikan shalat dua rakaat di atas tanah tandus tersebut.

Setelah cukup lama bersujud, ia menunjuk ke suatu tempat yang masih berada di wilayah tanah itu dan menyuruh seorang hamba sahaya untuk menggalinya. Dari tempat penggalian tersebut, ternyata memancar sebuah mata air. Keadaan seperti itu bukanlah kejadian luar biasa. Para sahabat sering mengalami keajaiban-keajaiban seperti itu.

Catatan:
Nama asli Ibnu Ja'far r.a adalah Abdullah bin Ja'far r.a. Penulis menggunakan nama Ibnu Ja'far agar tidak tertukar dengan Abdullah bin Zubair r.a sehingga memudahkan pembaca untuk memahami cerita. Ibnu Ja'far r.a mewarisi sifat ayahnya, Ja'far Ath-Thayar yang dijuluki Abu Al-Masakin atau bapaknya orang miskin. Ibnu Ja'far r.a pun memperoleh gelar dari penduduk setempat, yaitu Qutbus Sakha yang artinya kepala para dermawan.

Mendahulukan Allah SWT

Ibnu Abbas r.a menceritakan keadaan para sahabat yang disibukkan dengan pekerjaan dan perdagangannya. Tatkala azan berkumandang, mereka langsung meninggalkan pekerjaan dan perdagangannya, kemudian berduyun-duyun menuju masjid untuk shalat berjamaah.

Begitu pula yang disaksikan oleh Abdullah bin Umar r.a ketika datang ke sebuah pasar. Ketika tiba waktu shalat berjemaah, para pedagang serentak menutup toko-toko mereka dan bersama-sama berjalan menuju masjid.

Abdullah bin Umar r.a berkata, "Mereka inilah yang diberitakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya, 'Orang yang tidak dilalaikan oteh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat).' " (QS. An-Nur [24]: 37)

Rasulullah saw memberitakan mereka dalam sabdanya, yang dikutip dari kitab Durul Mantsur karangan Allamah Jalaluddin Suyuti dari Fadhail 'Amal, Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandhalawi r.a, "Pada hari kiamat ketika Allah SWT mengumpulkan manusia pada suatu tempat, Aliah SWT akan mensajukan tiga pertanyaan. Pertanyaan pertama, "Siapakah yang memuji Allah pada waktu senang dan susah?" Maka sekumpulan manusia akan bangun, lalu masuk ke dalam surga tanpa hisab. Pertanyaan kedua, "Siapakah yang meninggalkan tempat tidurnya dan menghabiskan malamnya untuk mengingat Altah SWT dengan perasaan takut dan penuh harap?" Lalu, sekumpulan manusia akan berdiri dan masuk ke dalam surga tanpa hisab. Pertanyaan ketiga, "Siapakah yang perdagangannya tidak menghalanginya dari mengingat Allah?" Kemudian sekumpulan manusia pun akan bangun, lalu masuk surga tanpa hisab. Setelah ketiga kumpulan manusia itu masuk surga, barulah dimulai penghisaban atas manusia yang lainnya."

Menjaga Kepercayaan Orang Lain

Sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah saw masih berjaga di masjid. la dikunjungi oleh salah seorang istrinya yang bernama Shafiyyah. Ketika Rasulullah saw mengantarkan istrinya pulang ke rumah, mereka bertemu dengan dua orang sahabat di tengah perjalanan.

Rasulullah saw segera menghentikan langkah mereka dan berkata, "Ini istriku, Shafiyah," sambil membuka cadar (penutup wajah) istrinya. Beliau melakukan hal itu karena khawatir akan timbul prasangka bahwa beliau berjalan dengan wanita nonmahram sepulangnya dari masjid. Oleh karena itu, beliau menunjukkan jati diri wanita yang 'sedang berjalan bersamanya, yang pada saat itu adalah istrinya.

Kedua sahabat berkata, "Allah melarang kami berburuk sangka tentang engkau, wahai Rasulullah."

Rasulullah membenarkan perkataan sahabatnya dan menambahkan, "Berburuk sangka tentang diriku akan menyebabkan hilangnya iman dan masuk ke dalam neraka. Setan akan terus-menerus berputar dalam aliran darah seseorang."

Setan selalu mencari celah untuk menaburkan prasangka dan membesar-besarkannya hingga berakibat hilangnya kepercayaan seseorang terhadap yang lainnya. Oleh karena itu, Rasulullah saw mencegah terjadinya hal itu dengan mengungkap hal sebenarnya untuk menghentikan langkah setan menghancurkan hubungan sesama muslim.

Allah SWT sebagai Saksi

Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bercerita tentang dua orang Bani Israel yang meminjamkan uang sebesar 1.000 dinar kepada temannya. Uang sebesar itu bukanlah jumlah yang sedikit. Kemudian si pemberi utang meminta temannya yang akan ia pinjami uang untuk mendatangkan seorang saksi.

Ia berkata, "Datangkanlah beberapa saksi agar mereka menyaksikan utang piutang ini."

Temannya menjawab, "Cukuplah Allah sebagai saksi bagiku!"

Kemudian si pemberi utang meminta lagi, "Datangkanlah seseorang yang bisa menjamin utangmu!"

Temannya kembali menjawab, "Cukuplah Allah yang menjaminku!"

Pemberi utang pun berkata, "Engkau benar!"

Setelah itu, ia memberikan 1.000 dinar kepada temannya dan menetapkan waktu pengembaliannya. Semua didasarkan atas saling percaya karena mereka menjadikan Allah SWT sebagai saksi dan penjamin.

Kemudian teman yang berutang itu pun pergi berlayar untuk suatu keperluan. Waktu berlalu dan tibalah waktu pembayaran utang yang telah mereka sepakati. Teman yang berutang mencari kapal agar ia dapat kembali ke daerahnya untuk melunasi utangnya.

Namun, kapal yang menuju daerahnya tidak kunjung tiba. Ia pun berusaha mencari kapal yang dapat membawanya kembali, tetapi hasilnya nihil. Kemudian ia pun mengambil sebatang kayu dan melubanginya, lalu memasukkan uang 1.000 dinar ke dalamnya dan sebuah surat kepada temannya.

Setelah menutup rapat kayu tersebut, ia menuju laut seraya berkata, "Ya Allah, sungguh Engkau telah mengetahui bahwa aku meminjam uang kepada teman saya sebanyak 1.000 dinar. Ia memintaku seorang penjamin dan kukatakan bahwa cukup Engkau sebagai penjamin dan ia rela dengannya. Aku pun telah berusaha keras untuk mendapatkan kapal agar dapat mengembalikan uang yang telah aku pinjam darinya, tetapi aku tidak mendapatkan kapal itu. Karena itu, aku titipkan ia kepada-Mu."

Lalu, ia melemparkan kayu berisi uang yang jumlahnya besar tersebut ke laut sehingga terapung-apung, lalu ia pulang.

Sementara itu, temannya yang memberi utang menyusuri tepian laut menanti kedatangan temannya yang akan melunasi utang. Namun, ia tidak melihat satu kapal pun bertepi di lautnya. Tiba-tiba ia melihat potongan kayu terdampar di hadapannya. Terbesit dalam pikirannya untuk menggunakan kayu tersebut sebagai kayu bakar. Kemudian dibawalah kayu itu pulang ke rumah.

Setibanya di rumah, ia membelah kayu tersebut bersama istrinya. Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat di dalamnya terdapat uang 1.000 dinar. Tidak kurang dan tidak lebih.

Mereka membaca surat yang diselipkan di dalam kayu tersebut. Akhirnya, mereka tahu bahwa kayu itu adalah kiriman temannya yang berutang untuk melunasi utangnya. Mereka pun memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah mengantarkan kayu tersebut hingga sampai kepada yang berhak.

Beberapa hari kemudian, teman yang dulu berutang datang ke rumah temannya yang meminjami utang. Ia belum tahu kalau kayu itu telah sampai dengan selamat ke tujuannya.

Kemudian ia membawa uang 1.000 dinar untuk dibayarkan seraya berkata, "Demi Allah, aku terus berusaha untuk mendapatkan kapal agar bisa sampai kepadamu dengan uangmu, tetapi aku sama sekali tidak mendapatkan kapal. Baru sekarang aku bisa memperoleh kapal yang mengantarku kemari."

Teman yang memberi pinjaman berkata, "Bukankah engkau telah melunasi utangmu?"

Temannya menjawab, "Bukankah aku telah beritahukan kepadamu bahwa aku tidak mendapatkan kapal sebelum ini dan baru sekarang aku tiba di sini?"

"Sesungguhnya Allah telah menunaikan apa yang telah engkau kirimkan kepadaku melalui kayu. Oleh karena itu, bawalah uang 1.000 dinarmu kembali. Semoga keberkahan senantiasa menyertaimu!"

Akhirnya, mereka berdua benar-benar menyaksikan bahwa utang piutang antara mereka melibatkan pertolongan Allah SWT yang nyata sebagai saksi dan penjamin.

Kisah ini merupakan penjelasan ayat Al-Qur'an Surat Ali Imran [3]: 75-76, "Dan di antaraAhli Kitab ada yang jika engkau percayakan kepadanya harta yang banyak, niscaya dia mengembalikannya kepadamu. Tetapi ada (pula) di antara mereka yang jika engkau percayakan kepadanya satu dinar, dia tidak mengembalikannya kepadamu, kecuali jika engkau selalu menagihnya. Vam» demikian itu disebabkan mereka berkata, "Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang buta huruf." Mereka mengatakan hai yang dusta terhadap Allah, padahal mereko mengetahui. Sebenarnya barangsiapa menepati janji dan bertakwa maka sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertakwa." (QS Ali Imran [3]: 75-76)

Ketampanan Seorang Pemuda

Ahnaf bin Qais r.a didatangi oleh seorang pemuda dari Suku Thai. Pemuda itu memancarkan aura cahaya yang menyenangkan hati. Ketampanannya sangat beda dengan ketampanan para pemuda tampan pada umumnya. Semua orang yang melihatnya akan terkagum-kagum dengan pesonanya, termasuk Ahnaf r.a.

Saat itu Ahnaf r.a menduga ketampanan pemuda itu karena ia rajin berolahraga dan selalu menjaga kesehatan kulitnya dengan biaya dan perawatan mahal. Namun, ia tidak begitu yakin sebelum bertanya langsung kepada orang tersebut. Kemudian Ahnaf r.a mendekati pemuda itu seraya bertanya, "Hai anak muda. Apa rahasiamu sehingga memiliki wajah yang tampan ini?"

"Resepnya ada empat," jawab pemuda itu cepat.

"Apakah itu?" tanya Ahnaf r.a. kembali.

"Pertama, apabila orang berbicara kepadaku, aku mendengarkannya dengan baik. Kedua, apabila berjanji, pasti kutepati. Ketiga, apabila diriku diperhitungkan orang maka aku relakan. Keempat, apabila aku dipercaya, aku tidak mau mengkhianatinya," jelas pemuda itu.

Sambil memikirkan jawaban pemuda tersebut, Ahnaf bin Qais r.a. bergumam, "Inilah pemuda yang tampan luar dalam."

Membela Hak Orang Lain

Suatu hari Abu Jahal membeli beberapa ekor unta dari seorang laki-laki kabilah Khais'am. Ia berjanji akan membayarnya sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati. Namun, ketika batas waktu pembayaran berakhir, Abu Jahal tidak juga membayar utang-utangnya.

Sang pedagang tidak kehabisan akal. Ia pergi ke Masjidil Haram untuk menemui petinggi-petinggi Quraisy di sana. Harapannya hanya satu, ada seseorang di antara mereka yang bersedia membantunya untuk menagih utang kepada Abu Jahal. Ia yakin Abu Jahal akan mendengar nasihat dari para petinggi Quraisy tersebut.

Ketika ia melihat para petinggi Quraisy sedang duduk-duduk dan saling bercengkerama di depan Masjidil Haram, tanpa buang waktu ia segera mendekati mereka. Kemudian ia tumpahkan permasalahan yang dihadapinya dengan harapan para petinggi Quraisy tersebut bersedia membantunya.

Memang orang-orang Quraisy itu mendengarkan curahan hati sang pedagang dengan saksama, tetapi bukannya memikirkan cara membantu sang pedagang, mereka malah melihat situasi ini sebagai kesempatan emas untuk 'mengerjai' Rasulullah saw. Mereka bermaksud mempertemukan Abu Jahal dengan Rasulullah saw agar Abu Jahal leluasa mempermalukan beliau di depan semua orang.

Akhirnya, mereka mengusulkan ide kepada sang pedagang "Adukanlah permasalahan ini kepada Muhammad. Hanya dia yang bisa membuat Abu Jahal menunaikan kewajibannya", usul mereka sambil terkekeh-kekeh.

Tanpa pikir panjang, pedagang itu benar-benar menemui Rasulullah saw. Ia pun mengadukan permasalahannya, "Wahai hamba Allah, Abu Jahal berbuat sewenang-wenang kepadaku. la tidak mau membayar harga unta yang dibelinya. Padahal, aku orang asing yang sedang melakukan perjalanan jauh. Tadi aku meminta orang-orang di sana untuk membantuku. Dan mereka menyuruhku untuk datang kepadamu. Tolonglah aku kali ini! Semoga Tuhan merahmatimu!" pinta sang pedagang.

Rasulullah saw berdiri dan mengajak pedagang itu ke rumah Abu Jahal. Keberangkatan mereka menuju rumah Abu Jahal diketahui oleh orang-orang Quraisy di Masjidil Haram dan mereka berpikir bahwa strategi mereka akan berhasil. Mereka pun mengutus seseorang untuk mengikuti Rasulullah saw dan melaporkan segala sesuatu yang terjadi nanti.

Setibanya di kediaman Abu Jahal, Rasulullah saw. mengetuk pintu rumahnya.

"Siapa itu?" tanya Abu Jahal dari dalam rumah ketika mendengar pintunya diketuk.

"Muhammad!" jawab Rasulullah, "keluarlah!" seru beliau kepada Abu Jahal.

Abu Jahal membuka pintu rumahnya dengan tergesa-gesa. Melihat Rasulullah saw telah berdiri di depan pintunya, tiba-tiba wajahnya berubah pucat pasi. Ia terlihat sangat ketakutan.

"Berikanlah hak orang ini kepadanya!" perintah Rasulullah dengan suara tegas.

Dengan gelagapan, Abu Jahal menjawab, "Ba.. baiklah. Akan kulunasi utangku sekarang!" Abu Jahal melesat masuk ke dalam rumah, lalu keluar dengan membawa uang sejumlah utangnya.

Urusan utang selesai. Rasulullah saw berkata kepada pedagang itu, "Gunakanlah hakmu sesukamu!" Kemudian beliau pergi.

Tentu saja hal ini sangat menggembirakan sang pedagang. Ia berlari menuju Masjidil Haram untuk berterima kasih atas saran yang diberikan para petinggi Ouraisy yang musyrik itu. Ia berkata kepada mereka, "Semoga Tuhan membalas Muhammad dengan kebaikan. Ia benar-benar telah menolongku mendapatkan hakku!"

Mendengar berita itu, para petinggi Quraisy merasa keheranan dan tidak percaya. Benarkah Abu Jahal telah membayar utangnya? Rasanya mustahil jika Abu Jahal menuruti kehendak kemenakannya tersebut. Namun, mereka masih berharap utusan yang mereka kirim membawa berita yang berbeda dari pedagang itu.

Tanpa menunggu lama, sang utusan datang. Ia melaporkan bahwa Abu Jahal langsung membayarkan utangnya ketika Muhammad memintanya. Rasa kaget dan gentar merayap ke dalam dada mereka. Tidak terbayang oleh mereka bahwa seorang Abu Jahal yang kuat kedudukannya serta sangat menentang Muhammad dengan mudahnya tunduk pada perintah beliau.

Ketika Abu Jahal datang dengan kepala tertunduk, mereka langsung menyerangnya dengan cemoohan, "Celakalah engkau! Demi Tuhan, kami tidak pernah melihat seseorang melakukan apa yang telah kaulakukan kepada Muhammad tadi!"

Abu Jahal membalas dengan makian, "Kalianlah yang celaka! Demi Tuhan, ketika kudengar ketukan dan mengetahui bahwa Muhammad yang datang, tiba-tiba saja aku merasa takut. Aku pun keluar. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri ada seekor unta yang sangat besar berdiri tepat di mukaku. Hewan itu membuka mulutnya yang sangat lebar sambil memamerkan gigi taringnya yang tajam-tajam seolah-olah hendak menerkamku. Demi Tuhan, jika aku menolak perintahnya, unta itu pasti sudah memangsaku!"

Membela Hak Makhluk Allah

Di antara sifat amanah adalah memelihara hak-hak makhluk Allah, termasuk hewan. Rasulullah sangat membenci perlakuan yang semena-mena terhadap hewan.

Misalnya, ketika beliau melihat seseorang sedang mengecoh kudanya. Ia seolah-olah hendak memberi makan kepada kudanya agar kuda tersebut mau menuruti dan mengikutinya, padahal tidak ada makanan yang akan ia berikan pada kudanya. Beliau langsung menegur orang itu, "Janganlah menipu hewan! Jadilah orang yang dapat dipercaya bagi mereka!"

Begitu juga, ketika beliau mendapat laporan bahwa ada beberapa orang mengambil anak-anak burung dari sarangnya. Sementara itu, sang induk berputar-putar sambil terus bercicit di atas sarang dengan gelisah mengetahui anak-anaknya tidak ada di tempatnya.

Berita itu benar-benar membuat sedih Rasulullah. Beliau pun langsung memerintahkan agar anak-anak burung itu dikembalikan ke sarangnya dengan segera.

Diriwayatkan pula oleh Bukhari, Rasulullah saw pernah bersabda kepada para sahabat bahwa pernah ada seorang nabi yang mendapat teguran dari Allah SWT karena membakar sarang semut.

Di waktu yang lain ketika di Mina, para sahabat menyerang seekor ular dengan maksud ingin membunuhnya. Namun, ular tersebut berhasil meloloskan diri. Rasulullah yang menyaksikan kejadian tersebut dan berkata, "Ia diselamatkan dari kejahatan kalian, seperti kalian diselamatkan dari kejahatannya."

Ibnu Abbas menceritakan saat Rasulullah saw melihat seseorang hendak menyembelih dombanya. la hanya mengasah pisau sebentar sehingga tidak terlalu tajam. Kemudian beliau menegurnya, sambil bertanya, "Apakah kau ingin membuatnya menderita dengan menyembelihnya berkali-kali?"

Abdullah bin Ja'far juga menceritakan ketika Rasulullah saw bersama sahabat sedang bepergian, beliau melihat seekor unta kurus berdiri di sudut sebuah kebun. Melihat kedatangan Rasulullah dengan serta-merta unta tersebut menangis. Beliau segera mendekatinya dan berdiri di sampingnya.

Tidak beberapa lama kemudian, beliau memanggil pemilik unta dan menegurnya dengan keras seraya berkata, "Berilah peliharaanmu makanan yang pantas untuknya!"

Hak Berbicara untuk Menuntut Hak Miliknya

Suatu ketika seorang Baduy melihat Rasulullah saw bersama para sahabat keluar dari masjid. Ia langsung mencegah langkah Rasulullah saw sambil menarik kerah baju beliau dengan kasar seraya berteriak, "Hai Muhammad! Berikanlah hakku! Kembalikan untaku! Aku yakin kau tidak sanggup mengembalikannya meskipun kaugunakan kekayaanmu ditambah milik ayahmu!"

Melihat Rasulullah saw diperlakukan kasar sedemikian rupa, para sahabat marah dan hendak membalas perlakuan kasar tersebut. Namun, tanpa rasa tersinggung sedikit pun, beliau mencegah para sahabat menyakiti orang Baduy itu. Beliau bersabda, "Biarkanlah orang itu! Sesungguhnya dia memiliki hak berbicara untuk menuntut haknya!"

Kemudian beliau meminta kepada para sahabat, "Berikanlah kepadanya unta berumur sama dengan untanya yang aku pinjam!"

"Para sahabat menuruti perintah beliau dan bergegas mencari unta yang dimaksud Rasulullah saw. Ternyata para sahabat tidak menemukan unta tersebut, melainkan unta yang lebih dewasa umurnya.

Padahal, unta yang lebih dewasa itu lebih kuat dan lebih mahal daripada unta yang lebih muda. Kemudian para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, kami tidak mendapatkan unta yang seumur dengan unta orang itu, kecuali unta yang lebih dewasa."

Rasulullah saw. berkata, "Berikanlah unta dewasa itu kepadanya. Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang paling baik mengembalikan pinjamannya!"

Jangan Memaksakan Kehendakmu, Amirul Mukminin!

Ketika masa pemerintahan khalifah Umar bin Khaththab r.a, Masjid Nabawi senantiasa disesakkan oleh jemaah kaum muslimin yang terus bertambah. Kemudian Umar r.a berniat untuk memperluas masjid tersebut agar bisa menampung kaum muslimin yang hendak beribadah di dalamnya.

Semua rumah di sekitar masjid telah dibelinya, kecuali rumah Abbas bin Abdul Muthalib r.a atau Abul Fadhal (ayahnya Fadhal, putra sulungnya). Amirul Mukminin pun menemuinya dan berkata, "Wahai Abul Fadhal, seperti yang kaulihat bahwa masjid sudah tidak cukup menampung jemaah yang akan shalat di dalamnya. Aku sudah memerintahkan untuk membeli tanah dan bangunan yang ada di sekitarnya untuk memperbesar bangunan masjid, kecuali rumahmu dan kamar-kamar Ummahatui Mu'minin (para istri nabi). Kami tidak mungkin membeli dan membongkar kamar-kamar Ummahatul Mu'minin. Oleh karena itu, aku meminta kepadamu agar kau mau menjual rumahmu berapa pun harga yang kau mau dari Baitul Mal."

Abbas r.a. menjawab singkat, "Tidak mau!"

Bukan Umar r.a namanya jika ia patah semangat. Ia pun menawarkan tiga pilihan bagi Abbas r.a,"Juallah rumahmu! Kau boleh meminta harga berapa pun dari Baitul Mal, aku akan membangunkanmu sebuah bangunan lain dari Baitul Mal, atau kamu berikan rumahmu sebagai harta sedekah kepada kaum muslimin!"

Abbas r.a tetap pada pendiriannya, "Aku tidak mau menerima semua itu!"

Melihat Abbas r.a yang keras kepala, Umar r.a meminta agar Abbas r.a menunjuk orang yang bisa menjadi penengah permasalahan mereka. Abbas r.a menunjuk Ubay bin Ka'ab r.a. yang kemudian disetujui oleh Amirul Mukminin, Umar r.a.

Mereka berdua pun menemui Ubay bin Ka'ab r.a. Umar r.a berharap bahwa caranya ini dapat membuat Abbas r.a merelakan rumahnya untuk disedekahkan. Lagi pula bukankah ia dalam posisi yang benar karena ingin membangun masjid untuk kepentingan kaum muslimin beribadah kepada Rabb-Nya? Umar r.a berkeyakinan bahwa Ubay r.a akan mendukung dirinya.

Setelah Ubay bin Ka'ab r.a mendengar permasalahan dari sudut pandang kedua belah pihak, ia mengisahkan, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Allah SWT pernah mewahyukan kepada Nabi Daud a.s., 'Bangunlah untuk-Ku sebuoh rumah tempat orang-orang menyebut nama-Ku di sana.' Nabi Daud a.s. merencanakan untuk membangunnya di Baitul Magdis. Dalam perencanaannya itu, lokasi pembangunan mengenai sebuah rumah seorang Bani Israel. Nabi Daud menawarkan kepada orang itu untuk menjual rumahnya, tetapi ia menolak ...."

Sampai di sini Umar r.a. merasa di atas angin karena ia yakin dirinyalah yang benar, sebagaimana posisi Nabi Daud a.s saat itu. Kemudian Ubay r.a melanjutkan, "Terpikir oleh Nabi Daud a.s. untuk mengambilnya dengan paksa. Namun, kemudian Allah SWT mewahyukan kepadanya, 'Hai Daud! Aku menyuruhmu membangun untuk-Ku tempat orang menyebut nama-Ku, sedangkan pemaksaan itu bukan sifat-Ku. Karena itu kau tidak usah membangunnya ..."

Umar r.a kaget mendengar cerita itu. Belum pernah sekalipun ia mendengar kisah tersebut dari Rasulullah saw. Sebelum Ubay r.a menyelesaikan kisahnya, Umar r.a. langsung mencengkeram kerah baju Ubay r.a dan menyeretnya ke masjid sambil menghardik, "Aku mengharapkanmu untuk mendukungku, tetapi kau malah menyudutkanku! Kau harus membuktikan kebenaran kisahmu tadi!"

Umar r.a membawanya ke tengah-tengah majelis para sahabat, di antaranya ada Abu Dzar r.a. Umar r.a bertanya ke majelis sahabat, "Saya berharap atas nama Allah, adakah di antara kalian yang pernah mendengar Rasulullah saw. berbicara tentang Nabi Daud a.s yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk mendirikan masjid agar disebut nama-Nya, kemudian ia memilih Baitul Maqdis?"

Abu Dzar r.a. berkata, "Ya, saya pernah mendengarnya!" Begitu pula yang lain berkata sama, "Ya, saya juga mendengarnya!"

Jawaban para sahabat membuat Umar r.a tersadar, kemudian berkata kepada Abbas r.a, "Pergilah! Aku tidak akan menuntut rumahmu lagi!"

Melihat Umar r.a yang telah melunak dan menyadari kesalahannya, Abbas r.a berkata, "Baiklah, kalau kau telah mengubah sikapmu, aku akan serahkan rumahku untuk disedekahkan bagi kepentingan kaum muslimin. Silakan perluas masjid mereka. Akan tetapi, jika kau mengambilnya dengan tekanan dan pemaksaan, aku tidak akan pernah merelakannya!"

Secara tidak langsung, Abbas r.a telah mengoreksi sikap Umar r.a yang bersikap sewenang-wenang merampas hak rakyatnya agar memenuhi keinginannya dengan cara paksa meskipun tujuannya untuk kemaslahatan umat.

Namun, ketika Abbas r.a melihat Umar r.a. mampu menghargai hak rakyatnya untuk berpendapat dan mempertahankan miliknya, barulah ia merelakan rumahnya untuk disedekahkan.

Kamis, 18 Maret 2010

Suami Zainab r.a, Abul Ash bin Rabi' r.a

Abul Ash bin Rabi' adalah seorang pemuda Mekah yang terkenal dengan kepribadiannya yang santun, cakap dalam berdagang, dan kaya-raya. Ia mempersunting Zainab, putri Muhammad dari Khadijah, untuk menjadi istrinya.

Saat itu Muhammad belum diangkat menjadi rasul. Muhammad dan Khadijah sangat bangga memiliki menantu yang baik seperti Abul Ash.
Ketika Muhammad diangkat menjadi rasul, Zainab menjadi bagian dari orang-orang yang pertama masuk Islam.

Akan tetapi, Abul Ash tetap teguh memegang keyakinannya yang lama. Ia tidak mau orang lain berpendapat bahwa keislamannya dikarenakan mengikuti jejak sang istri.

Mereka berdua adalah dua insan yang saling mencintai. Kaum musyrikin Quraisy berkali-kali menyuruh Abul Ash untuk menceraikan Zainab r.a. Dengan tegas, ia menolak permintaan itu mentah-mentah, "Demi Tuhan, aku tidak akan menceraikan istriku. Tidak ada wanita lain dari kaum Quraisy yang kucintai melebihi dia!"

Rasulullah saw menghargai ketegasan menantunya untuk senantiasa melindungi putri kesayangannya. Lagi pula pada saat itu Islam belum memerintahkan seorang istri muslim dipisahkan dari suaminya yang musyrik.

Awal mula Islam datang, berbagai cobaan dan intimidasi selalu dilancarkan orang-orang musyrikin Ouraisy kepada Muhammad. Hal ini membuat Zainab r.a, sebagai anak Muhammad, sangat sedih. Ditambah lagi keinginan yang kuat dari suaminya yang enggan masuk Islam.

Ketika sang ayah hijrah ke Medinah bersama mayoritas kaum muslimin lainnya, Zainab r.a. tetap bertahan di Mekah bersama umat muslim lainnya yang masih tersisa meskipun tinggal sedikit.

Ketika Perang Badar meletus, bertemulah dua kekuatan pasukan, yaitu pasukan musyrikin Quraisy dan pasukan muslim. Pasukan muslim dipimpin oleh ayah Zainab yang berjumlah lebih sedikit daripada pasukan musuh. Sedangkan, sang suami tercinta berada di pihak musuh yang melawan ayahnya.

Peperangan ini membuat Zainab r.a galau. Bagaimana tidak, sang suami berada di pihak musuh ayahnya. Padahal, keduanya adalah orang-orang yang ia cintai. Zainab r.a. hanya bisa berdoa, semoga Allah memenangkan kaum muslimin, menjaga suaminya dari bahaya, serta membimbingnya untuk memeluk Islam.

Akhir dari peperangan tersebut dimenangkan oleh kaum muslimin. Kaum musyrikin harus menanggung malu yang luar biasa karena berhasil dikalahkan oleh pasukan muslim yang jumlahnya lebih sedikit daripada mereka.

Abul Ash bin Rabi' menjadi tawanan kaum muslimin. Mengetahui hal itu, Zainab segera menebus suami tercintanya dengan kalung kesayangan miliknya, peninggalan sang bunda, Khadijah r.a Rasulullah saw sangat mengenali kalung itu.

Akhirnya, Abul Ash dibebaskan oleh para sahabat dan kalung tebusan dikembalikan kepada Zainab. Sebagai ucapan terima kasih, Abul Ash berjanji akan membiarkan Zainab hijrah ke Medinah untuk berkumpul bersama kaum muslimin lainnya. Rasulullah saw memuji Abul Ash dengan berkata, "Ia berbicara jujur dan akan menepati janjinya kepadaku."

Abul Ash kembali pulang menemui istrinya tercinta. Zainab r.a menyambut suaminya dengan suka cita. Terlihat pancaran kesetiaan dan kemuliaan dari wajah sang istri. Abul Ash tak kuasa mengatakan salam perpisahan kepada istri belahan jiwanya, tetapi janji harus ditepati. Sambil terisak, Abul Ash berkata, "Istriku, kembalilah kepada ayahmu."

Tangis Abul Ash makin menjadi-jadi. Ia tidak sanggup jika harus mengawal istrinya di pintu perpisahan. Pintu pembatas akibat perbedaan keyakinan karena masing-masing memegang teguh agamanya. Pintu yang menghalangi dua insan yang diliputi cinta sejati untuk bersatu.

Akhirnya, Abul Ash meminta saudara kandungnya yang bernama Kinanah bin Rabi' untuk mengantar istrinya kembali kepada ayahnya tercinta, "Saudaraku, engkau tahu bagaimana kedudukan Zainab di dalam hatiku, hingga aku tidak menginginkan ada wanita Quraisy berjalan bersamanya. Dan, engkau pun tahu bahwa aku tidak kuasa untuk berpisah dengannya. Oleh karena itu, temanilah ia sampai ke ujung perkampungan. Di sana dua orang utusan Muhammad telah menunggu. Temani ia dalam perjalanan. Jagalah dirinya dengan sungguh-sungguh dan jangan diperkenankan seorang pun mengganggunya hingga sampai ke tempat tujuan," pinta Abul Ash kepada Kinanah.

Kinanah mempersiapkan seekor unta dengan sekedup (tenda kecil yang berada di atas punggung unta) untuk kendaraan dan persenjataan berupa anak panah dan busurnya. Zainab r.a pun berkemas dan mempersiapkan perbekalan.

Zainab r.a. naik ke dalam sekedup, lalu Kinanah mengantarnya ke luar kota Mekah tempat dua orang utusan Rasulullah saw menunggu, yaitu Zaid bin Haritsah r.a. dan seorang sahabat dari kalangan Anshar.

Sikap Abul Ash yang membiarkan istrinya ikut hijrah ke Medinah menjadi sebuah penghinaan sendiri bagi kaum musyrikin Quraisy. Mereka menganggap bahwa Abul Ash telah mencoreng martabat mereka karena setelah mengalami kekalahan di Perang Badar, ditambah lagi mereka harus membiarkan Zainab mengikuti jejak ayahnya yang hijrah ke Medinah.

Tentu saja hal ini ditentang oleh kaum Quraisy. Jika mereka membiarkan putri Muhammad dibiarkan begitu saja meninggalkan Mekah tanpa berbuat apa pun, menurut mereka hal itu akan membuat kaum muslimin makin berada di atas angin dan merendahkan kehormatan musyrikin Ouraisy.

Akhirnya, sekelompok musyrikin Ouraisy segera menyusul Zainab r.a. dan mencegatnya di daerah Dzi Thuwa. Dua orang dari mereka yang bernama Hubar bin Aswad dan Nafi' bin Abdul Qais menakut-nakuti unta yang ditunggangi Zainab r.a dengan memutar-mutarkan lembing.

Salah satu dari mereka mendorong Zainab r.a yang masih berada di atas sekedup sehingga putri Rasulullah saw itu terlempar dan jatuh ke tanah yang keras. Padahal, saat itu ia sedang hamil, akibatnya darah mengalir deras dari tubuhnya.

Kinanah segera memasang anak panah dan merentangkan busurnya untuk melawan mereka yang mendekat. Namun, Abu Sufyan mencegahnya sambil berkata, "Turunkanlah panahmu agar kita bisa berbicara baik-baik."

Kinanah menuruti perintah itu. Abu Sufyan kembali berkata, "Kamu melakukan hal yang salah. Kamu keluar bersama wanita ini secara terang-terangan. Padahal, kamu tahu bahwa kami baru mengalami kekalahan dari Muhammad. Orang-orang akan mengatakan kami terlalu lemah jika membiarkan putri Muhammad meninggalkan Mekah. Kami melakukannya bukan karena ingin tebusan dari ayahnya atau upaya balas dendam. Bukan. Kembalilah bersama wanita itu. Ketika situasi sudah kembali tenang, kamu boleh mengantarkan Zainab kepada ayahnya secara sembunyi-sembunyi."

Kinanah mengikuti saran Abu Sufyan, ditambah lagi ketika melihat kondisi Zainab yang makin melemah dan terus merintih akibat keguguran. Mereka pun bertolak kembali menuju Mekah.

Begitu pengecutnya orang-orang musyrik tersebut yang mengerahkan beberapa orang lelaki hanya untuk mengejar satu orang wanita hamil dan tidak berdaya. Bahkan, Hindun, istri Abu Sufyan pun mencibir orang-orang yang mengejar Zainab r.a. Ia menyindirnya dalam syair yang mengingatkan mereka akan kekalahan di Perang Badar:

Begitu gagah berani kalian ketika tidak berperang
Tetapi kalian bersikap seperti wanita di kala perang


Kondisi Zainab r.a. makin membaik meskipun tidak sembuh total. Ketika malam mulai sepi, Kinanah pun mengantar Zainab keluar meninggalkan Mekah, lalu menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah r.a dan seorang sahabat Anshar.

Dengan pengawalan ketat, Zainab r.a menyongsong Medinah menuju kehidupannya yang baru bersama ayahanda tercinta dalam naungan Islam yang mulia. Sementara itu, suaminya, Abul Ash, tetap tinggal di Mekah.

Empat tahun kemudian, sebuah kafilah dagang Quraisy melakukan perjalanan ke Syam. Abul Ash ikut di dalamnya. Kaum musyrikin Quraisy memercayakan barang dagangannya kepada Abul Ash.

Namun, di tengah perjalanan pulang, mereka bertemu dengan pasukan muslim yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah r.a. Bentrokan pun tak terhindarkan. Pasukan muslim berhasil menawan beberapa orang dari mereka dan merampas barang dagangannya.

Abul Ash berhasil bersembunyi, lalu menyusup ke Medinah. Di sana ia menemui Zainab r.a, wanita yang begitu ia cintai. Ia menceritakan bentrokan yang terjadi antara kafilah dagangnya dan pasukan muslim.

Harta dan barang titipan orang-orang kepadanya telah ikut terampas. la menginginkan harta titipan milik orang-orang yang dipercayakan kepadanya dikembalikan. Ia pun meminta agar Zainab r.a. bersedia melindunginya.

Azan Subuh berkumandang. Seluruh kaum muslimin berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat berjemaah. Ketika Rasulullah saw. takbir dan diikuti oleh kaum muslimin lainnya, tiba-tiba dari barisan jemaah wanita, Zainab r.a. berseru, "Wahai orang-orang! Aku memberikan perlindunganku atas Abul Ash bin Rabi'!"

Rasulullah saw meneruskan shalatnya hingga selesai. Setelah itu, dia berbalik dan berkata, "Apakah kalian mendengar apa yang kudengar?"

"Ya," jawab kaum muslimin.

"Aku bersumpah demi Dia yang diriku berada di tangan-Nya, aku sama sekali tidak mengetahui hal ini hingga aku mendengar seperti apa yang kalian dengar tadi. Setiap muslim berhak memberikan perlindungannya. Dan, kita akan melindungi siapa pun yang dilindunginya!" ujar Rasulullah saw.

Rasulullah saw. keluar dari masjid dan menemui Zainab r.a. Dengan penuh kasih sayang, Rasulullah saw. mengingatkan putrinya akan status pernikahan dia dengan Abul Ash, "Wahai putriku, hormatilah kedudukan Abul Ash. Ia tidak boleh mendekatimu karena kamu tidak halal baginya."

Dengan malu-malu Zainab menimpali, "Dia hanya ingin hartanya dikembalikan, Ayah."

Sebelum Abul Ash mendatangi istrinya, Allah SWT memang telah memutuskan hubungan suami istri antara Abul Ash dan Zainab r.a dikarenakan sang istri telah berhijrah menetapi keimanan dalam Islam, sedangkan suaminya tetap dalam kemusyrikan.

Firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perem-puan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu teiah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka ...." (QS Al-Mumtahanah [60]: 10)

Rasulullah saw segera mengumpulkan anggota pasukan yang telah merampas harta kafilah Quraisy. Beliau berkata, "Kalian kenal orang ini? la datang untuk meminta kembali hartanya yang telah kalian rampas. Jika kalian memutuskan untuk berbuat baik dan mengembalikan harta itu, aku sungguh gembira. Namun, jika kalian enggan mengembalikannya, harta itu adalah harta rampasan yang diberikan Allah kepada kalian dan kalian berhak memilikinya."

Mereka menjawab, "Wahai Rasulullah. Kami memilih untuk mengembalikannya."

Abul Ash terkesima dengan keikhlasan kaum muslimin untuk mengembalikan seluruh hartanya tanpa kurang sedikit pun. Tidak ada rasa penyesalan di wajah kaum muslimin. Mereka rela berbuat apa saja untuk menyenangkan hati Rasulullah saw.

Ketertarikan pada Islam mulai tumbuh dari dalam diri Abul Ash. Cahaya iman mulai memancar meneranginya. Hal ini dirasakan oleh kaum muslimin yang berada di dekatnya saat itu. Seseorang dari mereka bertanya, "Apakah kamu ingin masuk Islam dan mengambil semua harta milik kaum musyrikin ini?"

Abul Ash menjawab, "Alangkah jahatnya jika aku mengkhianati kepercayaan orang di hari pertama aku masuk Islam."

Abul Ash segera memacu kudanya sambil membawa harta titipan yang telah dikembalikan kaum muslimin menuju Mekah. Di sana ia mengembalikan harta dan barang-barang yang dititipkan kepada pemiliknya yang berhak. Setelah menunaikan amanatnya, ia berkata, "Wahai orang-orang Quraisy. Masih adakah harta milik kalian yang belum kalian ambil dariku?"

"Tidak," jawab mereka, "semoga Tuhan membalas kebaikanmu. Engkau benar-benar telah menunaikan tanggung jawabmu!"

Abul Ash melanjutkan, "Jika begitu, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Demi Allah, satu-satunya hal yang menghalangiku memeluk Islam adalah kekhawatiran bahwa kalian akan menyangka aku melakukannya untuk mendapatkan harta-hartayang kalian titipkan kepadaku. Setelah semuanya kuserahkan dan diriku telah terbebas dari tanggung jawab, aku pun menyatakan masuk Islam!"

Betapa kagetnya kaum musyrikin Quraisy mendengar pengakuan Abul Ash tersebut. Mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa ketika Abul Ash memacu kudanya menuju Medinah.

Di Medinah, Abul Ash menemui Rasulullah saw dan membaca kalimat syahadatain. Rasulullah pun mengizinkan Abul Ash kembali kepada Zainab.

Keteguhan Menjaga Rahasia

Seorang wanita mendatangi Ahmad bin Al-Mahdi ketika ia bermalam di Bagdad. Ahmad bin Al-Mahdi bukanlah penduduk asli Bagdad. Sedangkan, wanita yang mendatanginya adalah seorang putri dari warga kota tersebut yang sedang dirundung masalah.

Ia akan menceritakan permasalahannya, tetapi Ahmad bin Al-Mahdi harus bersumpah agar merahasiakannya. Ahmad bin Al-Mahdi pun menyanggupinya.

Wanita itu bercerita bahwa ia telah hamil. Selama itu ia mengaku sebagai istri Ahmad dan bayi dalam kandungannya adalah darah daging Ahmad.

Dia memohon dengan sangat agar Ahmad bin Al-Mahdi mau menjaga rahasianya dengan berkata, "Simpanlah rahasiaku, semoga Allah menutupi rahasiamu seperti halnya engkau menutupi rahasiaku." Wanita itu pun segera pergi meninggalkannya.

Tentu saja hal itu membuatnya kaget. Bagaimana tidak, bisa-bisanya wanita itu mengaku sebagai istrinya, apalagi ia harus mengakui bayi dalam kandungan wanita tersebut sebagai anaknya. Namun, semua sudah terlanjur dan ia hanya ingin membantu wanita tersebut lepas dari kesulitannya.

Waktu pun berlalu. Sesepuh dari daerah tempat tinggal wanita itu datang mengunjungi Ahmad bin Al-Mahdi bersama warga lainnya guna memberi tahu tentang kelahiran anaknya.

Ia pun bergembira atas berita tersebut, kemudian menitipkan uang dua dinar untuk diberikan kepada wanita yang mengaku istrinya untuk menafkahi anaknya.

Begitu seterusnya, ia selalu menitipkan uang untuk wanita tersebut bersama anaknya melalui sesepuh daerah wanita itu. Akan tetapi, tidak lama kemudian anak tersebut meninggal. Ia pun menunjukkan bela sungkawanya ketika orang-orang datang menyampaikan berita tersebut.

Satu bulan kemudian, wanita itu mendatanginya sambil membawa uang yang dititipkan Ahmad untuknya. Seluruh uang Ahmad ia kembalikan seraya berkata, "Semoga Allah menutupi rahasiamu seperti halnya engkau menutupi rahasiaku."

Namun, Ahmad menolaknya, "Uang ini milikmu, gunakanlah untuk keperluanmu."

Selasa, 16 Maret 2010

Wanita yang Menolak Pinangan Rasulullah

Wanita itu adalah Ummu Hani r.a. Nama sebenarnya adalah Fakhitah binti Abi Thalib bin Abdul Muthalib. Ia berasal dari kabilah Ouraisy dari keturunan Bani Hasyim. Ummu Hani r.a adalah saudara kandung Ali bin Abi Thalib r.a.

Sebelum Rasulullah saw menerima wahyu, beliau pernah meminang Ummu Hani melalui pamannya, Abu Thalib, yang juga ayah Ummu Hani. Sayangnya, sang ayah telah mengikat perjanjian dengan Habirah bin Abi Wahab yang telah meminang putrinya terlebih dahulu dan Ummu Hani pun menerima pinangan Habirah.

Ketika Islam makin berkembang, Ummu Hani menjadi pemeluk Islam. Namun, suaminya tetap bertahan dengan kekafirannya. Mereka pun berpisah dan Ummu Hani r.a hidup menjanda bersama anak-anaknya.
Kemudian Rasulullah saw meminang kembali Ummu Hani untuk kedua kalinya.

Namun, dengan halus Ummu Hani berkata, "Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai daripada pendengaran dan penglihatanku sendiri. Namun, hak suami sangatlah besar, hingga aku merasa takut apabila melayani suami, kemudian anak-anakku terlantar. Dan jika aku mengurusi anak-anak, aku khawatir hak-hak suamiku tidak bisa kupenuhi."

Mendengar jawaban tersebut, Rasulullah saw bersabda, "Sebaik-baik wanita yang menunggang unta adalah wanita Quraisy, yang sangat penyayang terhadap anak-anaknya yang masih kecil dan sangat hati-hati dalam menjaga hak-hak suami ketika ia menjadi seorang istri." (HR Ibnul Atsir)

Siapa yang sanggup menolak pinangan Rasulullah saw, sosok mulia dan bertanggung jawab idaman para wanita salehah. Namun, Ummu Hani menekan perasaannya semata-mata karena tidak ingin lalai dalam mengurus suami dan anak-anaknya yang masih kecil.

Dan ia memiliki kasih sayang yang luar biasa besar kepada anak-anaknya sehingga menolak untuk bersuami kembali. Subhanallah, Ummu Hani adalah contoh seorang ibu yang bertanggung jawab dalam membesarkan anak-anaknya demi kebaikan masa depan mereka.

Senin, 15 Maret 2010

Bersabarlah Putriku

Panji-panji terus makin berkobar seiring kemenangan demi kemenangan yang diraih kaum muslimin di seluruh Jazirah Arab hingga ke Persia dan Syria. Harta berlimpah dan beberapa orang tawanan menjadi milik kaum muslimin.

Sebaliknya, di sudut lain kota Medinah, sang putri Rasulullah tercinta, Fatimah r.a, berada dalam kepayahan. Tangannya melepuh, kulitnya mengelupas, dan sangat kasar karena terlalu keras melakukan pekerjaan rumah.

Melihat kondisi sang istri, Ali bin Abi Thalib r.a berkata kepadanya, "Wahai Fatimah, kau melakukan segala sesuatunya sendiri sampai hatiku merintih tak tega."

Ia memandangi wajah lelah istrinya dan melanjutkan, "Aku dengar ayahmu memperoleh tawanan dan harta rampasan yang melimpah. Bagaimana kalau kita ke rumah beliau dan meminta salah seorang tawanannya untuk kita jadikan pembantu?" usul Ali r.a.

"Baiklah, demi Allah, aku memang melakukan segala sesuatunya sendiri hingga tanganku melepuh."

Fatimah r.a. pun beranjak menuju kediaman ayahnya dengan langkah berat. Sungguh ia merasa malu mengadukan perihal ini, apalagi jika harus meminta tawanan perang kepadanya.

Setibanya di kediaman Rasulullah saw ia disambut hangat oleh sang ayah. Bagaimana tidak, ia adalah putrinya yang sangat beliau sayangi dan cintai. Namun, ketika melihat putri tersayangnya muram, beliau pun menanyakan keadaannya, "Bagaimana keadaan kau dan keluargamu, Nak?"

Fatimah r.a. tidak kuasa untuk berterus terang. la khawatir permintaannya akan merisaukan hati ayahanda tercinta. Akhirnya, ia hanya menjawab, "Kami baik-baik saja, Ayah. Saya hanya ingin mengucapkan selamat kepadamu." la pun kembali pulang.

Hari kedua, Fatimah r.a kembali menemui Rasulullah saw. Namun, kali ini ia ditemani suaminya, Ali bin Abi Thalib r.a Dan seperti sebelumnya, Rasulullah saw menyambut mereka dengan penuh kehangatan.

Fatimah r.a memberanikan diri untuk bercerita, "Ayah, sehari-hari aku harus memasak, menggiling gandum, menyediakan pakan dan air untuk kuda ternak kami, membereskan rumah dan segala halnya, hingga aku letih dan lelah. Aku dengar kaum muslimin memperoleh banyak tawanan perempuan. Jika Ayah tidak keberatan, maukah Ayah memberiku seorang tawanan wanita untuk membantuku?" pinta Fatimah r.a.

Rasulullah saw sangat mengerti kesusahan yang dialami putrinya tersebut. Namun, sebagai pemimpin, beliau lebih mendahulukan rakyatnya yang lebih membutuhkan daripada memenuhi kehendak putrinya.

Beliau pun menyampaikan dengan lembut, "Engkau membutuhkan tawanan untuk membantumu, tetapi apakah engkau tega perut para ahlush shuffah melilit kelaparan? Aku tidak memiliki apa pun untuk menanggung hidup mereka kecuali dengan uang hasil menjual tawanan-tawanan perang tersebut. Bersabarlah, putriku. Penuhilah kewajibanmu sebaik-baiknya."

Setelah Rasulullah saw menolak permintaannya, Fatimah dan Ali pun kembali pulang dengan tangan kosong.

Pada suatu malam Rasulullah saw. mengunjungi kediaman putrinya ketika kedua suami istri berselimutkan beledu yang jika diangkat ke atas maka terlihat kaki mereka dan jika menutup kaki maka bagian atas mereka terbuka.

Melihat kedatangan ayahanda sekaligus mertua yang begitu bersahaja, mereka bergegas bangun untuk menyambut beliau. Namun, Rasulullah saw segera menahannya, "Tetaplah di tempat kalian. Maukah aku beri tahu sesuatu yang lebih baik dari yang kalian minta kepadaku?"

Mereka berdua mengangguk.

"Ia adalah beberapa kalimat yang Jibril ajarkan kepadaku. Bacalah tasbih (Subhanallah) sepuluh kali, tahmid (Alhamduliilah) sepuluh kali, dan takbir (Allahu Akbar) sepuluh kali seusai shalat. Dan setiap kali kalian hendak tidur, bacalah tasbih tiga puluh kali, tahmid tiga puluh kali, dan takbir tiga puluh kali atau empat puluh kali."

Ali r.a berkata, "Demi Allah, sejak beliau ajarkan kalimat-kalimat tersebut, kami tidak pernah meninggalkannya."

Fatimah r.a adalah contoh kehidupan putri pembesar yang sangat bersahaja. Bisa saja ia hidup dalam kemewahan, tetapi Rasulullah saw mengajarkan bahwa dunia tidak berarti apa-apa jika dibandingkan kenikmatan di akhirat kelak.

Catatan:
Ahlush shuffah adalah penghuni masjid, yaitu para sahabat migran yang tinggal di emperan masjid karena tidak memiliki tempat tinggal tetap di Medinah. Kata shuffah atau sufi digunakan sebagai cermin dari kebersahajaan hidup mereka.

Mencintai karena Allah

Umar bin Abdul Aziz hidup dalam kemewahan dan kemegahan hidup bersama istrinya yang memiliki ayah seorang khalifah. Setiap hari Umar mengenakan jubah terindah dan pakaian terbaiknya dengan wewangian mahal hingga meninggalkan aroma harum di setiap jalan yang telah ia lalui. Berjam-jam ia menata rambutnya sampai-sampai terlambah shalat berjemaah. Apa pun yang ia mau dengan mudahnya ia dapatkan.

Hal ini sangat berkebalikan ketika ia terpilih menjadi khalifah meneruskan amanah sang mertua. Kehidupannya berubah seratus persen. Kemewahan yang begitu didambakan setiap orang, ia tinggalkan begitu saja. Sungguh tindakan yang sangat langka karena umumnya setiap orang mencari jabatan agar dapat hidup mewah dan bergelimang harta.

Keputusan ini ia sampaikan kepada istri tercintanya, Fatimah binti Abdul Malik. Bagaimanapun juga, kehidupan barunya akan melibatkan kehidupan istrinya yang lama dibuai kemewahan.

Umar berkata kepadanya, "Wahai Fatimah, masalah besar telah menimpaku. Aku diberi beban yang paling berat dan aku akan dimintai pertangungjawaban tentang manusia yang paling jauh serta yang paling dekat dari umat Muhammad saw.

Tugas ini akan menyita seluruh keberadaanku, hingga tidak ada waktu bagiku untuk memenuhi seluruh hakmu atas diriku. Tidak ada lagi hasrat bagiku kepada wanita, tetapi aku tidak ingin menceraikanmu. Aku tidak menginginkan seorang pun di dunia ini selain dirimu.

Meskipun demikian, aku tidak ingin menzalimi dirimu. Aku khawatir kamu tidak sabar atas cara hidup yang kupilih. Oleh karena itu, aku akan mengantarkanmu ke rumah ayahmu."

Sang istri terpana mendengar penjelasan suaminya yang begitu mendadak. Kemudian ia bertanya untuk meminta penjelasan lebih dari suaminya, "Sebenarnya apa maksudmu?"

Dengan sabar Umar menjelaskan kembali, "Sesungguhnya harta yang kita miliki serta yang dimiliki oleh saudara-saudara dan kerabatmu ini berasal dari harta kaum muslimin. Aku bertekad akan mengambilnya dan mengembalikannya kepada mereka. Aku akan memulai dari diriku. Aku tidak akan menyisakan untukku, kecuali sebidang tanah yang kubeli dari uang hasil jerih payahku. Aku akan hidup dengan harta tersebut. Jika engkau tidak sabar pada kesempitan hidup setelah lapangnya, kau boleh kembali kepada ayahmu."

Tak habis pikir dengan keputusan suaminya, Fatimah kembali bertanya, "Apa yang mendorongmu untuk berbuat seperti itu?"

Umar menjawab, "Wahai Fatimah, sesungguhnya aku memiliki jiwa ambisius dan aku tidak mendapatkan sesuatu, kecuali menginginkan yang lebih baik darinya. Aku menginginkan jabatan, lantas mendapatkannya. Ketika aku mendapatkannya, muncul keinginan untuk menguasai khalifah dan ketika aku telah mendapatkannya, aku menginginkan yang lebih baik darinya, yaitu surga."

Sang istri menanggapi keinginan suaminya, "Wahai suamiku, lakukanlah apa saja yang menurutmu baik, saya akan senantiasa bersamamu. Saya tidak akan menyertaimu dalam keadaan senang, lalu meninggalkanmu dalam keadaan susah. Saya rida dengan apa yang kauridai."

Setelah mendapat persetujuan dari sang istri, ia pun memulai tugasnya dengan meninggalkan istana megahnya. Seluruh harta yang ia dapat dari Baitul Mal dikembalikan. Bersama istrinya, ia menempati gubuk kecil di sebelah kiri masjid. Pakaian, tempat tinggal, makanan, dan minuman benar-benar sangat sederhana, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Kini hanya sebuah permata yang tertinggal sebagai harta satu-satunya Fatimah. Permata kesayangannya, pemberian dari ayah tercinta. Mengetahui hal tersebut, Umar berkata dengan lembut kepada istrinya, "Wahai Fatimah, engkau mengetahui bahwa permata itu diperoleh ayahmu dari harta kaum muslimin dan menghadiahkannya kepadamu. Sesungguhnya aku tidak suka permata itu ada di rumahku. Karena itu, engkau boleh memilih: permatamu atau aku?"

Apa jawaban sang istri? Jika ia memilih permata, seumur hidupnya akan selalu bergelimang harta. Akan tetapi, jika ia memilih suaminya, kehidupan apa adanya yang jauh dari kekayaan duniawi harus ia jalani.

Sang istri telah mantap dengan pilihannya. la pun berkata, "Demi Allah, tentu aku lebih memilihmu, wahai suamiku, daripada permata ini. Bahkan, jika aku memiliki permata yang berlipat-lipat jumlahnya, akan aku serahkan semuanya karena kau lebih berharga dari semua itu."

Sang istri pun mengembalikan permata kesayangannya ke Baitul Mal.
Kini, kedua suami istri mulia tersebut hidup seadanya. Tidak ada pakaian mewah dan indah, melainkan pakaian usang dan penuh tambalan yang melekat pada tubuh mereka. Tidak ada pula istana, melainkan rumah kecil dengan dinding yang rapuh.

Suatu ketika seorang wanita Mesir datang ke rumah mereka. Fatimah menemuinya yang tampak kebingungan di depan pintu rumahnya. Ia pun segera menyapa wanita asing tersebut, "Wahai hamba Allah, adakah yang bisa aku bantu?"

Wanita itu berkata, "Aku datang dari Mesir untuk menemui Amirul Mukminin. Orang-orang menunjuk alamat ini, tetapi di sini aku tidak menemukan istananya."

Fatimah tersenyum lebar dan segera menyambut tamu jauhnya, "Kau benar, ini rumahnya, silakan masuk!"

Alangkah terkejutnya wanita itu mengetahui yang berbicara di hadapannya adalah istri seorang Amirul Mukminin. Pakaiannya lusuh, tidak berdandan, tanpa gelang dan perhiasan. Siapa yang menyangka bahwa ia adalah istri petinggi wilayah ini.

Wanita itu dengan perasaan heran dan bingung masuk ke dalam rumah. la duduk di atas lantai di temani istri Amirul Mukminin yang terhormat. Namun, sang tamu kembali kaget melihat di dalam rumah tersebut ada seorang laki-laki dengan tangan penuh tanah dan berpakaian kotor yang sedang memperbaiki dinding rumah.

Disangkanya lelaki itu adalah tukang batu. Wanita itu pun menegur Fatimah, "Wahai istri Amirul Mukminin. Mengapa kau memasukkan lelaki ke dalam rumahmu di saat suamimu tidak ada di rumah?"

Fatimah kembali tersenyum, "Dialah suamiku, Amirul Mukminin yang kaucari."

Sulit untuk dipercaya ketika sang tamu mengetahui kehidupan keluarga Amirul Mukminin yang sangat jauh dari bayangannya. Bukankah petinggi negara diberi fasilitas dari Baitul Mal? Namun, di hadapannya, tidak ada kemewahan, kesombongan, dan jarak antara mereka dan rakyatnya.

Mereka menjauhi kemewahan duniawi agar jiwanya makin kuat dan terhindar dari fitnah-fitnah dunia. Itulah rumah tangga penuh keimanan yang dihuni oleh pasangan yang menyinari dunia dan menembus cakrawala.

Siapa yang tujuannya adalah akhirat, Allah akan menjadikan rasa cukup dalam hatinya, menyatukan kembali apa yang terpisah darinya, dan dunia akan selalu datang kepadanya dalam keadaan tunduk. Dan siapa yang menjadikan dunia sebaga; tujuannya, Allah akan menjadikan kefakiran selalu membayang-bayanginya, memisahkan yang bersatu dengannya, dan dunia tidak akan datang kepadanya, kecuali yang kotor baginya. (Al-Hadis)

Keturunan Bersahaja

Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang ulama yang kaya dan dermawan. Suatu ketika seorang wanita sederhana datang mengadu kepadanya. la berpikir bahwa wanita tersebut akan meminta sedekah darinya, sebagaimana kebanyakan orang.

Namun, sebelumnya ia mendengarkan pengaduan wanita tersebut dengan saksama, "Tuan, saya adalah ibu rumah tangga yang telah ditinggal mati suami. Setiap hari saya bekerja siang hingga malam. Siang hari saya bekerja mengurus anak-anak dan rumah tangga, sedangkan malam hari saya merajut benang untuk dijual sebagai penghasilan kami. Namun, saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli lampu sehingga saya biasa mengerjakannya di bawah sinar rembulan."

Mendengar cerita wanita tersebut, Imam Ahmad tergerak hatinya untuk menolong. Apalagi jika yang ia butuhkan hanya sebuah lampu. Namun, ternyata cerita itu belum selesai. Imam Ahmad mengurungkan niatnya untuk memberi sedekah demi mendengarkan kelanjutan cerita wanita tersebut.

Sambil menarik nafas, wanita itu mengadu kembali dengan wajah penuh kesedihan, "Hingga pada suatu ketika, kafilah milik pemerintah berkemah di depan rumah saya. Lampu-lampunya terang benderang karena banyak jumlahnya. Saya pun segera memanfaatkan cahaya tersebut untuk merajut. Akan tetapi, setelah pekerjaan saya selesai, saya bimbang, apakah rajutan itu jika dijual, hasilnya halal dimakan oleh saya dan anak-anak? Sebab saya menggunakan lampu yang minyaknya dibeli dari uang negara yang sudah barang tentu adalah uang rakyat juga."

Imam Ahmad terkesan dengan kegundahan wanita tersebut yang khawatir dirinya telah mencuri uang rakyat. Sudah pasti ia bukan wanita sembarangan hingga memiliki ketajaman nurani seperti itu.

Penuhilah Hak Dirimu, Dia, dan Mereka

Dari Abu Juhaifah Wahab bin Andullah r.a menceritakan bahwa Nabi saw mempersaudarakan antara Salman r.a dan Abu Darda' r.a. Suatu hari Salman r.a mengunjungi Abu Darda' r.a dan ia melihat istri Abu Darda' r.a mengenakan pakaian yang sangat sederhana tanpa perhiasan sedikit pun.

Karena haru, Salman r.a. bertanya, "Mengapa keadaanmu seperti ini?"
la menjawab, "Saudaramu, Abu Darda' tidak mempunyai minat pada pesona dunia (perempuan)."

Lalu, datanglah Abu Darda' r.a untuk membuatkan makanan. Setelah itu, ia berkata kepada Salman r.a, "Makanlah, hari ini aku sedang berpuasa."

Salman r.a menjawab, "Aku tidak akan makan hingga engkau makan."

Ketika malam tiba, Abu Darda' r.a pergi untuk shalat dan berkata kepada Salman r.a, "Tidurlah!" Lalu, Salman r.a pun tidur.

Namun, tidak lama kemudian Salman r.a terbangun dan melihat saudaranya masih terjaga. la pun menyuruh Abu Darda' r.a untuk tidur. Akhirnya, mereka berdua pun tidur.

Pada akhir malam, Salman r.a bangun dan membangunkan Abu Darda' r.a, "Sekarang bangunlah!" Kemudian mereka berdua shalat malam bersama.

Setelah itu, Salman r.a. menasihati Abu Darda' r.a, "Sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak atas dirimu, sesungguhnya dirimu juga mempunyai hak atas dirimu sendiri, dan keluargamu juga mempunyai hak atas dirimu maka berikanlah hak itu kepada setiap yang mempunyai hak."

Abu Darda' r.a pun menemui Rasulullah saw untuk menanyakan kebenaran pendapat Salman r.a. Kemudian Rasulullah saw menjawab, "Salman benar!"

Aku Hanya Ingin Berhias, Ayah

Idul Adha akan tiba. Setiap wanita tentu ingin berhias untuk menyambut hari raya tersebut. Termasuk Siti Zainab r.a, putri Ali bin Abi Thalib r.a. Saat itu ayahnya menjabat sebagai Amirul Mukminin. Zainab r.a. pun memberanikan diri untuk meminjam kalung berlian dari Baitul Mal.

Ia mendatangi Ali bin Abi Rafi', seorang sahabat Nabi saw yang bertanggung jawab atas Baitul Mal seraya berkata, "Wahai Ibnu Abi Rafi', pinjamilah aku kalung berlian agar aku dapat berhias di Hari Idul Adha dan aku akan mengembalikannya tiga hari kemudian!"

Mengingat peminjam adalah putri Amirul Mukminin, Abi Rafi' r.a pun meminjamkannya.

Ketika Ali bin Abi Thalib r.a mengetahui putrinya memakai kalung berlian, dia pun bertanya, "Dari mana kau dapatkan kalung berlian itu, Zainab?"
Siti Zainab r.a. menjawab, "Aku meminjamnya dari Ibnu Abi Rafi', Ayah. Aku akan mengembalikannya tiga hari kemudian."

Mendengar hal itu, Amirul Mukminin tampak geram segera memanggil Ali bin Abi Rafi' untuk menegur, "Hai Ibnu Abi Rafi'! Apakah kau mau mengkhianati kaum muslimin?"

"Na'udzubillah, ya Amirul Mukminin! Aku hanya meminjamkannya kepada putri Amirul Mukminin untuk berhias di Hari Idul Adha dan akan dikembalikannya setelah tiga hari!" jawab Ibnu Abi Rafi'.

"Kembalikanlah kalung itu ke Baitul Mal!" perintah Ali, "dan janganlah kau ulangi lagi perbuatanmu itu! Demi Allah, kalau saja ia (Zainab r.a) tidak mampu mempertanggungjawabkan pinjamannya itu, niscaya ia akan menjadi wanita pertama dari keturunan Bani Hasyim yang akan aku potong tangannya karena pencurian!"

Zainab r.a yang mendengar percakapan antara ayahnya dan Ibnu Abi Rafi' tersentak kaget dengan ancaman tersebut. la pun merajuk kepada sang ayah, "Ayahku, Amirul Mukminin, aku adalah putrimu dan bagian dari dirimu. Siapakah yang lebih berhak memakai kalung itu daripada diriku, seorang putri Amirul Mukminin?"

"Hai cucu Abu Thalib! Janganlah kamu berpaling dari kebenaran! Apakah semua perempuan istri sahabat Anshar dan Muhajirin berhias di hari raya seperti ini?" jawab Ali r.a tegas.

Minggu, 14 Maret 2010

Kesaksian Penduduk Mekah

Sejak kanak-kanak, Muhammad terkenal dengan kejujurannya. Penduduk Mekah berkata tentang sifat amanah beliau, "Jika engkau harus pergi dan perlu seseorang untuk menjaga istrimu, percayakan dia kepada Muhammad tanpa ragu-ragu sebab dia tidak akan menatap sekejap pun pada wajahnya. Jika engkau ingin memercayakan hartamu untuk dijaga, percayakan kepada orang jujur dan dapat dipercaya ini sebab dia tidak akan pernah menyentuhnya. Jika engkau mencari seseorang yang tidak pernah berbohong dan tidak pernah melanggar kata-katanya, pergilah ke Muhammad sebab apa pun yang dikatakannya adalah benar!"

Seluruh penduduk Mekah menaruh kepercayaan yang tinggi kepada Rasulullah saw. Mereka tidak sungkan-sungkan untuk menitipkan barang-barangnya yang berharga kepada Rasulullah. Bahkan, setelah beliau diangkat menjadi rasul pun, musuh-musuhnya masih ada yang memercayakan barang-barangnya kepada beliau.

Para pemuda Mekah menyapa Rasulullah saw. ketika melintas di depan mereka seraya berkata kepada beliau, "Demi Allah, wahai Muhammad, engkau terkenal sebagai seseorang yang tidak pernah mengingkari janji, baik di masa kecilmu maupun sesudah engkau dewasa."

Jumat, 12 Maret 2010

Kaum Muslimin yang Tertindas

Kaum muslimin dibuat gusar oleh kesepakatan antara Rasulullah saw. dan pihak Quraisy yang diwakili oleh Suhail, ayah Abu Jandal r.a. Dalam kesepakatan yang terkenal dengan Perjanjian Hudaibiyah itu tertulis bahwa pihak muslimin harus mengembalikan setiap orang dari pihak Quraisy yang menggabungkan diri dengan kaum muslimin setelah perjanjian tersebut disepakati.

Ketika itu datanglah Abu Jandal bin Suhail r.a dalam keadaan terikat dan telah mengalami siksaan oleh kaum Quraisy karena keislamannya. Tentu saja dengan isi perjanjian itu Abu Jandal r.a tidak akan mendapat pertolongan dari kaum muslimin di Medinah karena ia harus tetap berada di Mekah dan kembali mengalami siksaan.

Abu Jandal r.a. memohon, "Saudara-saudara muslimin, apakah kalian akan mengembalikan aku kepada orang-orang musyrik itu agar mereka menyiksaku karena keislamanku?"

Sebenarnya kaum muslimin tidak tega melihat kekejaman dan penyiksaan kaum musyrikin Quraisy yang ditimpakan kepada Abu Jandal r.a. Rasulullah pun menitikkan air matanya karena melihat kondisi Abu Jandal r.a yang kepayahan dan memelas mohon pertolongan.

Namun, apa daya meskipun perjanjian hitam di atas putih belum selesai ditandatangani, Rasulullah saw. tetap harus mengembalikan Abu Jandal r.a. ke Mekah untuk memenuhi perjanjian tersebut.

Rasulullah bersabda kepada Abu Jandal r.a, "Abu Jandal, bersabarlah, sesungguhnya Allah akan memberikan jalan keluar kepadamu dan orang-orang tertindas yang bersamamu."

Kejadian tersebut tidak hanya menimpa Abu Jandal r.a, tetapi juga Utbah bin Asid r.a yang lebih dikenal dengan nama Abu Bashir. Ia melarikan diri dari kota Mekah setelah Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani dengan maksud meminta perlindungan dari kaum muslimin di Medinah dari penyiksaan kaum Quraisy.

Kemudian kaum musyrikin Quraisy mengirim dua orang utusan untuk meminta Abu Bashir r.a dikembalikan kepada mereka karena terikat dengan Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw pun mengembalikan Abu Bashir r.a kepada mereka.

Namun, di tengah perjalanan kembali ke kota Mekah, Abu Bashir r.a melakukan perlawanan. Ia berhasil membunuh salah satu utusan Quraisy dan membuat satu orang lainnya kabur.

Abu Bashir r.a pun kembali ke Medinah menemui Rasulullah saw dan menyampaikan kepada beliau, "Demi Allah, Anda telah mengembalikan aku kepada mereka, tetapi Allah menyelamatkanku dari tindakan mereka!"

Rasulullah saw tetap bersikukuh tidak akan menerima Abu Bashir r.a di Medinah. Akhirnya, beliau bersabda, "Orang-orang Quraisy itu akan celaka jika mereka mengobarkan perang terhadapmu seandainya kau ada kawannya!"

Abu Bashir r.a menangkap maksud di balik ucapan Rasulullah saw. Ia pun meninggalkan Medinah, tetapi bukan untuk ke Mekah, melainkan ke sebuah tempat di daerah pesisir bernama Ish tempat jalur dagang kafilah Mekah menuju Syam.

Ia mengajak seluruh kaum muslimin, termasuk Abu Jandal r.a untuk meninggalkan kota Mekah dan bergabung dengannya. Mereka pun menyusun kekuatan di sana dan menjegal serta melumpuhkan setiap kafilah dagang musyrikin Quraisy yang lewat menuju Syam.

Ulah kawanan Abu Bashir r.a dan Abu Jandal r.a yang mengobrak-abrik perdagangan kaum Quraisy membuat mereka 'kebakaran jenggot'. Mereka pun meminta perlindungan dari Rasulullah saw di Medinah dan membatalkan pasal yang awalnya dianggap menguntungkan mereka dan merugikan kaum muslimin.

Akhirnya, Rasullullah saw mengirim utusan kepada kawanan Abu Bashir r.a untuk menghentikan sepak terjangnya terhadap kafilah dagang orang-orang Quraisy dan mengizinkan mereka menetap di Medinah karena perjanjian yang melarang hal itu telah dibatalkan.

Larangan Ikut Perang karena Perjanjian

Kaum muslimin berbondong-bondong meninggalkan Mekah menuju Medinah, sebuah kota yang awalnya bernama Yastrib. Hijrahnya kaum muslimin tersebut mendapat rintangan dari penduduk asli Mekah yang membenci Islam, yaitu kaum musyrikin Quraisy. Segala upaya mereka gencarkan untuk mencegah kaum muslimin keluar dari kota Mekah dan bergabung dengan Rasulullah saw di Medinah.

Suatu hari Hudzaifah bin Yaman r.a beserta ayahnya, Husain r.a, hendak menyusul Rasulullah saw hijrah ke Medinah. Namun, di tengah perjalanan orang-orang Quraisy mencegat dan menginterogasi mereka, "Apakah kalian berdua hendak berhijrah mengikuti Muhammad?"

"Tidak, kami hanya hendak ke Medinah," jawab Hudzaifah r.a. Ia menjawab demikian agar mereka diizinkan lepas dari kepungan orang-orang musyrikin Ouraisy.

Mendengar jawaban Hudzaifah r.a, salah seorang dari mereka berkata, "Kami izinkan kalian meneruskan perjalanan ke Medinah, tetapi awas kalau kami melihat kalian berperang bersama Muhammad nanti!"

"Baiklah, kami tidak akan ikut berperang bersama kaum muslimin di Badar!" kata Hudzaifah r.a tegas. Ia mengatakan demikian agar terbebas dari cengkeraman kaum musyrikin Quraisy, bukan karena keinginan sebenarnya.

Mendengar janji Hudzaifah, orang-orang Quraisy tersebut membiarkan mereka melanjutkan perjalanan menuju Medinah.

Hari pertemuan antara pasukan muslimin dan pasukan musyrikin Quraisy pun tiba. Mereka bertemu di medan pertempuran di daerah Badar yang kelak dikenal dengan Perang Badar.

Rasulullah saw melihat Hudzaifah r.a dan ayahnya berada dalam barisan pasukan muslimin untuk ikut berperang melawan pasukan musyrikin Quraisy.

Kemudian beliau mendekati mereka seraya berkata, "Ingatlah perjanjian kalian dengan orang-orang Quraisy untuk tidak ikut berperang bersama kami. Kembalilah kalian dan tepatilah janji tersebut. Kami akan meminta pertolongan Allah agar bisa mengalahkan mereka."

Bagian untuk Muallaf

Setelah 19 hari seusai penaklukan kota Mekah, kaum Hawazin dan Tsaqif berkumpul di Hunain untuk mengatur rencana memerangi Rasulullah saw. Berita tersebut terdengar oleh Rasulullah saw. Kemudian beliau mengirim mata-mata untuk menyusup ke kubu musuh dan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang persiapan mereka.

Ternyata kaum Hawazin tidak ingin peperangan yang ala kadarnya. Mereka ingin pasukan muslimin ditumpas habis dalam peperangan sehingga mereka mengumpulkan seluruh harta benda berharga mereka dan mengajak kabilah-kabilah yang belum masuk Islam untuk bergabung dengan mereka.

Mendengar informasi bahwa pasukan musuh benar-benar mempersiapkan diri untuk berperang, Rasulullah saw segera menyusun kekuatan untuk menghadapi mereka. Banyak para mualaf yang meminjamkan bala bantuan berupa uang sebanyak 40.000 dirham, 30 ekor unta, 3.000 batang tombak, termasuk 100 buah perisai baja dari Shafwan bin Umayyah, dan 30 buah dari muallaf lainnya.

Hari pertemuan dua pasukan itu pun tiba. Pertemuan dua pasukan yang sangat kuat itu menimbulkan peperangan yang sangat dahsyat dan sengit di Hunain. Atas pertolongan Allah SWT, kaum muslimin berhasil memenangkan pertempuran meskipun sempat dibuat kocar-kacir oleh pihak musuh.

Kaum muslimin memperoleh harta rampasan yang sangat besar pada Perang Hunain ini, yaitu 4.000 keping perak, 24.000 ekor unta, lebih dari 40.000 ekor domba, dan 6.000 tawanan perang.

Shafwan bin Umayyah memandangi harta rampasan yang melimpah itu dengan gelisah. Ia khawatir harta rampasan tersebut hanya untuk kaum Muhajirin dan Anshar yang terlebih dahulu memeluk Islam daripada dia yang hanya seorang muallaf.

Melihat keresahan Shafwan, Rasulullah mempersilakan Shafwan untuk mengambil unta hasil rampasan perang sebanyak yang ia mau. Beliau memang sangat berterima kasih kepada Shafwan yang telah meminjamkan peralatan perang untuk kaum muslimin.

Ternyata Rasulullah saw tidak melupakan jasanya meskipun saat perang ia hanya berada di barisan paling belakang. Merasa berterima kasih pada kebaikan Rasulullah, Shafwan segera berlari menuju kaumnya dan berseru, "Wahai kaumku! Terimalah Islam tanpa ragu-ragu sebab Muhammad memberikan sesuatu sedemikian rupa sehingga hanya orang yang tidak takut miskin dan sepenuhnya bersandar kepada Allah sajalah yang bisa melakukannya!"

Subhanallah, dengan jiwa pemurah dan menghargai pengorbanan para muallaf, beliau berhasil membimbing Shafwan dan kaumnya ke jalan kebenaran, padahal dulunya mereka adalah kaum yang sangat sengit memerangi Islam.

Keluarga Pemegang Kunci Ka'bah

Kemenangan gemilang diraih umat Islam pada peristiwa Fathu Mekah. Kaum musyrikin Quraisy yang angkuh dan sombong hanya tertunduk takut dan takluk di hadapan kaum muslimin yang dahulu mereka tindas. Sungguh karunia Allah SWT yang sangat besar yang diberikan kepada umat Islam sehingga kaum muslimin dapat melenggang penuh kehormatan memasuki kota Mekah, kampung halaman yang begitu mereka rindukan.

Pengorbanan harta dan jiwa, rasa sakit tersayat-sayat, serta sedih dan pilu yang mereka rasakan saat memperjuangkan kebenaran terobati sudah dengan menyaksikan kemenangan yang nyata ini.

Salah satu tugas yang harus dilaksanakan Rasulullah saw dan kaum muslimin di Mekah adalah membersihkan Ka'bah, rumah Allah, dari sesembahan kaum musyrikin Ouraisy. Setelah beliau melakukan thawaf dan beristirahat sejenak, beliau memanggil Bilal r.a dan menyuruhnya untuk meminjam kunci Ka'bah dari keluarga Utsman bin Thalhah.

Kunci Ka'bah memang dipercayakan kepada keluarga Utsman bin Thalhah secara turun-menurun meskipun mereka masih memegang ajaran agama jahiliah.

Bilal r.a segera menyampaikan permintaan Rasulullah saw kepada Utsman bin Thalhah di kediamannya. Namun, ibunda Utsman menolak memberikan kunci Ka'bah tersebut seraya berkata kepada putranya, "Wahai anakku, keluarga kita mendapat kehormatan untuk memegang kunci Ka'bah ini dari dulu. Jika kau berikan kunci ini kepada mereka, akan berakhirlah kehormatan keluarga kita!"

Utsman mengerti kekhawatiran ibunya. Namun, dengan kekuatan pasukan Islam saat ini, percuma menahan kunci tersebut karena kaum muslimin akan memintanya dengan paksa. Dan kemungkinan kunci tersebut akan diamanahkan kepada salah seorang dari kaum muslimin. Oleh karena itu, Utsman menenangkan ibunya agar merelakan kunci Ka'bah dibawa oleh kaum muslimin.

Setelah pintu Ka'bah terbuka, Rasulullah saw dan para sahabat segera menghancurkan ratusan berhala di dalamnya. Begitu pula, lukisan-lukisan para Nabiyullah terdahulu yang menggambarkan adegan sesat dan dikarang oleh orang-orang jahiliah dilucuti dari dinding Ka'bah dan dibuang keluar.

Setelah Ka'bah bersih dari segala benda yang mengandung kesyirikan dan kejahiliahan, beliau melaksanakan shalat dua rakaat di dalamnya. Kemudian beliau keluar dan menyerahkan kunci Ka'bah tersebut kembali kepada Utsman.

Tentu saja Utsman heran sekaligus kaget, ternyata Rasulullah saw tetap memercayakan perawatan Ka'bah di tangan keluarganya, yaitu Bani Syaibah yang nonmuslim.